Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Repositioning of Islamic Economics in the Era of Globalization from the Maqāṣid Syarī’ah Perspective Reposisi Ekonomi Islam di Era Globalisasi Perspektif Maqāṣid Syarī’ah Asyharul Muala* Universitas Islam Indonesia, Indonesia asyharulmuala@uii.ac.id DOI: 10.24260/jil.v1i1.17 Received: January 27, 2020 * Corresponding Author Revised: February 24, 2020 Approved: February 24, 2020 Abstract: Economic globalization has become a major stream for the past two to three decades. A multi-dimensional process that demands consistency and integration with all fields in the fields of economy, politics, social, culture, and ideology. The dominance of economic globalization gets stronger since the establishment of the General Agreement on Tariff and Trade (GATT) in the early 1990s. By claiming a noble aim, economic globalization is supported by ideologies that are often considered biased, namely capitalism and liberalism. Capitalism, a winning ideology and has successfully surpassed socialist-communists, remains incomplete as an economic ideology. In this ideology, profits revolve only around particular people; yet, others become exploited victims. This qualitative research presents solutions to global economic problems. Islam, with its sharia economic concept, appears at the right time. Islamic economics is an alternative to answer economic issues. The purpose of the economy itself is not only in the fulfillment of individual needs but also in the creation of mutual benefits. The concepts proposed by Islamic economics is in accordance with maqāṣid syarī'ah, which is to fulfill five basic problems (al-darūriyat al-khams). Thus, those basic needs are fulfilled for the sake of maintaining religion, soul, mind, lineage and human property. To achieve these objectives, some steps need to be taken in implementing Islamic economics, namely, reviving humanity factors, reducing wealth concentration, restructuring current economic, and restructuring current financial conditions. Keywords: Globalization, Restructuration. Islamic Economics, Maqāṣid Syarī'ah, Abstrak: Globalisasi ekonomi menjadi arus besar selama dua hingga tiga dasawarsa terakhir. Proses multi-dimensi yang menuntut konsistensi dan terintegrasi dengan seluruh bidang baik bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi. Dominasi globalisasi ekonomi begitu kuat terutama sejak disepakatinya General Agreement of Tariff and Trade (GATT) awal 1990an. Dengan mengklaim bertujuan mulia, Globalisasi Ekonomi tersebut sebenarnya ditopang oleh ideologi yang sering dianggap timpang, yakni [ 45 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. kapitalisme dan liberalisme. Kapitalisme sebagai ideologi pemenang dan berhasil melangkahi jasad sosialis-komunis tetap bukan ideologi ekonomi yang paripurna, keuntungan besar hanya berputar pada segelintir orang, sementara orang kebanyakan menjadi tumbal yang diperas sumber dayanya. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menghadirkan tawaran solusi problematika ekonomi global. Islam, dengan konsep ekonomi Syarī’ahnya hadir di saat yang tepat. Konsep ekonomi Islam menjadikan nilai moral agama menjadi parameter yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan ekonomi. Tujuan ekonomi Islam bukan semata pemuasan kebutuhan materialisme individu belaka tapi terciptanya kemaslahatan bersama tanpa merugikan pihak-pihak lain. Konsep ekonomi yang diajukan Islam adalah ekonomi yang bertujuan sesuai maqāṣid syarī’ah, yaitu memenuhi kelima maslahat pokok (al-ḍarūriyat al-khams) agar segala kebutuhan dasar terpenuhi, demi terpeliharanya keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat langkahlangkah strategis yang perlu ditempuh dalam menggerakkan ekonomi berbasis Islam, yaitu: menghidupkan faktor kemanusiaan, mengurangi konsentrasi kekayaan, restrukturisasi ekonomi, restrukturisasi keuangan. Kata Kunci: Globalisasi, Ekonomi Islam, Maqāṣid Syarī’ah, Restrukturisasi. A. Pendahuluan Meski Globalisasi Ekonomi dianggap fenomena baru, namun sebenarnya kerjasama ekonomi lintas negara telah terjadi sejak lama. Akhir abad ke-16 ketika terjadi kebangkitan maritim Eropa adalah dimulainya tahap globalisasi kedua yang disebut protoglobalisasi. Setidaknya dalam konteks Indonesia ditandai dengan kedatangan Kongsi Perdagangan Hindia Timur (VOC). Periode proto globalisasi ini bergulir hingga abad ke-18.1 Kemudian setelahnya merupakan globalisasi modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi yang oleh Chaubet sebut sebagai “Revolusi Komunikasi”, yakni dengan dimulai penemuan telegram, lalu telepon, seluler, hingga internet yang semakin memudahkan perpindahan dan pertukaran apapun.2 Namun globalisasi ekonomi tidak berangkat dari seting historis yang sejauh itu. Hanya dari masa globalisasi modern saja yang akan diulas dalam kajian ini. Globalisasi ekonomi sendiri baru menjadi arus besar selama dua hingga tiga daSAWarsa terakhir. Menguatnya globalisasi ekonomi terutama sejak disepakatinya General Agreementof Tariff and Trade (GATT) awal 1990-an. 1 Chaubet Francois, Globalisasi Budaya (Yogyakarta: Jalasutra, 2015), 1–20. 2 Francois, Globalisasi Budaya, 36-37. [ 46 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Globalisasi Ekonomi yang mengklaim bertujuan mulia tersebut sejatinya ditopang oleh ideologi yang sering dianggap timpang, yakni kapitalisme dan liberalisme. Kapitalisme sebagai ideologi pemenang dan berhasil melangkahi jasad sosialis-komunis tetap bukan ideologi ekonomi yang paripurna, keuntungan besar hanya berputar pada segelintir orang, sedang orang kebanyakan menjadi tumbal yang diperas sumber dayanya. Islam, dengan konsep ekonomi Syarī’ahnya hadir di saat yang tepat dan mendapat sambutan yang hangat dari khalayak. Seolah ekonomi Islam dianggap sebagai, setidaknya alternatif, jawaban bagi kerancuan Globalisasi Ekonomi. Menurut Patrick Buchanan, Islam diperhitungan sebagai suatu kekuatan alternatif yang dapat reshape (merubah bentuk) dan replace (menggantikan) Barat. Dengan alasan populasi umat Islam melonjak sementara populasi warga Barat menurun, muslim berbondong-bondong melakukan migrasi ke Eropa, saat ini semakin banyak muslim yang sangat bersemangat (militan), dan Islam mampu memberi jawaban yang jelas, tegas, dan relevan terhadap setiap pertanyaan umatnya. 3 Pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat sangat diperlukan untuk memproses dampak negarif dari globalisasi tersebut yang dapat merubah pola hidup ataupun budaya seseorang sehingga diperlukan nilai-nilai universal tentang toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lainnya.4 Namun apakah ekonomi syariah dengan ruh Islam memang lebih digdaya dibandingkan globalisasi ekonomi dengan ruh kapitalisme-liberalisme? Betulkah globalisasi ekonomi memang monster abad 21? Lantas bagaimana sikap Islam terhadap globalisasi ekonomi yang terlanjur akut menjangkiti semua negara di dunia? Berangkat dari kegelisahan-kegelisahan itulah, jenis penelitian pustaka dalam kajian ini disusun dengan menggunakan pendekatan maqasid syariah. 3 Patrick J, Buchanan, Will America Survive to 2025? Suicide of A Superpower, the Islamic Alternative, What Makes Islam a Candidate to Reshape and Replace the West? (United States: St. Martin’s Press, 2011), 83. 4 Sumitro, “Globalisasi Ekonomi Syariah di Indonesia dan Perannya terhadap UMKM,” Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis 6, No. 1 (2015), 20-23. [ 47 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. B. Pengertian dan Aktor Globalisasi Globalisasi sebagai sebuah istilah sudah didefinisikan dengan berbagai macam pendekatan dan perspektif. Menurut Nayef R.F. Al-Rodhan dan A. Gérard Stoudmann sudah sangat banyak definisi globalisasi yang beredar, lebih dari seratus definisi yang berbeda.5 Sementara Peter Dicken, meskipun sama-sama melihat globalisasi sebagai integrasi ekonomi bangsa-bangsa, munculnya pola saling ketergantungan yang semakin intens dari bangsa-bangsa pelaku ekonomi global menjadi perhatian utama Peter. Ia menyatakan bahwa globalisasi merupakan “The degree of interdependence and integration between national economies.”6 Charles Oman memberikan pandangan yang lebih kompleks. Ia melihat globalisasi sebagai pertumbuhan sangat cepat dalam berbagai ekspresi seperti transaksi barang dan jasa, hak kepemilikan, perdagangan dan investasi. 7 Dari sekian definisi tersebut, banyak diantaranya yang dihasilkan dari sudut pandang ekonomi sehingga mencipta kesan bahwa globalisasi selalu identik dengan ekonomi, di samping ideologi dan budaya. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dan tidak pula generalisasi, tulisan ini lebih menitikberatkan globalisasi terutama pada sektor ekonomi, sehingga disebut sebagai Globalisasi Ekonomi. Dimensi ini dipilih dengan mempertimbangkan banyaknya pengakuan para ahli tentang lekatnya globalisasi dengan gerak laju ekonomi. Aktor globalisasi ekonomi sejatinya bukan hanya dari kalangan pebisnis dan ekonom, namun lebih luas lagi. Jika mengadopsi definisi globalisasi dari UNESCO, maka tidak disangkal bahwa globalisasi ekonomi merupakan perpaduan antara ekonomi dan politik internasional (international political economy).8 Hal ini tidak lain karena globalisasi bukan semata-mata ekonomi, namun di dalamnya juga menyimpan ideologi politik internasional, kapitalisme dan liberalisme terutama Nayef R.F. Al-Rodhan dan A. Gérard Stoudmann, Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition, Paper of Program on the Geopolitical Implications of Globalization and Transnational Security, Juni 16, 2006. 6 Dicken Peter, Global Shift: The Internationalization of Economic Activity (London: Guilford Press, 1992), 38. 7 Oman Charles, “The Policy Challenges of Globalisation and Regionalisation," OECD Development Centre, no. 11, 1996, 5. 8 Cultural Organization (UNESCO), “MOST Annual Report 2001,” 2001, http://www.unesco.org/most/most ar part1c.pdf. 5 [ 48 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. sejak tumbangnya kekuatan ‘merah’ Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Madjid Tehranian secara spesifik menyebutkan hal tersebut, termasuk aktor-aktor utama yang dianggap penggerak utama globalisasi bernuansa ekonomi kapitalis tersebut. Menurut Tehranian, aktor utama globalisasi adalah perusahaan-perusahaan internasional (TNC), organisasi-organisasi media internasional (TMC), organisasi pemerintah internasional (IGO), Lembaga swadaya masyarakat (NGO), dan organisasi alternatif pemerintah (AGO). “Globalization is a process that has been going on for the past 5000 years, but it has significantly accelerated since the demise of the Soviet Union in 1991. Elements of globalization include transborder capital, labor, management, news, images, and data flows. The main engines of globalization are The Transnational Corporations (TNCs), Transnational Media Organizations (TMCs), Intergovernmental Organizations (IGOs), Nongovernmental Organizations (NGOs), and Alternative Government Organizations (AGOs).”9 Meskipun globalisasi digadang-gadang sebagai era masa depan, sejatinya hanya merupakan salah satu fase dari perjalanan panjang kapitalisme liberal yang secara teoretis telah dikembangkan sejak Adam Smith. Janji pertumbuhan ekonomi glonal dan kemakmuran global hanyalah bungkus baru bagi imperialisme dan kolonialisme. Setidaknya sejak 1994 dengan munculnya General Agreement on Tariff and Trade (GATT), upaya globalisasi ekonomi yang terstruktur mulai bergulir. Posisi GATT kemudian diambil oleh dengan didirikannya World Trade Organization (WTO). Di bawahnya, ada “anak-anak” semacam WTO dengan jangkauan lebih kecil seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA), Asia Pacific Economic Conference (APEC), bahkan yang lebih kecil lagi seperti BIMPEAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia and Philiphines East Growth Triangle) dan SIJORI (Singapura, Johor, Riau).10 Majid Tehranian, “Globalization Texts, Concepts and Terms”, University of Hawaii, compiled by Fred W. Riggs,” t.t., http://www2.hawaii.edu/~fredr/glotexts.htm#TEHRANIAN. 10 Fakih Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2013), 211. 9 [ 49 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. C. Sikap Islam terhadap Globalisasi Islam Di berbagai negara, reformasi muncul karena keterbukaan informasi yang mereka dapatkan dari internet. Dengan teknologi informasi masyarakat hampir di seluruh dunia diuntungkan dengan mudahnya komunikasi dan bertukar berita, saling berhubungan, dan juga membangun apa yang disebut sebagai “solidaritas dunia maya (netizen).11 Agama apapun sebenarnya kesulitan jika harus bersikap menolak globalisasi, sebab globalisasi sudah menyusup ke dalam hampir semua kehidupan manusia. Meskipun agama termasuk kekuatan yang paling resisten terhadap globalisasi namun faktanya umat beragama tetap menikmati buah-buah globalisasi dan modernitas yang dibawanya. Setidaknya pada aspek teknologi. Teknologi sendiri juga merupakan buah dari globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, globalisasi ekonomi tetap tidak disangkal pengaruhnya bagi umat beragama. Sebelum secara spesifik melihat sikap Islam, tidak ada buruknya untuk sejenak menilik bagaimana sikap agama secara umum dalam merespon globalisasi. Adalah David Lehmann yang memetakan dua kecenderungan pola sikap agama terhadap globalisasi. Pola pertama disebut global pattern dan yang kedua disebut cosmopolitan pattern.12 Pola pertama merujuk pada budaya dan gerakan keagamaan yang menjalin persamaan dan rasa saling memiliki secara lintas negara namun tetap memberlakukan batasan yang ketat antara pengikut dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, mereka adalah kelompok yang monolitik dan eksklusif secara doktrin, namun heterogen secara etnis karena mewadahi pengikut dari ras manapun dan bangsa manapun. Global pattern sangat mengutamakan keutuhan doktrin, kekuatan ortodoksi, fanatisme golongan, dan apapun yang menjaga kemurnian ideology gerakan. Sementara aspek luaran seperti ras atau etnis anggota, bahasa, peralatan teknologi dan informasi, media, dan sebagainya dibiarkan lentur mengikuti perkembangan modernitas global. Adapun pola yang kedua merujuk pada kemampuan membawa suatu tradisi keagamaan kedalam kelompokbarudengan seting sosial yang baru pula 11 Retna Dwi Estuningtyas, “Dampak Globalisasi pada Politik, Ekonomi, Cara Berfikir dan Ideologi serta Tantangan Dakwahnya” Al-Munzir 11, no. 2 (2018). 12 Lehmann David, Religion and Globalization”. In Paul Fletcher, Hiroko Kawanami & David Smith, Religions in the Modern World. Tradition & Transformation (London, 2004), 23. [ 50 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. bahkan kemampuan untuk terlepas (disembed) dari asalnya. Dengan lain kata, pola cosmopolitan mampu mengejawantahkan agama dalam bentuk baru yang lebih kontekstual dengan tempat baru di mana ia berada. Pola ini tampak mensyaratkan kemampuan heterodoksi, akulturasi, dan bentuk-bentuk akomodasi lain. Sementara cara-cara konservatif, fundamentalis, dan purifikasi agak dikesampingkan. 13 Dalam sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW, globalisasi sebenarnya sudah terjadi, saat itu sudah menjadi hal yang biasa ketika Nabi maupun para sahabat melakukan perniagaan ke luar negeri seperti ke Mesir, Syam, Irak, Yunani, Turki, dan Spanyol.14 Salah satu bukti yang memperkuat sejarah tersebut yakni di dalam Alquran terdapat banyak ayat-ayat yang relevan dengan tema globalisasi, diantaranya: ‫اّللِا‬ ‫وبا َوقَبَائِ َالالِتَ َع َارفوااۚاإِ َّاناأَ ْكَرَمك ْاما ِعْن َادا َّا‬ ‫َاياأَيُّ َهااالنَّاسااإِ َّاّنا َخلَ ْقنَاك ْاما ِم ْاناذَ َكراا َوأنْثَىاا َو َج َع ْلنَاك ْاماشع ًا‬ ‫يما َخبِيا‬ ‫اّللَا َعلِ ا‬ ‫أَتْ َقاك ْاماۚاإِ َّانا َّا‬ Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13). ِ ِ ‫ك ا ِم ان االدُّنْياا اوأ‬ ِ ‫َّارا ْاْل ِخرَاةااوَال اتَ ْن ا‬ ‫كاا‬ ‫اّلل اإِلَْي َا‬ ‫َح َس َان ا َّا‬ ‫يما اآ ََت َاك ا َّا‬ ْ ‫َحس ْاناا َك َما اأ‬ ْ َ َ َ ‫س انَصيبَ َا‬ َ َ ‫اّللاالد َا‬ َ ‫َوابْتَ ِاغ اف‬ َ ‫باالْم ْف ِس ِد َا‬ ‫ين‬ ‫اّللَاَالا ُِي ُّا‬ ‫ضااإِ َّانا َّا‬ ‫فا ْاْل َْر ِا‬ ‫اداِ ا‬ ‫َوَالاتَ ْب ِاغاالَْف َس َا‬ Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qasas [28]: 77). Mengacu pada pola sikap tersebut, dalam menghadapi globalisasi ekonomi umat Islam tidak harus mengganti semua aspek dari globalisasi ekonomi dengan hal-hal yang sama sekali baru dan otentik dari Islam. Umat Islam hanya perlu menunggangi sistem yang sudah ada namun sambil mewarnainya dengan 13 Wiranto Erham Budi, “Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama: Sebuah Tantangan untuk Pemuda,” Konferensi Pemuda Nusantara untuk Perdamaian Indonesia, Surakarta, 28 Oktober 2015), 3. 14 Zaroni, Akhmad Nur, “Globalisasi Ekonomi dan Implikasinya bagi Negara-Negara Berkembang: Telaah Pendekatan Ekonomi Islam,” Al-Tijary 1, no. 1 (2015). [ 51 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. khazanah keislaman. Dengan demikian, Islam tidak perlu bersikap konfliktual atau pertentangan sempurna terhadap globalisasi ekonomi, namun hanya perlu masuk dan mengubah beberapa prinsip yang sejauh ini tidak menjadi perhatian. D. Konsep Maqāṣid Syarī’ah dalam Pembangunan Ekonomi di Era Global 1. Landasan Ekonomi Islam di Era Globalisasi Islam mengatur kehidupan umat, membimbing dan menuntun manusia dalam berupaya mencari dan mengelola perekonomian, untuk mencapai tujuan utama, yaitu kemaslahatan fi ad-dunya wa al-akhirah. Terdapat empat pondasi filosofi pembangunan ekonomi yang menurut Ahmad diserapkan dari ajaran pokok Islam.15 yaitu: a. Tauhid, meletakkan dasar hubungan Allah SWT dengan manusia (habl min Allah), dan manusia terhadap manusia lainya (habl min an-nas) sebagai landasan ekonomi; b. Rububiyah, mengenal dan memahami dasar hukum Allah, dan selanjutnya menjadikannya sebagai barometer pembangunan ekonomi yang bernafaskan Islam. Konsep rububiyah berarti meyakini bahwa Allah sebagai penguasa tunggal yang menciptakan peraturan, memelihara, menjaga dan mengarahkan kehidupan seluruh makhluk ke arah kesempurnaan. c. Khalifah, menunjukkan kedudukan dan peran manusia sebagai wakil Allah di muka bumi, dan tanggungjawab sebagai Muslim dan anggota dari umat manusia. Konsep khilafah menempatkan manusia selaku khalifah yang bertanggung jawab sebagai pelaksana amanah Allah di seluruh bidang kehidupan, baik bidang akhlak, ekonomi, politik, sosial, ideologi dan prinsip organisasi sosial. Dari konsep ini lahirlah pengertian tentang perwalian, norma, politik, serta prinsip organisasi sosial lainnya; d. Tazkiyah, misi utama utusan Allah SWT untuk menyucikan manusia agar mampu menjalin hubungannya dengan Allah SWT, sesamanya, alam lingkungannya, masyarakat dan negara. Konsep ini menuntun manusia membangun dirinya sendiri, dan dapat membangunkan semua dimensi 15 Ahmad Khurshid, Economic Development in an Islamic Framework”, dalam Studies Islamic in Economics (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1976), 178. [ 52 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. kehidupan, termasuk dimensi ekonomi. Hasil akhirnya adalah falāḥ, yaitu kesejahteraan kehidupan di dunia dan akhirat. 16 Dari empat hal tersebut, para ahli ushul fiqh menimpulkan bahwa tujuan adanya hukum dan aturan ialah maslahah. Pada dasarnya sasaran dari pembangunan ekonomi harus sesuai dengan konsep mashlahah. Begitu pula dari sudut maqasid al-mukallaf, maqasid asy-syariah paling tidak harus memuat dua aspek pula, yaitu: Pertama, pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan keabsolutannya. Kedua, pembahasan dimensi kebahasaan dari problem taklif yang terkadang diabaikan. Suatu perintah yang bersifat wajib harus mampu dimengerti dengan mudah oleh semua pihak, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman kebahasaan, konteks dan kebudayaan.17 Secara substansial Maqāṣid as-Syarī’ah yang paling utama adalah kemashlahatan, baik ditinjau dari Maqāṣid Syari’ (tujuan Tuhan)18 maupun Maqāṣid al-mukallaf (tujuan mukallaf). 2. Tujuan Ekonomi Menurut Islam Islam memperhatikan betapa pentingnya distribusi pendapatan dan kekayaan secara adil dan merata. Bahkan Islam menyediakan instrumen filantropis khusus untuk mendistribusikan kekayaan melalui zakat, infak dan shodaqah, agar tumbuh empati, peduli, dan saling membantu antara sesama dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok. Hal inilah yang sangat membedakan konsep ekonomi Islam dengan ideologi ekonomi lain. Islam memiliki konsep ekonomi yang sebetulnya mirip kapitalis dalam arti bahwa manusia boleh mengejar keuntungan dan kekayaan, namun juga mirip sosialis yang menekankan pemerataan sebab Islam memiliki jalur filantropis yang jelas, yaitu zakat yang sifatnya wajib serta shadaqah dan sebagainya yang sifatnya sunnah. Dengan demikian, Islam mampu berada di tengah di antara dua kutub 16 Chapra M Umar., The Islamic Vision of Development in the Light of Maqāṣid Al Syarī’ah (Jeddah: IDB, 2008). 17 Mohamad Anang Firdaus, “Maqāṣid Asy-Syarī’ah: Kajian Mashlahah Pendidikan dalam Konteks UN Sustainable Development Goals,” JRTIE 1, no. 1 (t.t.): 2018, https://doi.org/10.24260/jrtie.v1i1.1068. 18 Muhammad Syaifullah, “Pendekatan Sistem Terhadap Hukum Islam Perspektif Jasser Auda,” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam 3, no. 2 (2018): 224. [ 53 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. ekstrim tersebut. Menurut Afar, pembangunan itu bertujuan mewujudkan segala sesuatu yang dikehendaki dalam maqāṣid syarī’ah, sebagai hak-hak paling mendasar bagi tiap individu, yaitu kelima maslahat pokok (al-ḍarūriyat al-khams) berupa segala kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, demi terpeliharanya keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia.19 Selain itu, pembangunan juga diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan, dan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Strategi dan model pembangunan yang diterapkan negara Muslim harus sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan harus menghindari pertentangan antara sasaran dan cara pembangunan yang diimplementasikan. 20 Tujuan utama pembangunan ekonomi ialah terwujudnya keadilan distribusi, berarti tercapainya target minimal pembangunan dalam memenuhi hak paling mendasar yaitu kebutuhan individu masyarakat, sebagai jaminan pemeliharaan maqāṣid syarī’ah. Tujuan utama dari Syarī’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang terletak pada pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan dan kekayaan. Setiap langkah untuk melindungi kelima unsur pokok tersebut dianjurkan, dan sebaliknya segala sesuatu yang memiliki potensi merugikan harus ditiadakan. Kebutuhan dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu ḍarūrīyat, ḥajiyyat dan taḥsīnīyyat. Ḍarūrīyat adalah merupakan keharusan menjaga dan mewujudkan kelima unsur pokok kehidupan manusia untuk mewujudkan kebahagian hidup manusia di dunia dan akhirat. Sementara ḥajiyyat adalah bertujuan untuk membantu memudahkan dan meringankan kehidupan, menghilangkan kerepotan, dan memelihara kelima unsur pokok kehidupan manusia lebih baik. Sedangkan taḥsīnīyyat adalah agar manusia mampu mencapai yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan kelima unsur pokok, sebagai pelengkap, dan penghias kehidupan. Adapun kebutuhan pokok adalah jenis dan tingkat kebutuhan minimal yang menjadi hak setiap individu, teridentifikasi dari maqāṣid syarī’ah pada tingkat pertama, yakni al-ḍarūrīyat al-khams. Kebutuhan 19 Muhammad Lutfi Hakim, “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syarī’ah: Dari Klasik Sampai Kontemporer,” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 10, no. 1 (22 Februari 2017): 4, https://doi.org/10.24090/mnh.v10i1.913. 20 Umar, The Islamic Vision……, 5. [ 54 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. ekonomi pada skala ḍarūrīyat adalah segala barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dasar yang harus selalu tercukupi, sebagai penentu bagi eksistensi kehidupan manusia, agar tetap mampu melaksanakan kewajiban dan tugas sebagai khalifah di bumi. Dalam konteks prioritas pembangunan ekonomi yang sejalan dengan maqāṣid syarī’ah, maka perhatian utama ditujukan pada sektor produksi baik barang maupun jasa terutama yang terkait dengan pemenuhan hak pokok kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebutuhan ḍarūrīyat sebagai hak dasar untuk pemeliharaan agama, nyawa, akal, keturunan dan harta, yaitu: (1) produksi makanan pokok diambilkan langsung dari hasil pertanian dan industri, termasuk kebutuhan untuk pengembangan produksi; (2) penyediaan air bersih yang layak sebagai sarana umum yang memadai untuk memelihara kesehatan; (3) peningkatan mutu pendidikan, penguatan aqidah, akhlak dan sosialisasi norma –norma yang berlaku di masyarakat; (4) produksi pakaian layak dan terjangkau untuk melindungi tubuh dari panas matahari dan dingin, perlindungan dari berbagai keadaan bencana alam dan lingkungan; (5) permukiman yang sehat yang memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman, dan bisa menjaga keselamatan masyarakat dan keluarga; (6) sarana transportasi dan komunikasi yang menunjang pelaksanaan kewajiban terhadap keluarga, sanak saudara dan masyarakat; (7) pengawasan peradilan agar terwujud masyarakat yang harmonis; (8) penjaminan keamanan dengan penjagaan dan penjaminan kelangsungan segala aktivitas masyarakat. Islam membebankan tanggung jawab kepada ulil amri (pemerintah) untuk memenuhi hak dasar kebutuhan ekonomi setiap individu warga masyarakat. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa “Tugas pemimpin masyarakat, untuk membebaskan dari kelaparan, menutup aurat dengan pakaian, serta mencukupi lapangan kerja bagi mereka”. Dalam hal tangggung jawab negara dalam pemerataan distribusi kekayaan, dalam suatu riwayat Umar bin Khattab pernah menolak pendistribusian tanah di Irak yang baru dibuka, untuk diberikan kepada anggota pasukan Islam, akan tetapi beliau [ 55 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. memutuskan untuk menjadikan tanah tersebut tetap sebagai milik negara.21 Tujuan ekonomi dalam Islam bukan hanya pemenuhan materi individu belaka, tapi jauh yang lebih utama yaitu terciptanya kesejahteraan (kemaslahatan) bersama tanpa merugikan pihak lain. Aktivitas ekonomi mengedepankan keadilan dan persaudaraan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi individu, dan nilai moral agama tidak boleh lepas dalam aktivitas ekonomi umat manusia. Menurut Rahardjo, ekonomi Islam memiliki tiga pemaknaan. Pertama, sebagai ilmu ekonomi yang berdasarkan pada nilai ajaran Islam. Kedua, sebuah sistem yang berfungsi mengatur kegiatan ekonomi, dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara dan metode tertentu. Ketiga, dalam arti perekonomian umat Islam.22 Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi Islam terdiri dari tujuan yang bersifat pemerataan dan pemenuhan ekonomi yang berlandaskan asas kemanusiaan. Pertama, mewujudkan kemakmuran ekonomi bagi masyarakat dan individu dengan pemanfaatan sumber daya, dan kedua, memanfaatkan kemajuan ekonomi untuk kepentingan, sebagai khalifah, menyebarkan nilai-nilai Islam, untuk tujuan kedamaian dan keadilan. 3. Road Map dalam Membangun Ekonomi Islam Ekonomi Islam lahir dari rahim agama dan harus bergerak dalam arus globalisasi yang lahir dari rahim sekuler Barat. Tidaklah mudah untuk konsisten dalam prinsip-prinsip dasar Syarī’ah ketika membangun ekonomi di konteks globalisasi saat ini. Meski demikian, sangatlah penting untuk memiliki langkah terencana dalam menerapkan ekonomi Islam dan menghindari jebakan globalisasi ekonomi. Chapra menegaskan kepada negara-negara Muslim untuk meninggalakn pendekatan pembangunan ekonomi sekuler karena menurutnya ekonomi sekuler tidak konsisten,23 lalu ia memberikan solusinya yaitu formulasi kembali kebijakan dalam rangka pendekatan Islam yang integral. 21 Al-Haritsi Jaribah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umer bin Al-Khattab (Jakarta: Khalifah, 2003), 229. 22 Rahardjo M. Dawam, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999), 3-4. 23 Haneef Mohamed Aslam, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, salah satu buku yang dipilih adalah The Making of The Islamic Economy (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 19. [ 56 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Maeskipun syari’at Islam memberikan aturan-aturan pokok mengenai strategi dasar, namun dibolehkan fleksibilitas dengan pengembangan kebijakan yang sesuai dengan ruang dan waktu. Boleh juga melihat pengalaman negara lain dalam upaya penerapan kebijakan strategis yang spesifik. Kebijakan pembangunan ekonomi yang berasal dari pengalaman negara sekuler harus memenuhi dua kriteria.24 Pertama, kebijakan harus membantu nyata terhadap tercapainya maqāṣid syarī’ah dan tidak bertentangan dengan syariat, dan kedua, kebijakan itu tidak bertujuan kepada peningkatan klaim terhadap sumber daya. Untuk merealisasikan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan, maka menurut Umar Chapra perlu melakukan lima kebijakan utama.25 Pertama, menghidupkan faktor kemanusiaan. Manusia adalah unsur pokok dari setiap program pembangunan. Untuk menghidupkan faktor kemanusiaan adalah dengan menyadarakan dan memberikan motivasi kepada mereka, bahwa pentingnya peran setiap elemen masyarakat terhadap pembangungan ekonomi. Mereka diajak bersama-sama untuk melakukan apa saja yang dibutuhkan untuk kepentingan pembangunan yang merata, individu harus mau berkontribusi engan bekerja keras dan efisien, disertai dengan integritas, kejujuran, dan disiplin, melalui pendidikan dan pelatihan. Mereka dibekali kemampuan di bidang IPTEK, manejemen, dan akses keuangan. Kedua, mengurangi konsentrasi kekayaan. Hambatan serius bagi pembangunan yang berkeadilan adalah terpusatnya kepemilikan sumber daya ekonomi. Pemecahan konsentrasi kepemilikan kekayaan dari segelintir orang menjadi perhatian khusus dalam Islam. Sehingga perlu dilakukan tindakantindakan yang ekstrim dan berani berlandaskan nilai-nilai Islam, demi pemerataan. Sesuai dengan ayat Alquran Surat Al-Hasyr ayat 7: ‫ياَاوٱبا ِانا‬ ‫س ِك ِا‬ ‫باَاوٱلايَاتَ َمىااَاوٱلا َم َا‬ ‫ولا َولِ ِذياٱلاقارَا‬ ‫ّللا َعلَ اىا َرسولِِاهۦا ِمنااأَها ِالاٱلاقَرىاافَلِلَّاِها َولِ َّلرس ِا‬ ‫َّمااأَفَا اءَااٱ َّا‬ ۚ ‫ي اٱ اْلَغانِيَا ِاء ا ِمنك ام ا َوَما اءَاتَىاكما اٱ َّلرسولا افَخذوها ا َوَما ا ََنَىاكما ا َعنااها‬ ‫يلا َكيا اَال ايَكو َان ادولَاةَ ابَ َا‬ ‫لسبِ ِا‬ َّ ‫ٱ‬ ۚ ‫ابا ا‬ ‫ّللَا َش ِديدااٱلاعِ َق ِا‬ ‫ّللَاإِ َّاناٱ َّا‬ ‫افَٱنتَ هواْاَاوٱتَّقواْاٱ َّا‬ 24 Aslam, Pemikiran Ekonomi……, 84. 25 Umar, The Islamic Vision……, 269-364. [ 57 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah SWT kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Mekah adalah untuk Allah SWT, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-Hasyr: 7) Strategi untuk menciptakan pemerataan dalam Islam berbeda dengan sosialisme, dengan menghapus kepemilikan individu akan mengakibatkan penurunan semangat kreatifitas, inisiatif dan produktifitas melalui kepemilikan kolektivitas dan sentralisasi. Sedangkan strategi dalam ajaran Islam sesuai dengan maqāṣid syarī’ah, seperti pemerataan sistem kepemilikan, pemecahan pusat kepemilikan kekayaan, penguatan dan perhatian terhadap industri kecil, dan pengawasan terhadap perusahaan besar, digiatkannya zakat, dan restrukturisasi sistem keuangan. Ketiga, restrukturisasi ekonomi. Realokasi sumber daya dalam rangka mengurangi konsentrasi kekayaan, agar terwujud pembangunan ekonomi yang merata harus disertai usaha menata kembali perekonomian yang meliputi konsumsi, keuangan publik, formasi kapital dan produksi.26 Konsumsi merupakan rutin yang menentukan perekonomian, oleh karena itu kesalahan pandangan terhadap cara konsumsi masyarakat akan berakibat fatal terhadap kondisi makro ekonomi. Pola konsumsi harus melalui penyaringan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan harus seirama dengan sumber-sumber daya yang tersedia . Perlu adanya filter moral dalam gaya konsumsi dengan memperhatikan aspek prioritas, bukan nafsu syahwat. Nilai-nilai Islam yang diutama adalah tingkat kegunaan dalam pemenuhan kebutuhan. Konsumsi yang tidak terkontrol, terlebih lagi pada barang-barang mewah dan mahal akan berdampak pada turunnya tabungan domestik, dan selanjutnya menurunkan tingkat investasi. Keempat, restrukturisasi keuangan. Kurangnya akses kapada sumber daya ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab kemisikinan. Selain itu, hal tersebut juga dikarenakan ketidakmampuan yang cukup untuk berwirausaha, pemberian upah yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar, apalagi harus 26 Umar, The Islamic Vision……, 110. [ 58 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. menabung dan investasi. Deposito itu berasal dari masyarakat, maka sangat wajar apabila harus disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan sekelompok orang saja. Sistem keuangan memiliki peran utama dalam perekonomian, khususnya dalam menghubungkan antara investor dengan sektor usaha, sehingga diperlukan sebuah sistem keuangan yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bank- bank konvensional yang menjadi pengelola dana masyarakat harus diarahkan untuk berpihak kepada sektor industri rakyat, dengan sistem yang lebih manusiawi dan dihilangkannya sistem bunga, yang selama ini telah menjadikan kaya raya para pemilik modal. Kelima, perencanaan kebijakan strategis. Upaya mewujudkan tujuan Syarī’ah Islam dalam pembangunan ekonomi yang merata tidak akan mudah tercapai jika tanpa adanya perencanaan yang strategis dalam jangka panjang. Dengan perencanaan tersebut, para pemangku jabatan khususnya dalam bidang perekonomian negara mampu lebih mudah menentukan suatu perhitungan yang realistis tentang segala sumber daya manusia yang tersedia, serta untuk menciptakan langkah-langkah prioritas yang ditentukan secara matang. Langkah pemerintah dalam mengambil kebijakan menjadi lebih jelas arah dan tujuannya. Hal ini juga dapat memicu ide-ide baru dan diwujudkan dalam tindakan yang efektif efisien untuk melakukan perubahan-perubahan struktural dan kelembagaan. Chapra berpendapat bahwa seharusnya negara-negara muslim beruapaya sekuat tenaga untuk menetralkan semua klaim terhadap sumber daya dengan filter nilai-nilai Islam. Sektor swasta harus diberi dukungan dan motivasi dengan memberikan bantuan baik secara moral maupun finansial. Selain itu, juga digalakkannya kembali konsumsi sumber daya dengan efisien dan tepat guna dalam rangka mewujudkan tujuan maqāṣid syarī’ah. Perubahan kebijakan hendaknya tidak dilakukan terlalu sering, karena dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian para pelaku usaha ekonomi. Meskipun demikian, evaluasi terhadap ketidaktsesuaian kebijakan yang telah dibuat dalam perencanaan harus berani dan mau dikoreksi tanpa penundaan yang mencurigakan. Potensi sumber daya yang tersedia di tiap-tiap negara Muslim tentunya berbeda, maka meskipun suatu kebijakan strateginya sama, [ 59 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. maka akan muncul perbedaan dalam detail rinciannya. Lalu, apa yang akan menjadi pemersatu kebijakan strategis ini merupakan fakta bahwa segala kebijakan ini akan diorientasikan untuk mencapai tujuan sosio-ekonomi syariah.27 Pengembangan ekonomi Islam selanjutnya, selain perlu belajar dari pengalaman keberhasilan dan kelemahan ekonomi konvensional, perlu juga menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan waktu dan tempat, agar betul-betul mampu merealisasikan ekonomi Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam berbagai aspeknya. 28 E. Penutup Berdasarkan kajian yang sudah dilaksanakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: Pertama, globalisasi ekonomi merupakan pertumbuhan sangat cepat dalam transaksi barang dan jasa, hak kepemilikan, perdagangan dan investasi, dan aktivitas ekonomi lainnya baik di ranah makro dan mikro. Globalisasi Ekonomi sarat dengan ideologi liberalisme dan kapitalisme dengan pelaku utama sektor swasta yaitu perusahaan transnasional. Sedangkan karakter dari globalisasi ekonomi sendiri adalah internasionalisasi produksi, model pembagian kerja baru secara internasional, migrasi baru dari kawasan selatan ke utara, terciptanya lingkungan kompetitif yang mempercepat proses, dan menginternasionalnya bangsa-bangsa untuk menjadi agen global. Kedua, globalisasi ekonomi menuai kritik, muncul anggapan bahwa globalisasi ekonomi merupakan bentuk baru dari kolonialisme dan imperialisme. Selain itu globalisasi ekonomi juga dianggap sebagai pepesan kosong (globaloney) karena tidak mampu memenuhi janji-janji yang digaungkan terutama dalam hal pemerataan keadilan distributif bagi kesejahteraan masyarakat. Hal itu tidak lain karena dimenasi moral telah ditepikan oleh sains Barat tempat lahirnya ekonomi liberal yang merupakan ideologi globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, kritik Islam terhadap globalisasi ekonomi terfokus pada dimensi moral dan tujuan ekonomi itu sendiri. Tujuan ekonomi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik individu belaka tapi terciptanya kesejahteraan (kemaslahatan) bersama tanpa merugikan pihak27 Umar, The Islamic Vision……, 109. 28 Kholis Nur, “Masa Depan Ekonomi Islam dalam Arus Trend Ekonomi Era Global,” Unisia 31, no. 68 (2008), https://doi.org/10.20885/unisia.vol31.iss68.art5. [ 60 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. pihak lain. Aktivitas ekonomi mengutamakan aspek keadilan dan ukhuwwah dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi individu, dan nilai-nilai agama tidak boleh terlepas dari aktivitas ekonomi. Kritik tersebut diikuti sikap Islam untuk menunggangi globalisasi dan mengubahnya menjadi lebih humanis serta tidak bertentangan dengan keimanan. Ketiga, konsep ekonomi yang diajukan Islam adalah ekonomi yang bertujuan sesuai maqāṣid syarī’ah, yaitu memenuhi kelima maslahat pokok (alḍarūriyat al-khams) agar segala kebutuhan dasar terpenuhi, demi terpeliharanya keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menggerakkan ekonomi berbasis Islam, yaitu: menghidupkan faktor kemanusiaan, mengurangi konsentrasi kekayaan, restrukturisasi ekonomi, restrukturisasi keuangan. Semua langkah tersebut harus dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Al-Haritsi Jaribah bin. Fikih Ekonomi Umer bin Al-Khattab. Jakarta: Khalifah, 2003. Al-Rodhan, Nayef R. F. dan A. Gérard Stoudmann. “Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition," Paper of Program on the Geopolitical Implications of Globalization and Transnational Security, 2006. Aslam, Haneef Mohamed. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, salah satu buku yang dipilih adalah The Making of The Islamic Economy. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Budi, Wiranto Erham. “Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama: Sebuah Tantangan untuk Pemuda.” dipresentasikan pada Konferensi Pemuda Nusantara Untuk Perdamaian Indonesia, Surakarta, 28 Oktober 2015. Charles, Oman. “The Policy Challenges of Globalisation and Regionalisation.” dipresentasikan pada OECD Development Centre, Policy Brief, 1996. [ 61 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Cultural Organization (UNESCO). “MOST Annual Report 2001,” 2001. http://www.unesco.org/most/most ar part1c.pdf. David, Lehmann. Religion and Globalization”. In Paul Fletcher, Hiroko Kawanami & David Smith, Religions in the Modern World. Tradition & Transformation. London, 2004. Dawam, Rahardjo M. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Jakarta: LSAF, 1999. Estuningtyas, Retna Dwi. “Dampak Globalisasi pada Politik, Ekonomi, Cara Berfikir dan Ideologi serta Tantangan Dakwahnya.” Al-Munzir 11, no. 2 (2018). Firdaus, Mohamad Anang. “Maqāṣid Asy-Syarī’ah: Kajian Mashlahah Pendidikan dalam Konteks UN Sustainable Development Goals.” JRTIE 1, no. 1 (t.t.): 2018. https://doi.org/10.24260/jrtie.v1i1.1068. Francois, Chaubet. Globalisasi Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2015. Hakim, Muhammad Lutfi. “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syarī’ah: Dari Klasik Sampai Kontemporer.” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 10, no. 1 (22 Februari 2017): 1–16. https://doi.org/10.24090/mnh.v10i1.913. Khurshid, Ahmad. Economic Development in an Islamic Framework”, dalam Studies Islamic in Economics. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1976. Mansour, Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2013. Nur, Kholis. “Masa Depan Ekonomi Islam dalam Arus Trend Ekonomi Era Global” Vol 31. No 68 (2008). https://doi.org/10.20885/unisia.vol31.iss68.art5. Patrick J, Buchanan. Will America Survive to 2025 ? Suicide of A Superpower, The Islamic Alternative, What makes Islam a candidate to reshape and replace the West? United States: St. Martin’s Press, 2011. Peter, Dicken. Global Shift: The Internationalization of Economic Activity. London: Guilford Press, 1992. Sumitro. “Globalisasi Ekonomi Syariah di Indonesia dan perannya terhadap UMKM.” Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis 6, No. 1 (2015). [ 62 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 1, 2020. Syaifullah, Muhammad. “Pendekatan Sistem terhadap Hukum Islam Perspektif Jasser Auda.” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam 3, no. 2 (2018): 21. Tehranian, Majid. “Globalization Texts, Concepts and Terms”, University of Hawaii, compiled by Fred W. Riggs,” t.t. http://www2.hawaii.edu/~fredr/glotexts.htm#TEHRANIAN. Umar., Chapra M. The Islamic Vision of Development in the Light of Maqāṣid Al Syarī’ah. Jeddah: IDB, 2008. Zaroni, Akhmad Nur. “Globalisasi Ekonomi dan Implikasinya bagi Negara-Negara Berkembang : Telaah Pendekatan Ekonomi Islam,” Al-Tijary 1, no. 1 (2015). [ 63 ]