JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION ANALISIS KONSUMTIVISME IMPULSIF GENERASI Z BERDASARKAN TIPE PENGGUNANYA Jocelyne Natania Dharmawan1. Vanessa Josephin GwiA. Nathanael Valentino JohanA. Angelia Patricia SitumorangA . Yoseph KurniawanAA SMA Kristen Kalam Kudus Surabaya Jalan Kupang Jaya No. Kota Surabaya. Jawa Timur nataniadarmawan@gmail. com, gwievanessajosephine@gmail. 10022008@gmail. com, situmorangangelia@gmail. yosingganteng88@gmail. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meneliti terkait perilaku konsumtivisme pada generasi Z, dimana algoritma media sosial. keterlibatan influencer, dan fitur-fitur media sosial mendorong seseorang untuk melakukan tindakan konsumtivisme impulsif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan instrumen berupa kuesioner digital yang diisi oleh 60 responden. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 60% orang menggunakan instagram dan 40% orang menggunakan TikTok sebagai platform media sosial utama, serta mereka cenderung melakukan tindakan konsumtivisme impulsif yang tinggi, terutama mereka yang memiliki tipe pengguna pasif seperti pengamat, penggiat berbagi, dan penikmat. Jadi, melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin sering seseorang melakukan eksplorasi pada media sosial, mereka akan semakin memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku konsumtivisme impulsif. Kata Kunci: (Konsumtivisme. Impulsif. Generasi Z. Algoritma. Media Sosial. ABSTRACT This study aims to examine consumerism behavior in generation Z, where social media algorithms, influencer involvement, and social media features encourage a person to commit acts of impulsive consumerism. This research uses a quantitative approach with an instrument in the form of a digital questionnaire filled out by 60 The results of this study show that 60% of people use Instagram and 40% of people use TikTok as their main social media platforms, and they tend to commit high acts of impulsive consumerism, especially those who have passive user types such as observers, sharers, and enjoyers. So, through this study, it can be concluded that the more often a person explores social media, the more likely they are to engage in impulsive consumerism behavior. Keywords: ("Consumerism. Impulsive. Generation Z. Algorithms. Social Media") JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION PENDAHULUAN Konsumtivisme saat ini menjadi isu signifikan, dengan banyak generasi Z terjebak dalam pinjaman online, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Indonesia. Sri Mulyani dalam wawancaranya. Ia menjelaskan bahwa generasi Z saat ini menghadapi lebih banyak godaan dibandingkan zamannya, karena kemajuan teknologi yang memberikan akses informasi yang melimpah. Artinya Generasi Z dikelilingi oleh beragam informasi, berbeda dengan keadaan di masa lalu ketika akses terhadap informasi masih sangat terbatas (Titis dan Dita, 2. Menurut KataData . , pada Mei 2024, total pinjaman online mencapai Rp 25,4 triliun. Jadi, perkembangan teknologi dan kemudahan dalam akses informasi dapat mendorong munculnya perilaku konsumtivisme. Di era digital ini, pembelian barang dapat dilakukan hanya dengan sentuhan jari karena perkembangan teknologi. Namun, kemudahan akses ini dapat memicu konsumtivisme impulsif yang merupakan pola perilaku dimana individu membeli barang atau jasa secara tidak terencana dan sering kali dipicu oleh emosi, promosi, atau dorongan sosial. Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran yang berlebihan dan ketidakpuasan jangka panjang. Salah satu perkembangan teknologi adalah media sosial, perkembangan ini mempercepat penyebaran informasi, sehingga membuat orang-orang lebih mudah terpengaruh oleh iklan dan tren. Media sosial ini memiliki sistem algoritma yang dapat menyesuaikan berdasarkan tipe pengguna, seperti kesukaan pengguna, produk yang sering di cari, influencer yang diikuti, dan interaksi pengguna dengan suatu postingan. Data dari penelitian oleh Sarkar. , & Das. menunjukkan bahwa alasan Gen Z semakin mengutamakan belanja online adalah karena aspek kenyamanan, kecepatan, dan variasi produk yang lebih luas dibandingkan toko fisik. Selain itu, ulasan dari pengguna lain yang tersedia di platform e-commerce juga membuat mereka cenderung untuk melakukan aktivitas pembelian. Lalu, berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Widiyawati dkk. , mengatakan bahwa impulsivitas dalam belanja online terlihat dari tingginya penggunaan platform belanja digital, dengan 98% responden pernah berbelanja online. Responden yang sebagian besar berusia 19-25 tahun, yaitu kalangan pelajar atau mahasiswa, cenderung melakukan pembelian secara spontan tanpa perencanaan matang, mengindikasikan perilaku konsumtif. Generasi Z lahir antara 1995 hingga 2010, tumbuh dalam era teknologi dan media sosial, di mana platform seperti Instagram dan TikTok sangat mempengaruhi pola konsumsi mereka. Menurut Waworuntu dkk. alam Khairunnisa & Heriyadi, 2. , media sosial yang didesain sesuai usia mereka memicu perilaku konsumtif impulsif. Bhardwaj dkk. , menambahkan bahwa fitur visual seperti For You Page (FYP), serta iklan berbasis influencer pada platform ini menciptakan tekanan sosial dan rasa takut ketinggalan, yang mendorong keinginan untuk membeli barang secara impulsif. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION Hunaifi dkk. menyatakan bahwa peran influencer dalam pemasaran sangat besar, terutama karena Generasi Z mempercayai saran influencer, yang memperkuat dorongan konsumtif. Selain itu. Andini dan Yahfizham . menunjukkan bahwa algoritma pada TikTok dan Instagram menampilkan konten berdasarkan aktivitas pengguna, sehingga iklan produk yang relevan muncul tanpa harus dicari secara aktif. Hal ini memperkuat konsumtivisme impulsif. Secara keseluruhan, meskipun media sosial dapat mendorong perilaku konsumtif impulsif, jika digunakan dengan bijak, platform ini juga dapat membantu Generasi Z membuat keputusan konsumsi yang lebih cerdas. Penggunaan media sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan psikologis Generasi Z. Menurut Desiyani . alam Rajaguguk & Susanti, 2. , kemudahan akses dan sifat adiktif pada konten hiburan yang tersedia dalam media sosial disebut sebagai cheap dopamine content, karena memberikan kesenangan instan tetapi tidak bertahan lama. Ini memicu kelenjar dopamin di otak, yang menyebabkan perasaan kebahagiaan dan kepuasan sementara. Konten media sosial dapat memicu penggunanya meniru gaya hidup ideal, yang menyebabkan konsumsi impulsif, isolasi diri, serta masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi (Driana & Indrawati. Fitri, 2. Dengan fenomena konsumtivisme yang semakin berkembang di kalangan Generasi Z, maka kami akan melakukan penelitian tentang bagaimana algoritma platform media sosial seperti TikTok dan Instagram mempengaruhi perilaku konsumsi impulsif berdasarkan tipe pengguna, sekaligus menyoroti faktor-faktor psikologis yang membentuk penerimaan dan respons pengguna terhadap konten media sosial tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh personalisasi konten, keterlibatan influencer, dan fitur interaktif yang memanfaatkan algoritma media sosial dalam memperkuat dorongan konsumtif impulsif pada Generasi. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman mendalam mengenai mekanisme yang melandasi keterkaitan antara aktivitas pengguna dan penyesuaian algoritma terhadap preferensi individu. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademik tentang konsumtivisme impulsif digital, meningkatkan kesadaran akan resiko konsumtivisme impulsif, serta memberikan panduan bagi Generasi Z dalam mengelola kebiasaan konsumsi mereka. LANDASAN TEORI Andreas Kaplan dan Michael Haenlein berpendapat, bahwa media sosial adalah kumpulan aplikasi yang dibangun di atas fondasi idealis dan teknologi Web 2. 0 yang dibuat dengan berbasis internet yang memungkinkan untuk menciptakan dan saling bertukar nya konten yang telah dibuat oleh pengguna (Amelia & Yahfizham, 2. Menurut GlobalWebIndex . alam Zhang, 2. , dari sekian banyak pengguna media sosial, sebanyak 54% orang dari total pengguna media sosial, menggunakan media JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION sosial untuk melakukan penelitian terhadap suatu produk dan sebanyak 71% lebih orang cenderung menggunakan media sosial untuk membeli produk dan layanan berdasarkan referensi di media sosial. Pemasaran media sosial, mengacu pada jumlah aktivitas komunikasi pemasaran pada media sosial yang tersedia seperti tiktok dan juga instagram. Menurut data dari Statista, hingga Juli 2024. Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna Tik Tok terbesar, mencapai hampir 157,6 juta pengguna yang aktif di platform video sosial populer tersebut. Sementata itu, menurut data dari NapoleonCat, jumlah pengguna Instagram di Indonesia sampai dengan september 2024, mencapai 90. 200 orang. Dimana 54,2% diantaranya adalah perempuan dan 45,8% sisanya adalah laki-laki. Algoritma platform media sosial menganalisis perilaku pengguna, seperti interaksi dengan konten dan durasi waktu yang dihabiskan untuk menonton video atau melihat foto lalu menyajikan konten sesuai minat, termasuk iklan, yang meningkatkan peluang pembelian impulsif apalagi dengan menekankan keterbatasan waktu atau stok produk, pengguna dapat merasakan urgensi untuk membeli tanpa pertimbangan Tak hanya itu, media sosial juga memungkinkan pengguna untuk memposting konten visual yang menarik, seperti foto dan video berkualitas tinggi, yang dapat langsung menarik perhatian pengguna lain. Konten media sosial menekankan visual menarik atau yang cepat memikat perhatian, sehingga foto dan video berkualitas tinggi dapat meningkatkan keinginan beli. Oleh karena itu, dalam pemasaran via media sosial yang melibatkan influencer, didasarkan pada kepercayaan konsumen dengan postingan yang dibagikan para influencer. (Zak & Hasprova, 2. Penyebaran informasi via media sosial yang sangat cepat, memicu Information overload dan communication overload. Menurut Jacoby dkk. alam Pham dkk. Information overload didefinisikan sebagai kondisi yang disebabkan oleh jumlah besar informasi yang dihasilkan di SNS (Social Networking Servic. melebihi kapasitas pemrosesan individu. Berdasarkan studi pertama tentang dampak information overload, menemukan bahwa pencarian informasi lebih dari yang diperlukan mengurangi kinerja pengambilan keputusan. Sedangkan Communication Overload menurut Yu dkk. alam Pham dkk. , 2. adalah suatu keadaan yang tidak diinginkan yang muncul saat tuntutan untuk berkomunikasi dari berbagai teknologi informasi dan komunikasi seperti media sosial ataupun teknologi komunikasi dan informasi lainnya yang melebihi kemampuan pemrosesan pengguna. Ketika pengguna menerima terlalu banyak informasi dan merasa kewalahan, mereka cenderung khawatir ketinggalan momen atau pengalaman penting. Media sosial membuat mereka merasa perlu berinteraksi dan membeli secara impulsif agar tidak tertinggal. Media sosial memiliki fitur-fitur interaktif seperti polling, kuis pilihan ganda, dan video interaktif yang efektif dalam membangun komunikasi langsung antara pelanggan dan merek (Wibowo dkk. , 2. Dengan memanfaatkan fitur-fitur interaktif di media sosial, seperti komentar, halaman for you dan "duet" di TikTok dan Instagram, merek dapat membangun komunitas di sekitar produk mereka. (Amelia & JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION Yahfizham, 2. Fitur komentar memungkinkan pengguna berbagi pendapat dan pengalaman, sehingga dapat mempengaruhi keputusan pembelian orang lain. Fitur share atau berbagi digunakan menyebarkan konten menarik. Fitur duet memungkinkan pengguna berinteraksi langsung dengan konten merek atau pengguna Sedangkan fitur halaman For you dapat menampilkan konten disesuaikan berdasarkan minat pengguna, mendorong eksplorasi produk baru. Dengan demikian, media sosial berperan signifikan dalam meningkatkan perilaku impulsif penggunanya. Menurut Cormen . alam Andini & Yahfizham, 2. , algoritma merupakan suatu urutan, prosedur, mekanisme, atau instruksi komputasi yang jelas terdefinisikan, dimana ini akan menerima sejumlah nilai atau variabel sebagai inputnya dan akan menghasilkan sejumlah nilai atau variabel sebagai output. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa algoritma berfungsi sebagai mekanisme komputasi atau pemrograman yang mengubah input yang dimasukkan oleh pengguna menjadi suatu Algoritma merupakan bagian dari berbagai platform media sosial, dan media sosial sendiri adalah suatu sarana atau media yang digunakan individu untuk dapat berkomunikasi dengan lebih mudah. Algoritma dalam media sosial bekerja atau berfungsi dengan cara memberikan rekomendasi konten dalam bentuk apapun dengan mencocokkan pada minat dari penggunanya terhadap jenis atau tipe konten yang Semakin mirip suatu konten yang disajikan dengan minat dari pengguna, maka semakin besar juga peluang atau kemungkinan konten itu akan ditawarkan atau direkomendasikan pada pengguna. Menurut Zafarani dkk. alam Andini & Yahfizham, 2. , dengan semakin banyaknya jumlah data yang terkumpul mengenai minat dari pengguna, maka semakin besar pula kemungkinan konten sesuai preferensi akan direkomendasikan. Cara kerja algoritma media sosial melibatkan penginputan data dari pengguna, seperti data profil pengguna, data minat pengguna, dan topiktopik yang sedang tren atau viral, yang kemudian diproses untuk memberikan output berupa penyajian konten yang relevan atau sesuai dengan minat pengguna, konten ini bisa saja dalam bentuk gambar maupun video. Terdapat berbagai tipe pengguna media sosial berdasarkan cara mereka menggunakannya yang kemudian mempengaruhi algoritma media sosial, psikologis dan perilaku konsumtif mereka. Pengguna media sosial yang pasif, dikenal dengan istilah the lurkers atau pengamat. Lurkers adalah pengguna yang mengonsumsi konten secara pasif tanpa berpartisipasi secara aktif. Berbanding terbalik dengan Lurkers. Active user adalah pengguna yang secara aktif menyumbangkan konten dan berinteraksi dengan audiensnya (Romero-Hall, 2. Ada pula pengguna media sosial yang berperan dalam mempengaruhi pengguna lain yaitu influencer atau individu yang memiliki reputasi atau pengaruh signifikan terhadap orang lain dan dapat berkomunikasi dengan pengikut luas digital (Li ,2. Mereka juga bertindak sebagai perantara dalam membangun hubungan dengan pengikut dan merek karena mereka adalah individu yang memposting ke akun media sosial mereka dengan imbalan kompensasi dari merek tersebut (Campbell & Grimm, 2. Selain itu, ada juga pengguna yang memiliki jaringan sosial luas. Mereka sering disebut Social Butterflies, atau Mereka yang aktif di berbagai platform JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION sosial dan unggul dalam berhubungan dengan orang lain di berbagai kelompok sosial (Burke, 2. The lurkers, meskipun mereka jarang berpartisipasi aktif, algoritma tetap merekomendasikan konten berdasarkan riwayat penelusuran mereka. Partisipasi Lurkers yang terbatas mengurangi personalisasi algoritma dibandingkan dengan pengguna aktif seperti Poster atau Influencer, yang mempengaruhi eksposur konten (Jensen & Schwartz, 2. Terakhir. Social Butterfly, pengguna yang sangat aktif dalam berinteraksi dengan banyak orang, diposisikan oleh algoritma untuk terus terlibat dengan konten yang relevan dengan jejaring sosial mereka (DeVito dkk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Romero-Hall . Sedangkan active users atau pengguna aktif cenderung lebih terbuka secara sosial atau merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain. Beberapa dari mereka juga dimotivasi oleh kebutuhan akan validasi sosial, begitu juga dengan influencer. Teori GCT (Generation Classification Theor. pertama kali diperkenalkan oleh William Strauss dan Neil Howe pada tahun 1991. Mereka mengelompokkan individu berdasarkan usia ke dalam beberapa generasi, seperti Baby Boomers . ahir 1946-1. hingga Generasi Z . ahir 1995-2. Baby Boomers tetap setia pada merek dan lebih memprioritaskan kualitas produk. Namun. Gen Z yang tumbuh di era digital, lebih terpengaruh oleh akses cepat ke informasi dan cenderung mengutamakan inklusivitas, keberlanjutan, serta keaslian dalam berbelanja (Euromonitor International, 2023. Campbell, 2. Selain itu. Generasi Z memiliki kemampuan untuk dengan cepat membandingkan produk dan harga, yang sering mengarah pada keputusan pembelian yang terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang. Penggunaan media sosial oleh Gen Z, yang dipengaruhi algoritma dan fitur scrolling tanpa akhir akan meningkat resiko doomscrolling, terutama dengan konten video pendek. Menurut Slaughter . alam Sharma dkk. ,2. , doomscrolling mengacu pada keadaan penggunaan media yang biasanya ditandai dengan individu yang secara terus-menerus menggulir feed berita di media sosial mereka dengan fokus obsesif pada informasi yang menyedihkan, depresif, atau negatif lainnya. Generasi Z memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah terbiasa dengan Teknologi dan sering berkomunikasi di Dunia Maya (Rosita, 2. Gen Z cenderung mengecek berita terkini dan mengonsumsi konten pasif tanpa tujuan tertentu, yang memicu doomscrolling, serta pengaruh algoritma yang didesain untuk menampilkan konten sesuai minat mereka memperkuat siklus kebiasaan ini. Media sosial sifat kontennya cepat dan terus-menerus diperbaharui, sehingga memicu pelepasan dopamin ketika pengguna menerima notifikasi atau menemukan konten menarik. Hal ini menciptakan siklus ketergantungan pada media sosial yang mengurangi kemampuan fokus pada tugas yang lebih lama atau Short Attention Span (Subramanian, 2. Perkembangan Gen Z dalam dunia digital membawa sisi positif yaitu mereka menjadi lebih kritis dan peduli terhadap isu sosial karena penyebaran informasi yang cepat. Namun, mereka juga berisiko mengalami kecanduan media sosial dan perilaku JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION konsumtif yang tinggi, yang dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis karena paparan berlebihan terhadap konten media sosial secara cepat apalagi ketika muncul konten tidak terverifikasi. Berdasarkan Rajafi . alam Sastrawati, 2. Konsumtivisme terdiri atas dua istilah, yakni AukonsumtifAy serta AuismeAy. Istilah AukonsumtifAy merupakan istilah sifat yang mana berakar dari Auconsumptus,Ay Auconsume,Ay serta Aukonsumsi. Ay. Dengan demikian, konsumtif merujuk pada sifat yang berkaitan dengan penggunaan sesuatu secara berlebihan dan obsesif. Oleh karena itu, konsumtivisme dapat diartikan sebagai gaya hidup atau pandangan yang mendorong konsumsi berlebihan (Sastrawati, 2. Ini adalah sistem sosial yang mendorong individu untuk terus menerus mengkonsumsi barang dan jasa dalam upaya untuk memenuhi keinginan yang tidak pernah habis. Dalam konsumtivisme, barang-barang sering kali tidak lagi dinilai berdasarkan fungsinya, melainkan atas nilai simbolik yang melekat, seperti status sosial, prestise, atau citra diri yang ingin ditampilkan kepada orang lain. Sementara itu, perbedaan utama antara konsumtif dan konsumtivisme terletak pada skala dan penerapannya. Konsumtif menggambarkan perilaku atau kecenderungan individu dalam hal konsumsi yang berlebihan, sementara konsumtivisme mencakup sistem nilai atau pandangan hidup yang mendasari dan mendorong perilaku konsumtif tersebut. Menurut pendapat Swastha dan Handoko . alam Suhartini & Maharani, 2. , perilaku konsumen adalah aktivitas individu yang terlibat langsung dalam menerima atau menggunakan barang dan jasa, serta mempersiapkan proses pembelian ketika membeli sesuat. Sementara itu. Menurut Lengkawati dan Saputra . , keputusan pembelian dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan konsumen untuk melakukan pembelian sebuah produk. Sedangkan Konsumtivisme impulsif adalah pembelian yang terjadi tanpa perencanaan. Menurut penelitian dari Choirunnisa . , gaya hidup seseorang yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dapat berperan besar dalam memicu perilaku impulsif. Menurut Engel dkk. alam Choirunnisa, 2. , terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya pembelian impulsif, yaitu faktor internal dan faktor lingkungan. Faktor internal meliputi aspek seperti pengetahuan, motivasi, kepribadian, keyakinan, usia, sumber daya konsumen, serta gaya hidup. Sementara itu, faktor lingkungan mencakup situasi, kelompok sosial, dan budaya. ) Saat ini, strategi pemasaran media sosial seperti Instagram dan TikTok menggunakan influencer. Influencer dengan pengikut dapat menjangkau audiens yang lebih besar melalui platform ini. Keterikatan emosional dan kepercayaan yang dibangun antara influencer dan pengikutnya mempengaruhi pola konsumsi manusia. Akibatnya, rekomendasi dari influencer sering kali lebih dipercaya daripada iklan Menurut Chopra dkk. alam Seruni dkk. ,2. Influencer marketing adalah strategi pemasaran yang melibatkan kolaborasi antara suatu brand atau perusahaan dengan seseorang yang mempunyai pengaruh dan popularitas di media sosial atau industri Ini menjadi salah satu strategi pemasaran yang efektif, ini terlihat dari JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION kemampuan influencer dalam menjangkau audiens yang lebih spesifik, terutama generasi Z yang aktif menggunakan media sosial. Dengan memanfaatkan konten visual yang menarik di platform seperti Instagram dan TikTok, influencer mampu menarik perhatian konsumen dan memicu keputusan pembelian impulsif. Menurut Desiyani . alam Rajaguguk & Susanti, 2. Konten di media sosial seringkali dikategorikan sebagai cheap dopamine content. Tipe konten ini memberikan kepuasan dan kesenangan yang bersifat sementara kepada penontonnya. Jenis konten ini biasanya bersifat memikat, mudah dijangkau, dan cenderung membuat ketagihan. Efeknya cepat merangsang produksi dopamin di otak, yang merupakan neurotransmiter penting dalam mengatur suasana hati, dorongan, dan Ia terlibat dalam perasaan kesenangan dan penghargaan yang terkait dengan perilaku tertentu, termasuk penggunaan media sosial. Peningkatan pelepasan dopamin dapat memperkuat keinginan untuk terlibat dalam perilaku tersebut (Tereshchenko, 2. Jadi. Meskipun dopamin menciptakan rasa bahagia, efeknya cepat memudar, sehingga otak mencari stimulasi yang lebih besar untuk merasakan hal yang sama. Akibatnya, konsumsi konten semacam ini dapat mengganggu konsentrasi dan menurunkan kemampuan fokus, terutama jika dibandingkan dengan konten edukatif yang memerlukan perhatian dan konsentrasi lebih tinggi. Gaya hidup, sebagaimana dijelaskan oleh Kottler . alam Ahmadi, 2. , merupakan cerminan dari keseluruhan diri individu dalam hubungannya dengan lingkungan. Ini menunjukkan bahwa gaya hidup terdiri dari perpaduan antara keinginan individu untuk mengekspresikan diri dan ekspektasi masyarakat terhadap bagaimana mereka berperilaku, yang diatur oleh standar yang sudah ada. Akibatnya, berbagai jenis gaya hidup muncul di masyarakat modern, termasuk gaya hidup hedonis dan gaya hidup metropolitan, di antara banyak lainnya. Menurut Kusnandar & Kurniawan . alam Sada, 2. Gaya hidup seseorang mencerminkan faktor-faktor yang berkaitan dengan kelas sosialnya, serta menggambarkan cara mereka menggunakan waktu dan uang. Terdapat perbedaan gaya hidup antara generasi z dan generasi sebelumnya, salah satunya adalah generasi Y milenial. Media sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gaya hidup generasi Y dan Gen Z, terutama dalam hal konsumsi dan identitas (Agustin ,2. Gen Y, lebih fokus pada pengalaman, sering merasa tertekan untuk membeli barang demi pengakuan sosial. Sementara itu. Gen Z, yang tumbuh dalam era digital, lebih terpapar pada konten promosi di media sosial, sehingga dorongan untuk melakukan pembelian impulsif meningkat. Konten glamor membuat mereka berorientasi pada barang yang ditampilkan, muncul rasa tekanan dari dalam diri mereka agar membeli barang yang mereka inginkan, bukan kebutuhan. Dari tekanan itu juga akhirnya muncul rasa ekspektasi yang kembali lagi akan menekan kita untuk membeli barang tersebut. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION Masyarakat modern cenderung menjadi konsumtif, di mana konsumsi tidak lagi terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar atau apa yang diproduksi sendiri, melainkan telah menjadi bagian dari budaya (Umanailo dkk. ,2. Selain perilaku konsumtif, ada juga perilaku yang disebut dengan Eksperiensialisme, yang merupakan perilaku dengan menggunakan pengalaman untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan pribadi. Sementara itu, materialisme merupakan tindakan memperoleh barang-barang hanya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan (Lee dkk. ,2. Menurut Dunn. Gilbert, dan Wilson . alam Lee dkk. ,2. , membeli pengalaman dibandingkan barang-barang materi akan menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar. Mereka berpendapat bahwa pengalaman cenderung lebih erat kaitannya dengan perasaan diri seseorang dan berkontribusi lebih besar terhadap kebahagiaan jangka panjang dibandingkan dengan objek fisik. Menurut Gantiano . alam Agianto dkk. ,2. Teknologi komunikasi adalah perangkat yang mengandung nilai sosial, yang membuat seseorang mengumpulkan, mengolah, dan saling memberi informasi, serta menyalurkan dan menyebarkan data. Teknologi ini menghubungkan orang tanpa memperhatikan jarak. Perkembangannya melahirkan perangkat seperti smartphone, komputer, dan tablet. Menurut M. Nafier . alam Agianto dkk. ,2. Smartphone juga dilengkapi aplikasi media sosial yang membuat penggunanya semakin betah. Aplikasi seperti Instagram. TikTok, dan lainnya menjadi populer di masyarakat. Melalui media sosial, seseorang dapat memperoleh informasi dalam bentuk teks, foto, atau video, mulai dari berita, tren, hingga informasi yang kurang bermanfaat. Berdasarkan KBBI, trend artinya adalah gaya modern atau gaya mutakhir, jadi trend adalah suatu mode atau gaya yang modern atau baru yang sedang terkenal. Dalam hal ini. Menurut Akhmad & Prili . alam Agianto. , dkk. , generasi Z cenderung mengikuti tren terkini untuk menghindari kesan ketinggalan zaman dan untuk dianggap populer. Hal ini dapat mendorong gaya hidup materialisme dan eksperiensialisme, seperti menganggap belanja sebagai bagian wajar dari kehidupan, hidup mewah, peningkatan pengeluaran, dan lebih memfokuskan pada pembelian barang-barang terbaru dibandingkan kebutuhan primer (Nadiyah & Hamid, 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang disebarkan secara digital kepada masyarakat dan diolah secara Melalui instrumen penelitian ini, kami memperoleh total 60 responden dengan 53 diantaranya termasuk dalam generasi Z dan 7 responden lainnya termasuk dalam Generasi Y. HASIL Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan, diperoleh data bahwa dari total 60 responden hanya 53 responden yang termasuk dalam kategori generasi Z, yakni mereka yang lahir dari tahun 1995 hingga tahun 2012. Sementara itu, 7 responden lainnya merupakan generasi Y yang lahir rentang tahun 1980 hingga tahun 1994. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION Tabel 1. Pembahasan Diagram 1. Jenis Kelamin dan Status Berdasarkan dari hasil angket yang telah disebar ditemukan bahwa mayoritas responden adalah wanita . %) dan Pria . %) dengan perbandingan 3 : 1. Sedangkan berdasarkan status (Diagram . 49% memiliki latar belakang sudah bekerja, 9% Mahasiswa, 40% Pelajar SMP/SMA, 2% Wirausaha. Tabel 2. Hasil Pembahasan Diagram 2. Status Respoden Adapun media sosial yang paling sering digunakan oleh para responden yaitu sebesar 60% responden menggunakan media sosial Instagram, sedangkan 40% menggunakan media sosial Tiktok Tabel 3. Pembahasan Diagram 3. Media Sosial Media sosial yang paling sering digunakan oleh para responden terbagi menjadi dua platform utama, yaitu Instagram dan TikTok. Berdasarkan data yang diperoleh, sebanyak 60% dari total responden lebih sering menggunakan Instagram sebagai media sosial utama mereka, sementara sisanya, yaitu 40%, lebih memilih TikTok sebagai platform yang paling sering mereka gunakan. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION Tabel 4. Pembahasan Diagram 4. Persentase Tipe Pengguna Media Sosial Berdasarkan persentase tipe pengguna media sosial pada Diagram 4. Peneliti menemukan bahwa mayoritas responden memiliki tipe pengguna Pengamat . %). Penggiat berbagi . %) dan Penikmat . %) berdasarkan hal ini bahwa pengguna pasif lebih dominan dalam melakukan konsumtivisme impulsif. Tabel 5. Pembahasan Pada butir item pertanyaan mengenai algoritma media sosial peneliti menemukan bahwa semakin tinggi algoritma dalam media sosial membuat konsumtivisme impulsif juga semakin tinggi. Jika dibandingkan dengan hasil tipe pengguna bahwa tipe pengguna pengamat . he lurke. Penggiat berbagi (The Share. , dan Penikmat (The Spectato. memiliki kecenderungan memiliki konsumtivisme JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION PEMBAHASAN Kepercayaan diri gen Z sangat dipengaruhi oleh interaksi di media sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Muqaddas dkk. , media sosial cenderung mendukung peningkatan perbandingan sosial, di mana pengguna membandingkan dirinya dengan individu yang mereka anggap lebih baik atau lebih sukses. Adapun dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa semakin sering pengguna menggunakan media sosialnya dan pengguna semakin merasa mudah bertransaksi maka pengguna dari kalangan generasi Z terdorong untuk melakukan pembelian, sehingga tingkat konsumtivisme pengguna semakin meningkat. Menurut Putri dkk. , interaksi di media sosial memperkuat pola konsumsi berorientasi status. Meskipun Gen Z lebih peka terhadap nilai keadilan sosial dan keberlanjutan, mereka tetap terpengaruh oleh Didukung oleh validasi sosial. Gen Z hidup di lingkungan yang dipengaruhi secara signifikan oleh media sosial, melalui lingkungan yang terus mengikuti tren, maka Gen Z juga akan berperilaku konsumtif untuk mendapatkan validasi sosial. Jadi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi untuk membangun citra diri yang diinginkan dan menjadi sarana untuk menunjukkan identitas dan status di mata orang Pengguna media sosial aktif memanfaatkan media sosial untuk memperluas jaringan sosialnya, khususnya generasi Z yang rentan terhadap pengaruh pola perilaku atau pengaruh teman sebayanya. Penelitian oleh Yue dkk. juga menyebutkan bahwa interaksi dalam kelompok teman sebaya secara signifikan meningkatkan perilaku Ketika satu anggota kelompok membeli atau mengikuti tren tertentu, teman-teman lain cenderung mengikuti untuk mendapatkan penerimaan sosial atau merasa setara dalam kelompok. Tak hanya itu, algoritma media sosial dan pemasaran influencer memanfaatkan aspek psikologis pengguna dengan menyajikan konten relevan yang meningkatkan engagement dan influencer dianggap sebagai sumber informasi kredibel yang mempengaruhi pilihan produk, sehingga memicu perilaku Paparan terhadap konten media sosial dapat memicu perilaku konsumtif, namun itu tergantung tipe penggunanya. The lurkers, meskipun tidak berkontribusi secara langsung, masih dapat terkena dampak perilaku konsumtif karena tetap terpapar konten promosi. secara psikologis, pengguna pasif atau lurkers cenderung merasa nyaman hanya membaca dan menonton tanpa memberikan respon. Namun, bisa juga dikarenakan ketidaknyamanan dalam berbagi di ruang publik SIMPULAN Perilaku konsumtifisme impulsif pada generasi Z dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti algoritma dari media sosial yang digunakan, dan media sosial yang digunakan seperti instagram dan tiktok. Fitur yang terdapat JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION pada Instagram dan tiktok cenderung lebih mudah digunakan dan menawarkan dalam bentuk video singkat sehingga pengguna lebih tertarik. Konsumtifisme impulsif pada generasi Z juga dapat dipengaruhi oleh frekuensi penggunaan media sosial. Semakin lama pengguna menggunakan media sosial maka pengguna semakin memiliki keinginan untuk membeli. Generasi Z sangat dipengaruhi oleh media sosial, melalui lingkungan yang terus mengikuti tren, maka Gen Z juga akan berperilaku konsumtif untuk mendapatkan validasi sosial. Jadi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi untuk membangun citra diri yang diinginkan dan menjadi sarana untuk menunjukkan identitas dan status di mata orang lain. Tipe Pengguna Pengamat (The Lurke. Penggiat berbagi (The Share. dan Penikmat (The Spectato. merupakan tipe pengguna pasif namun memiliki tingkat konsumtivisme impulsif. DAFTAR PUSTAKA.