https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 DOI: https://doi. org/10. 38035/jihhp. https://creativecommons. org/licenses/by/4. Penerapan Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Nomor: 283/Pid. Sus/2024/Pn Kw. Zulfiansyah Yusuf Suroso1. Sartika Dewi2. Muhamad Abas3. Universitas Buana Perjuangan. Karawang. Indonesia, hk21. zulfiansyahsuroso@mhs. Universitas Buana Perjuangan. Karawang. Indonesia, sartikadewi@ubpkarawang. Universitas Buana Perjuangan. Karawang. Indonesia, muhamas. abas@ubpkarawang. Corresponding Author: hk21. zulfiansyahsuroso@mhs. Abstract: This article discusses the application of rehabilitation for narcotics abusers under Law Number 35 of 2009 on Narcotics, by analyzing Court Decision Number 283/Pid. Sus/2024/PN Kwg as the research object. The study aims to evaluate the extent to which the judge's considerations comply with positive legal provisions, particularly regarding rehabilitation as an alternative punishment for drug addicts. The method used is normative juridical with statutory, case, and conceptual approaches analyzed qualitatively. The results reveal that the judge imposed imprisonment on the defendant despite the small amount of evidence and no indication of drug trafficking. However. Article 103 of the Narcotics Law authorizes judges to impose rehabilitation regardless of the defendant's guilt status. The absence of an addiction assessment from BNN in the judgeAos consideration hindered the application of a rehabilitative approach. The study concludes that there is still a gap between sentencing practices and the humanitarian goals of narcotics abuse prevention, highlighting the need to improve the legal apparatus's understanding of rehabilitation's importance for drug Keyword: Rehabilitation. Drug Abuser. Sentencing. Narcotics Law Abstrak: Artikel ini membahas penerapan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan mengkaji Putusan Nomor 283/Pid. Sus/2024/PN Kwg sebagai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana pertimbangan hakim telah sesuai dengan ketentuan hukum positif, khususnya terkait pemberian rehabilitasi sebagai bentuk pemidanaan alternatif bagi pecandu Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan, kasus, dan konseptual yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan hakim dalam perkara tersebut menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa meskipun jumlah barang bukti tergolong kecil dan tidak ditemukan indikasi sebagai pengedar. Padahal. Pasal 103 Undang-Undang Narkotika memberikan wewenang kepada hakim untuk menjatuhkan rehabilitasi, baik terhadap terdakwa yang terbukti bersalah maupun tidak. Ketidakhadiran hasil asesmen ketergantungan dari BNN dalam pertimbangan 99 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 hakim menjadi faktor penghambat diterapkannya pendekatan rehabilitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara praktik pemidanaan dan tujuan humanis dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sehingga diperlukan peningkatan pemahaman aparat hukum terhadap urgensi rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Kata Kunci: Rehabilitasi. Penyalahgunaan Narkotika. Undang-Undang Narkotika PENDAHULUAN Narkotika merupakan senyawa, baik yang dihasilkan dari bahan nabati maupun buatan, termasuk bentuk sintetis atau semi-sintetis, yang memiliki kemampuan memengaruhi sistem saraf pusat. Zat ini dapat memicu perubahan tingkat kesadaran, menumpulkan atau menghilangkan persepsi nyeri, serta berpotensi menimbulkan ketergantungan pada penggunanya (Partodiahardjo, 2. Kerugian yang ditimbulkan dari kecanduan Narkoba tidak hanya terbatas pada efek fisik yang ditimbulkan, melainkan juga dapat menimbulkan efek samping yang mempengaruhi pada kesehatan mental dan kejiwaan seseorang ketika penggunaan narkoba sudah melebihi batas yang aman atau berlebihan. Apabila penggunaan narkotika tersebut disalah artikan hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada sistem organ dalam tubuh dan merusak susunan sistem syaraf sehingga mengakibatkan timbulnya rasa Ketergantungan terhadap zat narkotika pada akhirnya dapat berdampak signifikan baik secara psikologis maupun fisik bagi seseorang yang menggunakannya (Lukman et al. , 2. Dalam menghadapi masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, penegakan hukum serta rehabilitasi dijadikan prioritas utama. UU No. 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika memberi amanat ke pemerintah memiliki kewajiban dalam memberi pelayanan rehabilitasi bagi pecandu serta penyalahgunaan narkotika karena hal tersebut adalah solusi yang tepat untuk membantu seseorang yang terlibat dalam menyalahgunakan narkotika, dikarenakan meraka ialah orang yang tidak sehat . sehingga mereka memiliki hak untuk mendapatkan layanan perawatan, pengobatan, dan memulihkan. Melalui rehabilitasi, mata rantai peredaran narkotika dapat diputus, karena semakin banyak penyalahguna yang disembukan maka permintaan akan menurun yang pada akhirnya akan mengurasi pasokan narkotika. Hal ini akan memudahkan upaya pemberantasan jaringan narkotika. Akan tetapi, penerapan kebijakan kepada penyalahguna narkotika saat ini masih menghadapi tantangan karena tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Narkotika yang menganggap mereka adalah pelaku kejahatan. Mengakibatkan mereka tidak mendapatkan rehabilitasi secara optimal karena harus menjalani vonis penjara (Harahap, 2. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika perlu dilakukan secara menyeluruh, mencakup aspek penegakan hukum serta upaya rehabilitasi. Sayangnya, sebagian aparat penegak hukum belum sepenuhnya menguasai prosedur penanganan yang tepat bagi pengguna narkotika. Akibatnya, banyak pengguna justru dikenai sanksi pidana alih-alih mendapatkan layanan rehabilitasi yang semestinya. Upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika bertujuan melindungi masyarakat agar tidak terjerumus dalam penggunaan zat terlarang. Sasaran utamanya ialah kelompok masyarakat yang belum pernah menggunakan narkotika dan yang tidak terlibat dalam Sementara itu, program rehabilitasi bagi penyalahguna dan pecandu dirancang untuk menangani gangguan ketergantungan narkotika, membantu mereka pulih dari adiksi. Penyalahgunaan narkotika diatur sebagai perbuatan terlarang dengan ancaman pidana, termasuk untuk pecandu yang tidak menyerahkan diri untuk memperoleh perawatan. Kendati demikian, penegakan hukum terhadap mereka umumnya ditempuh melalui tindakan rehabilitasi sebagai bentuk penanganan wajib (Anang, 2021. 100 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Menerapkan vonis penjara kepada penyalahguna khususnya bagi pecandu tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas jika pengguna tidak mendapatkan penanganan atau pengobatan yang mampu membuat mereka pulih dari kecanduan narkotika (Daris Warsito. UU Narkotika telah memberlakukan perbedaan kepada pelaku penyalahguna narkotika karena sebelumnya tidak adanya perbedaan tindakan dari pengedar, pengguna, pembuat maupun bandar narkotika (Hidayataun & Widowaty, 2. Pecandu narkotika dapat digolongkan sebagai korban atas perbuatannya sendiri (Self Victimizing Victim. dikarenakan mereka mengalami ketergantungan zat tersebut yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri (Yuli W & Winanti, 2. UU No. 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika. Pasal 54 yang bisa dipahami bahwasanya individu yang kecanduan narkotika serta individu yang jadi korban dalam penyalahguna narkotika memiliki kewajiban untuk mengikuti program rehabilitasi yang meliputi layanan medis dan sosial. Sementara itu. Pasal 57 juga menjelaskan bahwasanya upaya pemulihan bagi pengguna narkotika tidak hanya dapat dilakukan melalui perawatan medis atau rehabilitasi, tetapi juga dapat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun organisasi masyarakat dengan memanfaatkan metode berbasis agama maupun praktik tradisional (Kunso, 2. Rehabilitasi bagi pecandu narkotika termasuk tahapan pemulihan yang memiliki tujuan untuk melepaskan diri mereka dari ketergantungan, dan fase pemulihan dianggap menjadi bagian dari hukuman yang harus dijalani. Selain itu, proses pemulihan kepada mereka juga merupakan bentuk upaya perlindungan yang memiliki tujuan dapat menggambungkan mereka kedalam tatanan sosial yang dapat mencegah mereka supaya tidak terjerumus dalam salah menggunakan narkotika (Arifin, 2. Meskipun pada UU Narkotika, tindakan pidana bagi yang menyalahgunakan narkotika diberikan sanksi pidana yang terlalu berat dan selain itu juga dapat dikenakan pidana penjara dan denda, namun hingga kini jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika justru terus meningkat dan bahkan bertambah banyak. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dampak atau efek yang berbeda (Different Effec. dari penjatuhan sanksi pidana, terutama terhadap pengguna narkotika (Christine Natalia Lumban Batu, 2. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendekatan pemidanaan semata tidak cukup efektif dalam menekan angka penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu, perlu dilihat bagaimana tren kasus narkoba berkembang dalam beberapa tahun terakhir sebagai cerminan dari efektivitas kebijakan yang diterapkan. Data berikut ini menyajikan jumlah kasus narkoba yang BNN serta Polri tangani sejak 2021 hingga 2024, yang dapat menjadi landasan evaluatif untuk menimbang ulang strategi penanggulangan, termasuk peran penting rehabilitasi dalam menekan angka residivisme dan menciptakan dampak jera yang lebih berkelanjutan. Jumlah Kasus Narkotika di Indonesia . 50,000 Kasus 45,000 40,000 35,000 40,320 41,084 42,220 43,099 Polri BNN 41,885 42,785 46,080 46,768 Grafik 1. Jumlah Kasus Narkotika di Indonesia . Sumber: BNN. Polri Berdasarkan data yang tercatat, penyalahgunaan narkotika di Indonesia memperlihatkan tren yang selalu meningkat dari tiap tahunnya. Pada tahun 2021, jumlah kasus yang ditangani 101 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 oleh Polri tercatat 40. 320 kasus, serta oleh BNN berjumlah 41. 084 kasus. Angka ini terus mengalami kenaikan di tahun-tahun berikutnya. Pada 2022, kasus yang ditangani Polri meningkat menjadi 42. 220, sementara BNN mencatat 43. 099 kasus. Tahun 2023 menunjukkan sedikit penurunan pada data Polri dengan 41. 855 kasus, tetapi BNN masih mencatat kenaikan 785 kasus. Tren ini mencapai puncaknya pada tahun 2024, di mana Polri mencatat 080 kasus dan BNN sebanyak 46. 768 kasus(DataIndonesia. id, 2. Peningkatan jumlah kasus ini menandakan bahwa penyalahgunaan narkotika masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan secara menyeluruh. Meski berbagai upaya penindakan dan pencegahan telah dilakukan, termasuk pemberian sanksi pidana yang berat, kenyataannya kasus penyalahgunaan terus bertambah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan represif belum memberikan efek jera yang signifikan, terutama terhadap pengguna narkotika, dan memperkuat urgensi untuk mengintegrasikan pendekatan rehabilitatif dan preventif secara lebih komprehensif. Di Indonesia putusan hakim yang menjatuhkan hukuman rehabilitasi masih tergolong jarang terjadi karena saat ini umumnya para penyalahguna narkotika lebih sering dijatuhi hukuman penjara dibandingkan dijatuhi hukuman rehabilitasi, meskipun dalam UU Narkotika sudah memberi jaminan terkait adanya usaha rehabilitasi sesuai dengan ketentuan Pasal 103. Pasal tersebut mengatur mengenai upaya rehabilitasi, yang dimana seharusnya hakim bisa mempertimbangkan hal tersebut dalam menjatuhkan putusan sehingga upaya tersebut dapat Dalam Pasal 103 ayat 1 huruf a serta b UU Narkotika yang menegaskan bahwa: Hakim dalam memeriksa perkara Pecandu Narkotika memiliki wewenang untuk: Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak Pidana Narkotika. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika Dalam sistem peradilan, keyakinan hakim dapat berpengaruh besar terhadap putusan yang dijatuhkan. Terkadang, terdapat putusan yang pemidanaannya dianggap kurang sesuai pada peraturan hukum materiil yang ada. Karena itu peneliti terdorong untuk meneliti sebuah kasus Narkotika yang terjadi di Karawang. Isu hukum yang akan di analisis dalam penulisan hukum ini adalah kasus penyalahgunaan narkotika yang ditangani, diadili, dan diputuskan dari Pengadilan Negeri Karawang pada Putusan No. 283/Pid. Sus/2024/Pn Kwg dengan terdakwa Billy Ib Alias Billy Bin Saepul Bahtiar. Ditemukan barang bukti yang ditemukan oleh penyidik adalah 1 . bungkus bekas roko Neslite yang didalamnya terdapat 3 . bungkus sedotan bewarna hitam yang berisi kristal bewarna putih milik terdakwa Billy IB als Billy Bin Saepul Bahtiar melalui berat brutto 2,35gr serta netto 0,54gr. Dalam kasus tersebut idealnya hakim mengarahkan putusan agar terdakwa menjalani rehabilitasi, namun sebaliknya dalam amar putusan tersebut terdakwa dijatuhkan pidana penjara 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Karawang hal tersebut jelas bertentangan dengan arah penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika yang seharusnya menekankan Prinsip Keadilan Restoratif dan Pemulihan Hak Korban melalui rehabilitasi untuk pecandu serta korban narkotika. Namun, pada putusan ini lebih menekankan prinsip keadilan retribusi yaitu memberikan hukuman bagi pelaku. Selain itu banyak peraturan-peraturan hukum yang terkait dengan isu dalam kasus ini yang tampaknya diabaikan. Penulis berpendapat bahwa terdakwa, yang juga dianggap sebagai korban, seharusnya diberikan kesempatan untuk menjalani rehabilitasi oleh hakim. Namun. Majelis Hakim dalam perkara ini lebih memilih untuk memberikan vonis penjara. 102 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Oleh karena itu penulis ingin membahas tentang penerapan rehabilitasi kepada pemakai narkotika pada UU No. 35 Tahun 2009 terkait Narkotika, maupun guna mengetahui pertimbangan hakim pada perkara No. 283/Pid. Sus/2024/Pn Kwg. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang termasuk pendekatan ilmiah guna mendapatkan kebenaran yang merujuk dari logika keilmuan hukum dari perspektif normatif (Johnny, 2. Penelitian hukum normatif merupakan pendekatan pada penelitian hukum yang memandang hukum menjadi apa yang sudah ditulis pada undangundang . aw in boo. (Efendi Jonaedi, 2. Pada penelitian ini dipergunakan berbagai pendekatan masalah yang menggunakan Statute Approach (Pendekatan UU), case Approach . endekatan kasu. , serta Conseptual Approach (Pendekatan Konseptua. Data yang telah dihimpun kemudian dianalisis secara mendalam dengan metode kualitatif, guna memperoleh pemahaman yang utuh terhadap substansi hukum yang diterapkan dalam perkara tersebut. Penelahaan dilakukan dengan mengacu pada isi Putusan No. 283/Pid. Sus/2024/Pn. Kwg, yang dijadikan sebagai objek kajian untuk menilai ketepatan pertimbangan hukum serta kesesuaian amar putusan hakim dengan norma hukum positif yang sudah diberlakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Narkotika merupakan jenis obat ataupun zat yang dapat bersumber dari bahan alami maupun buatan, serta sepenuhnya sintetis ataupun semisintetis. Zat tersebut mempunyai efek yang bisa memengaruhi kondisi mental seseorang, seperti menurunkan kesadaran, menghilangkan kemampuan merasakan rangsangan, serta meredakan hingga menghilangkan rasa sakit. Selain itu, penggunaannya juga berisiko menimbulkan ketergantungan. Pengelompokan narkotika diatur dalam beberapa golongan seperti yang ditetapkan pada ketentuan UU yang berlaku. UU Narkotika sudah memberi jaminan terkait adanya usaha rehabilitasi sesuai dengan ketentuan Pasal 103. yang dimana seharusnya hakim bisa mempertimbangkan hal tersebut dalam menjatuhkan putusan sehingga upaya tersebut dapat terlaksana. Pada pasal 103 ayat 1 huruf a&b. UU Narkotika yang menegaskan bahwasanya: . Hakim dalam memeriksa perkara Pecandu Narkotika memiliki wewenang di antaranya: Pengadilan dapat memutuskan untuk mewajibkan seseorang yang merupakan pecandu narkotika mengikuti program pengobatan atau perawatan rehabilitasi apabila orang tersebut dinyatakan bersalah karena sudah berbuat tindak pidana narkotika. Pengadilan juga dapat menetapkan kewajiban bagi pecandu narkotika untuk menjalani perawatan ataupun pengobatan rehabilitasi meskipun orang tersebut tidak terbukti melakukan perbuatan pidana narkotika. Pasal 111 sampai dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur berbagai jenis tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika, mulai dari menanam, memiliki, menyimpan, mengedarkan, hingga menyalahgunakan narkotika. Namun, dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit mengenai batasan besar atau kecilnya jumlah barang bukti (BB) narkotika. Kriteria besar atau kecilnya BB justru dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010, yang digunakan oleh hakim sebagai pedoman dalam menentukan apakah pelaku layak dijatuhi pidana penjara atau Berdasarkan SEMA tersebut, pelaku penyalahgunaan narkotika yang memiliki BB dalam jumlah kecil dan hanya untuk konsumsi pribadi dapat dikenai sanksi rehabilitasi, bukan penjara. Adapun batas BB yang dianggap kecil menurut SEMA 4/2010 antara lain: O1 gram untuk sabu, heroin, dan kokain. O5 gram untuk ganja. O2 butir atau O0,6 gram untuk dan O5 butir untuk psikotropika seperti diazepam atau alprazolam. 103 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Pasal 127 secara khusus menyebut penyalah guna narkotika untuk diri sendiri dan menjadi dasar hukum bagi hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi, dengan catatan bahwa pelaku bukan pengedar dan memenuhi asesmen medis maupun hukum. Sementara itu, pasal-pasal lain seperti Pasal 111 hingga 114 lebih sering dikenakan kepada pelaku yang terbukti sebagai pengedar atau pelaku peredaran gelap narkotika, dengan ancaman pidana yang jauh lebih berat. Dengan demikian, meskipun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak secara tegas mengatur mengenai batas jumlah BB kecil atau besar, ketentuan dalam SEMA serta praktik peradilan tetap menjadi acuan penting bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Penyalahguna narkotika dikategorikan sebagai individu dengan masalah kesehatan, namun sistem hukum tetap memberikan ancaman hukuman penjara. Penahanan ini berpotensi memperburuk kondisi mereka melalui gejala putus zat dan meningkatkan kemungkinan pengulangan tindak pidana. Oleh karena itu. Undang-Undang mengatur secara khusus bahwa penyalahguna dijamin mendapat Tindakan rehabilitasi dengan medis serta sosial dengan tujuan orang tersebut bisa pulih ataupun sembuh seperti sebelumnya. Pada UU No. 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika dengan tegas menetapkan tujuan penanggulangan narkotika pada Pasal 4, yaitu untuk menindak peredaran gelap narkotika serta memastikan pengguna yang menyalahgunakan narkotika memperoleh layanan rehabilitasi. Karena adanya jaminan rehabilitasi bagi penyalahguna yang mengalami ketergantungan, undang-undang mewajibkan orang tua penyalahguna, individu yang bersangkutan . , dan aparat penegak hukum untuk melaksanakan tindakan yang bersifat rehabilitatif bagi penyalahguna narkotika (Anang, 2021. Berdasarkan ketentuan undang-undang narkotika, penyalahguna narkotika tidak dapat digolongkan berperan sebagai pelaku turut serta atau sebagai pelaku perbantuan atau pelaku persekongkolan jahat dengan pengedar karena dibedakan oleh tujuan Undang-Undang. mana penyalahguna berdasarkan tujuan Undang-Undang narkotika dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi sedangkan pengedar diberantas, meskipun penyalahguna serta pengedar termasuk perbuatan melanggar hukum yang diancam secara pidana. Dalam Undang-Undang narkotika, juga mengatur penegakan hukum lintas negara tanpa mewajibkan melalui jalur diplomatik dengan memanfaatkan Kerja sama internasional dan teknik penyelidikan control delivery dan under cover buy. Undang-Undang narkotika juga mengatur tentang unsur pemaaf. Apabila penyalahguna melaporkan diri ataupun dilaporkan oleh pihak keluarga agar memperoleh perawatan, sehingga status kriminalnya bisa dirubah menjadi tidak dituntut pidana. Pemerintah melakukan pembinaan untuk mencegah penyalahgunaan narkotika dan meningkatkan kemampuan rehabilitasi bagi penyalahguna dalam keadaan ketergantungan baik yang diselenggarakan masyarakat dan pemerintah. Undang-Undang narkotika termasuk Undang-Undang yang modern, up to date, dan fleksibel. Kemoderenan Undang-Undang narkotika, karena melarang kepemilikan narkotika secara pidana tetapi menggunakan pendekatan ganda, yaitu pendekatan kesehatan untuk menanggulangi penyalahgunaan dan pendekatan hukum pidana untuk menanggulangi peredarannya. Mengatur rehabilitasi sebagai bentuk hukuman statusnya sama seperti hukuman penjara dan lebih bersifat menyembuhkan daripada balas dendam. Di mana hukuman rehabilitasi merupakan bentuk hukuman yang relatif masih baru dikenal di dunia. Hukuman rehabilitasi adalah hukuman yang manusiawi bermanfaat untuk menyembuhkan sakit ketergantungan yang justru menjadi penyebab orang menyalahgunaan narkotika (Anang, 2. Menurut pendapat saya, bagi setiap korban pelaku penyalahguna narkotika yang tergolong rendah seharusnya mendapatkan pengobatan berupa rehabilitasi karena pada dasarnya mereka adalah individu yang mengalami ketergantungan, bukan pelaku kejahatan dalam arti sesungguhnya. Memberikan hukuman penjara justru tidak menyelesaikan akar permasalahan, melainkan berpotensi memperburuk kondisi mereka secara mental dan fisik. 104 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Rehabilitasi merupakan pendekatan yang lebih manusiawi dan sesuai pada tujuan dari UU No. 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika, yakni guna memulihkan penyalahgunaan narkotika agar kembali memberi manfaat dari segi sosial serta produktif di masyarakat. Dengan rehabilitasi, diharapkan angka ketergantungan narkotika dapat ditekan dan upaya pencegahan terhadap peredaran gelap narkotika menjadi lebih efektif. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku penyalahguna narkotika berdasarkan putusan No. 283/Pid. Sus/2024/PN Kwg Pertimbangan yang hakim gunakan untuk memutuskan perkara penyalahgunaan narkotika dapat bervariasi. Meskipun kasusnya serupa, putusan yang dijatuhkan sering kali Fenomena ini dikenal sebagai disparitas putusan, yaitu kondisi ketika perkara dengan karakteristik yang sama menghasilkan putusan yang tidak seragam dari hakim. Perbedaan dalam hasil putusan dipengaruhi oleh sejumlah unsur, termasuk kondisi ekonomi, aspek sosial, maupun beberapa fakta hukum yang muncul selama proses persidangan (Kuncoro, 2. Pada perkara No. 283/Pid. Sus/2024/PN Kwg dengan terdakwa Billy IB alias Billy Bin Saepul Bahtiar. Majelis Hakim PN Karawang memberi putusan pidana penjara enam bulan terhadap terdakwa yang terbukti tanpa hak memiliki sabu seberat 0,54gr. Dalam mempertimbangkan putusannya. Majelis Hakim memperhatikan beberapa fakta yang didapat saat dipersidangan serta menilai pembuktian berbagai unsur pada Pasal 112 ayat . UU No. 35 tahun 2009 mengenai Narkotika. Majelis Hakim menimbang bahwasanya perbuatan terdakwa bertolak belakang kepada program dari pemerintah untuk memberantas peredaran narkotika, serta dinilai dapat bisa menghancurkan generasi muda serta membuat masyarakat resah. Dengan demikian, aspek pemberatan terhadap terdakwa menjadi dasar untuk menetapkan jenis pidana yang nantinya Namun di sisi lain. Majelis Hakim juga memperhatikan beberapa hal yang membuat terdakwa keringanan, yakni bahwasanya sikap terdakwa sopan selama proses persidangan, mengakui kesalahannya, menunjukkan penyesalan, dan belum pernah dihukum Pertimbangan ini menunjukkan bahwa hakim berusaha menjaga keseimbangan antara aspek keadilan substantif dan kebutuhan untuk memberikan efek jera. Meskipun demikian, dalam putusan ini terlihat bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 103 ayat . huruf a dan b UU Narkotika, hakim memiliki wewenang untuk menentukan rehabilitasi kepada pecandu narkotika, baik yang sudah dibuktikan bersalah ataupun tidak. Tidak disebutkannya hasil asesmen dari BNN pada putusan ini memperlihatkan bahwa aspek ketergantungan terdakwa terhadap narkotika tidak dijadikan landasan utama dalam menentukan bentuk pemidanaan. Jika dikaitkan dengan prinsip dasar yang telah diuraikan dalam jurnal ini, khususnya tujuan utama UU No. 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika, maka pilihan pemidanaan berupa pidana penjara pada perkara ini kurang sejalan dengan pendekatan yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang. UU Narkotika bukan hanya menekankan pada aspek pemberantasan para peredaran narkotika, tetapi juga menekankan pentingnya upaya rehabilitasi kepada pengguna dan pecandu narkotika sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pendekatan rehabilitatif bertujuan untuk menyembuhkan ketergantungan, memulihkan fungsi sosial pengguna, serta memutus rantai permintaan narkotika di masyarakat. Dalam konteks ini, putusan Majelis Hakim yang tetap menjatuhkan pidana penjara menunjukkan pendekatan yang lebih condong pada keadilan retributif, yaitu memberikan hukuman atas perbuatan melawan hukum, daripada keadilan restoratif yang menitikberatkan pada pemulihan korban dan pencegahan berulangnya tindak pidana. Hal ini bertolak belakang dengan konsep pengguna narkotika sebagai "self-victimizing victims", yang idealnya mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi, bukan semata-mata hukuman badan. 105 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Menurut penulis, meskipun Majelis Hakim telah mempertimbangkan aspek yang memberatkan dan meringankan secara normatif, namun pendekatan hukum yang digunakan masih belum optimal dalam mewujudkan tujuan progresif Undang-Undang Narkotika. Dalam kasus dengan barang bukti kecil dan terdakwa yang bersikap kooperatif, seharusnya rehabilitasi dijadikan pilihan utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang memberikan dasar hukum untuk menempatkan penyalah guna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau sosial. Menurut penulis, langkah ini lebih mencerminkan pendekatan pemulihan daripada semata-mata penghukuman, serta lebih sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia. KESIMPULAN Berdasarkan analisis terhadap Putusan Nomor 283/Pid. Sus/2024/PN Kwg dan relevansi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana penjara terhadap terdakwa yang terbukti menyalahgunakan narkotika dalam jumlah kecil tanpa adanya pendekatan rehabilitatif merupakan bentuk pemidanaan yang kurang sejalan dengan semangat perlindungan dan pemulihan dalam sistem hukum Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menilai kesesuaian penerapan hukum dalam kasus tersebut dengan ketentuan yang berlaku, khususnya Pasal 103 UU Narkotika yang secara tegas memberikan wewenang kepada hakim untuk menjatuhkan rehabilitasi kepada pecandu, baik yang terbukti bersalah maupun tidak. Dalam konteks ini, temuan menunjukkan bahwa hakim tidak mempertimbangkan secara optimal aspek ketergantungan dan hak atas rehabilitasi bagi terdakwa, padahal sudah tersedia dasar normatif dan instrumen pendukung seperti hasil asesmen medis serta Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2010. Hal ini mengindikasikan adanya kekeliruan dalam pendekatan pemidanaan yang diterapkan, karena lebih menitikberatkan pada aspek retributif ketimbang restoratif. Dari perspektif pembaruan sistem peradilan pidana, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penguatan paradigma rehabilitatif dalam hukum positif, yang mendukung transformasi dari orientasi penghukuman menuju pendekatan berbasis penyembuhan dan reintegrasi sosial. Secara umum, hasil ini menekankan pentingnya peningkatan pemahaman hakim, aparat penegak hukum, dan lembaga rehabilitasi terhadap fungsi rehabilitasi sebagai bagian integral dari keadilan korektif, serta perlunya pembenahan kebijakan dalam sistem hukum agar tidak hanya menindak secara represif, tetapi juga menyembuhkan dan mencegah Dengan demikian, temuan ini dapat menjadi masukan strategis bagi pengembangan sistem peradilan yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani penyalahgunaan narkotika di Indonesia. REFERENSI