https://review-unes. Vol. No. September 2023 DOI: https://doi. org/10. 31933/unesrev. Received: 16 August 2023. Revised: 8 September 2023. Publish: 10 September 2023 https://creativecommons. org/licenses/by/4. Identifikasi Indikasi Geografis Pada Tenunan Sapu LuAoe Lawo dan Perlindungan Hukum sebagai Hak Kekayaan Intelektual Komunal pada Masyarakat Adat Bajawa Maria Theresia Geme1. Benediktus Peter Lay2. Stefanus Don Rade3 1Fakultas Hukum. Universitas Katolik Widya Mandira. Kupang. Indonesia. Email: gmariatheresia@yahoo. 2Fakultas Hukum. Universitas Katolik Widya Mandira. Kupang. Indonesia. Email: benediktuslay12@gmail. 3Fakultas Hukum. Universitas Katolik Widya Mandira. Kupang. Indonesia. Email: stefanusdonrade@unwira. Corresponding Author: stefanusdonrade@unwira. Abstract: Sapu Lu'e Lawo is a set of woven traditional clothes for men and women in the Bajawa indigenous community. This weave has Geographical Indication characteristics as one of the communal intellectual property. Geographical Indication is a sign indicating the area of origin of an item and or product which due to geographical environmental factors including natural factors, human factors, or a combination of both factors gives a certain reputation, quality, and characteristics to the goods and/or products produced. The main problem of this research is how the geographical indication of the Lu'e Lawo broom weave and how the form of legal protection. This type of research is Sociological Jurisprudence that relies on document studies as well as empirical studies through observation methods and in-depth interviews with weavers and leaders. The results of the study found that there is an element of geographical indication in the weaving of Sapu Lu'e Lawo which is a combination of natural factors, human factors and a combination of both factors contained in the shape, motif, color, material and value message in the ritual of making it, so it requires legal protection in accordance with applicable laws and regulations. The conclusion is that Sapu Lu'e Lawo is a set of woven traditional clothing in the Bajawa customary law community that contains the quality, characteristics and reputation as a geographical indication that must be protected. It is recommended that the local government make policies that facilitate weavers' access to the availability of natural materials such as encouraging the expansion of new plantations to support the economy as well as preserving the living values of the Bajawa indigenous people. Keyword: Geographical Indication Identification. Lue Lawo Broom Weave. Legal Protection. Communal Intellectual Property. Bajawa Indigenous People. Abstrak: Sapu LuAoe Lawo adalah seperangkat tenunan pakaian adat bagi laki-laki dan perempuan pada masyarakat adat Bajawa. Tenunan ini memiliki karakteristik Indikasi 1015 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Geografis sebagai salah satu kekayaan intelektual komunal. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan atau produk yang karena factor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberi reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau yang Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana indikasi geografis dari tenunan Sapu LuAoe Lawo dan bagaimana bentuk perlindungan hukum. Tipe penelitian ini adalah Sociological Jurisprudence yang mengandalkan studi dokumen serta studi empiris melalui metode observasi dan wawancara mendalam terhadap para penenun dan tokoh. Hasil penelitian menemukan bahwa peda tenunan Sapu LuAoe Lawo terdapat unsur indikasi geografis yakni perpaduan antara faktor alam, faktor manusia dan kombinasi dari kedua faktor tersebut yang terkandung dalam bentuk, motif, warna, bahan serta pesan nilai dalam ritual pembuatannya, sehingga memerlukan pelindungan hukum sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Simpulannya adalah Sapu Lu'e Lawo adalah seperangkat tenunan pakaian adat pada masyarakat hukum adat Bajawa yang mengadung kualitas, karakteristik dan reputasi sebagai Indikasi geografis yang harus dilindungi. Disarankan agar pemerintah daerah membuat kebijakan yang mempermudah akses para penenun terhadap ketersediaan bahan alam seperti mendorong perluasan perkebunan baru sebagai penunjang perekonomian sekaligus pelestarian nilai-nilai hidup masyarakat adat Bajawa. Kata Kunci: Identifikasi Indikasi Geografis. Tenunan Sapu Lue Lawo. Perlindungan Hukum. Kekayaan Intelektual Komunal. Masyarakat Adat Bajawa. PENDAHULUAN Indonesia sangat kaya dengan keberagaman kreasi hasil karya yang secara sadar atau tidak hasil kreasi tersebut dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia dengan mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa dan karsanya, sehingga disebut sebagai kekayaan intelektual (KI) dan menjadi obyek hak kekayaan inteklektual (HKI). Kekayaan intelektual terhubung erat dengan penciptanya, sehingga dikelompokan sebagai hak privat . rivate right. , hak eksklusif yang dilndungi negara (Bao, 1. Di samping kekayaan intelektual individual terdapat kekayaan intelektual dari sekelompok komunitas yang disebut sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK). Jenis kekayaan ini juga terhubung dengan komunitas penciptanya sehingga harus dilindungi. Kata komunal KIK menunjukan karakter kolektif pada kepemilikan hak dimaksud. Dalam perkembangan saat ini HAKI komunal menunjuk juga pada hak yang diemban oleh masyarakat hukum adat, nampak seperti pada warisan budaya tradisional yang berkembang di masyarakat dan menjadi bagian identitas dari komunitas itu(Asyfiyah, 2. KIK selain mengandung kemanfaatan secara ekonomis juga merupakan bagian dari keutuhan identitas masyarakat pengembannya(Susanti et al. , 2. Regulasi terdekat dengan KIK antara lain Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 13 tahun 2017 tentang Data Kekayaan Intelektual Komunal. Peraturan ini membataskan lingkup Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) meliputi Pengetahuan Tradisional (PT). Ekspresi Budaya tradisional (EBT). Sumber Daya Genetik (SDG) dan Indikasi Geografis (IG). Perlindungan hukum terhadap IG tenunan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menyikapi beberapa kasus plagiasi KIK seperti klaim owner terhadap tenunan Sumba yang dipakai Miss Grand International asal Indonesia. Aurra Kharishma oleh Malaysia, atau kasus pengklaiaman motif tenun ikat Sumba yang diklaim sebagai Tenunan Asli Jepara. Simak Penatimor. com yang memuat berita petisi online terkait polemik dugaan plagiarisme motif tenun ikat khas daerah Sumba. Nusa Tenggara Timur (NTT) muncul di laman Change. dengan judul AuTolak Tenunan NTT Motif Sumba Diklaim Sebagai Tenunan Asli JeparaAy, diajukan oleh Desiana Kanora Heka ditujukan kepada Pemerintah. Pemerintah Daerah Sumba 1016 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Timur. Pemerintah Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba dan Masyarakat NTT. Isinya menyayangkan motif tenun asli Sumba diklaim oleh daerah lain(Hadjon, 1. Provinsi Nusa Tenggara Timur membuat tagar sebagai Nusa Tenun Tangan dengan latar sebagai daerah yang memiliki lebih dari 800 motif tenunan asli. Dekranasda NTT bekerja sama dengan Dinas Perindag NTT sudah mendaftarkan 10 tenunan berdasarkan indikasi geografis. Dekranasda mentargetkan pada 2020 dan 2021 sudah dapat menyelesaikan pendaftaran tenunan dari NTT sebagai potensi indikasi geografis, namun masih terdapat permasalahan(Demu, 2. Kemenkumham NTT melansir bahwa pengakuan hak-hak tradisional meliputi hak kebudayaan, adat, benda bergerak yang berwujud termasuk Kekayaan Intelektual Tradisonal milik Masyarakat Adat (KIKMA) perlu digalakan(Rahmatullah, 2. Hal ini berkaitan dengan pelanggaran kekayaan intelektual tradisional yang sering terjadi di Nusa Tenggara Timur. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Komunal Masyarakat adat terhadap kekayaan intelektual tradisionalnya di era globalisasi harus dilaksanakan secara cepat untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara maksimal. Namun disadari bahwa tidak mudah untuk mengidentifikasi IG pada tenunan, dalam hal ini mengidentifikasi unsur IG pada tenunan yakni reputasi, kualitas dan karakteristik(Geme, 2. Penelitian ini mengambil obyek kreasi KIK pada Sapu LuAoe Lawo yang merupakan seperangkat pakaian pada masyarakat adat Bajawa. Sapu LuAoe diperuntukan bagi ana saki . dan lawo/sarung untuk ana fai . Padanan sapu luAoe lawo dikaitkan tujuan dan proses pembuatannya, peruntukannya dan pesan-pesan yang disampaikan melalu penggunaan bahan dan motif(Putranti. Deslaely. Indriyani, 2. Ada beberapa penulisan tentang tema ini seperti yang dilakukan oleh Romo Nobert Labu,Pr dalam buku tentang AoPakaian Adat Jati Diri Orang NgadhaAo terbitan Bajawa Press Yogyakarta 2014 yang mengkaji secara umum tentang pakaian adat sebagai jati diri. Pada kata pengantar buku ini. Watu Yohanes menulis bahwa ada dua elemen jati diri yang ingin disampaikan penulis yakni ideologi berbasis gender. Ideologi ini terkait dengan pembiasaan peran sosial dalam relasi insani berdasarkan perbedaan jenis kelamin, yaitu kelamin pria dan dan wanita . ne wet. berpotensi dan aktual berperan sebagai fai . dan kaum pria . ma nar. yang berpotensi dan aktual berperan sebagai saki . (Sinaga, 2. Berdasarkan ideology itu, jenis pakaian tradisional pria dan wanita dalam tradisi lokal ini dibedakan. Pakaian wanita disebut lawo dan pakaian pria disebut sapu-luAoe, sehingga membentuk seperangkat pakaian dengan fungsi penggunaannya sesuai ideologi berbasis gender. Padanan kata Sapu LuAoe Lawo juga bisa dikaitkan dengan penggunaannya sebagai bagian dari porsi belis dalam hukum perkawinan menurut masyarakat adat Bajawa, yakni luAoe ema lawo ine. Lue untuk bapak/ayah dan lawo untuk mama/ibu. Dari pikiran dasar diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana indikasi geografis pada tenunan Sapu Lu'e Lawo sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) masyarakat adat Bajawa serta bagaimana perlindungan hukum terhadap tenunan Sapu Lu'e Lawo sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). METODE Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat dualism yakni penelitian hukum yuridis normatif dan penelitian yuridis sosiologis. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian tehadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah dan perbandingan hukum. sedangkan penelitian hukum yuridis sosiologis atau yuridis empiris mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum . idak tertuli. dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Hukum pada prinsipnya mengandung aspek cita dan realita atau aspek normatif dan aspek empiris. Kajian tentang hukum tidak mungkin lepas dari kaitannya dengan masyarakat, sehingga sulit bagi ilmu hukum untuk dilihat terlepas dari ilmu-ilmu sosial 1017 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Penelitian Hukum empiris dikenal juga sebagai sociological jurisprudence yang menjadi karakter pembeda dengan penelitian sosial tentang hukum. Tema penelitian ini membutuhkan pendekatan normatif yang meliputi peraturan perundang-undangan tentang Indikasi Geografis sebagai bentuk perlindungan prefentif dan aspek sociological jurisprudence meliputi bentuk dan cara hukum bekerja dalam masyarakat. Paradigma ini dikenal dengan penelitian socio legal research yang mengandalkan kekuatan pendekatan sociological jurisprudence juga menelaah sisi normatif. Oleh karena itu membutuhkan dukungan jenis data yang disebut sebagai bahan hukum untuk bagian yang normatif dan data empiris untuk aspek sosiologis(Wulansari, 2. Subyek dalam penelitian ini adalah para penenun profesional, yang ditempatkan sebagai populasi untuk kajian tentang tanda atau indikasi geografis pada tenunan Sapu LuAoe Lawo. Karena pertimbangan waktu dan biaya maka ditarik sampel dengan menggunakan purposive sampling yakni 6 penenun baik individual maupun dalam bentuk kelompok. Responden yang dipilih terdiri 6 penenun, 4 tokoh terdiri dari 2 tokoh adat Masyarakat Adat Bajawa dan akademisi, serta 1 tokoh pengambil kebijakan yang berkaitan dengan pendaftaran KIK. Para tokoh dipilih berdasarkan penunjukan terhadap tokoh yang paham sejarah dan filosofis tenunan Bajawa dan yang paham tentang pendaftarah KIK yakni pejabat pada Kanwil Hukum dan HAM Provinsi NTT. Pendekatan penelitian menggunakan statute approach, conseptual Approach untuk kajian normatif sedangkan untuk sisi empiris menggunakan filosofis approach, historical approach untuk kajian empirisnya. Instrumen penelitian untuk mendapatkan data menggunakan observasi, dokumentasi, wawancara dan FGD. Lokasi penelitian meliputi 3 Kampung Adat dengan memilih para ibu penenun yang menetap di kampung adat yakni Kampung Adat Langa, kampong adat Bena dan Kampung Adat Nage. Teknik pengumpulan dan analisis data penelitian ini menganut prinsip Auhuman instrumentAy, yaitu peneliti dan penenun merupakan penggali/alat pengumpulan data yang Hal ini penting mengingat fokus masalah penelitian benar-benar memerlukan keteraturan dan mempertaruhkan kapabilitas Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yakni memberikan gambaran tentang temuan penelitian, juga bersifat evaluatif yakni peneliti dengan menggunakan teori hukum memberikan justifikasi atas temuan data, serta preskriptif yakni peneliti memberikan penilaian menurut syarat-syarat formal yang seharusnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikasi Geografis Pada Tenunan Sapu LuAoe Lawo Sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Masyarakat Adat Bajawa Provinsi Nusa Tenggara Timur Penelitian ini mewawancarai para penenun dari Kampung Adat Langa. Kampung Adat Bena dan Kampung Adat Nage. Berdasarkan hasil wawancara dengan para penenun, mereka menggunakan bahan asli dari alam . dan tetap terpanggil untuk meneruskan motif asli. Mereka menuturkan bahwa saat menenun mereka tidak hanya mengandalkan tangannya tetapi juga daya imaginasinya untuk membentuk motif yang rapi dan selaras dengan ukuran-ukuran jarak yang simetris antara motif. Menenun membutuhkan ketekunan dan kesucian/ kebersihan lisan dan jiwa, terutama jika menenun dengan peruntukan tertentu misalnya akan ditempatkan sebagai harta pusaka pada rumah adat yang disebut saAoo ngaza . umah bernama leluhu. Sapu LuAoe Lawo yang ditempatkan pada rumah adat diperuntukan sebagai pakaian bagi leluhur rumah itu. Jika hendak dipakai oleh ahli waris untuk urusan adat rumah itu maka harus dilakukan ritual tertentu sebagai ijin untuk menggunakannya, begitu juga saat disimpan Setiap selesai menenun sapu lue jenis tertentu, ia harus melakukan ritual putar/belah kelapa . ili/gela ni. Bahannya terdiri dari beras, ayam dan kelapa yang masih ada kulitnya . hapi sut. Pada jenis Sapu LuAoe Lawo tertentu ia harus menggantikan ayam dengan babi. Kelapa dibelah airnya ditatap sejenak oleh penenun kemudian diusapkan ke dahi ke arah 1018 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Ritual ini dimaksudkan agar Dewa dan leluhur memulihkan stamina tubuh, terutama indra penglihatan penenun. Jika ini diabaikan maka penenun dapat mengalami kebutaan(Labu. Para penenun harus patuh pada jenjang legitimasi untuk menenun sesuai tingkatan yang disebut mela yang terurut dengan nomor ganjil sesuai peruntukan. Untuk anak-anak terurut jumlah mela dengan angka 3, 5, 7. 9 Untuk remaja tersusun dengan angka 11, 13, 15, 17. Untuk dewasa yang telah berumah tangga tersusun dari mela 19, 21 dan 23. Penenun pemula hanya boleh menenun untuk ukuran motif kecil . ara kedhi=motif kuda keci. yang disebut berurut mulai dengan mela lima . ke mela lima zua . dan tera esa . , untuk dipakai anak-anak dan jumlah 11, 13, 15, 17 remaja. Setiap kenaikan tingkatan ditandai dengan ritual gela nio. Selanjutnya para penenun dengan penjelasan yang sama tentang motif tenunan Sapu LuAoe Lawo Bajawa bahwa entah dari mana awal mula, mereka diajarkan untuk memberi motif kaki ayam, . aAoI man. dan gajah . Ada yang berpendapat bahwa motif berkaitan dengan status stratifikasi social masyarakat Ngadha tetapi ada yang menghubungkannya dengan prestasi kekaryaan seseorang. Ada lapisan sosial masyarakat yang hanya boleh mengenakan Lawo Wai Manu sampai kapan pun(Fajar. Mukti . Achmad, 2. Pada tenunan lawo butu selain motif ayam, kuda dan gajah terdapat juga motif kapal dengan orang yang sedang berlayar, serta motif binatang laut/air seperti kepiting dan capung. Motif ini menunjukan jejak historis kedatangan leluhur orang Bajawa dari cina one, jawa one. Cina yang jauh datang dan menyinggahi Jawa one, jawa yang jauh. Sumba dan seterusnya. Semua motif tersebut harus mengapit motif utama yang berada pada barisan tengah tenunan yakni motif fauna atau hewan yakni kaki ayam, kuda dan gajah. Motif utama inilah yang menjadi karakteristik tenunan Sapu LuAoe Lawo masyarakat Adat Bajawa(Santyaningtyas. Ayu Citra . Tektona, 2. Bahan utama yang digunakan untuk menenun Sapu LuAoe Lawo adalah benang . , dan air taru . , ekstrak kulit manggis, kapur dan kelapa. Cara pembuatannya dituturkan ibuibu bahwa bahan utama tenunan berasal dari kapas dibuat benang . iza dan dhol. kemudian masuk tahap pencelupan yang disebut dhodho dan boga yakni merentangkan menarik untuk menguraikan benang seperti pembuatan mie agar mudah dihitamkan saat dicelupkan kembali. Proses ini bisa berulang kali sampai mendapatkan warna hitam pekat atau biru gelap Selanjutnya mane adalah kegiatan menyelaraskan warna dan memadukan motif. Ini merupakan pekerjaan terberat. Susunan motif pada kain terurut menurut pesan filosofis dan normatif pada sebuah lembaran tenunan Sapu LuAoe Lawo dimulai dari garis start yang disebut puAou kemudian deretan liAoe, kemudian deretan gheo, menyusul mata nitu, seterusnya pengulangan lagi liAoe, gheo, mata nitu untuk mengapiti motif utama (Faun. yakni wai manu . aki aya. , jara . dan gajah. Motif utama ini harus berada di tengah-tengah . lembaran tenunan. Di pinggirnya terdapat puAou. PuAou adalah tenunan garis berwarna sebagai awal mula menenun dan menutup lembaran tenunan. Penanda mulai dan berakhirnya satu lembaran Sapu LuAoe dan Lawo. Sebagai penerus pesan para leluhur, tempat, jumlah dan susunan motif utama seperti ayam, kuda dan gajah pada tenunan tidak boleh dirubah, meskipun bahannya bisa mengikuti perkembangan zaman seperti penggunaan bahan-bahan jadi untuk memudahkan pekerjaan. Larangan merubah motif utama ini disebut sebagai pire/haram. Ritual dalam tahapan menenun disebut dengan ngaza, ziAoa atau zeta, yang disederhanakan sebaga ritual kela nio, membelah kelapa. Bahan yang digunakan berupa ayam, kelapa, beras. Air kelapa digunakan untuk memulihkan penglihatan penenun yang lelah selama menenun dan darah ayam ditandai . pada sapu lu'e atau lawo yang telah selesai dibuat juga pada alat-alat perlengkapan untuk menenun agar dijauhkan dari kebutaan dan leluhur tetap menjaga, melindungi penggunaanya. Kalau lawo butu, tenunan bermuti maka hewannya haruslah seekor babi. Ritual ini beraroma magis-religius dan dilakukan oleh tokoh yang Arah kelapa yang diputar harus berhenti ke arah rumah adat atau ngadhu si Ritual serupa juga dilakukan saat mengesahkan peningkatan kemampuan penenun. 1019 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Dari deret 3,5,7 ke deret 9,11,13 dan selanjutnya ke deret 15, 17, 19, dan terakhir deret 21 dan Secara ekonomi, tenunan Bajawa telah menopang perekonomian keluarga. Seperangkat pakaian adat yang bukan dari bahan asli bisa dijual sebesar Rp. Sedangkan yang asli bisa dijual dua sampai tiga kali lipat. Mama Rina membiayai putra putrinya hanya dari hasil Sekarang ini terdapat tenunan dengn variasi warna warni yang disebut dengan lawo buku tewu. Pada lawo buku tewu terjadi kombinasi warna warni seperti merah dan benangbenang kuning keemasan menggunakan bahan kimia. Bahan utama yang dipakai untuk menenun sapu lue lawo dibedakan untuk yang indigo . sli=pewarna ala. terdiri dari kapas . air, taru, kapur, pengikat motif, pewarna alam seperti sepa, sejenis kayu penghasil warna merah darah. Bahan-bahan ini berasal dari alam flora di kawasan hutan sekitar kampung adat. Untuk yang bukan indigo terdiri dari benang toko . udah jad. , air, garam dan pewarna kimia . isebut oba. yang bisa dibeli di toko. Untuk jenis yang baru disebut tenunan lawo buku tewu. Dalam penelitian ditemukan tenunan lawo kreasi baru dengan warna-warna yang ceria seperti merah, kuning, biru, hijau. Biasanya jenis terakhir ini untuk memenuhi selera pasar, dipakai untuk acara-acara yang tidak berkaitan langsung dengan urusan adat misalnya untuk bahan baju dll. Sebenarnya kualitas tenunan ditentukan bukan pada saat menenun tetapi pada pewarnaan dan penyelarasan warna dan pembuatan motif karena memerlukan pengetahuan subyektif penenun. Saat sedang menenun ada adha . yakni di dekat tenunan disediakan bahan-bahan seperti beras, siri pinang, tembako untuk disajikan pada saat ada tamu yang berkunjung ke Di Kampung Bena tidak ada penenun yang menenun lawo gaAoe. Tidak semua penenun boleh menenun jenis lawo ini . Pada jenis lawo butu terdapat motif perahu, kepiting dan capung. Ia tidak memiliki kelayakan untuk menenun lawo butu, bahkan di Kampung Nage tidak ada yang menenun lawo butu. Di bajawa hanya ada beberapa orang yang boleh menenun lawo butu. Ada aturan tingkat kelayakan dimulai dari jenis yang sederhana. Lawo butu dan lawo gajah merupakan jenis tertinggi yang hanya boleh dibuat oleh penenun Karena kesulitan bahan alam maka penenun juga menggunakan bahan pewarna jadi yang bisa dibeli di pasaran. Persoalannya bukan pada bahan tetapi kemampuan menyelaraskan warna dan menentukan bentuk motif pada tahapan-tahapan pencelupan, ikat, dan pencahayaan untuk mendapatkan warna yang paten sesuai tradisi mereka yakni jara ngura . uda bir. atau jara bhara . uda puti. Warna motif fauna pada tenunan menjadi identitas tenunan, sapu lue jara bhara, sapu lue jara ngura, lawo jara bhara atau lawo jara ngura. Keteraturan itu disebut mereka dengan sadu jika tidak teratur sesuai tradisi disebut sadu bhai. Berdasarkan wawancara dengan tokoh dan sejarawan Bajawa, motif gajah pada Sapu LuAoe Lawo: Motif hewan yang paling besar, dibandingkan dengan kuda dan ayam. Yang menggunakan motif gajah adalah mereka yang sudah mencapai tingkat kehidupan . ang bisa toa wel. Kalau orang sudah mencapai kemampuan itu disebut sadhu . ang sudah di Legitimasinya berasal dari masyarakat adat. Bukan hanya pada masyarakat adatnya tapi juga masyarakat umum. Begitu juga dengan kerbau tidak semua orang bisa atau diperbolehkan untuk merayakan pesta dengan menggunakan kerbau sebagai sembelihan. Begitu juga tentang siapa yang bisa tenun. Tingkat kebisaan untuk menenun tidak selalu berkaitan dengan kasta dalam masyarakat tetapi pada tingkat kemampuan. Tentang lawo butu, menurut mereka sebenarnya sebuah penyimpangan dari adat yang original. Itu variasi untuk orang yang gae. Tidak semua orang boleh menenun. Tentang lawo yang warna-warni sekarang ini, beliau berpendapat itu haknya orang. Mengapa hitam? Pertama sekali adalah upu yang terbuat dari sisa-sisa benang tenunan lawo. Rasanya kasar, setelah itu mulai dengan budaya merendam di lumpur . dan selanjutnya fuwu, dan kemudian dengan taru. Warna hitam dlukiskan dalam papatah adat Autoro papa bhoko (Vero Ul. , mite mata ragaAy. atau dalam pepatah adat Auema se lalu toro, ine se susu miteAy. 1020 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Pepatah yang memuliakan pakaian adat Boku roa yila keru saka tobho melukiskan gagah perkasa . ketika seseorang mengenakan pakaian adat secara lengkap. Kenapa ada motif gajah pada hal tidak ada di Ngada, menurut sejarawan gajah memang tidak lihat sekarang tapi pernah ada tetapi sudah punah sehingga cenderung seperti dongeng saja. Gajah mengalami kepunahan dan ditemukan fosil gajah di Riung, meneg ruda. Gajah itu hewan asli yang sudah ada di Ngada sebelum nenek moyang datang. Kepunahan gajah disebabkan juga persaingan untuk mendapatkan makanan dan juga bencana. Pengenaan Sapu Lu'e Lawo mewakili kegembiraan, sukacita. Biru, indigo . adalah warna asli, kalau hitam itu kesejatian, filosofi biru, kedalaman, ketenangan, ketinggian menggambarkan sisi, dimensi kedalaman, mite, ngura itu adalah kekuatan dan merupakan karakteristik asli orang Ngadha. Merah . , merah artinya berani, merah hati ayam. Spirit kebangsaan Indonesia itu merah. Pada bendera, pada gerakan Rosario merah putih. Merah berani karena kebenaran. Lawu buku tewu yaitu perkembangan dengan kekinian tapi kultur kita dasarnya kalau berbicara kain adat Ngadha, keaslian kita itu selalu mite, bhara, ngura, tetapi kalau bertambah warna ungu, kuning dll mengikuti perkembangan kekinian, selera fashion kekinian, tetapi untuk acara resmi tetap mite dan ngura. Apakah buku tewu itu mengganggu kandungan nilai hitam dan biru? Kalau mite, bhara dan ngura itu indikasi geografis ata kita. Berbicara kain adat Ngadha itu menunjuk pada bhara dan ngura. Terhadap warna warni sebagai gangguan keaslian tergantung pada perspektif dari mana orang memandang. Ada perjumpaan, pertautan nilai Imani Kristiani Kekatolikan dengan nilai budaya Ngada menjadi satu di situ ada banyak kekayaan yang dimiliki orang Ngadha di atas dua landasan kekatolikan dan adat budaya orang Ngadha menjadi satu terekspresi dalam kesukacitaan, cinta kasih, harmoni, keutuhan ciptaan. Nampak dalam inkulturasi, maka dibutuhkan kebijakan political will untuk mendukung produktifitas tenun ikat yakni regulasi keberlajutan sumber daya alam untuk memudahkan persediaan bahan baku . ewarnaan asl. seperti regulasi untuk menanam taru . dan kapas. Semoga ada rekomendasi penelitian ini agar pemda kabupaten Di tingkat kebun desa misalnya. STIPER masih fokus ke penciri yakni kopi . ebun raya wolo bob. dan bambu, kuda, babi. Ada niat budi daya hortikultura, seperti bara tero, advokad, dll. Indikasi dimengerti juga sebagai potensi. Geografis berasal dari kata geo adalah bumi dan graphein sebagai tulisan atau menjelaskan. Jadi geografis artinya menunjukan suatu tempat letak atau asal sesuatu. Pengertian Indikasi Gegrafis menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang Indikasi geografis merupakan salah satu rezim Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dikenal dengan Intellectual Property Rights. Kekayaan adalah abstraksi dari sesuatu yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli maupun dijual, sedangkan kekayaan intelektual adalah segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi. Ada tiga unsur IG yakni geografis meliputi faktor alam, faktor manusia dan kombinasi Lingkup pengaturan tentang IG meliputi dari segi defenisi atau pengertian bahwa IG merupakan nama daerah yang digunakan sebagai indikasi yang menunjukan wilayah/daerah asal produk istilah indikasi geografis . eographical indicatio. yaitu Aua sign used on goods that have a specific geographical origin and process qualities or a reputation that are due to that place of originAy. Dari rumusan tersebut, tampak bahwa indikasi-geografis dapat digunakan sebagai tanda yang menunjukkan Aunama wilayahAy asal suatu komoditas atau suatu produk yang kualitas dan karakteristik khasnya dipengaruhi oleh faktor geografis. Penelitian ini mengambil tema Indikasi Geografis pada produk tenunan sapu luAoe lawo yang merupakan seperangkat tenunan pakaian adat bagi masyarakat adat Bajawa di Kabupaten Ngada, yang terdiri sapu luAoe yakni seperangkat tenunan pakaian adat untuk laki-laki dan lawo yakni 1021 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 seperangkat tenunan pakaian adat untuk perempuan. Sapu Lue Lawo biasanya dipakai pada waktu dan ruang pentas tertentu seperti pada saat menari jaAoI laba go, atau dalam ritual adat seperti, pembuatan rumah adat atau monument lainnya. Tenunan sapu luAoe lawo adalah obyek/kekayaan yang terhubung dalam relasi subyektif antara pemilik yang menenun dan atau menggunakannya sekali gus sebagai pembentuk identitas kultural sebuah komunitas yang disebut masyarakat adat Bajawa dengan lingkungan geografis, lingkungan tradisi dan hukum adat. Masyarakat Adat Bajawa disebut dengan masyarakat Ngadhu Bhaga. Komunitas ini mendiami wilayah geografis yang disebut Ngadha atau dikenal sebagai orang Bajawa. Ada indikasi Geografis yakni Faktor Alam, factor manusia dan kombinasi dari factor alam dan manusia dalam menghasilkan produk tenunan Sapu LuAoe lawo sebagaimana dituturkan oleh para responden. Dari berbagai defenisi tentang masyarakat hukum adat oleh para ahli hukum seperti Van Vollenhoven. Surojo Wignyodipuro. Hilman Hadikusuma. Dominikus Rato selalu menekankan akan adanya unsur geografis atau teritorial sebagai penanda adanya masyarakat hukum adat. Lingkungan geografis juga disebut sebagai ruang hidup dalam artian fisik tetapi juga ruang hidup tata nilai, dan ruang lumbung kekayaan bersama baik kekayaan material maupun immaterial. Reputasi dan citra pada nilai intrisik sapu lue lawo terdapat pada pesan nilai kolektif/komunal yang disampaikan melalui motif dan warna dan bahan yang digunakan. Makna pesan yang diturunkan secara turun temurun didasarkan pada tingkat pengetahuan dan pengertian terhadap fakta, ia harus direkomendasikan oleh kesan terhadap sesuatu setelah adanya pemahaman atau persepsi terhadap hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan kemudian membentuk pemaknaan. Dalam literature tentang Ngadha sebagaimana peneliti merujuk dalam disertasi ataupun tulisan lainnya, lingkungan geografis dimaksud disebut sebagai toko wolo dan ulu eko. Keduanya menunjukan jenjang luas geografis yang berhubungan dengan claim identitas kultural yakni, se toko wolo, se ulu eko, atau se fao bheto, se nua, se woe, se saAoo, se tuka. Penjenjangan ini juga seirama dengan jenjang struktur penguasaan sumber daya alam, tanah oleh masyarakat adat woe. Kesamaan tempat tinggal dengan batasan geografis dalam aritian fisik maupun sebagai ruang hidup nilai masyarakat adat woe menyebut pemimpin mereka sebagai gili pere wara, lue tede angi. Gili itu perisai pelindung dari senjata tajam sedangkan lu,e sebagai pelindung dari serangan badai. Ruang hidup fisik maupun ruang hidup untuk nilai yang dianut juga termasuk yang imaterrial seperti rank/kasta, nama baik, keperkasaan atau kecerdasan yang diyakini sebagai titisan leluhur, termasuk kecerdasan menjalin keserasian saat Kebolehan itu diyakini sebagai warisan leluhur yang bisa menghubungkan dunia nyata dengan yang gaib. Relasi ini bisa terbaca dalam citra lingkungan antara semua yang menempati ruang nilai komunal(Marsianus Ampat et al. , 2. Citra lingkungan . nvironmental imag. adalah wawasan atau persepsi manusia terhadap lingkungannya baik gambaran tentang lingkungan fisik maupun yang metafisik, tentang struktur, mekanisme dan fungsi lingkungannya juga interaksi dan adaptasi manusia termasuk respon dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Manusia yang menentukan pola relasi dengan lingkungannya karena pada manusia dikaruniakan daya cipta, karsa dan rasa untuk merekam pengalaman, memberikan penilaian terhadap suasana onyektif lingkungannya. Citra lingkungan komunitas membentuk etika lingkungan . nvironmental ethi. yang juga dilatari oleh alam pikir magis-kosmis dan religius, harmonis, holistic dan kompherhensip. Manusia wajib mengkawal perilakunya sendiri dalam berinteraksi dengan alam sehingga membentuk pola relasi berbasis citra dan etika lingkungan(Susanti. Diah Imaningrum . Indradadi, 2. Penelitian ini menemukan bahwa terjadi fenomena kepunahan ketersediaan bahan dasar pembuatan tenunan sapu luAoe lawo seperti kapas, tarum dan pewarna lainnya. Seperti dituturkan oleh para penenun bahwa untuk saat ini bahan dasar pembuatan tenunan sapu lue lawo mulai tergantikan dengan bahan jadi atau setengah jadi yang disediakan oleh pasar. 1022 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Perluasan lahan untuk bertani menyebabakan sistem bentangan alam dan fungsinya mengalami Masyarakat mengalami kesulitan untuk membagi fungsi lahan yang sudah terbatas untuk tanaman tarum dan kapas. Penenun yang menyadari ancaman tersebut mulai membudidayakan tanaman tarum dan kapas. Kesadaran ini juga mempengaruhi kebijakan di dunia pendidikan yakni STIPER Ngada yang telah menanam tarum untuk mempermudah para penenun mendapatkan bahan. Kiranya Kapas dan lainnya juga akan mendapatkan perhatian. Hal ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah dan gereja. Jika kepunahan terus berlangsung maka akan memudar pula indikasi geografis pada tenunan sapu lue lawo. Dari segi sifat bahwa IG menunjukan kualitas, reputasi dan karakteristik suatu produk. Jika dari bahan dasar seperti benang dan pewarna dapat tergantikan maka indikasi geografis sapu-lue lawo dapat diperkuat melalui unsur kualitas. unsur reputasi. dan unsur karakteristik pada tenunan pada Sapu LuAoe lawo yang terdapat pada motif, warna, bahan utama dan alat yang digunakan. Motif Sapu Lue Lawo ada beberapa motif yakni waAoi manu . aki aya. , jara . , gaja . , kima, capung, kepiting, kita ata . , kowa . dan wae bata . ir, laut yang bergelomban. Para narasumber menjelaskan bahwa motif merupakan perwujudan atau gambaran dari pemahaman penenun tentang manusia, flora dan fauna juga bentangan alam yang hidup sebagai kesatuan ruang hidup diri dan komunitasnya. Keseluruhan motif yang tersusun dalam satu tenunan merupakan simbol satu kesatuan untuk menampilkan identitas jati diri masyarakat adat Bajawa. Motif air tidak hanya terdapat pada sapu lue lawo wae ghole yang dikenal sebagai tenunan indigo . namun juga terdapat pada semua jenis tenunan sapu lue lawo, karena air adalah sumber kehidupan bagi segala mahluk. Motif gelombang air . ae bat. menyatu dengan kowa . dan kita ata . merupakan satu kesatuan makna yang mengkisahkan perjalanan atau kedatangan leluhur orang Bajawa dari Sina One, pedalaman Cina atau dari Cina yang jauh, dari Jawa yang jauh. Wai manu, jara dan gaja menggambarkan stratifikasi sosial masyarakat adat Bajawa. Siapa memakai motif apa. Labu mengambil pata dela untuk menggambarkan makna motif kowa, rajo. PuAou zili Sina One Dari Cina yang jauh. PuAou zili Jawa One Dari Jawa yang jauh Zili da pako gha neAoe rajo Disana dibuatkan perahu. dan seterusnya menggambarkan perjalanan, kedatangan leluhur masyarakat adat Bajawa dengan mengarungi lautan lepas. Motif wai manu . aki aya. Kako moe manu jago, belum ada penjelasan yang pas tentang motif waAoI manu . aki aya. Mengapa tidak dalam bentuk ayam yang seutuhnya? Labu memaknai motif waAoI manu . aki aya. mewakili makna ayam yang dilihat sebagai representasi yang ilahi yang merupakan ibu dan bapa asal. Manu mewakili nama binatang totemic dari langit, yang memiliki kualitas milo . udus, suci, sacra. Ada pepatah adat yang mengibaratkan kemampuan manusia, kako moe manu jago, suara seruannya lantang seperti kokok ayam jantan. Namun dalam penelitian menemukan bahwa motif juga berkaitan erat dengan stratifkasi sosial. Pada masa sekarang terkesan ada penghindaran untuk menggunakan tenunan dengan motif wai manu. Motif jara . , motif kuda (Equus ferus caballu. dalam budaya Ngada dipandang sebagai simbol representasi kesucian, kewibawaan dan kerja keras dari karakter etnis Bajawa. Hal ini terkandung dalam pepata Yie moe jara ngay, seruannya nyaring seperti ringkikan kuda jantan. Motif Gaja/gajah, sebagaimana dalam dunia nyata gaja merupakan binantang yang paling besar dari binatang lainnya, motif gaja pada tenunan sapu lue lawo hanya diperuntukan bagi mereka dari kasta tertinggi yakni gaAoe. Pelanggaran dalam penggunaan motif ini oleh kasta lainnya seperti rang kisa dan rang azi bisa berakibat sakit tulah atau kutukan. Para peneliti terdahulu seperti Yohanes Vianey Watu berpendapat bahwa motif gajah pada tenunan Bajawa ada hubungannya dengan Hinduisme. Orang Ngadha adalah penganut Hinduisme vedhistis sebagaimana diritualkan dalam puju vedhi, yakni ritual mempersembahkan sesajen kepada yang Ilahi. sebagai kendaraan Dewa Indra yakni rajanya 1023 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 para Dewa. Karakter orang bajawa harusnya memiliki kebijaksanaan. Dari narasumber diperoleh keterangan bahwa sesungguhnya gajah pernah hidup di daerah Ngadha tetapi mengalami kepunahan. Belum dipastikan apakah gajah adalah hewan yang dibawa serta saat kedatangan para leluhur orang Ngadha dari Cina one ataukah hewan yang sudah ada di Ngadha sebelum kedatangan leluhur orang Ngadha. Butuh penelusuran di daerah-daerah persinggahan seperti di Jawa dan Sumba (Wi. dan lainnya. Warna dasar hitam . , makna warna hitam berkaitan dengan pemahaman terhadap yang ada, yang nyata. Pada asas, tey gha be mera, asas yang menyatakan bahwa segala pemaknaan harus didasarkan oleh tangkapan indrawi. Tentang ini bisa diambil dari pepatah yang menempatkan sapu lue lawo sebagai seperangkat tenunan pakaian adat yang mewakili jati diri orang Bajawa atau disebut dengan citra atau waka. Tidak semua pemakai bisa mendapatkan kekuatan citra ini terkecuali melampau tahap pemahaman dalam dirinya. Watu memaknai mite sebagai simbol ketulenan, keaslian, kesejatian sebagaimana diungkapkan dalam pata dela: JaAoo de gaAoe moe ratu kae. Aku yang sejati ibarat jelaganya para-para. Romo Roni Neto Wuli memberikan pendapatnya tentang mite dalam ungkapan gaAoe moe ratu kae sebagai kesejatian yang melalui proses pematangan, pemuliaan, tangguh tidak instan. Sabo weki, pelindung badan baik dalam artian pisik maupun psikis, rao weki. Oleh karena itu penelitian tentang sapu luAoe lawo tidak sekedar sebagai tenunan, tetapi sebagai seperangkat tenunan pakaian adat, yang memiliki etik dan bahkan norma tentang siapa, bagaimana cara dan kapan waktu untuk membuat dan atau menggunakannya. Fungsi sapu lue lawo antara lain mengekspresikan atau menyatakan, mengungkapkan identitas kultural, jati diri komunity. Jika seseorang mengenakan sapu lue lawo maka sesungguhnya ia sedang mengungkapkan siapa dirinya dari komunity etnis budaya yang mana, termasuk kasta. KBBI memaknai jati diri sebagai ciri-ciri, gambaran atau keadaan khusus seseorang atau suatu tanda atau identitas. Jati diri mengandung makna jiwa, semangat dan daya gerak dari dalam yang telah memberikan daya hidup serta ciri-ciri yang khas. Selain itu fungsi sapu luAoe lawo sebagai pelindung, sabo weki, melindungi tubuh dan jiwa. LuAoe tede angi, lue yang menjadi tirai/tabir penolak angin, badai, bala kemalangan. Bahan utama terdiri dari benang, taru, air, kapur. pada lawo butu . dibentuk dengan menggunakan manik-manik warna warni. Dari segi kepemilikan bahwa IG dimiliki secara komunal. Tenunan merupakan salah satu potensi dengan ciri spesifik kedaerahan yang dapat dikembangkan sehingga dapat menunjukan karakteristik daerah. Sistem kepercayaan tradisional sangat lekat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang terbentuk sebagai hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat yang membedakannya dengan produk yang sejenis pada masyarakat lain. Sebagaimana dituturkan oleh para nara sumber, pakaian adat sebagai obyek terhubung secara subyektif dengan pemiliknya. Masyarakat hukum adat Bajawa yang disebut sebagai masyarakat Ngadhu-Bhaga adalah pemilik dan atau pengguna sapu luAoe lawo. Tidak seorangpun yang boleh mengklaim motif dan warna dasar sebagai hasil kreasi pribadi. Kekayaan ini diyakini sebagai temuan para leluhur untuk mewakili kayakinan bersama akan eksistensi identitas kultural mereka sebagai suatu komunitas. Ada beberapa kreasi yang menandai adanya kekhasan identitas individual yang diakui diantara para penenun namun mereka terikat pada keyakinan bersama bahwa kreasi baru dilekatkan pada motif dasar yang memang berisi ajaran dan pesan leluhur. Dari segi jangka waktu perlindungan bahwa IG tidak mempunyai batas waktu perlindungan selama terjaganya reputasi, kualitas dan karakteristik yang dasar untuk Persoalan batas waktu perlindungan terhadap tenunan sapu LuAoe Lawo melalui IG oleh Negara tidak dapat mengingkari tersedianya bentuk dan cara perlindungan hukum oleh hukum adat. Sebagaimana diutarakan oleh para nara sumber bahwa proses menenun tidak bebas dari unsur religious yakni keyakinan akan penyertaan Dewa dan para leluhur sejak awal menenun sampai dengan bentuk jadi. Begitu pula tingkat insiasi kemampuan penenun dengan 1024 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 kualifikasi jenis tenunan. Selain keterampilan tangan penenun tenunan pakaian adat sapu-luAoe lawo, seorang penenun harus memiliki intelektualitas kerohanian. Hal ini jelas tertutur oleh para responden dan nara sumber bahwa Intelektualitas kerohanian yang dimiliki para penenun diyakini berkaitan dengan system religi tradisional komunal. Mereka yakin dengan melakukan ritual yang sama dalam setiap tahapan menenun maupun dalam inisiasi kemampuan menenun dari tingkat rendah, menengah dan tingkat yang special akan melindungi mereka dari ancaman kebutaan atau nyeri sendi tulang, dan mereka akan terus memiliki kemampuan menenun sampai dengan kemampuan untuk mewariskannya kepada ahli waris mereka. Keyakinan bersama inilah sebagai indikasi kekayaan komunal pada tenunan sapu lue lawo. Perlindungan Hukum Terhadap Tenunan Sapu LuAoe Lawo. Ada dua bentuk perlindungan hukum yakni perlindungan preventif dan bentuk perlindungan represif. Perlindungan hukum preventif dalam teori negara hukum, teori hirarki peraturan perundang-undangan serta teori hukum yang beragam dapat digunakan sebagai pisau analisis masalah yang diteliti. Prinsip negara hukum berisi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-Hak asasi manusia yang dalam konteks negara Indonesia dimaknai sebagai perlindungan bagi rakyat Indonesia. Perlindungan bagi rakyat mendudukan hukum melalui negara sebagai pelindung dan rakyat Indonesia sebagai yang dilindungi(Rade & Wohon, 2. Rakyat dilindungi dari tindakan melawan hukum yang bersifat vertical yakni dari tindakan pemerintah dan juga bersifat horizontal yakni dari tindakan atau perbuatan melawan hukum dari antara individu dengan individu atau antara kelompok dengan kelompok atau juga dari tindakan individu dan atau kelompok yang merugikan diri atau kelompoknya sendiri. Sistem perlindungan hukum di Indonesia tercermin dalam tata susunan norma hukum menurut Hans Nawiasky dan menurut Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Hans Nawiasky menyusun berjenjang dari Grundnorm ke Grund gesetze selanjutnya ke Formelle Gesetze. sedangkan Tap MPRR Nomor XX/MPRS/1966 mengkonversi atau mensejajarkan Grundnorm dengan Pancasila. Grund Gesetze dengan Undang-Undang dasar 1945 dan Tap MPR dan untuk Formelle Gesetze disejajarkan dengan Peraturan Perundang-undangan . ulai dari UndangUndang ke bawa. Ditengah pencaharian tentang negara hukum Indonesia di antara konsep Rechtstaat dengan the Rule of Law. Hadjon menguatkan konsep negara hukum Pancasila. Negara hukum Pancasila menunjukan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Jiwa kekeluargaan merupakan isi jiwa masyarakat hukum adat seperti rasa cinta, kasih sayang, simpati dll, rasa solidaritas yang kuat, saling asah, asuh dan asih, rasa kebersamaan . yang lebih kuat dibandingkan dengan individu, ada suasana bebas terikat ibarat manik ring cucupu. Semangat kekeluargaan dan gotong royong merupakan kekuatan untuk mencapai keharmonisan/ keserasian hidup dan kehidupan di dalam lingkungan sosial yang bersangkutan(Masrur, 2. Hadjon menyimpulkan bahwa semangat kekeluargaan dan gotong royong menampilkan hubungan Pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. Ini berarti bahwa bentuk dan cara dalam melindungi rakyat harus berakhir pada terjaganya hak-hak dan kewajiban warga yang menjadi dasar untuk kenyamanan berusaha mencapai tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia(Hadjon, 1. Pada masalah perlindungan hukum yang berkaitan dengan indikasi geografis telah disediakan sarana perlindungan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai penerapan nilai-nilai filosofis Pancasila dan nilai konstitusional pada UUD 1945. Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan perlindungan hukum preventif dalam tema penelitian ini adalah, perlindungan dalam bentuk tersedianya peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kekayaan intelektual komunal dalam hal ini Indikasi geografis. Dengan menggunakan teori hierarki peraturan perundang-undangan maka dapat disusun secara berjenjang. Untuk gambaran alur hubungan antara peraturan perundangundangan maka diperlukan juga rekaman antara UUD 1945 dan Tap MPR meski dalam 1025 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 kedudukannya sebagai grund gesetze (KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001, 2. Pengaturan tentang IG dimulai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek setelah Indonesia meratifikasi WTO-TRIPAos yang kemudian ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ditegaskan bahwa perlindungan terhadap IG harus mengikuti standar yang ditetapkan dalam TRIPAos Agreement. Kebutuhan pengaturan tentang IG dipenuhi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis. Pada pasal 1 angka 7 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUMIG) merumuskan bahwa hak atas indikasi Merek Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemegang hak IG yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas IG tersebut masih ada(Hidayat, 2. IG merupakan salah satu rezim Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan indikasi adanya hubungan yang erat antara produk dengan tempat asalnya, berupa factor alam yang mempengaruhi reputasi produk tersebut dan dikuatkan dengan intervensi manusia. Kekhasan IG membutuhkan perlindungan yang kuat sebagai: Saran Pelindung bagi produsen maupun konsumen. Sebagai sarana pemasaran Sebagai sarana pembangunan bagi daerah pedesaan dan Sebagai sarana pemerataan ekonomi. Produk Indikasi Geografis mempunyai jaminan kualitas dan keaslian sehingga memberikan pengaruh positif secara ekonomi, yang mana berstandar dengan harga yang TRIPAos memberi dua kewenangan kepada Negara-negara anggotanya untuk mencegah: Pengguna setiap cara penunjukan barang yang merujuk atau menjanjikan bahwa barang tersebut berasal dari daerah geografis, selain dari tempat asal yang sebenarnya sehingga menyesatkan publik mengenai asal geografis dari barang tersebut. Pengguna yang menunjukan adanya perbuatan persaingan curang. Sangat dibutuhkan peraturan yang memadai sebagai penjabaran lebih lanjut dari UndangUndang Nomor 20 tahun 2016 tentang Indikasi Geografis. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Bab Vi sampai dengan Bab X, dari pasal 56 sampai dengan pasal 71 mengatur secara khusus tentang Indikasi geografis yang dapat dikelompokan sebagai perlindungan prefentip dan perlindungan represif. Beberapa Pasal penting yang berkaitan dengan penelitian ini yakni: Pasal 1 angka 6 Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena factor lingkunan geografis termasuk factor alam, factor manusia atau kombinasi dari kedua factor tersebut memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Pasal 1 angka 7 Hak atas indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada. Pasal 1 angka 10 Pemakai Indikasi Geografis adalah pihak yang mendapat izin dari pemegang Ha katas Indikasi Geografis yang terdaftar untuk mengolah dan/atau memasarkan barang dan atau Produk Indikasi Geografis. Pasal 53 ayat . Untuk memperoleh perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat . , pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan permohonan kepada Menteri. 1026 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Dalam permohonan pendaftaran harus menyertai dokumen deskripsi Indikasi Geografis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 11 yakni suatu dokumen yang memuat informasi, termasuk reputasi, kualitas, dan karakteristik barang dan atau produk yang terkait dengan factor geografis dari barang dan atau produk yang dimohonkan Indikasi Geografisnya. Pasal 1 angka 19 menunjukan orang perseorangan atau badan hukum sebagai pemegang hak atas merek dan Indikasi Geografis. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tidak merumuskan hak milik komunal atas merek dan Indikasi Geografis. Pengertian Komunal dapat terbaca pada Pasal 53 ayat . Permohon sebagaimana dimaksud pada ayat . merupakan lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau A Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis dapat diajukan oleh: Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa: sumber daya alam, barang kerajinan industri atau hasil Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. Berikut ini tahapan untuk mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis(Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Indikasi Geografis, 2. Mengajukan Permohonan Setiap asosiasi, produsen atau organisasi yang mewakili Indikasi Geografis bisa mengajukan permohonan dengan melampirkan beberapa persyaratan, antara lain: Pemohon atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi formulir rangkap 3 kepada DJKI / Kantor Wilayah Kemenkumham. Surat kuasa jika permohonan diajukan melalui kuasa. Bukti pembayaran biaya. Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasigeografis yang mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang. Dokumen deskripsi yang memuat antara lain: nama Indikasi-geografis dimohonkan pendaftarannya. jenis barang yang dimintakan perlindungan Indikasi-geografis. uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan. selain itu, uraian tentang batas -batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis. dan seterusnya. Pemeriksaan Administratif Kemudian, permohonan yang diajukan kemudian diperiksa apakah ada kekurangan persyaratan atau tidak. Jika ada kekurangan, pemeriksa akan mengkomunikasikan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggang waktu 3 bulan dan jika tidak bisa diperbaiki oleh pemohon maka permohonan tersebut ditolak. Pemeriksaan Substansi Selanjutnya, tim ahli yang terdiri dari para pemeriksa yang ahli dibidangnya memeriksa isi dan pernyataan-pernyataan yang diajukan untuk memastikan kebenarannya dengan pengoreksian. Setelah dinyatakan memadai, maka akan dikeluarkan Laporan Pemeriksaan yang usulannya disampaikan kepada Dirjen. 1027 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Jika dalam permohonan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan tanggapan penolakan Pemeriksaan substansi dilakukan paling lama 2 tahun. Pengumuman Dalam kurun waktu paling lama 10 hari sejak tanggal disetujuinya Indikasi Geografis untuk didaftar maupun ditolak. Dirjen mengumumkan keputusan dalam Berita Resmi Indikasi Geografis selama 3 bulan. Pengumuman memuat antara lain: nama permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, tanggap penerimaan. Indikasi Geografis dimaksud dan abstrak dari buku persyaratan. Oposisi Pendaftaran Setiap orang yang memperhatikan Berita Resmi Indikasi geografis bisa mengajukan oposisi disertai alasan keberatan dan pihak pemohon / pendaftar bisa mengajukan sanggahan mengenai keberatan tersebut. Pendaftaran Kemudian, mengenai permohonan Indikasi Geografis yang disetujui dan tidak ada oposisi atau telah adanya keputusan final atas oposisi untuk tetap didaftar. Tanggal pendaftaran sama dengan tanggal saat diajukan aplikasi. Kemudian. Dirjen memberikan Sertifikat Pendaftaran Indikasi Geografis dan sertifikat bisa diperbaiki jika ada kekeliruan. Pengawasan terhadap Pemakaian Indikasi-Geografis Selanjutnya, tim ahli Indikasi geografis mengorganisasikan dan memantau pengawasan terhadap pemakaian indikasi geografis di Indonesia. Indikasi geografis yang dipakai tetap sesuai sebagaimana buku persyaratan yang diajukan. Banding Permohonan banding dapat diajukan ke kepada Komisi Banding Merek oleh pemohon atau kuasanya terhadap penolakan Permohonan dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan penolakan diterima dengan membayar biaya yang telah ditetapkan. Pemerintah Pusat dan atau pemerintah daerah berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan Indikasi Geografis sebagaimana ditentukan pada pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 71 ayat . memberikan kewenangan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan dengan tujuan sebagaimana diatur pada Pasal 71 ayat . menjamin tetap adanya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diterbitkannya Indikasi Geografis. mencegah penggunaan Indikasi Geografis secara tidak sah. Pasal 56 ayat . huruf a Permohonan dapat ditolak jika Dokumen deskripsi Indikasi Geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan atau huruf b memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah terdaftar. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2017 tentang Indikasi Geografis. Peraturan Pemerintah ini menentukan bahwa setiap asosiasi, produsen atau organisasi yang mewakili produk Indikasi Geografis dapat mengajukan permohonan dengan memenuhi persyaratanAe persyaratan yaitu dengan melampirkan beberapa syarat. Pertama, permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau melalui Kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 . kepada Direktorat Jenderal. Kedua, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa. Ketiga, bukti pembayaran biaya. Keempat, buku persyaratan yang terdiri atas: nama Indikasi-geografis dimohonkan pendaftarannya. nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis. 1028 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan. uraian tentang batas -batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasigeografis. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasigeografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi-geografis tersebut. Kemudian, uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi-geografis. Kelima, uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis yang mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang atau bisa dibagi dalam 5 tahapan yakni : Tahap Pertama : Mengajukan Permohonan Tahap Kedua : Pemeriksaan Administratif Tahap Ketiga : Pemeriksaan Substansi Tahap Keempat : Pengumuman Tahap Ke Lima : Sertifikat Perlindungan represif adalah bentuk perlindungan hukum yang bersifat penegakan hukum jika terjadi pelanggaran hak dan atau lalai melaksanakan kewajiban hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan-perundang-undangan tentang indikasi geografis. Pelanggaran dan Gugatan Selain perlindungan prefentip UU nomor 20 Tahun 2016 juga mengatur bentuk dan cara perlindungan yang bersifat represif jika terjadi pelanggaran terhadap hak pemegang IG. Perlindungan yang bersifat represif diatur pada Bab X tentang Pelanggaran dan Gugatan. Pasal 66 sampai dengan pasal 69. Bentuk pelanggaran atas Indikasi Geografis diatur dalam pasal 66 yakni: Pemakaian indikasi geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang dilindungi oleh indikasi geografis. Pemakaian suatu tanda indikasi geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud untuk: Menunjukkan bahwa barang dan/atau produk tersebut sebanding kualitasnya dengan barang dan/atau produk yang dilindungi oleh indikasi geografis. Mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut, atau Mendapatkan keuntungan atas reputasi indikasi geografis. Pemakaian indikasi geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asalusul geografis barang itu. Pemakaian indikasi geografis bukan pemakai indikasi geografis terdaftar. Peniruan atau penyalahgunaan yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal tempat barang dan/atau produk yang terdapat pada: Pembungkus atau kemasan. Keterangan dalam iklan. Keterangan dalam dokumen mengenai barang dan/atau produk tersebut atau 1029 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal-usulnya dalam suatu kemasan. Tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang dan/ atau produk tersebut. Penyelesaian terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan Indikasi Geografis dapat dilakukan secara perdata dan pidana. Dalam kasus perdata maka penyelesaian bisa dilakukan dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Peradilan Niaga. Penyelesaian secara perdata bisa juga memilih alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti negosiasi, mediasi atau arbitrase. Secara pidana dapat dilakukan dengan cara melaporkan pelanggar penggunaan IG ke Kepolisian Republik Indonesia setempat. Pasal 101 Undang-Undang Nomor 20 Tahun Bentuk pelanggaran yang marak terjadi khususnya tenun ikat di NTT adalah fenomena terjadinya perebutan atau saling meniru, mengklaim hasil karya dari orang lain demi kepentingan ekonominya Peran pemerintah daerah sangat penting dalam keberhasilan peningkatan pelindungan dan pemanfaatan KI. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT adalah dengan membentuk Peraturan Daerah (Perd. sebagai kebijakan strategis dalam pengembangan sistem KI di daerah. AuBahwa saat ini untuk meningkatkan pelindungan KI di NTT telah dibuat Perda terkait KI di empat . Kabupaten Kota yaitu. Ngada. Manggarai Barat. Sumba Timur, dan Alor,Ay. Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Indikasi Geografis pada Sapu lue lawo Penerapan hukum dalam hal perlindungan hukum terhadap tenunan Sapu Lu'e Lawo bersifat multidimensi yakni dimensi lahiriah dan bathiniah, dimensi hukum dan dimensi ekonomi. Dimensi lahiriah dapat terukur melalui indikator sosial ekonomi dalam hal reputasi dan kualitas fisik, sedangkan produk dimensi bathiniah diukur melalui alur dan alir penjabaran nilai keadilan sebagai substansi yang tersirat dan juga tersurat dalam berbagai pertimbangan tentang urgensi perlindungan hukum terhadap tenunan Sapu Lu'e Lawo pada masyarakat adat Bajawa. Urgensi Filosofis Perlindungan terhadap manusia sebagai ciptaan yang sesuai dengan gambaran Allah yang diutus sebagai mitra berkreasi dalam mencipta, memelihara dan menambah daya guna sumber-sumber kekayaan alam melalui daya cipta, akal dan rasa. Pengesampingan pengakuan terhadap para penennun bersama daya kreasi dalam menenun sapu lue lawo dari pengakuan publik adalah sama dengan menjauhkan mereka dari keuntungan secara finansial. Pada pembuatan Sapu Lu'e Lawo tarkandung nilai-nilai filosofis tentang keadilan. Keadilan mengandung makna sebagai suatu suasana dimana setiap orang baik individu atau komunitas menguasai dan atau memiliki segala sesuatu yang menjadi haknya sebagaimana Ata, tana, sao dan adha diyakini sebagai hasil kreasi Tuhan yang membuat segala ciptaannya terhubung satu sama lain. Ata mewakili manusia, tana mewakili lingkungan alam. Sao mewakili keamanan, dan adha menunjukan tata relasi antara ketiga unsur lainnya. Hubungan tersebut menunjukan karakteristik nilai intrinsik yang terkandung dalam produk tenunan Sapu Lu'e Lawo. Ada keterkaitan yang erat antara manusia, sumber daya alam serta hukum sebagai pedoman berelasi di antara unsur-unsur itu yang dalam masyarakat adat Bajawa terdiri dari Ata. SaAoo, tana dan adha. Penulis menambahkan unsur adha dalam kesatuan masyarakat adat Bajawa karena menurut peneliti, keberlanjutan kesatuan masyarakat adat sangat tergantung pada persoalan daya keberlakuan hukum yang tercermin dari kepatuhan masyarakat pada hukum, adha. Ata atau manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai human asset yang diutus pada tempat tertentu. Human asset bisa bernilai jika dikaitkan dengan dimensi sumber daya alam yang tersedia, bisa diambil dan bermanfaat. Penjelasan ini bisa dipakai untuk memaknai indikasi factor alam dan faktor manusia pada indikasi geografis. Keterkaitan dan ketergantungan antara manusia dan sumber daya alam/lingkungan dalam relasi saling Manusia sebagai makhluk yang bekerja wajib menciptakan stewardship relation dan memiliki sikap etis dan restorative . econciliation relatio. 1030 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 Keterhubungan antara sumber daya alam/lingkungan dengan manusia terbaca dalam etika lingkungan dan hukum lingkungan sebagai pedoman berelasi. Itulah yang saya maksudkan bahwa selain ata, saAoo dan tana sebagai unsur keberadaan masyarakat adat Bajawa, dibutuhkan hukum sebagai unsur yang menjadi pedoman untuk berelasi diantara tiga unsur yang lain yakni ata, saAoo dan tana. Motif ata, manusia pada tenunan Sapu LuAoe Lawo tidak terpisah maknanya dengan motif lainnya yakni gajah, kuda, ayam binatang laut, sampan, air. Dalam tuturan para nara sumber dengan jelas melukiskan bahwa motif pada tenunan sapu lue lawo, menggambarkan kisah keberadaan manusia Ngadha. Bajawa yang berfungsi sebagai identitas kultur dan hukum yang berlaku dalam masyarakat adat Bajawa sampai yang terus terjaga sampai saat ini. Begitu pula tentang bahan dan alat yang digunakan merupakan hasil kreasi manusia berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun. Hal ini juga menunjukan indikasi geografis yakni adanya karakteristik, kualitas dan reputasi pada tenunan Sapu Lu'e Lawo. Tiga unsur penting dalam kesatuan masyarakat adat Bajawa yakni ata, tana, dan sao. Bagi saya perlu ditambahkan dengan unsur adha atau gua. Gua masih bersifat kebiasaan sedangkan adha mengandung karakter hukum karena mengatur tentang hak dan kewajiban. Gua berkaitan dengan tata cara, sehingga bisa dikatakan bahwa gua merupakan konsep di bawah makna adha. Urgensi perlindungan hukum secara teoritis dan normatif dapat dideskripsikan bahwa telaahan teori merupakan abstrakasi dari nilai filosofis. Penelitian ini menggunakan teori hierarkhi peraturan perundang-undangan teori the living law. Teori penjenjangan norma membantu peneliti dalam menyusun peraturan perundangundangan ke dalam jenjang yang sistematis sebagaimana dipaparkan pada pembahasan data Meskipun Undang-undang Dasar dan Tap MPR termasuk dalam kategori grund gesetze dan bukan termasuk sebagai formelle gesetze menurut Hans Nawiasky namun tidak demikian halnya dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan ke dua Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pancasila tidak dimasukan sebagai formelle gesetze melainkan sebagai Grundnorm, norma dasar yang mewajibkan kepatuhan regulatif dari UUD dan peraturan perundang-undangan di bawahnya untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara, hukum dasar dan juga dasar hukum bagi peraturan-perundangan. Teori hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah pisau analisis untuk membedah urgensi bentuk perlindungan hukum oleh negara. Untuk mencermati hal ini bisa ditelusuri dari dasar pertimbangan membentuk peraturan perundang-undangan tentang Indikasi geografis misalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Ada 3 dasar pertimbangan yakni : pertama, bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta perlindungan usaha Mikro, kecil dan Menengah dan industri dalam Negeri. kedua, bahwa untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industry, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian local, nasional, regional dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan di bidang Merek dan Indikasi Geografis yang lebih memadai. ahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek dan Indikasi Geografis masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang Merek dan Indikasi Geografis serta belum cukup menjamin perlindungan potensi ekonomi local dan nasional sehingga perlu diganti. Urgensi Perlindungan hukum dari dimensi praktis dapat dijelaskan teori the living law atau teori tentang hukum yang hidup digunakan untuk membedah kebutuhan praktis adanya perlindungan hukum terhadap tenunan Sapu LuAoe Lawo meliputi tanda-tanda indikasi geografis yang terkandung dalam karakteristik kualitas dan reputasi. Mencermati adanya fakta dinamika 1031 | P a g e https://review-unes. Vol. No. September 2023 kreasi motif, bahan dan warna semakin dibutuhkan identifikasi hasil kreasi yang orisinil terutama pesan-pesan nilai filosofis, normative dan respek budaya masyarakat adat setempat yang disampaikan melalui motif bahan dan termasuk ritual yang dilakukan dalam proses pembuatan dan penggunaannya. Perlindungan hukum oleh hukum negara perlu mengadopsi model-perlindukan hukum yang sedang hidup pada masyarakat adat Bajawa. Peneliti menemukan ada sistem perlindungan hukum yang dipatuhi oleh masyarakat melalui ajaran/asas, juga dalam bentuk norma yang mewajibkan suatu perilaku tertentu. Asas atau leluhur Autey ghe be meraAy, melihat dulu baru dinyatakan sebagai ada. Melihat yang dimaksudkan di sini melihat dengan indra, kemudian dituturkan turun temurun sebagai sesuatu yang benar ada atau benar adanya. Hampir semua legenda tentang suatu tempat dalam kepercayaan orang Bajawa memiliki bukti kesaksian Sebagai contoh seperti Mangu Lewa, tiang yang tinggi/panjang dikisahkan bahwa Mangulewa yang sekarang terdiri beberapa kampong dan Desa adalah danau yang besar yang bernama Tiwu Maghi, danau dari leluhur Maghi. Contoh yang lain misanya Bajawa. Ada beberapa versi yakni kisah tentang piringnya orang Jawa, atau Bo Jawa/Boa Jawa yang menunjukan kampongnya leluhur Jawa, atau Bo= lumbungnya leluhur Jawa. Mungkin versi kedua ini bisa diterima karena dalam tahapan inisiasi berkampung pada masyarakat Bajawa dikisahkan dimulai dengan Bo, ke BoAoa . erdiri dari beberapa rumah sederhana/pondo. yang dibangun dekat dengan tempat mata pencaharian seperti daerah persawahan dan lading, selanjutnya terbentuk nua . Cara mendirikan Bo. Boa, tentu berbeda dengan mendirikan saAoo atau rumah adat bernama atau mendirikan kampong. Jika pikiran ini dipakai untuk memaknai karakteristik pada tenunan Sapu Lue Lawo maka dapat memperkuat makna bahwa motif pada tenunan merupakan kreasi daya cipta hasil permenungan penenun dan memindahkan wujud tersebut ke dalam tenunan. Oleh karena itu maka motif pada pakaian adat mewakili ungkapan yang ingin disampaikan pembuatnya. Pada hak kekayaan intelektual komunal terdapat karakteristik yang berbeda. Motif berkaitan dengan keyakinan bersama mengenai identitas yang sama dan diwariskan secara turun temurun. Tidak seorang pun dapat mengklaim motif pada tenunan sapu lue lawo sebagai milik perorangan, meskipun pada saat ini terdapat hasil kreasi individual sebagai tanda pengenal yang membedakannya dengan motif yang sama dari hasil tenunan penenun lainnya. KESIMPULAN Pada Sapu LuAoe Lawo yakni sebagai seperangkat tenunan pakaian adat pada masyarakat adat Bajawa. Sapu LuAoe diperuntukan bagi ana saki . aki-lak. dan lawo/sarung untuk ana fai . yang mengandung indikasi geografis yang menunjukan identitas kultural masyarakat adat Bajawa sebagai daerah asalnya, alasan dari faktor alam dan faktor manusia maupun kombinasi keduanya. Karakteristik Indikasi geografis pada sapu lue lawo seperti pada motif, bahan, proses dan ritual pembuatannya mengandung chemistry yang menghubungkan penenun dan pengguna dengan produknya Nilai rasa itu diperkuat oleh persepsi positif yakni rasa kagum dari pembuat dan penggunanya, sehingga membawa publikasi tentang reputasinya. Sapu Lu'e Lawo adalah kekayaan intelektual komunal (KIK) masyarakat adat Bajawa yang harus dilindungi melalui sarana perlindungan prefentip yakni berupa ketersediaan regulasi tentang materialnya juga regulasi tentang penegakan hukumnya. Dengan demikian negara lain ataupun individu dan atas nama kelompok apapun tidak bisa mengklaim sebagai pemilik untuk mengambil manfaat bagi dirinya sendiri. Bentuk perlindungan hukum melalui asas tey gha be mera merupakan keyakinan dasar masyarakat hukum adat tentang keterikatan lahir bathin antara manusia orang Bajawa dengan lingkungan pemukiman, sejarah keberadaannya yang mewarnai seluruh hasil karya cipta karsa dan rasa REFERENSI