Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Dynamics of Marriage Age Limits in Indonesia: A Study of Psychology and Islamic Law Dinamika Batasan Usia Perkawinan di Indonesia: Kajian Psikologi dan Hukum Islam Yusuf* Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Syarif Abdurrahman Pontianak, Indonesia you_shop@yahoo.co.id DOI: 10.24260/jil.v1i2.59 Received: May 3, 2020 * Corresponding Author Revised: July 30, 2020 Approved: July 31, 2020 Abstract: Article 7 of Law No. 1 of 1974 established that the minimum age of marriage for men is 19 years old and women 16 years old. The regulation was amended through Law No. 16 of 2019 which sets the minimum threshold for marriage for men and women to be married is a minimum age of 19 years. Changes to the minimum marital boundaries are of course intended that the age of marriage becomes an inward part with the goal of marriage, animating the basis of marriage and it is hoped that in the future it will be able to minimize conflicts in the household. Unfortunately, the marriage age limit still causes dynamics. By using library research, there are three results of this study. First, Islamic law does not specify a minimum age for a bride and groom who will carry out the marriage. The foqoha’ differ in opinion in determining the age of maturity of a person in carrying out marriage but has the same goal, namely to establish goals rather than Islamic law. Second, psychologists think that the age of adulthood (adolescent) is right in carrying out marriage, that is someone who is 21 years old and so on. Third, the consequences of premature marriages will arise legal problems, biological problems, psychological problems, social problems, and problems of deviant sexual behavior. Keywords: Age of Marriage, Psychology, Islamic Law. Abstrak: Pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menetapkan bahwa usia minimal pernikahan bagi pria adalah umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun. Aturan tersebut dirubah melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2019 yang menetapkan batas minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan yang akan menikah adalah minimal di usia 19 tahun. Perubahan batasan minimal perkawinan ini tentu dimaksudkan bahwa usia perkawinan menjadi bagian yang inhern dengan tujuan perkawinan, menjiwai dasar perkawinan dan diharapkan kedepanya nanti dapat meminimalisir konflik dalam rumah tangga. Sayangnya, batasan usia perkawinan tersebut masih menimbulkan dinamika. Dengan menggunakan penelitian pustaka, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama, hukum Islam tidak menetapkan minimal usia bagi calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan. Para foqoha’ berbeda [ 200 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. pendapat dalam menentukan usia kedewasaan seseorang dalam melaksanakan sebuah perkawinan, tetapi memiliki tujuan sama, yaitu menegakan tujuan dari pada Hukum Islam. Kedua, para ahli psikologi berpendapat bahwa usia dewasa (edolesen) tepat dalam melaksanakan perkawinan, yaitu seseorang yang berumur 21 tahun dan seterusnya. Ketiga, akibat daripada perkawinan yang prematur akan timbul masalah hukum, masalah biologis, masalah psikologis, masalah sosial, dan masalah prilaku seksual menyimpang. Kata Kunci: Usia Perkawinan, Psikologi, Hukum Islam. A. Pendahuluan Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana di kalangan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat ini tergantung pada kesejahteraan keluarga. Adapun keluarga ini terbentuk melalui sebuah perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah ikatan suami isteri lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Di dalam Hukum Islam, tidak terdapat terdapat ketentuan kemampuan khusus yang berkaitan dengan batas usia bagi seseorang yang akan melaksanakan sebuah ikatan perkawinan. Batasan usia dalam hukum Islam sebagai barometer seseorang dikenakan hukum taklif hanya dalam bentuk akil baligh bagi pria dan wanita. Bagi laki-laki keluar mani dan atau berusia 15 tahun dan bagi wanita telah haidh (menstruasi) dan atau berusia sembilan tahun. 2 Adapun kitab-kitab fiqh tidak membicarakan masalah batas usia, bahkan dalam sebuah kitab fiqh diperbolehkan seseorang laki-laki dan perempuan menikah dalam usia yang masih kecil, sebagaimana terdapat dalam kitab Syarah Fath Al-Qodir. Kebolehan tersebut disebabkan karena tidak adanya ayat Alquran yang secara mantūq menjelaskan tentang batas minimal usia perkawinan dan tidak pula dalam hadist nabi yang menyatakan, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat berumur enam tahun dan menggaulinya pada saat berumur sembilan tahun. 1 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, I (Bandung: Focus Media, 2005), 1. 2 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 142. [ 201 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Jika dilihat dalam undang-undang perkawinan yang berlaku di negara kita, ditemukan bahwa terdapat pasal yang mengatur batasan usia yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakasanakan perkawinan. Undang-undang diciptakan untuk mengatur dan menjamin kepentingan masyarakat yang merupakan ijtihad dari pembuat undang-undang itu sendiri demi kemaslahatan rakyat yang sesuai sosio-kultur Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum harus dapat membaca situasi masyarakat yang dalam hal ini menjadi obyek daripada hukum dan sendisendi hukum antara lain memperhatikan kemaslahatan, keadilan dan tidak membebani pengguna hukum tersebut.3 Perwujudan hukum ini secara umum didasari oleh semangat tujuan syara’, yaitu untuk mencapai kemaslahatan seluruh manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat, sehingga berlakunya suatu hukum diharapkan menjadi suatu sarana untuk mencapai kemaslahatan umat tersebut dan demi terwujudnya tujuan disyari’atkanya Islam. Tujuannya adalah memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta benda dan kehormatan.4 Bila ditinjau lebih lanjut, banyaknya kasus perceraian di kalangan masyarakat antara lain disebabkan karena dinilai kurangnya kedewasaan dan kemampuan melaksanakan tanggung jawab dalam sebuah keluarga, mengingat besarnya tanggung jawab yang akan dijalani oleh kedua calon mempelai. Hal ini juga berakibat pada keturunan yang dihasilkan dalam sebuah perkawinan tersebut, dikarenakan kurangnya kematangan jiwa kedua calon mempelai ditinjau dari segi psikis dan yang tidak optimal. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang usia perkawinan, di antaranya ialah Akhmad Shodikin,5 Ahmad Masfuful Fuad6 dan 3 Hasby As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1989), 7. 4 Muhammad Syah Ismail, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1982), 5. 5 Akhmad Shodikin, “Pandangan Hukum Islam dan Hukum Nasional tentang Batas Usia Perkawinan,” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 9, no. 1 (2015), https://doi.org/10.24235/mahkamah.v9i1.423. 6 Ahmad Masfuful Fuad, “Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan Undang-Undang Perkawinan,” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah 1, no. 1 (1 April 2016), https://doi.org/10.22373/petita.v1i1.77. [ 202 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Asman.7 Menuruth hemat penulis, belum ada yang secara spesifik membahasnya batasan usia perkawinan berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2019 dan tinjauan psikologis. Berangkat dari uraian di atas, maka penulis fokus menganalisa mengapa terdapat batasan umur atau usia yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai ketika akan melaksankan suatu ikatan perkawinan dalam perspektif psikologi dan hukum Islam, serta akibat hukumnya. B. Usia Perkawinan Perspektif Psikologi Agar sebuah ikatan perkawinan dapat mencapat tujuan sebagaimana yang telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka diperlukan aturan untuk mewujudkan hal tersebut. Konsekuensi logis dari tujuan tersebut adalah laki-laki dan peremuan yang akan melangsungkan perkawinan dituntut mempunyai kematangan jasmani dan rohani sebelum memasuki dunia perkawinan. Hal tersebut berkaitan erat dengan usia kedua calon mempelai. Dengan demikian, bahwa usia perkawinan itu lebih dikaitkan pada kemampuan fisik dan kesiapan mental untuk membangun mahligai rumah tangga.8 Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, usia merupakan salah satu komponen yang dikaji oleh ilmu Psikologi, dalam tinjauan psikologi bahwa jiwa manusia dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah anakanak (0-12 tahun). Di fase ini, anak-anak akan mulai mengalami perkembangan perilaku. Di antara perkembangan perilaku tersebut adalah perilaku tertutup atau terselubung (covert behavior), seperti persepsi, ingatan, perhatian (perseption, attention, memory), dan perilaku terbuka (overt behavior), yaitu perilaku yang langsung dapat dilihat seperti jalan, lari, tertawa, menulis. Perilaku seseorang juga mengalami perubahan, bahkan perubahan yang kira-kira sama akan terlihat pada umur dalam batas-batas tertentu. Akhirnya terlihat bahwa manusia mengalami suatu perkembangan jiwa. Selain 7 Asman, “Early Age Marriage Ditinjau dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Analisis Konsep Hukum Islam,” Jurnal Mahkamah : Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam 4, no. 2 (2019), https://doi.org/10.25217/jm.v4i2.506. 8 Andi Syamsul Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan : Sebuah Ikhtiar Mawujudkan Keluarga Sakinah (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005), 43. [ 203 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. perkembangan perilaku, di fase ini juga akan mengalami perkembangan kepribadian. Pembentukan hati nurani sebagai inti pribadi, petunjuk bagi tingkah laku dan sensor terhadap keinginan dan dorongan yang tidak wajar disalurkan dengan tiga sifat. Pertama adalah sifat egosentris mulai dikikis dan sifat lebih mengingat orang lain mulai dipupuk. Kedua adalah dorongan ingin tahu tersalur melalui pertanyaan yang perlu jawaban. Ketiga adalah penanaman disiplin dan tanggung jawab secara bertahap.9 Fase kedua adalah remaja (13-21 tahun). Masa remaja adalah masa transisi di mana seorang mengalami usia peralihan dari masa kanak, usia 12 tahun, menuju masa dewasa, usia 21 tahun. Pada setiap tahapan usia tersebut, seseorang akan merasakan dan mengalami perkembangan yang dilalui. Jika orang tersebut mengalami kegagalan dalam melalui tugas perkembangan, maka orang tersebut akan menemukan masalah pada tahap perkembangan berikutnya. Untuk mengenal perkembangannya. kepribadian Remaja bisa remaja, perlu diketahui tugas-tugas menerima kondisi fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif. Namun faktanya justru sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal itu terlihat dari penampilan yang cenderung menduplikasi penampilan orang lain atau idola tertentu yang disukainya. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Jika tugas perkembangan ini malah menyebabkan kontradiksi dalam internal keluarga serta tidak dapat diselesaikan di rumah, maka yang dikhawatirkan adalah para remaja tersebut akan berusaha mencari pemecahan masalah serta mencari ketenangan di luar rumah. Ekspresi seperti itu tentu akan membuat para remaja lebih memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua, sehingga remaja justru lebih percaya pada orang lain serta pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja dan orang tua berada dalam kesulitan yang besar. Pada masa remaja, remaja sudah timbul kesadaran akan pentingnya pergaulan. Maka barometer seorang remaja yang sadar akan tugas perkembangan 9 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Aksara Baru, 2006), 11. [ 204 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. yang harus dilaluinya bisa dilihat dan dinilai dari kemampuannya bergaul dengan tanpa membedakan antara yang remaja laki-laki maupun dengan remaja perempuan. Kemampuan tidak memilih-memilih teman bergaul ini menjadi ukuran kesuksesan remaja dalam menapaki tahap perkembangan ini, karena sering ditemuinya remaja-remaja yang gagal berkembang sebab tidak berani bergaul dengan sesama remaja hanya karena perbedaan jenis kelamin, bahkan keadaan tersebut bisa dialami hingga akhir usia remajanya. Sikap pengkotakan dan pembedaan dalam pergaulan tersebut menunjukkan terjadinya masalah dan disfungsi dalam tugas perkembangan diri remaja tersebut, termasuk juga kegagalan dalam mengetahui dan menerima kemampuan sendiri. Remaja yang seperti itu akan mengalami posisi rendah diri dan bila diminta untuk menunjukkan kelebihannya, mereka cenderung akan mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Bila hal tersebut dibiarkan berlarut dan tidak segera diatasi pada masa ini, maka tentu saja akan menjadi penghambat untuk tugas perkembangan selanjutnya, yaitu hingga fase dewasa atau bahkan hingga remaja tersebut beranjak tua sekalipun.10 Mengingat tugas-tugas perkembangan tersebut sangat kompleks dan relatif berat bagi remaja, maka untuk dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik, remaja masih sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan supaya dapat mengambil langkah yang tepat sesuai dengan kondisinya.11 Selain tugas-tugas perkembangan, terdapat juga ciri-ciri khusus pada remaja. Di antaranya adalah fisik yang tumbuh secara cepat, emosi yang tidak stabil, seksualitas yang perkembanganannya sangat menonjol, mindset kausalitas (mengkaitkan akibat dengan sebab) serta fanatisme terhadap kelompoknya. Walaupun secara teori para tokoh psikologi merupaya untuk menentukan tentang batas-batas usia remaja, akan tetapi ketentuan teoritis tersebut tak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja, karena fase ini merupakan fase peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh, maka masa remaja dapat dibagi dalam dua periode. Pertama, periode masa puber, yaitu antara usia 12 hingga usia 18 tahun. 10 Ibid. 11 Khamim Zarkasih Putro, “Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja” 17, no. 1 (2017): 31. [ 205 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Masa pra-pubertas ialah suatu masa peralihan dari akhir masa anak-anak ke masa awal. Cirinya-cirinya menolak jika dianggap dan diperlakukan seperti anak kecil dan menunjukkan sikap kritis. Sedangkan masa pubertas ialah masa remaja awal, masa ini terjadi antara usia antara 14 hingga 16 tahun. Cirinya-cirinya mengalami cemas dan bingung terhadap perubahan fisik, mulai lebih memperhatikan penampilan, menunjukkan sikap yang tidak menentu, dan sering berkelompok dengan teman sebaya dan senasib. Masa akhir pubertas adalah fase peralihan dari masa pubertas ke masa masa berikutnya. Fase ini terjadi biasanya antara usia 17 hingga usia 18 tahun. Cirinya-cirinya pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya dan proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria.12 Kedua, periode remaja adolesen, yaitu masa akhir remaja. Fase ini terjadi pada rentang antara usia 19 hingga 21 tahun. Beberapa sifat yang muncul pada masa ini adalah perhatiannya hanya suka terhadap hal yang realistis, mulai sadar terhadap realitas, mempunyai sikap yang jelas tentang tentang hidup, dan mulai menampakkan bakat dan minatnya.13 Ketiga, fase dewasa (edolesen), yaitu masa peralihan dari masa remaja atau masa pemuda ke masa dewasa, fase ini menjadi fase penutup dari masa muda. Biasa terjadi pada pemuda yang berusia 21 tahun.14 Fase Edolesen ini tidak berlangsung lama, karena jika seseorang telah mencapai fase ini, maka dia tidak akan lama sampai kemasa dewasa. Sikap yang terjadai pada seseorang yang berada pada masa fase edolesen ini adalah bahwa mereka mulai dapat menemukan jati dirinya, menjadi jelas dan terarah cita-citanya serta bisa bertanggung jawab dan dapat menghimpun norma-normanya sendiri. Adapun untuk mengantarkan ke pernikahan yang harmonis yaitu menuju keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah, maka penting bagi calon pasangan yang akan menikah untuk memahami dan menguasai ilmu tentang psikologi keluarga agar terjaga hubungan harmonis yang menjadi dambaan setiap anggota keluarga. Ilmu tentang psikologi keluarga juga akan berguna saat rumah tangga 12 Ibid., 29. 13 Sujanto, Psikologi Perkembangan……, 13. 14 Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 11. [ 206 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. yang dibangun menghadapi problem keluarga yang kemungkinan muncul, sehingga masing-masing keluarga mudah menerima sebagai bagian dari dinamika kehidupan keluarga yang memerlukan solusi bersama. Adapun mengenai bangunan sebuah keluarga bila ditinjau dalam perspektif psikologi ini didasari oleh sebuah fundasi yang kuat. Cinta, dorongan fitrah dan etos ibadah dapat disebut sebagai fondasi utamanya. 15 Pertama, pondasi cinta. Cinta merupakan fundasi yang sangat penting dalam membangun keluarga perasaan cinta kepada suami isteri dan sebaliknya akan membuat mereka siap menghadapi masalah rumah tangganya. Bagi dua orang yang saling mencintai dan dalam ikatan sakral dapat memperteguh jalinan cinta itu sendiri. Ciri cinta sejati itu ada tiga, yaitu menikmati rasa kebersamaan, Hangat dalam berkomunikasi serta saling mengikuti keinginan baik dari orang yang dicintai. Watak orang saling memiliki cinta sejati adalah memaklumi keraguan dan saling mengikhlaskan, termasuk mudah memberi maaf atas kesalahan orang yang dicintai. Kedua, dorongan fitrah. Manusia diciptakan dengan berbagai potensi dan fitrah. Salah satu fitrah yang diciptakan adalah fitrah untuk saling suka terhadap lawan jenis. Dari fitrah inilah yang membuat manusia untuk terdorong mencari dan mendapatkan jodohnya serta hidup bersama membangun rumah tangga yang diidamkan. Hidup dalam kesendirian selain sangat tidak dianjurkan oleh ajaran Islam juga hal tersebut kontradiktif dengan fitrah dasar manusia. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah SWT: ِِۚ ‫اَّلل جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزواجا وجعل لَ ُكم ِمن أ َْزو ِاج ُكم بنِني وح َف َد ًة ورَزقَ ُكم ِمن ٱلطهيِب‬ ‫َٰت‬ َ َ ْ ََ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ُ‫َو ه‬ ِ ‫اط ِل ي ْؤِمنُو َن وبِنِعم‬ ِ ‫اَّللِ ُه ْم يَ ْك ُف ُرو َن‬ ‫ت ه‬ ُ َ‫أَفَبِالْب‬ َْ َ Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS. An-Nahl: 72) Sebab itulah, agar fitrah ini bisa mencapai tujuan yang dikehendakinya, maka agama Islam membuat rule melalui institusi pernikahan. Aturan dalam 15 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa (Jakarta: Bina Reka Pariwara, 2005), 12. [ 207 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. pernikahan ini akhirnya yang nantinya membedakan antara fitrah manusia dengan fitrah binatang. Ketiga, etos ibadah. Etos ibadah akan menjadi fundasi kehidupan keluarga bagi orang-orang yang patuh pada agama, karena mereka menyadari bahwa semua aktifitas kehidupan dalam keluarga bahkan sampai kehidupan seksual antara suami dan isteri adalah bernilai ibadah. “Rasulullah SAW bersabda: Ketika seseorang hamba menikah maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk menjaga setengah yang lain.” (HR. Tabrani dan Hakim).16 Dalam Islam, setengah nilai-nilai agama berada dalam rumah tangga, sedangkan setengahnya lagi tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, pondasi yang melandasi mengapa seseorang untuk menikah, dan melangkah dalam kehidupan rumah tangga, tidak lain hanya didasari dengan tiga potensi tersebut.17 C. Batasan Usia sebagai Syarat Sah Perkawinan dalam Islam Pengaturan hukum keluarga termasuk hukum perkawinan akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia, upaya pembangunan sumber daya manusia adalah bagian yang genuine dari pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Adapun tentang mewujudkan pembangunan dalam kehidupan manusia di Indonesia dalam hal pernikahan ini diatur dalam pelbagai undang-undang yang membahas hal tersebut. Adapun tentang tinjauan mengenai usia perkawinan dalam hukum Islam di Indonesia ini dituangkan dalam bentuk Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi, “Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.”18 Dalam Pasal 7 ayat 1 juga diterangkan, “Perkawinan hanya diizinkan kepada pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai umur 16 Abdul Adhim, at-Targhib wa-Targhib (Beirut: Darl-Kutub al-Ilmiah, 1417), 29. 17 Mufidah Cholil, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), 72. 18 Abdul Manan, Aneka masalah hukum perdata Islam di Indonesia, Edisi 1., cetakan ke-3 (Jakarta: Kencana, 2006), 7. [ 208 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. 16 tahun.”19 Bila ditinjau bahwa dalam Pasal di atas adanya batasan usia yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakasanakan perkawinan. Namun demikian, pada September 2019 DPR RI secara resmi mengesahkan UndangUndang No. 16 tahun 2019 sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan baru tersebut melakukan revisi secara terbatas terhadap Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terkait batas usia minimal pernikahan bagi laki-laki dan perempuan. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa batas minimal menikah laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal sama-sama berusia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia menikah bagi laki-laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Dalam Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang No. 16 tahun 2019 memberi celah bagi calon laki-laki dan perempuan yang ingin menikah tapi belum berusia 19 tahun untuk mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan disertai alasan kuat. Menurut penulis, ketentuan tersebut malah menimbulkan potensi pengajuan istbat nikah di pengadilan agama, karena isbat nikah merupakan salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi oleh calon pasangan suami dan isteri. 20 Perubahan batasan minimal perkawinan ini tentu dimaksudkan bahwa usia perkawinan menjadi bagian yang inhern dengan tujuan perkawinan dan menjiwai dasar perkawinan, dan diharapkan kedepanya nanti dapat meminimalisir konflik dalam rumah tangga. Indikasi usia perkawinan yang termaktub dalam undangundang ini perlu dirubah dengan mempertimbangkan aspek kualitas psikologis. Namun, perlu ditegaskan bahwa pemikiran ini bersifat ijtihadi, sehingga ia membutuhkan trial and eror, tetapi yang dimaksud membangun kualitas generasi Indonesia menuju masa depan yang lebih unggul. Dari penjelasan-penjelasan dan landasan tentang usia yang ditetapkan dalam aturan ini dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pokok ditetapkan usia adalah di samping sebagai fondasi yang digunakan untuk melaksanakan sebuah perkawinan bagi calon mempelai suami isteri juga terdapat nilai di dalamnya yaitu 19 Republik Indonesia (last), Undang-Undang Perkawinan, 4. 20 Sudirman dan Iskandar, “Resolusi Isbat Nikah di Indonesia: Sebuah Pendekatan Maslahah,” JIL: Journal of Islamic Law 1, no. 1 (2020): 100, https://doi.org/10.24260/jil.v1i1.16. [ 209 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunanya.21 Adapun mengenai batasan usia menurut pasal-pasal di atas ini dikaitkan dengan aspek kemaslahatan seperti yang diterangkan pada Bab II Kompilasi Hukum Islam, di mana undangundang dalam membatasi tentang usia ini juga bertujuan mengarahkan pernikahan harmonis di mana dengan terpenuhinya kebutuhan manusia dan realisasi dari maqāsid as-syarīah. Adapun mengenai tentang tinjauan usia perkawinan ini juga diterangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan salah satu pijakan di mana dalam menentukan atau memutuskan suatu perkara mengenai Hukum Islam di negara Indonesia. BAB IV tentang Rukun dan Syarat Pernikahan bagian kedua Pasal 15 KHI yang menerangkan tentang calon mempelai yang menyatakan untuk mewujudkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, maka harus mendapatkan izin perkawinan.22 Dalam menentukan usia dalam sebuah perkawinan, Islam tidak menentukan syarat kedewasaan bagi kedua calon mempelai, tidak adanya batasan tersebut bisa dianggap sebagai salah satu bentuk rahmah dari Allah SWT, karena kedewasan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiyah pada usia berapa seorang pantas menikah. 23 Oleh karena itu, para Fuqoha’ berbeda pendapat tetang ketentuan umur seorang untuk menikah. Pertama adalah menentukan kedewasaan dengan tanda-tanda, yakni al-ikhtilam (mimpi berhubungan suami isteri), dengan datangnya haid (menstruasi), suara yang mulai keras atau nyaring, inbat (tumbuhnya bulu-bulu di ketiak atau bulu di sekitar kemaluan). Dengan tanda itu, seorang dianggap sudah baligh secara alami (al-bulugh ath-thabi’i) dan 21 Republik Indonesia (last), Undang-Undang Perkawinan. Lihat dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 22 Abdur Rohman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan (Jakarta: Akademika Presindo, 1985), 117. 23 Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 81. [ 210 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. kedewasaan semacam ini biasanya terdapat pada anak laki-laki usia 12 tahun dan 9 tahun pada anak perempuan.24 Kedua ialah menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat tentang hal ini, di antaranya adalah pendapat Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai usia 15 tahun. Walaupun mereka sudah menerima tanda-tanda seperti itu tetapi karena datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur disamakanya masa kedewasaan untuk pria dan wanita karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akalah terjadinya taklif dan arena akal pula adanya hukum pidana Islam.25 Berbeda dengan Abu Hanifah, bahwa kedewasaan itu datang mulai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, sedangkan manurut Imam Malik menentukan bagi laki-laki maupun perempuan berumur 18 tahun.26 Yusuf Musa mengatakan bahwa usia di mana seorang dinyatakan dewasa adalah jika telah berusia 21 tahun.27 Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun sedangkan bagi perempuan adalah 9 tahun.28 Sarlito Wirawan Swasono berpendapat bahwa melihat bahwa usia kedewasaan bagi laki-laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun. Mrc Hendry Frank mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan pada rentang usia 20 hingga 25 tahun bagi wanita dan rentang 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Para ahli ilmu jiwa agama melalui kematangan beragama pada seseorang tidak terjadi pada usia 20 tahun.29 Batas usia perkawinan memang termasuk masalah pelik. Karena itu bisa dimaklumi bahwa batas usia dewasa di mana seseorang layak dan pantas untuk menikah di setiap negara semua berbeda-beda.30 24 Chuzaimah T. Yanggo, Fiqh Anak: Methode Islam Dalam Mengasuh Anak Serta Hukum- Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004), 27. 25 Hasby As-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nuur, Jilid IV (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 785. 26 T. Yanggo, Fiqh Anak: Methode Islam Dalam Mengasuh Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, 27. 27 Ibid., 84. 28 Jawad al-Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Jakarta: Basry Press, 1994), 23. 29 Yanggo, Problematika Hukum……, 84. 30 Dedi Supriadi, Fiqh Munakahat Perbandingan (Dari Tekstualitas sampai Legislasi) (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 69. [ 211 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. D. Akibat Pernikahan di bawah Usia Perkawinan Bila ditinjau dengan seksama, dalam agama Islam tidak pernah memberikan batasan maksimal atau minimal dalam melaksanakan sebuah pernikahan atau dengan kata lain mengenai tentang kedewasaan seseorang. Walaupn menurut kaian ilmu pengetahuan setiap wilayah dan zaman sangat berpengaruh terhadap cepat dan lambatnya seseorang dalam mencapai usia kedewasaan. Adapun dalam hal mengenai kedewasaan seseorang untuk menikah termasuk masalah ijtihadiyah. Pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan oleh kedua calon suami isteri di bawah umur yang telah ditetapkan oleh UU dan di bawah usia ideal dalam melaksanakan sebuah pernikahan, seperti yang telah dijelaskan di dalam pembahasan di atas bahwa mengenai hal usia dalam sebuah perkawinan telah ditetapkan dalam Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 1 yang membahas tentang usia sebagai syarat perkawinan. Adapun bila ditinjau lebih jauh tentang perkawinan di bawah umur atau di bawah ketentuan UU yang berlaku di Indonesia dewasa ini yang tercatat di Direktorat Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam di Jakarta ini sangat minim, akan tetapi menurut Andi Syamsu Alam bahwa kasus perceraian yang terjadi dalam pernikahan itu didominasi oleh faktor kurangnya rasa tanggung jawab. Hal ini terjadi karena motivasi masyarakat untuk melakukan perkawinan lebih didominasi oleh motivasi seksologi, sehingga dari dominasi motivasi tersebut banyak perkawinan yang dilaksanakan dengan niat yang salah serta mentalitas yang salah (error of mentality). Hal ini terjadi sebab kurangnya persiapan mental dalam menghadapi kemungkinan kesulitan ekonomi, penghayatan keagamaan tentang perkawinan yang mengalami distorsi, serta sebab belum dewasanya pasangan nikah tersebut, baik belum dewasanya secara fisik maupun psikis.31 Menurut penulis, ini pentingnya kursus pra nikah atau di KUA biasa dikenal dengan Kursus Calon Pengantin (Suscatin). 32 31 Hermansyah, “tidak-benar-perceraian-meningkat-karena-peradilan-agama-masuk-ma,” diakses 22 Mei 2020, https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjenbadilag/tidak-benar-perceraian-meningkat-karena-peradilan-agama-masuk-ma-211. 32 Muhammad Lutfi Hakim, “Kursus Pra-Nikah: Konsep dan Implementasinya (Studi Komparatif antara BP4 KUA Kecamatan Pontianak Timur dengan GKKB Jemaat Pontianak),” Al’Adalah 13, no. 2 (2016): 146, https://doi.org/10.24042/adalah.v13i2.1852. [ 212 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2015 hingga 2017, akumulasi pernikahan dan perceraian di Indonesia mengalami trend peningkatan. Bahkan ditaksir bahwa setiap lima pernikahan terjadi satu perceraian.33 Adapun dampak pernikahan di bawah umur bila ditinjau secara definitif dapat diperinci sebagai berikut. 1. Dampak terhadap Hukum Terdapat pelanggaran terhadap tiga undang-undang di Indonesia. Pertama, Undang-Undang No. 16 tahun 2019 yang merevisi aturan batas minimal usia perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 7 (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, berubah dan menetapkan bahwa dan menetapkan bahwa batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang akan menikah adalah usia 19 tahun. Kedua, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 26 (1) menyatakan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Ketiga, UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Patut ditengarai adanya pengambilan keuntungan tertentu antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut. Amanat undang-undang tersebut di atas selain bertujuan melindungi anak, juga bertujuan supaya anak tetap mendapatkan haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Amat disayangkan jika ditemukan orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus senantiasa dilakukan untuk bisa memberikan proteksi anak dari perbuatan kesalahan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa. Sesuai 33 Badan Pusat Statistik (BPS), “Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2018,” diakses 22 Mei 2020, https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/19/1602/persentase-penduduk-berumur-10-tahunke-atas-menurut-provinsi-jenis-kelamin-dan-status-perkawinan-2009-2018.html. [ 213 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. dengan 12 area kritis dari Beijing platform of action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan. 2. Dampak Biologis Secara biologis, seorang anak perempuan yang melakukan pernikahan dini secara alamiyah alat reproduksinya belum siap untuk dibuahi. Apabila ia melakukan hubungan seks dengan suaminya, terlebih lagi hingga melahirkan, maka berpotensi akan menimbulkan bahaya lain. Bahayanya ialah trauma dan perobekan hingga infeksi dan penyakit lain yang membahayakan jiwanya. 3. Dampak Psikologis Secara psikis, seorang anak perempuan yang melakukan pernikahan dini akan mengalami ketidaksiapan dan ketidak mengertian tentang hubungan suami isteri. Keawaman akan hal tersebut akan menimbulkan efek domino terhadap perkembangan psikologisnya, yaitu berpotensi menyebabkan trauma, kemurungan dan penyesalan. Karena pernikahan “yang belum waktunya” tersebut akan membuat dunia anak-anaknya menjadi hilang, seperti dunia belajar, hingga dunia bermain. 4. Dampak Sosial Dampak sosial ini akan semakin menguatkan dan mengukuhkan pada masyarakat patriarki yang bias gender, yaitu semakin kukuhnya streotype bahwa para kaum perempuan berada pada posisi yang rendah dan hanya dianggap sebagai pelengkap seks kaum laki-laki saja. Keadaan ini bahkan berpotensi akan akan menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. 5. Dampak Perilaku Penyimpangan Seksual Salah satu bentuk perilaku seksual yang menyimpang adalah pedofilia, yaitu aktifitas seks yang dilakukan dengan anak-anak. Pernikahan yang dilakukan pada usia anak-anak justru bukan hanya akan menyuburkan sikap dan tindakan ilegal ini, tapi justru akan menimbulkan anggapan bahwa sikap tersebut (seks terhadap anak) merupakan tindakan yang legal. Padahal negara telah mengancam dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal 300 juta di dalam Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. [ 214 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur (anak) harus ditentang dan ditolak karena pernikahan prematur tersebut lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Para orang tua harus disadarkan akan bahaya yang timbul dari menikahkan anaknya dalam usia dini, termasuk juga dipahamakan kepada anak tentang peraturan perundang-undangan Perlindungan anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. E. Penutup Hukum Islam tidak menetapkan minimal usia bagi calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan. Oleh karena itu para foqoha’ berbeda pendapat dalam menentukan usia kedewasaan seseorang dalam melaksanakan sebuah perkawinan, akan tetapi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para fuqoha’ ini mempunyai tujuan satu, yaitu menegakan tujuan dari pada Hukum Islam. Adapun pendapat dari ahli psikologi bahwa usia dewasa (edolesen), yaitu seseorang yang berumur 21 tahun dan seterusnya. Usia ini terdapat ciri-ciri antara lain menentukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggung jawab dan dapat menghimpun norma-normanya sendiri. Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan dalam usia ini manusia dinilai mampu dalam melaksanakan perkawinan. Akibat daripada perkawinan yang prematur akan timbul masalah hukum, masalah biologis, masalah psikologis, masalah sosial, dan masalah prilaku seksual menyimpang. Pernikahan yang dilakukan pada usia anak-anak justru bukan hanya akan menyuburkan sikap dan tindakan ilagal ini, tapi justru akan menimbulkan anggapan bahwa sikap tersebut (seks terhadap anak) merupakan tindakan yang legal. Padahal negara telah mengancam dengan ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun dan denda maksimum 300 juta di dalam Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. [ 215 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. DAFTAR PUSTAKA Adhim, Abdul. at-Targhib wa-Targhib. Beirut: Darl-Kutub al-Ilmiah, 1417. Asman. “Early Age Marriage Ditinjau dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Analisis Konsep Hukum Islam.” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam 4, no. 2 (2019). https://doi.org/10.25217/jm.v4i2.506. As-Shiddieqy, Hasby. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1989. ———. Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nuur. Jilid IV. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Badan Pusat Statistik (BPS). “Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2018.” Diakses 22 Mei 2020. https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/19/1602/persentasependuduk-berumur-10-tahun-ke-atas-menurut-provinsi-jenis-kelamindan-status-perkawinan-2009-2018.html. Cholil, Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-Maliki Press, 2014. Fuad, Ahmad Masfuful. “Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan Undang-Undang Perkawinan.” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah 1, no. 1 (1 April 2016). https://doi.org/10.22373/petita.v1i1.77. Hakim, Muhammad Lutfi. “Kursus Pra-Nikah: Konsep dan Implementasinya (Studi Komparatif antara BP4 KUA Kecamatan Pontianak Timur dengan GKKB Jemaat Pontianak).” Al-’Adalah 13, no. 2 (2016): 14. https://doi.org/10.24042/adalah.v13i2.1852. Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Hermansyah. masuk-ma.” “Tidak-benar-perceraian-meningkat-karena-peradilan-agamaDiakses 22 Mei 2020. https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar- [ 216 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. ditjen-badilag/tidak-benar-perceraian-meningkat-karena-peradilan-agamamasuk-ma-211. Ismail, Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1982. Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Manan, Abdul. Aneka masalah hukum perdata Islam di Indonesia. Edisi 1., Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana, 2006. Mubarok, Achmad. Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah hingga Keluarga Bangsa. Jakarta: Bina Reka Pariwara, 2005. Mughniyah, Jawad. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Basry Press, 1994. Putro, Khamim Zarkasih. “Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja” 17, no. 1 (2017): 8. Rohman, Abdur. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Jakarta: Akademika Presindo, 1985. Shodikin, Akhmad. “Pandangan Hukum Islam dan Hukum Nasional tentang Batas Usia Perkawinan.” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 9, no. 1 (2015). https://doi.org/10.24235/mahkamah.v9i1.423. Sudirman, dan Iskandar. “Resolusi Isbat Nikah di Indonesia: Sebuah Pendekatan Maslahah.” JIL: Journal of Islamic Law 1, no. 1 (2020): 100–114. https://doi.org/10.24260/jil.v1i1.16. Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru, 2006. Supriadi, Dedi. Fiqh Munakahat Perbandingan (Dari Tekstualitas sampai Legilasi). Bandung: Pustaka Setia, 2011. Syamsul Alam, Andi. Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan: Sebuah Ikhtiar Mawujudkan Keluarga Sakinah. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005. T. Yanggo, Chuzaimah. Fiqh Anak: Methode Islam dalam Mengasuh Anak serta Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak. Jakarta: PT. AlMawardi Prima, 2004. ———. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. [ 217 ]