https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 DOI: https://doi. org/10. 38035/jihhp. https://creativecommons. org/licenses/by/4. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Kekerasan Fisik dan Penanganannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo Muhammad Hasrul1. Muammar Arafat Yusmad2. Takdir3 Universitas Islam Negeri Palopo. Indonesia. Muhhasrul325@gmail. Universitas Islam Negeri Palopo. Indonesia, muammar_arafat@iainpalopo. Universitas Islam Negeri Palopo. Indonesia, dr_takdir@iainpalopo. Corresponding Author: Muhhasrul325@gmail. Abstract: This research provides a juridical review of physical violence and its handling at the Class II A Palopo Penitentiary. Physical violence within the prison is a significant issue that undermines the correctional system's goal of inmate rehabilitation and guidance. This study aims to analyze the forms of physical violence that occur, their causal factors, and the legal and policy efforts implemented to address these cases. The research method used is an empiricaljuridical approach with a qualitative methodology. Data was collected through literature reviews, observation, and interviews with prison officials and other relevant parties. The findings indicate that physical violence within the prison occurs among inmates and is caused by various factors, such as overcrowding, monotonous conditions, the social environment, and excessive joking. The penitentiary's response includes preventive, repressive, and rehabilitative However, the implementation of these measures still faces various obstacles related to both human resources and infrastructure. The study concludes that the legal protection of inmates from physical violence is not yet optimal. Therefore, there is a need to strengthen internal regulations, enhance staff capacity, and improve supervision to create a safe and humane correctional environment that aligns with human rights principles. Keywords: Physical Violence. Penitentiary. Juridical Review. Legal Protection. Palopo Abstrak: Penelitian ini melakukan tinjauan yuridis terhadap kekerasan fisik dan penanganannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo. Kekerasan fisik di dalam lembaga pemasyarakatan merupakan masalah serius yang mengancam tujuan sistem pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan membimbing narapidana. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan fisik yang terjadi, faktor-faktor penyebabnya, serta upaya hukum dan kebijakan yang diterapkan untuk menangani kasus-kasus tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan empiris-yuridis dengan metodologi Data dikumpulkan melalui tinjauan literatur, observasi, dan wawancara dengan petugas penjara dan pihak terkait lainnya. Temuan menunjukkan bahwa kekerasan fisik di dalam penjara terjadi di antara narapidana dan disebabkan oleh berbagai faktor, seperti overcrowding, kondisi monoton, lingkungan sosial, dan candaan berlebihan. Tanggapan penjara meliputi langkah-langkah preventif, represif, dan rehabilitatif. Namun, implementasi langkah-langkah ini masih menghadapi berbagai hambatan terkait sumber daya manusia dan 80 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Studi ini menyimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap narapidana dari kekerasan fisik belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan penguatan peraturan internal, peningkatan kapasitas staf, dan perbaikan pengawasan untuk menciptakan lingkungan pemasyarakatan yang aman dan manusiawi sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kata kunci: Kekerasan Fisik. Lembaga Pemasyarakatan. Tinjauan Hukum. Perlindungan Hukum. Palopo PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara hukum dan menganut sistem sebagaimana tertera dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1. Pasal 1 ayat . Dalam kegiatan bernegara, seluruh aspek hukum didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Pernyataan ini diperkuat oleh UUD 1945, tepatnya pada Pasal 27 ayat . yang menyatakan bahwa seluruh warga negara adalah sama di mata hukum, dan pemerintah berkewajiban menjunjung tinggi keduanya. Tidak heran. Indonesia bukanlah negara yang menganut sistem kekuasaan semata . , namun sebuah negara yang berpijak pada supremasi hukum. Oleh sebab itu, seluruh nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi telah terpatri dalam jiwa seluruh warga negara. Namun, jika hal tersebut tidak tercermin dalam perilaku masyarakat dan penyelenggara negara, maka yang muncul bukan kesejahteraan akibat tegaknya hukum, melainkan kekacauan dalam penegakan hukum itu sendiri. Pandangan terhadap konsep negara hukum seharusnya tidak bersifat parsial, melainkan perlu dipahami secara menyeluruh sesuai dengan tujuan para pendiri bangsa dan perancang Makna negara hukum sesungguhnya tidak dapat dipahami secara dangkal. Hukum juga tidak terbatas pada terpenuhinya unsur-unsur formal belaka. Negara hukum lebih dari sekadar itu. Negara hadir memberikan jaminan hukum ketika masyarakat memerlukan aturan demi menciptakan keteraturan sosial. Saat masyarakat menghadapi berbagai permasalahan sosial akibat perkembangan peradaban, negara menerapkan hukum sebagai kontrol sosial dalam mengendalikan keteraturan . tool of social contro. Ketika sistem hukum suatu negera tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, maka negara didorong berpartisipasi dalam melakukan pembaharuan hukum. Hal ini disebabkan karena negara juga berfungsi sebagai perekayasa sosial . tool of social enginerin. Dengan demikian, pandangan terkait hukum harus menjadi landasan filosofis bernegara demi terciptanya tatanan sosial yang ideal (Yusmad, 2. Pernyataan demikian bukan bermaksud mendirikan suatu masyarakat di atas pijakan konsep-konsep utopis. Konsep yang mengarah pada utopia akan menyebabkan hidup dalam cita-cita yang terlampau bombastis dan dekat dengan dunia khayalan semata. Maka dari iru, hukum merupakan peraturan formal sebagai basis utama bernegara. Di sisi lain, hukum juga adalah sistem perundang-undangan. Sebagai perundangan-undangan, hukum bermakna objektif, sedang hukum sebagai peraturan formal berarti hukum yang subjetif, yakni menjunjung hak dan keadilan masyarakat. (Takdir, 2. Hadirnya hukum tentu mempunyai tujuan yang mulia, yakni menjaga perilaku dan ketertiban manusia (Hartono, 2. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa konsep pemasyarakatan terkait pemidanaan tidak lagi bermakna sebagai sekadar penjeraan, tapi berusaha merehabilitasi warga binaan pemasyarakatan (WBH). Sistem pemasyarakatan mencakup aspek penahanan pelaku, pendamping mantan narapidana dalam pekerjaannya, dan agar mantan narapida dapat memperoleh pendidikan (Snarr, 2. Dengan kata lain, hukum juga merupakan produk interaksi masyarakat dalam kehidupan sosial (Syahrini, 1. Dalam struktur hukum nasional, lembaga pemasyarakatan (Lapa. berperan sebagai bagian dari penegakan hukum dan berfungsi dalam membina narapidana. Disebutkan dalam 81 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa lembaga pemasyarkatan diharapkan mampu menciptakan kesadaran dalam diri narapidana agar terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Hal ini bertujuan menghadirkan dan membentuk karakter yang taat hukum. Negara juga mendorong lembaga pemasyarakatan agar narapidana senantiasa berpijak pada nilai sosial, budaya, dan keagamaan. Dan, agar narapidana berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang tertib (Wangkanusa, 2. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tepatnya dalam Pasal 14 ayat . menjelaskan bahwa setiap narapidana memiliki hak yang dijamin oleh undang-undang: . Menjalankan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing. Mendapat pelayanan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Memperoleh pendidikan dan . Memperoleh pelayanan medis dan kelayakan makanan. Mengajukan pengaduan/keberatan. Mengakses bacaan dan menikmati tayangan media massa yang tidak . Menerima upah dari pekerjaan yang dilakukannya. Menerima akses dari kunjungan keluarga, penasihat hukum, dan pihak lainnya. Mendapat remisi atau pengurangan masa pidana. Memperoleh program asimilasi, juga izin berlibur dan berkunjung kepada keluarga. Berhak menerima pembebasan bersyarat. Mendapat cuti menjelang bebas. memperoleh hak-hak lain sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada konteks tersebut, penting bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di unit kerja lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam membina serta memenuhi hak-hak narapidana secara optimal dan profesional. Hal ini menjadi bagian dari upaya mewujudkan efektivitas hukum (Supriyono, 2. Institusi negara seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan 4 subsistem yang berperan memberikan pembinaan dan pelatihan kepada Namun, lembaga pemasyarakatan memiliki peran utama dalam membina narapidana, terutama terkait pencabutan kemerdekaan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas bertugas melayani, mendampingi, mendukung, merawat, mengamankan dan mengamati perilaku narapidana (Utami, 2. Proses pembinaan dan pelatihan tersebut berpedoman pada peraturan sebagaimana yang tertera dalam undang-undang, seperti mengayomi, tidak melakukan diskriminasi, memanusiakan narapidana dan terutama bertindak tanpa memberikan penderitaan kepada narapidana. Di lembaga pemasyarakatan (Lapa. dapat saja terjadi tindak kekerasan, terutama antar sesama narapidana. Pertikaian sesama narapidana mencapai angka kriminalitas yang cukup Hal ini disebabkan banyaknya narapidana berasal dari latar belakang kriminilitas yang Pidana penjara tidak menjadi mercusuar utama untuk menghilangkan efek jerah dalam diri narapidana. Hadirnya tindak kekerasan dalam internal penjara menciptakan model kriminalitas baru. Fakta ini mengejutkan karena lembaga pemasyarakatan yang pada awalnya bertujuan menciptakan tata tertib di kalangan narapidana justru melahirkan jenis kejahatan dalam model lain (Celsy, 2. Berdasarkan fakta sosial di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo tindak kekerasan fisik kerap terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perkelahian antar narapidana akibat gesekan personal, perebutan kekuasaan, atau pembagian wilayah di dalam penjara. Tindakan agresif seperti pemukulan, tendangan, hingga penggunaan senjata tajam rakitan dapat terjadi, menyebabkan luka ringan hingga berat, bahkan berujung pada kematian. Selain itu, kekerasan fisik juga bisa dilakukan oleh oknum petugas Lapas sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang atau respons terhadap pelanggaran tata tertib, meskipun hal ini sangat dilarang. Kondisi Lapas yang seringkali penuh sesak dan minim pengawasan juga menjadi faktor pemicu terjadinya tindak kekerasan, menciptakan lingkungan yang rentan dan tidak aman bagi sebagian narapidana. Oleh sebab itu, penelitian ini hendak mengetahui penyebab terjadinya kekerasan fisik dalam internal penjara dan bagaimana proses penanggulangan yang harus 82 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Penelitian ini juga hendak meninjau: . Bagaimana tinjauan yuridis terhadap tindak kekerasan fisik di lembaga pemasyarakatan kelas II A Palopo. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan fisik di lembaga pemasyarakatan kelas II A Palopo. Upaya apa yang harus dilakukan demi meminalisir tindak kekerasan fisik yang terjadi antar sesama Di sisi lain, penelitian tersebut bertujuan mengetahui tinjauan yuridis, faktor-faktor penyebab, dan menganalisis upaya apa yang dilakuan oleh pihak Lapas untuk meminalisir agar tidak terjadinya tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh sesama narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II A Palopo. METODE Tulisan ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis dan Pendekatan yuridis bertujuan menganalisis peraturan perundang-undangan terkait pendapat para ahli perihal kekerasan fisik dan penanganannya. Sementara itu, pendekatan empiris dilakukan dengan mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta lapangan melalui observasi dan wawancara. Lokasi penelitian ini terletak di lembaga pemasyarakatan kelas II A Palopo dengan fokus pada tindak kekerasan fisik serta faktor penyebabnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan prosedur yang mencakup pemahaman terhadap fenomena melalui perspektif subjek, penyusunan pertanyaan yang menggali pengalaman subjek, pengumpulan data dari informan langsung, serta analisis data hingga pelaporan. Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain tinjauan yuridis sebagai semua hal yang diakui sah secara hukum, dan kekerasan sebagai tindakan yang menimbulkan penderitaan, baik fisik maupun non-fisik. Sumber data diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer berupa observasi dan wawancara langsung, sedang data sekunder berupa dokumen dan sumber pendukung lainnya. Sumber data terdiri atas data primer . asil observasi dan wawancara langsun. dan data sekunder . okumen atau sumber pendukung lainny. Pengumpulan data berdasarkan pada observasi dan wawancara, serta dokumentasi. Observasi dilakukan terhadap kondisi dan perilaku pegawai serta pelaku kekerasan di Lapas, sedangkan wawancara dilakukan secara mendalam dengan informan yang relevan. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh dokumen pendukung terkait kekerasan fisik dan Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri berdasarkan pedoman observasi dan wawancara demi memperoleh pemahaman yang komleks terkait makna sosial dan nilai-nilai yang hadir dari interaksi para informan. Keabsahan data dilakukan denga menggunakan teknik triangulasi, yakni membandingkan hasil dari berbagai teknik dan sumber data seperti observasi, wawancara, dan Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif melalui tiga metode: analisis domain untuk mengelompokkan data sesuai variabel, analisis taksonomi untuk mengkaji elemen-elemen terkait secara deduktif dan induktif, serta analisis komparatif untuk membandingkan hasil temuan dengan teori atau asumsi yang relevan. Seluruh analisis ini bertujuan memperoleh pemahaman yang mendalam perihal kekerasan fisik di lembaga pemasyarakatan kelas II A Palopo. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palopo, yang selanjutnya disebut Lapas, merupakan fasilitas pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lapas ini termasuk dalam unit pelaksana teknis (UPT) di bawah naungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasinya berada di Jalan Ratulangi kilometer 8, menempati lahan seluas 46. 264 meter persegi. Dibangun pada tahun 83 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 1981, diresmikan pada 26 Februari 1986 oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Selatan dan Tenggara saat itu: Budi Santoso. Lapas kelas II A palopo adalah gedung baru yang didirikan untuk menggantikan bangunan lama peninggalan era kolonial Belanda. Sebelumnya terletak di Jalan Opu Tosappaile Nomor 49. Pada tahun 1999 terjadi pemekaran wilayah administratif menjadi 4 wilayah: Kabupaten Luwu. Kabupaten Luwu Utara. Kabupaten Luwu Timur, dan Kota Palopo. Atas inisiatif Kepala Lapas Kelas II B saat itu. Tedjasukmana. Bc. IP. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Palopo kemudian mengalami peningkatan status menjadi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo. Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M. PR. 03 Tahun 2003 tanggal 31 Desember 2003. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Palopo kemudian mengalami peningkatan menjadi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palopo terletak di Jalan Dr. Ratulangi km 8. Kota Palopo. Memiliki luas 4,6 hektar. Lembaga ini berperasi pada pertengahan tahun 1987. Luas bangunan Lapas mencapai 10. 000 meter persegi. Terdiri atas berbagai fasilitas yang beragam. Fasilitas utama meliputi ruang perkantoran dan blok hunian narapidana: . Blok A . IA. IIA, iA. IVA. VA. VIA). Blok B . kamar: IB. IIB, iB. IVB. VB. VIB. VIIB). Blok C . kamar: IC. IIC, iC. IVC. VC. VIC. VIIC). Blok D . kamar: ID. IID, iD. IVD. VD. VID). Blok Wanita . kamar: I. II, . , dan Blok Anak. Selain blok hunian, terdapat pula bangunan penunjang lainnya seperti gereja, masjid, aula serbaguna, ruang pendidikan, serta bengkel kerja. Visi-misi Lapas Kelas II A Palopo adalah menciptakan unit pelaksana teknis yang profesional, transparan, dan akuntabel sebagai wadah pembinaan dan pelatihan narapidana. Adapun tujuan Lapas Kelas II A Palopo adalah: membentuk kesadaran diri narapidana, sadar akan kesalahan, perbaikan diri, dan tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, serta memiliki peran aktif dalam masayarakat. Di sisi lain. Lapas Kelas II A Palopo memiliki motto: Satu Hati. Satu Kata. Satu Langkah. Satu Pengabdian, untuk Pemasyarakatan. Tata nilai yang diusung Lapas Kelas II A Palopo adalah AuP-A-S-T-I S-M-A-R-TAy yang bermakna: . P = Profesional. A = Akuntabel. Sinergi. T = Transparan. I = Inovatif. S = Serius. M = Minded. A = Active. R = Responsif. T = Talk. Tugas pokok Lapas Kelas II A Palopo yakni melaksanakan pelatihan kepada narapidana sesuai perundang-undangan. Di sisi lain, lembaga pemasyarakatan ini berfungsi melakukan pelayanan terhadap narapidana, pembinaan dan perawatan terhadap narapidana, bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, menghadirkan pengamanan dan ketertiban, menciptakan urusan tata usaha, dan membentuk struktur organisasi. Sanksi bagi Narapidana yang Melanggar Sanksi bagi bagi narapidana yang melakukan pelanggaran dapat berupa ringan, sedang, dan berat. Hal ini sesuai dengan peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tepatnya pada Pasal 9 Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Hukuman ringan berupa peringatan lisan dan tertulis. Hukuman disiplin tingkat sedang berupa sel pengasingan paling lama enam hari berdasarkan hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Adapun hukuman berat meliputi penempatan dalam sel pengasingan paling lama enam hari dan dapat mengalami perpanjangan selama dua kali enam hari, serta pencabutan hak-hak seperti remisi, cuti . uti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang beba. , asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Seluruh hal tersebut dicatat dalam register F. Jenis hukuman disiplin tersebut sesuai dengan ringan, sedang, dan beratnya suatu Sanksi administratif yang dapat dikenakan meliputi peringatan tertulis, penempatan dalam sel pengasingan, penundaan atau peniadaan hak-hak tertentu, hingga pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat. Tujuan dari pemberian sanksi administratif ini adalah untuk mendidik dan memperbaiki perilaku narapidana agar menjadi pribadi yang 84 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sanksi administratif dapat berupa denda, pencabutan izin tertentu, pembatasan dan pembekuan kegiatan usaha, serta pembatalan Larangan bagi Narapidana Di lembaga pemasyarakatan, seluruh narapidana wajib mengikuti aturan-aturan yang Hal tersebut bertujuan menjaga keamanan, ketertiban, dan menciptakan lingkungan yang tertib dan kondusif di dalam Lapas. Secara umum, narapidana dilarang melakukan tindakan yang dapat mengganggu stabilitas Lapas, seperti melarikan diri atau mencoba melarikan diri, melakukan perlawanan atau menghasut narapidana lain untuk melawan petugas, serta tidak mematuhi perintah atau petunjuk petugas. Selain itu, mereka juga dilarang membuat keributan, berkelahi, membawa atau menggunakan benda berbahaya, serta memiliki, menggunakan, atau mengedarkan narkotika dan zat adiktif lainnya. Larangan lainnya meliputi kepemilikan atau pembuatan minuman keras, melakukan perjudian, mencuri, menipu, merusak fasilitas Lapas, mencoret dinding, membuang sampah sembarangan, atau memiliki alat komunikasi tanpa izin. Narapidana juga dilarang menerima tamu di luar jadwal yang ditetapkan, melakukan perbuatan asusila, mengancam atau memaksa narapidana lain, menyebarkan berita bohong, membentuk organisasi ilegal, menyalahgunakan izin keluar, dan menyalahgunakan kegiatan keagamaan yang diselanggarakan pihak Lapas. Penerapan larangan ini merupakan bentuk pengendalian sosial internal yang penting dalam sistem pemasyarakatan untuk menciptakan suasana yang aman, tertib, serta mendukung proses pembinaan terhadap narapidana. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Kekerasan Fisik di Lapas Seluruh narapidana berhak memperoleh bimbingan dari lembaga pemasyarakatan. Dalam peraturan perundang-undangan, lembaga pemasyarakatan bertujuan meningkatkan karakter berkualitas dalam diri warga binaan. Kualitas yang dimaksud dapat berupa kualitas intelektual, perilaku, hingga kualitas jasmani dan ruhani. Pada hakikatnya, pembinaan tersebut berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini berhubungan erat dengan Program Pendidikan Masyarakat (Kelompok Belajar Paket A dan Kelompok Belajar Usah. di lembaga pemasyarakatan dan bertujuan agar warga binaan kelak setelah selesai menjalani masa pidananya dapat pulih dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat di Indonesia (Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakata. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Fisik di Lapas Di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapa. tindak kekerasan fisik sering kali terjadi karena beberapa faktor: Over Kapasitas Over kapasitas di lapas menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan persaingan ketat untuk sumber daya yang terbatas. Ketika jumlah narapidana jauh melebihi kapasitas ideal, ruang gerak menjadi sempit, fasilitas sanitasi tidak memadai, dan akses terhadap kebutuhan dasar seperti tempat tidur dan air bersih menjadi rebutan. Kondisi ini memicu frustrasi, stres, dan rasa tidak nyaman yang ekstrem di antara para narapidana. Dalam situasi yang serba kekurangan dan penuh ketidakpastian, gesekan antar individu menjadi lebih mudah terjadi, dan hal-hal sepele pun dapat memicu pertengkaran. Selain itu, over kapasitas juga mempersulit pengawasan oleh petugas lapas. Jumlah narapidana yang terlalu banyak dengan jumlah petugas yang terbatas menciptakan celah keamanan dan memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan tanpa terdeteksi. Hierarki informal dan kelompok-kelompok tertentu dalam lapas dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh mereka melalui intimidasi dan kekerasan terhadap narapidana lain yang lebih lemah. Persaingan untuk mendapatkan status, sumber daya, atau 85 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 bahkan perlindungan di lingkungan yang keras ini semakin memperburuk potensi konflik dan kekerasan antar sesama narapidana. Situasi dan Kondisi Monoton Situasi dan kondisi monoton di dalam lapas dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan antar Rutinitas harian yang serba sama, tanpa variasi kegiatan yang berarti, dan minimnya stimulasi mental maupun fisik dapat menimbulkan rasa bosan, frustrasi, dan kejenuhan yang mendalam. Keadaan ini menciptakan atmosfer psikologis yang negatif, di mana narapidana merasa tertekan dan kehilangan harapan. Ketika tidak ada saluran positif untuk menyalurkan energi atau mengatasi emosi negatif, potensi untuk melampiaskannya melalui tindakan agresif terhadap sesama narapidana meningkat. Lingkungan Sosial Lingkungan sosial di dalam lapas memiliki peran signifikan dalam memicu konflik antar Lapas merupakan miniatur masyarakat dengan berbagai latar belakang, karakter, dan potensi masalah yang dibawa oleh individu-individu yang menghuninya. Interaksi yang intens dalam ruang terbatas, ditambah dengan tekanan psikologis akibat hilangnya kebebasan, dapat memperburuk gesekan-gesekan sosial yang mungkin terjadi. Perbedaan pandangan, nilai, atau bahkan hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sumber perselisihan. Selain itu, dinamika kekuasaan dan pembentukan kelompok-kelompok tertentu di dalam lapas juga berkontribusi terhadap potensi konflik. Adanya hierarki informal, di mana narapidana dengan masa hukuman lebih lama atau terlibat dalam kasus tertentu memiliki pengaruh lebih besar, dapat menciptakan ketidakadilan dan persaingan untuk mendapatkan status atau sumber daya. Perebutan wilayah, pengaruh, atau bahkan akses terhadap fasilitas yang terbatas dapat memicu konfrontasi antar kelompok atau Lingkungan sosial yang tidak kondusif, di mana komunikasi yang sehat sulit terjalin dan rasa saling menghormati kurang, menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya konflik antar narapidana. Bercanda yang Berlebihan Di dalam lapas, suasana sering kali tegang dan penuh tekanan akibat hilangnya kebebasan, jauh dari keluarga, serta berinteraksi dengan beragam latar belakang dan potensi masalah. Bercanda yang melampaui batas, terutama yang menyentuh isu sensitif seperti kasus kejahatan, suku, agama, atau kondisi keluarga, dapat dengan mudah menyinggung narapidana lain. Rasa tidak aman dan rentan di dalam lapas membuat individu lebih sensitif terhadap perkataan atau tindakan yang dianggap merendahkan atau tidak menghormati. Sebuah lelucon yang bagi sebagian orang mungkin biasa saja, dapat diinterpretasikan sebagai penghinaan atau provokasi oleh narapidana lain yang sedang emosional atau memiliki pengalaman traumatis. Hierarki informal dan dinamika kekuasaan yang sering terbentuk di dalam lapas dapat memperburuk Bercanda yang dianggap meremehkan oleh narapidana yang memiliki posisi lebih tinggi atau pengaruh dapat dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan atau tantangan. Hal ini berpotensi memicu respons agresif sebagai upaya untuk mempertahankan status atau harga diri. Selain itu, keterbatasan ruang gerak dan minimnya kegiatan positif di dalam lapas dapat meningkatkan tingkat stres dan frustrasi, sehingga ambang batas toleransi terhadap hal-hal yang dianggap mengganggu, termasuk candaan yang berlebihan, menjadi lebih rendah. Akibatnya, perselisihan kecil akibat candaan yang tidak tepat dapat dengan cepat berkembang. Upaya yang Dilakukan oleh Pihak Lapas agar Tidak Terjadinya Tindak Kekerasan Fisik Sesama Narapidana Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan berperan mencegah terjadinya tindak kekerasan antar narapidana. Beberapa peran utama yang diemban oleh pihak Lapas adalah: 86 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Pertama. Penerimaan dan orientasi narapidana. Melakukan pendaftaran narapidana secara tertib dan memberikan informasi yang jelas mengenai tata tertib Lapas, hak dan kewajiban narapidana, serta konsekuensi pelanggaran: . Melaksanakan asesmen awal untuk mengidentifikasi potensi risiko dan kebutuhan narapidana, termasuk potensi menjadi pelaku atau korban kekerasan. Menempatkan narapidana di kamar hunian yang sesuai dengan hasil asesmen, seperti memisahkan narapidana dengan riwayat kekerasan atau potensi konflik. Kedua, pembinaan dan pembimbingan: . Menyelenggarakan program pembinaan kepribadian dan kemandirian agar dapat meningkatkan kesadaran hukum, norma sosial, dan pengembangan diri narapidana. Memberikan layanan konseling dan psikologis untuk mengatasi masalah pribadi dan potensi konflik. Mendorong kegiatan positif seperti menciptakan kegiatan keagamaan, melakukan rutinitas keolahragaan dan kesenian dengan tujuan mengalihkan energi negatif dan membangun interaksi yang sehat. Ketiga, pengamanan dan ketertiban: . Menerapkan tata tertib Lapas secara tegas dan . Melakukan pengawasan yang efektif terhadap seluruh area Lapas untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan. Menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan mudah diakses bagi narapidana yang menjadi korban atau menyaksikan tindak kekerasan. Menindak tegas setiap bentuk pelanggaran tata tertib, termasuk tindak kekerasan, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keempat, perlindungan hak narapidana: . Memastikan narapidana mendapatkan perlakuan baik dan mendapat lindungan dari segala jenis tindak kekerasan, baik fisik maupun . Menyediakan fasilitas dan layanan yang layak, termasuk kesehatan, makanan, dan tempat tinggal yang memenuhi standar. Menjamin hak narapidana untuk menyampaikan keluhan dan mendapatkan penyelesaian yang adil. Kelima, kerjasama dan koordinasi: . Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi di dalam Lapas. Bekerja sama dengan pihak eksternal, seperti organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan dukungan dan program pencegahan kekerasan. KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa kekerasan fisik di Lembaga Pemasyarakatan (Lapa. Kelas II A Palopo merupakan permasalahan serius yang tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran terhadap tata tertib internal, tetapi juga melibatkan dimensi yuridis, sosiologis, dan hak asasi manusia. Dari sisi yuridis, aturan-aturan yang mengatur tata tertib, sanksi, serta perlindungan terhadap narapidana telah diatur melalui berbagai regulasi, seperti UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat berbagai bentuk penyimpangan seperti kekerasan, ketimpangan perlakuan, serta masuknya barang-barang terlarang ke dalam Lapas yang mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum internal. Secara empiris, penelitian ini menemukan bahwa kekerasan fisik dapat terjadi akibat lemahnya pengawasan, ketidakseimbangan relasi kuasa antar warga binaan maupun antara petugas dan narapidana, serta minimnya pelaporan dan penanganan yang transparan. Meskipun Lapas Palopo telah memiliki sarana dan program pembinaan yang memadai, seperti pelatihan kerja, pendidikan, serta pemberian upah bagi warga binaan, aspek keadilan, keamanan, dan perlakuan manusiawi terhadap narapidana masih perlu ditingkatkan. Dari perspektif hak asasi manusia, tindakan kekerasan fisik yang terjadi di dalam Lapas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar DUHAM, khususnya terkait larangan terhadap perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Oleh karena itu, upaya pembenahan sistem pemasyarakatan harus mencakup penegakan hukum secara konsisten, peningkatan kapasitas dan integritas petugas, serta optimalisasi pengawasan internal dan eksternal agar fungsi Lapas sebagai tempat pembinaan dan rehabilitasi benar-benar dapat diwujudkan. 87 | P a g e https://dinastirev. org/JIHHP. Vol. No. 1, 2025 Dengan demikian, diperlukan sinergi antara pendekatan yuridis dan empiris dalam menanggulangi kekerasan fisik di Lapas, yaitu melalui penguatan regulasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas manajemen pemasyarakatan, serta perlindungan terhadap hakhak warga binaan demi terciptanya Lapas yang manusiawi dan berkeadilan. REFERENSI