JRH Reformasi Hukum JRH ISSN 1693-9336 | e-ISSN 2686-1598 Vol. 28 No. 3 December 2024 . 168Ae. org/10. 46257/jrh. Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona: Tantangan Penegakan Keadilan Berdasarkan Asas Due Process of Law Legal Reconstruction of Error in Persona Cases: Justice Enforcement Challenges Based on Due Process of Law Principle Haniyah Haniyah 1 Fakultas Hukum. Universitas Sunan Giri. Surabaya. Indonesia. *Corresponding author email: haniyahkarsa99@gmail. Paper Abstrak Submitted 01-08-2024 Accepted 28-12-2024 Kasus kesalahan identifikasi pelaku pembunuhan yang terjadi di Cirebon pada tahun 2016 yang melibatkan Pegi Setiawan sebagai tersangka, mengungkapkan tantangan dalam proses penyidikan dan penegakan keadilan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi hukum mengenai fenomena error in persona dan menganalisis proses pemeriksaan perkara pidana yang berhubungan dengan salah tangkap. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Penelitian ini melibatkan proses penyidikan dan studi kasus pembunuhan Vina Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus ini, terdapat ketidakprofesionalan dalam proses identifikasi pelaku oleh aparat penegak hukum yang mengarah pada penetapan tersangka yang keliru. Selain itu, prosedur penyidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, serta melanggar asas due process of law, yang mengharuskan adanya pemeriksaan yang adil dan transparan sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Temuan ini juga menunjukkan bahwa aparat penegak hukum perlu lebih memperhatikan prosedur yang benar agar tidak merugikan individu yang tidak bersalah. Kesimpulannya, perbaikan dalam mekanisme penyidikan, penggunaan teknologi forensik, serta peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum diperlukan untuk mencegah kesalahan identifikasi dan penegakan hukum yang adil sesuai dengan asas due process of law. Kata Kunci Due Process of Law. Error in Persona. Penegakan Keadilan. Rekonstruksi Hukum. Abstract The case of misidentification of the perpetrators of the murder that occurred in Cirebon in 2016 involving Pegi Setiawan as a suspect reveals challenges in the investigation process and the enforcement of justice in Indonesia. This research aims to reconstruct the law regarding the phenomenon of error in persona and analyze the process of examining criminal cases related to wrongful arrest. The research method used is a normative approach with a statue approach, a conceptual approach, and a case approach. This research involves the investigation process and case study of the murder of Vina Cirebon. The study results show that, in this case, law enforcement officials were unprofessional in identifying the perpetrator, which led to the wrong determination of the suspect. In addition, investigation procedures not by the law's provisions lead to human rights violations. These findings also show that law enforcement officials must pay more attention to the correct procedures to avoid harming innocent individuals. In conclusion, improvements in investigative mechanisms, forensic technology, and increased education and training for law enforcement are needed to prevent misidentification and fair law enforcement. Keywords Due Process of Law. Error in Persona. Justice Enforcement. Legal Reconstruction. Masukan link jurnal Copyright: A 2024 by the authors. This open-access article is distributed. Under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution CCAeBY 4. 0 license. Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH Pendahuluan Negara hukum merupakan negara yang segala tindakan dan kebijakan yang diambil oleh lembaga negara dan aparatnya senantiasa didasarkan pada hukum yang berlaku, tanpa terkecuali. Setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan norma hukum yang berlaku, menjadikan hukum sebagai dasar utama dalam setiap keputusan dan tindakan. Ketika sebuah negara mengakui dirinya sebagai negara hukum, hal ini membawa konsekuensi yang harus diterima dan dijalankan, yaitu penerapan prinsip-prinsip hukum yang menjamin perlindungan hak asasi manusia, keadilan, dan ketertiban. Suatu konsep negara hukum yang harus tunduk pada hukum dimana segala kekuasaan pemerintah dibatasi oleh hukum, apapun yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang berlaku saat ini . us constitendu. , salah satu tujuan hukum adalah tercapainya asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, adanya perlindungan hak asasi dan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa negara yang mengidentitaskan sebagai negara hukum diantaranya adalah negara Amerika Serikat. Jerman. Inggris dan Indonesia. Sebagai bagian dari negara hukum, sistem peradilan memiliki peranan penting dalam menegakkan prinsip-prinsip hukum yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut A. Dicey, dalam negara hukum terdapat tiga prinsip dasar yang harus dijalankan, yaitu: adanya supremasi hukum . upremacy of la. , adanya kesetaraan didepan hukum . quality before the la. , dan pengakuan hak asasi manusia . uman righ. Indonesia mempunyai prinsip sebagai negara hukum di perkuat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa adanya supremasi hukum dan adanya perlindungan hukum bagi setiap warga negara dan sistem peradilan yang adil dan tidak memihak. Adanya pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan di Indonesia didasarkan pada ajaran Trias Politika oleh Montesquieu yang di dalamnya memisahkan kekuasaan ke dalam tiga jenis kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif . Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak ada kekuasaan mutlak pada satu Lembaga yang artinya dengan pembagian kekuasaan, masing-masing lembaga, bisa saling mengontrol, satu sama lain agar tidak ada kesewenangan, dalam menjalankan kekuasaan dan berujung pada kekuasaan tanpa batas atau absolut . Sistem peradilan yang adil dan tidak memihak adalah suatu sistem yang memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, segala hak warga negara di akui dan dilindungi oleh negara, segala proses peradilan di jalankan dan berdasarkan bukti kuat serta transparan tanpa rekayasa dan prosedur yang sah . Tidak adanya intervensi dan tekanan dari pihak atau kekuasaan manapun. Karena segala bentuk intervensi dan tekanan pada pengadilan akan menjadikan peradilan tidak berjalan sebagaimana mestinya, akan banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan semakin menjauhnya keadilan yang ingin di capai oleh setiap insan manusia. Penegakan hukum merupakan suatu keharusan yang harus dijalankan oleh pemerintah, sebagai bentuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, dalam rangka menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis, tertib dan damai. Mengutip pendapat Barda Nawawi Arief bahwa penegakan hukum merupakan penegakan terhadap nilai kebenaran dan keadilan . Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum: faktor hukum. penegak hukum. sarana dan fasilitas pendukung. Dari beberapa faktor ini pelaksanaan penegakan hukum akan mampu berjalan dengan baik setidaknya ada tiga syarat yaitu: undang-undang yang baik, aparat penegak hukum yang menjalankan peraturan dengan baik dan benar serta kesadaran hukum masyarakat yang baik. Penegakan hukum yang sesuai dengan asas due process of law sangat penting untuk menjaga keadilan dalam sistem peradilan pidana. Asas due process of law menghendaki suatu proses hukum yang harus dilalui oleh setiap individu yang terlibat dalam sistem peradilan, untuk memastikan keadilan dan perlindungan hak Asas ini menuntut agar setiap proses peradilan, mulai dari penyidikan hingga pengadilan, dilakukan secara transparan, adil, dan tanpa ada campur tangan atau tekanan dari pihak eksternal. Dalam penegakan hukum, penting untuk memastikan Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH bahwa hak-hak individu dihormati dan dilindungi sepanjang proses hukum, sehingga tidak ada kesalahan dalam identifikasi atau penetapan tersangka, seperti yang terjadi pada kasus error in persona. Ketika penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan asas due process of law, maka potensi ketidakadilan menjadi semakin besar, dan masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada integritas sistem hukum itu sendiri. Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa kebijakan pidana, dalam praktik penegakan hukum, mulai dari penyidikan oleh lembaga kepolisian atau penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga kejaksaan dan kekuasaan untuk mengadili oleh lembaga kehakiman dan kekuasaan melaksanakan putusan pengadilan oleh lembaga pemasyarakatan, masing-masing mempunyai peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan . Polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai peran penting dalam sistem peradilan pidana, sebagai penyelidik dan penyidik, yang dipertegas dalam Pasal 14 Ayat . Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 . , yang menegaskan bahwa tugas utama penyelidik adalah mencari dan menemukan barang bukti, agar suatu tindakan pidana yang terjadi, menjadi jelas dalam rangka menemukan tersangka pelaku kejahatan . Sementara Jaksa memiliki tugas untuk melakukan penuntutan, yang untuk tahapan selanjutnya pengadilan akan memeriksa perkara, secara cermat guna mendapatkan putusan yang adil, berdasarkan hukum yang berlaku. Banyak permasalahan yang muncul dalam proses peradilan pidana di Indonesia, dengan sejumlah kasus berakhir menjadi malapetaka bagi individu yang mengalami salah tangkap. Fenomena ini sering terjadi akibat ketidaksesuaian antara proses peradilan yang dilaksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga menyebabkan penghukuman terhadap individu yang sebenarnya tidak bersalah, yang dikenal sebagai kasus rekayasa. Hal ini menciptakan peradilan sesat yang merusak prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. Kasus-kasus seperti yang terjadi pada Antasari Azhar dan Ahmad Sapuan, yang terlibat dalam kasus pembunuhan di Kabupaten Pati pada tahun 2014, menjadi contoh nyata dari kegagalan sistem peradilan dalam menegakkan Menurut Yahya Harahap, di Indonesia terdapat sejumlah kegagalan dalam penerapan hukum pidana, di mana sekitar 80% perkara yang diproses dalam persidangan seharusnya tidak layak diajukan ke pengadilan. Lebih lanjut, diperkirakan bahwa sekitar 95% perkara pidana yang diadili, baik secara substansi maupun prosedural, memiliki cacat hukum yang signifikan . Terungkapnya kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 2016 kembali menjadi sorotan dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, yang kerap kali diwarnai oleh ketidakteraturan. Penangkapan Pegi Setiawan, salah satu dari tiga daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki, yang terjadi delapan tahun setelah peristiwa tersebut, dianggap sebagai suatu pencapaian bagi aparat kepolisian. Penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka dan terdakwa diharapkan menjadi momentum penting dalam penegakan hukum pidana dan pemberian keadilan bagi korban serta masyarakat secara umum. Namun, meskipun Pegi Setiawan menolak untuk mengakui keterlibatannya, bahkan sebagai pelaku utama dalam pembunuhan tersebut, pihak kepolisian, khususnya Polda Jawa Barat, tetap mengeluarkan keputusan untuk menetapkannya sebagai tersangka. Keputusan ini memunculkan sejumlah kejanggalan yang perlu dianalisis lebih lanjut, mengingat terdapat ketidaksesuaian antara pengakuan tersangka dan bukti-bukti yang ada, serta indikasi kesalahan prosedural dalam proses penyidikan yang dapat merugikan prinsip keadilan dalam sistem peradilan pidana. Fenomena salah tangkap yang berulang kali terjadi di Indonesia merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian mendalam, terutama bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, sebagai lembaga pertama yang terlibat dalam proses penegakan hukum pidana. Kesalahan dalam penanganan perkara ini perlu dikaji secara cermat untuk memahami penyebab terjadinya salah tangkap, agar kejadian serupa tidak terulang dan tidak merusak citra serta kewibawaan aparat penegak hukum di mata masyarakat. Penelitian ini berkontribusi dalam mengembangkan pemahaman tentang error in persona di Indonesia, dengan fokus pada aspek rekonstruksi hukum terhadap kesalahan identifikasi pelaku dan dampaknya terhadap penegakan keadilan. Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH Meskipun berbagai studi sebelumnya telah mengkaji kasus error in persona, seperti yang dilakukan oleh Sabungan Sibaran . yang menyoroti perlunya sanksi moral dan disipliner bagi penyidik dalam kasus salah tangkap . , serta penelitian Adi Gunawan, et al. yang menekankan pentingnya pemenuhan prosedur hukum dalam mencegah kesalahan ini, penelitian ini menawarkan pendekatan baru dalam hal peninjauan secara menyeluruh terhadap proses penyidikan dan konsekuensi hukum yang ditanggung oleh aparat penegak hukum . Penelitian sebelumnya lebih terfokus pada dampak praktis dari kesalahan penangkapan dan prosedur yang berlaku, seperti yang disoroti oleh Irvan Dani . dalam kajiannya yang menekankan pentingnya prinsip hak asasi manusia dalam proses penangkapan oleh kepolisian . Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini menambahkan dimensi teoritis yang lebih mendalam mengenai rekonstruksi hukum yang melibatkan due process of law dan perlindungan hak asasi manusia dalam kasus error in persona. Hal ini menjadi novelty dari penelitian-penelitian terdahulu yang lebih terbatas dalam mengkaji aspek konsekuensi hukum dan tanggung jawab penegak hukum dalam kasus salah tangkap, serta bagaimana penerapan sanksi hukum dapat memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini sangat penting mengingat fenomena error in persona dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang masih sering terjadi dan dapat merugikan hak-hak individu, serta menciptakan ketidakadilan dalam proses hukum. Kasus seperti yang terjadi pada Pegi Setiawan, yang menjadi korban kesalahan identifikasi dalam kasus pembunuhan Vina, mengungkapkan adanya celah dalam prosedur hukum yang perlu diperbaiki untuk mencegah terjadinya salah tangkap yang serupa di masa depan. Fenomena error in persona dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan masalah serius yang sering mengakibatkan ketidakadilan dan penyalahgunaan proses Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai faktor penyebab kesalahan ini, serta merumuskan langkah-langkah preventif dan solusi hukum yang lebih efektif. Penelitian ini tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum, tetapi juga memiliki urgensi praktis dalam memperkuat penerapan due process of law untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia dan keadilan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Metode Penelitian ini merupakan penelitian jenis normatif, dengan pendekatan undang-undang . tatue approac. , pendekatan konseptual . onceptual approac. , dan pendekatan kasus . ase approac. , dengan mengkaji konsep proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dengan KUHAP dan Peraturan Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan teori-teori hukum serta beberapa pendapat ahli hukum yang relevan terhadap penelitian ini, serta hubungan antara proses pemeriksaan perkara, terutama pada korban salah tangkap, proses pemeriksaan kasus pembunuhan Vina di Cirebon, khususnya penangkapan Pegi Setiawan. Metode analisis data meliputi studi kepustakaan, terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier berupa dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada proses pemeriksaan perkara pidana, mulai dari penyidikan sampai keluar putusan, hasil analisa data yang didapat akan di deskripsikan secara narasi sebagai hasil penelitian. Hasil dan Pembahasan 1 Konsep Error in Persona dalam Sistem Peradilan Pidana Konsep Error in Persona mengacu pada kesalahan identifikasi seseorang sebagai pelaku tindak pidana yang sebenarnya tidak bersalah. Fenomena ini sering terjadi akibat misidentification atau kesalahan dalam penentuan siapa yang seharusnya dipersalahkan, yang berujung pada hukuman terhadap orang yang tidak bersalah. Berbagai ahli hukum telah memberikan penjelasan mengenai konsep error in persona, berikut penjelasannya: Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH Yahya Harahap: Menjelaskan bahwa error in persona merupakan eksepsi yang diajukan oleh tergugat atau terdakwa ketika terdapat kesalahan dalam penunjukan pihak yang digugat atau dituntut. Ia menekankan bahwa jika gugatan mengandung cacat error in persona, maka gugatan tersebut dapat dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan . Marwan: Menjelaskan bahwa error in persona terjadi ketika orang yang ditangkap atau didakwa bukanlah orang yang seharusnya. Ia menekankan pentingnya kejelasan dalam identifikasi pihak-pihak yang terlibat untuk menghindari ketidakadilan dalam proses hukum . Pendapat para ahli menunjukkan bahwa error in persona bukan hanya masalah teknis dalam proses hukum, tetapi juga memiliki implikasi etis dan sosial yang lebih luas terkait dengan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, error in persona dapat terjadi akibat kelalaian atau kesalahan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim. Misidentifikasi sering kali disebabkan oleh faktor-faktor seperti kesalahan dalam pengumpulan bukti, keterangan saksi yang tidak akurat, atau kurangnya koordinasi antara lembaga penegak hukum . Error in Persona tidak hanya berdampak pada individu yang salah ditangkap, tetapi juga pada sistem peradilan, yang dapat merusak rasa keadilan publik . Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menentukan identitas tersangka agar tidak terjadi kesalahan yang merugikan pihak yang tidak bersalah. Dalam sistem peradilan pidana, kesalahan identifikasi ini bertentangan dengan asas due process of law yang diatur dalam konstitusi dan hukum acara pidana. Asas ini menekankan bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses peradilan berhak atas perlakuan yang adil, jujur, dan tanpa penyalahgunaan wewenang. Salah satu komponen dari due process of law adalah hak untuk tidak dihukum tanpa melalui proses hukum yang sah dan procedural. Ketika seseorang salah ditangkap atau disangka sebagai pelaku suatu kejahatan tanpa dasar bukti yang sah, maka hak-hak individu tersebut dilanggar, sehingga asas due process of law tidak dapat ditegakkan dengan benar. Penerapan asas due process of law mengharuskan bahwa setiap tindakan hukum, mulai dari penyidikan hingga pengadilan, harus mengikuti prosedur yang sah dan Dalam hal error in persona, salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketidakpatuhan terhadap prosedur hukum yang telah ditetapkan, seperti tidak adanya dua alat bukti yang sah yang memadai sebelum penetapan seseorang sebagai tersangka, sesuai dengan Pasal 183 KUHAP . Proses penyidikan yang terburuburu atau berdasarkan saksi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan, dapat menyebabkan terjadinya error in persona, yang merugikan individu yang tidak bersalah dan bertentangan dengan asas due process of law . Ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk memastikan adanya dua alat bukti yang sah sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah salah satu penyebab utama dari kesalahan identifikasi, yang merugikan pihak yang tidak bersalah. Penerapan asas due process of law juga berhubungan langsung dengan penegakan keadilan dalam proses peradilan pidana . Salah satu aspek penting dalam hal ini adalah memastikan bahwa prosedur hukum yang berlaku, seperti ketentuan mengenai penangkapan dan penahanan, dijalankan dengan benar dan Dalam kasus error in persona, ketidakpatuhan terhadap prosedur hukum yang sahAimisalnya, penangkapan yang dilakukan tanpa bukti yang cukup atau dipertanggungjawabkanAidapat menghalangi tercapainya keadilan . Penegakan keadilan mengharuskan adanya pemeriksaan yang teliti dan objektif dengan penggunaan teknologi . isalnya, rekaman video atau tes forensi. untuk membantu memastikan identitas yang benar dari tersangka, agar setiap individu yang terlibat dalam proses peradilan tidak dirugikan oleh kesalahan prosedural. Selain itu, pelanggaran terhadap asas due process of law dalam kasus error in persona juga dapat berdampak pada kredibilitas sistem peradilan pidana. Apabila aparat penegak hukum tidak berhasil menjalankan prosedur dengan benar, hal ini Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan hukum. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk senantiasa memastikan bahwa setiap langkah dalam proses peradilan dilakukan dengan mematuhi asas due process of law. Kesalahan dalam identifikasi dapat diperbaiki, namun apabila proses hukum yang adil tidak dilaksanakan dengan benar sejak awal, maka keadilan itu sendiri akan terancam. Dalam konteks ini, penting untuk terus memperkuat sistem hukum yang mendukung pemeriksaan yang cermat dan adil agar kasus error in persona dapat diminimalisir. 2 Rekonstruksi Proses Penyidikan dan Studi Kasus Error in Persona Dalam Pembunuhan Vina Cirebon 1 Identifikasi Kasus Pembunuhan Vina Cirebon Kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita (Vin. dan Muhammad Rizky Rudiana (Ek. terjadi pada 27 Agustus 2016 di Cirebon. Jawa Barat. Kejadian ini melibatkan sekelompok remaja yang tergabung dalam geng motor dan menjadi salah satu peristiwa yang mendapat sorotan publik. Kasus ini kembali menarik perhatian setelah dirilisnya film "Vina: Sebelum 7 Hari" yang terinspirasi dari kisah nyata pembunuhan Film ini menggambarkan dengan jelas bagaimana korban diperkosa sebelum akhirnya jenazahnya dibuang di jembatan layang. Publikasi kisah ini menambah dimensi kompleks terhadap proses penyelidikan yang semakin rumit. Berikut adalah ringkasan dari kronologi dan perkembangan kasus ini . Ae. Kejadian n 27 Agustus 2016: Vina dan Eki berkeliling Cirebon bersama teman-teman mereka di klub motor. Saat melewati Jalan Perjuangan, mereka diserang oleh geng motor yang dipimpin oleh Egi, yang merasa cemburu karena Vina menjalin hubungan dengan Eki. n Konfrontasi: Geng motor tersebut melempari Vina dan Eki dengan batu, menyebabkan mereka terjatuh. Setelah terjatuh, kedua korban mengalami penganiayaan brutal, termasuk pemerkosaan terhadap Vina secara bergiliran oleh para pelaku. n Pembuangan Jasad: Setelah membunuh keduanya, pelaku membuang jasad Vina dan Eki di bawah jembatan layang untuk menyamarkan tindakan mereka sebagai kecelakaan lalu lintas. Penyelidikan Awal n Awalnya Dianggap Kecelakaan: Polisi awalnya menganggap kematian Vina dan Eki sebagai akibat dari kecelakaan tunggal saat menabrak tiang listrik. Namun, kecurigaan muncul setelah laporan dari teman-teman korban mengenai serangan yang dialami sebelum kematian mereka. n Penyelidikan Diperluas: Setelah beberapa hari, penyelidikan dibuka kembali karena kejanggalan dalam laporan awal dan informasi baru yang . Penangkapan Pelaku n 31 Agustus 2016: Delapan dari sebelas pelaku berhasil ditangkap, termasuk Jaya. Supriyanto. Eka Sandi. Hadi Saputra. Eko Ramadhani. Sudirman. Rivaldi Aditya Wardana, dan Saka Tatal. Tujuh di antaranya dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara satu orang lainnya divonis delapan tahun penjara karena masih di bawah umur saat kejadian. n Pelaku yang Masih Buron: Tiga pelaku masih buron yaitu Pegi alias Perong . Andi . , dan Dani . Pembukaan Kembali Kasus n 2024: Kasus ini kembali menjadi perhatian publik setelah film "Vina: Sebelum 7 Hari" dirilis. Polda Jabar membuka kembali kasus pembunuhan Vina karena tiga pelaku yang terlibat belum ditangkap. n Penangkapan Pegi Setiawan: Pada malam tanggal 21 Mei 2024. Pegi Setiawan ditangkap di Bandung saat bekerja sebagai buruh bangunan. menggunakan nama samaran Robi Irawan selama bersembunyi. Proses Hukum Pegi Setiawan n 26 Mei 2024: Dalam konferensi pers di Mapolda Jabar. Pegi membantah Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut dan menyatakan bahwa ia tidak bersalah. n Penghapusan DPO: Dua pelaku lain yang masih buron. Andi dan Dani, dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) karena kurangnya bukti. n Gugatan Praperadilan: Tim kuasa hukum Pegi mengajukan gugatan praperadilan pada 11 Juni 2024 untuk menantang status tersangkanya. Sidang Praperadilan n Sidang Pertama: Sidang perdana praperadilan digelar pada 24 Juni 2024 tetapi ditunda karena ketidakhadiran pihak Polda Jabar. n Keputusan Hakim: Pada 8 Juli 2024, hakim Eman Sulaeman memutuskan bahwa status tersangka terhadap Pegi tidak sah karena tidak ada panggilan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka. Kasus pembunuhan Vina dan Eki menjadi contoh nyata bagaimana dukungan masyarakat dapat mengubah arah sebuah kasus hukum. Setelah dirilisnya film "Vina: Sebelum 7 Hari," banyak warga mulai meragukan penanganan kasus ini dan menunjukkan dukungan untuk kembali menyelidiki kasus ini. Dukungan ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya peduli pada nasib individu yang terlibat, tetapi juga pada keadilan secara keseluruhan. Dalam kasus ini, viralitas film dan dukungan masyarakat telah berhasil menarik perhatian kembali kepada kasus yang sudah lama dianggap selesai. Dengan adanya viralitas informasi dan mobilisasi dukungan publik, kasus ini kembali diperhatikan oleh pihak berwenang, menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya bergantung pada hukum formal tetapi juga pada kesadaran dan partisipasi masyarakat. Ungkapan no viral no justice menjadi relevan dalam penanganan kasus ini dan mencerminkan realitas bahwa tanpa perhatian publik, banyak kasus mungkin akan tetap terabaikan, sementara suara masyarakat bisa menjadi alat penting dalam mencari keadilan. 2 Eksistensi Analisa Pakar Terhadap Kasus Pembunuhan Vina Cirebon Pada kasus pembunuhan Vina yang terjadi di Cirebon, berbagai analisis muncul untuk menggali lebih dalam mengenai proses penyidikan dan penegakan hukum yang Beberapa analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi eksistensi temuantemuan penting dalam penyelidikan yang belum mampu mengungkapkan identitas pelaku dengan jelas, meskipun sudah berjalan selama delapan tahun. Analisa-analisa yang dikemukakan oleh para ahli hukum, psikolog, dan kriminolog memberikan perspektif yang berbeda terhadap kesalahan dan kelalaian yang mungkin terjadi dalam penanganan kasus ini. Analisis Ahli Telematika Roy Surya, seorang pakar telematika, berpendapat bahwa pihak kepolisian seharusnya dapat dengan mudah mengidentifikasi pelaku hanya dengan menganalisis rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian dan bukti rekaman tersebut seharusnya digunakan segera setelah peristiwa terjadi. Namun, kejanggalan muncul ketika rekaman CCTV baru terungkap setelah delapan tahun, menimbulkan keraguan mengenai keseriusan penyidikan. Selain itu, perubahan daftar pencarian orang (DPO) dari tiga pelaku menjadi satu pelaku semakin menambah kejanggalan dalam proses pengungkapan kasus ini . Analisis Psikolog Reza Indragiri, seorang psikolog forensik, menunjukkan bahwa perlu ada prioritas pemeriksaan pada titik hulu, yaitu eksaminasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda penegakan hukum yang sesat. Hal ini penting mengingat Polda Jawa Barat telah mengoreksi daftar pencarian orang (DPO) dari tiga nama menjadi satu nama . Analisis Kriminolog Adrianus Meliala, seorang pakar kriminologi Universitas Indonesia, menganggap pencabutan status DPO tersebut tidak wajar karena seharusnya semua nama dalam DPO telah tercatat dalam dokumen penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian, serta tercantum dalam tuntutan, dokumen pemeriksaan pengadilan, hingga dalam amar putusan majelis hakim. Kejanggalan ini mencerminkan adanya potensi kesalahan dalam proses Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH penegakan hukum yang dilakukan . Analisis Pengacara Komarudin Simanjuntak, seorang pengacara, menyoroti temuan handphone korban yang masih utuh dan tidak ada kerusakan serta hasil otopsi yang menunjukkan adanya cairan sperma di kemaluan korban. Hal ini mengindikasikan bahwa Vina diperkosa sebelum dibunuh. Namun, meskipun sudah delapan tahun berlalu. DPO belum bisa ditangkap dan diadili, menunjukkan kurangnya keseriusan dari pihak penyidik dalam melakukan penyidikan . Analisis Pengamat Kepolisian Pencabutan status DPO oleh pihak kepolisian yang didasarkan pada pernyataan terpidana tanpa adanya bukti yang kuat menunjukkan ketidaktepatan dalam pelaksanaan tugas penyelidikan. Hal ini mencerminkan bahwa pihak kepolisian belum bekerja secara profesional dan objektif. Menurut Bambang Rukminto, seorang pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), proses pemeriksaan yang dilakukan telah menyimpang dari prosedur baku yang seharusnya diterapkan dalam penegakan hukum . Analisis dari berbagai pakar menunjukkan bahwa proses penyidikan kasus pembunuhan Vina menghadapi banyak tantangan dan kejanggalan. Dari analisis tersebut, terlihat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan ketidakjelasan identitas pelaku meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Keberadaan bukti-bukti kunci seperti rekaman CCTV dan hasil otopsi seharusnya dapat mempercepat proses pengungkapan kasus ini. Namun, ketidaktepatan dalam pelaksanaan tugas penyelidikan oleh pihak kepolisian menjadi penghalang utama dalam penegakan hukum yang adil. Selain analisis-analisis tersebut, informasi yang dihimpun dari berbagai sumber mengenai kejadian-kejadian sebelum dan sesudah kasus pembunuhan Vina mengungkapkan berbagai kejanggalan dalam proses penegakan hukum. Kejanggalankejanggalan berdasarkan berbagai sumber adalah sebagai berikut: Kronologi kejadian: ketika Vina di temukan tewas terdapat luka yang menunjukkan, adanya bekas kekerasan. Motif pembunuhan: fokus utama motif di balik pembunuhan bisa dikaitkan dengan masalah cinta yang di Egi yang di tolak Vina, masalah dendam atau masalah cemburu dan masalah pribadi lainnya, menentukan motif menjadi penting untuk mengarahkan penyelidikan kea rah yang lebih tepat. Pelaku masih buron: hingga saat ini masih ada pelaku yang belum tertangkap dan ditetapkan dengan status daftar pencarian orang (DPO), status pelaku yang masih buron menjadi tekanan pada pihak kepolisian segera menyelesaikan kasus ini. Peran teknologi dalam penyelidikan: tidak dapat di pungkiri pengunaan tekhnologi sangat dibutuhkan seperti analisis DNA, jejak digital dan rekaman CCTV membantu pihak kepolisian mengidentifikasi dan melacak pelaku menjadi lebih efektif. Reaksi Publik dan Media: kasus pembunuhan Vina telah menarik perhatian publik dan media, mempengaruhi opini publik dan mendapat tekanan dari berbagai pihak sehingga menambah tekanan pihak yang berwenang untuk menyelesaikan kasus. Kerjasama masyarakat: partispasi masyarakat sangat penting, karena informasi dari masyarakat bisa kunci dalam menemukan pelaku. Dampak psikologis dan Sosial: kasus pembunuhan Vina berdampak psikologis pada yang signifikan bagi keluarga korban dan masyarakat . Kejanggalan ini semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap efektivitas sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal ini tidak hanya mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang prosedur dan praktik yang diterapkan dalam menangani kasus-kasus kriminal berat. Penyelesaian kasus pembunuhan Vina memerlukan pendekatan multidisipliner yang melibatkan berbagai bidang ilmu dan metode penyelidikan, seperti forensik. Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH hukum, sosial, dan politik, guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih komprehensif terhadap permasalahan yang ada, sehingga dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin terabaikan dalam penyelidikan semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Selain itu, peran serta masyarakat yang aktif, serta dukungan dari berbagai pihak terkait, sangat penting dalam mengungkapkan faktafakta yang lebih jelas dan akurat, yang pada akhirnya dapat memastikan proses peradilan yang lebih adil dan transparan. 3 Penetapan Tersangka Pegi Setiawan Proses penyelidikan dalam sistem peradilan pidana adalah suatu proses awal untuk mengungkapkan fakta adanya suatu tindak pidana, dan untuk mengidentifikasi pelaku tindak pidana serta barang bukti yang diperlukan guna mendukung proses hukum secara lanjut, sebagaimana di tetapkan dalam Pasal 5 Ayat . bahwa diperlukan tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang telah diduga sebagai peristiwa pidana untuk tahap penyidikan lebih lanjut. Proses penyelidikan dari adanya pengaduan dan laporan dari masyarakat, mengumpulkan data dari saksi atau korban guna pengumpulan bukti awal, untuk selanjutkan melaporkan hasil penyelidikan atas informasi dan bukti awal sehingga kasus dapat di lanjutkan pada tingkat penyidikan, sebagaimana tujuan penyidikan di atur dalam KUHAP Pasal 1 Ayat . untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dalam rangka menemukan tersangka . Dalam proses penyidikan dari adanya laporan temuan tindak pidana dari seorang penyelidik, maka dari adanya bukti yang cukup penyidik dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka . danya surat perintah penangkapa. untuk selanjutnya penyidik dapat melakukan pengeledahan dan melakukan penyitaan barang bukti, serta melakukan pemeriksaan saksi dan tersangka guna memperkuat bukti yang didapat. Penetapan sebagai tersangka berdasarkan KUHAP Pasal 184 harus berdasarkan dua alat bukti. Proses penangkapan dan penetapan Pegi Setiawan oleh Polda Jawa Barat dilakukan dengan tujuan untuk mencari pelaku pembunuhan Vina dan Eki agar masyarakat memahami bahwa proses penegakan hukum terhadap peristiwa pembunuhan Vina-Eki telah di tegakkan sebagaimana dorongan masyarakat untuk menangkap pelaku yang masih dalam daftar pencarian orang atau buron. Penetapan seseorang sebagai tersangka oleh seorang penyidik berdasarkan bukti permulaan patut untuk di duga sebagai pelaku kejahatan atau tindak pidana dan berdasarkan dua alat bukti yang sebelumnya telah dilakukan gelar perkara. Berdasarkan peraturan bahwa prosedur penyidikan dan penetapan tersangka harus di lakukan sesuai aturan dan transparan utamanya dilakukan secara professional, agar benar-benar di dapat kebenaran pelaku tindak pidana dan tidak ada tendensi apapaun untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena penetapan tersangka yang salah mengandung konsekuensi pertanggungjawaban dari penyidik . Dalam menjalankan tugas sebagai penyidik, mengunakan berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan dari orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk cara-cara kekerasan, sehingga tidak jarang para tersangka, mengakui hal yang tidak dilakukan karena alasan tidak tahan denga siksaan yang diberikan penyidik dalam mengorek keterangan dari tersangka. Tindakan penyiksaan dari penyidik ini patut disayangkan, karena tentu penyidik mamahami asas praduga tak bersalah bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan tersangka bersalah, artinya hak-hak para tersangka harus di hargai karena hak mereka dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana di atur dalam Pasal 28 D Undang-Undamg Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan selayaknya manusia, dengan penyiksaan apalagi penyiksaan yang sadis, yang dilakukan oleh penyidik menunjukan bahwa kinerja penyidik tidak profesioanal dan tidak beretika dan tidak menunjukkan tugas melindungi masyarakat dari Tindakan sewenang-wenang . Penetapan Polda Jawa Barat terhadap Pegi Setiawan sebagai tersangka dan dalang otak pembunuhan Vina dan Eki berdasarkan Surat Ketetapan Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH SK/90/V/Res124/2024/Direskrimum tanggal 21 Mei 2024 atas nama Pegi Setiawan, terkesan tidak dilakukan sesuai prosedur pemeriksaan atau tidak profesional, keterangan dari penyidik bahwa Pegi atau Perong merupakan salah satu DPO yang di cari sejak 8 tahun silam, istilah daftar pencarian orang (DPO) merupakan sebutan bagi pelaku tindak pidana yang melarikan diri dampaknya yang bersangkutan menjadi incaran atau buronan pihak kepolisian sebagaimana di jelaskan dalam peraturan kepala kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang management penyidikan tindak pidana yang intinya bahwa tersangka telah di panggil untuk pemeriksaan guna penyidikan perkara, tetapi keberadaannya tidak jelas di buat surat daftar pencarian orang dan surat pencarian orang . Keterangan dari penyidik terhadap penangkapan Pegi Setiawan berdasarkan alasan sebagai berikut: Pegi ditangkap berdasarkan identifikasi pelaku dan STNK sepeda motor yang digunakan saat melakukan aksi pembunuhan terhadao Vina dan Eki. Pegi sempat berganti nama menjadi Robi, sebagai salah satu bentuk kebohongan Pegi untuk mengelabui penyidik dan bekerja sebagai kuli bangunan. Penetapan Pegi sebagai tersangka telah melewati serangkaian gelar perkara yang dihadiri sejumlah pihak internal kepolisian. Penetapan Pegi sebagai tersangka berdasarkan 3 alat bukti dan penyidikan yang komperensif . Kejanggalan dalam proses penangkapan Pegi Setiawan (Peron. memicu reaksi publik, terutama setelah pihak kepolisian membuka kembali berkas kasus yang telah berlangsung selama delapan tahun. Penangkapan Pegi Setiawan, yang dilakukan pada 21 Mei 2024 di Bandung, menimbulkan tanda tanya besar, mengingat pihak kepolisian baru bertindak dan mengejar buronan setelah jangka waktu yang cukup Kejanggalan lainnya terletak pada pengakuan Pegi yang menyatakan bahwa ia tidak mengenal korban maupun tersangka pembunuhan Vina dan Eki, serta membantah keterlibatannya dalam kasus tersebut. Bahkan, berdasarkan keterangan dari tetangga dan pemilik kos tempat tinggal Pegi, yakni Suharsono, disebutkan bahwa pada saat kejadian pada 27 Agustus 2016. Pegi sedang berada di Bandung. Selain itu. Polda Jawa Barat juga merevisi daftar pencarian orang (DPO) yang awalnya mencakup tiga nama menjadi satu nama, yang menambah keraguan terhadap prosedur penyidikan yang dilakukan. Kejanggalan-kejanggalan tersebut mengindikasikan adanya potensi kelalaian atau ketidaktepatan dalam penanganan kasus ini, yang berujung pada pertanyaan besar mengenai keakuratan dan objektivitas penyelidikan yang telah dilakukan . Pegi Setiawan selalu membantah tuduhan yang menyebutnya sebagai pelaku atau bahkan dalang dari penyiksaan dan pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon. Bahkan, menurut penuturan pengacara, terdapat perbedaan mencolok antara ciri-ciri yang tertera dalam daftar pencarian orang (DPO) atas nama Pegi alias Perong dengan Pegi Setiawan yang ditangkap, sehingga menimbulkan keraguan yang seharusnya diperhatikan dengan seksama oleh pihak penyidik. Kejanggalan ini menjadi suatu hal yang perlu ditelusuri lebih lanjut untuk mencari kebenaran yang objektif. Meskipun demikian, aparat kepolisian tetap menetapkan Pegi sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang dianggap cukup untuk menduga keterlibatannya dalam tindak pidana tersebut, sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada tahap ini, penyidik seharusnya memiliki minimal dua alat bukti yang sah dan melakukan gelar perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Ayat . Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 . Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 184 Ayat . KUHAP, alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, yang seharusnya menjadi dasar yang kuat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam proses hukum . 4 Upaya Hukum Bagi Korban Kesalahan Identifikasi Adanya kesaksian dari salah satu saksi teman korban yang menyatakan bahwa ternyata kasus pembunuhan Vina di Cirebon, bukanlah kasus pembunuhan, tetapi murni kecelakaan, tidak berarti bisa menggugurkan putusan yang telah dikeluarkan oleh majelis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkrac. Dalam kasus Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH pembunuhan Vina, terdapat beberapa orang, yang telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, bahkan telah mendapatkan dan menjalankan sanksi pidana. Dalam sistem peradilan pidana, tujuan utama adalah mencapai keadilan, yang mencakup penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan jaminan kebenaran bagi para pencari keadilan . Apabila terjadi kesalahan dalam proses pemeriksaan perkara, hukum menyediakan mekanisme untuk mengatasi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, dimulai dari penyidikan hingga upaya hukum seperti praperadilan, banding, dan kasasi terhadap putusan hakim tingkat pertama, bahkan termasuk upaya luar biasa seperti peninjauan kembali . Upaya hukum ini berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh para pencari keadilan dan merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh terdakwa, di mana prosedur praperadilan diatur dalam Pasal 77-83 KUHAP . Terkait dengan dugaan terhadap tujuh terpidana yang telah menjalani masa pidana lainnya, terpidana perlu melakukan upaya peninjauan kembali atas kasus tersebut dan membuktikan bahwa penangkapannya juga merupakan kesalahan. Hal ini menunjukkan adanya dugaan bahwa proses pemeriksaan perkara tidak dilakukan sesuai prosedur. Dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki, diperlukan kajian lebih mendalam dan pembuktian lebih lanjut untuk memastikan keadilan ditegakkan. Dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon tersangka Pegi Setiawan mengajukan gugatan praperadilan di pengadilan Negeri (PN) Bandung, dalam petitum disebutkan bahwa AuPegi Setiawan yang sudah di tangkap Polda Jawa Barat, bukan pelaku kasus pembunuhan Vina, meski ia telah di tetapkan sebagai tersangka utama dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polda Jawa Barat, jika terbukti bahwa Pegi Setiawan merupakan korban salah tangkap, maka jelas bahwa telah terjadi human error atas penyelidikan aparat penegak hukumAy . Gugatan prapradilan yang dilakukan oleh Pegi Setiawan, pada 11 Juni 2024 (Nomor: 10/Pid. Pra/2024/PN Bandun. dan dalam sidang praperadilan tersebut, masing-masing pihak saling memberikan bukti di proses persidangan praperadilan . Terdapat beberapa alasan yang mendasari klaim bahwa penetapan tersangka tersebut cacat hukum, yaitu: Penyitaan dua unit sepeda motor yang dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan menunjukkan pelanggaran prosedur hukum. Penyitaan barang bukti seharusnya dilakukan berdasarkan izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan Pasal 38 Ayat . KUHAP, sehingga tindakan ini dianggap tidak . Penetapan DPO yang dilakukan oleh Polda Jawa Barat pada 14 Mei 2014 dinilai melanggar prosedur. DPO awalnya mencantumkan tiga orang, termasuk Pegi, namun ciri-ciri fisik yang disebutkan dalam DPO tidak sesuai dengan identitas Pegi yang ditangkap . engan ciri rambut kerinting, umur 30 tahun pada tahun 2024, tinggal di desa Banjarwangunan kecamatan Mundu Kabupaten Cirebo. Ciri-ciri ini berbeda dengan ciri Pegi yang di tangkap setelah ditetepkan sebagai Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keakuratan dan keabsahan proses penetapan DPO tersebut. Sejak tahun 2016. Pegi tidak pernah dipanggil atau diperiksa oleh pihak kepolisian terkait kasus pembunuhan Vina dan Eki. Sehingga penangkapan yang dilakukan pada 21 Mei 2024 dengan Surat Penetapan Tersangka Nomor: Tap/90/V/RES. 4/Ditreskrimum bertentangan dengan Pasal 17 Ayat 6 KUHAP, yang menyatakan bahwa tersangka harus dipanggil untuk pemeriksaan sebelum dicatat dalam DPO dan dibuatkan surat pencarian orang. Dengan demikian, penangkapan Pegi dinilai tidak didasarkan pada bukti permulaan yang . Penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka tidak memenuhi syarat, karena tidak berdasarka 2 alat bukti dan tidak ada pemeriksan terlebih dahulu sejak tahun Sehingga penetapan Pegi sebagai tersangka dianggap cacat hukum karena tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Penyitaan barang bukti raport SD. SMP dan Ijazah SD dan SMP hingga akte kelahiran Pegi Setiawan asli, tidak berdasarkan penetapan pengadilan, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 38 Ayat . KUHAP jika penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan ijin ketua Pengadilan Negeri setempat . Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH Berdasarkan catatan-catatan kejanggalan tersebut, hasil sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung mengabulkan seluruh permohonan Pegi Setiawan. Pertimbangan hakim mencakup beberapa poin penting sebagai berikut:. Proses penetapan sebagai tersangka dinyatakan tidak sah atau cacat hukum dan batal demi hukum . Kurangnya a. at bukti dari polda Jawa Barat . Pemeriksaan yang belum pernah dilakukan sejak kasus pembunuhan di proses pada tahun 2016. Penetapan DPO tidak sah, . Penetapan DPO tidak didasarkan pada pemanggilan tersangka. Penetapan sebagai tesangka tindak pidana perlindungan anak atau pembunuhan berencana adalah tidak sah dan berdasarkan atas hukum. Menetapkan Surat Tersangka Nomor: Stap/90/v/Res124/2024/Ditreskrimum batal demi hukum . Alat bukti yang di yang digunakan menetapkan sebagai tersangka sangat minim serta belum pernah ada pemeriksaan calon tersangka sebelumnya. Meskipun penyidik menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan telah didasarkan pada tiga alat bukti yang sah, hakim menilai bahwa penetapan tersebut kurang memadai karena tidak ada pemeriksaan terhadap Pegi Setiawan sejak peristiwa pembunuhan terjadi delapan tahun lalu. Bukti permulaan yang ada, meskipun cukup untuk menginisiasi penyidikan, tidaklah cukup untuk mendasari penetapan tersangka tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut terhadap calon tersangka. Proses pemeriksaan ini, termasuk hak tersangka untuk membela diri, mengajukan alibi, serta memberikan bukti yang dapat meringankan, merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa penetapan status tersangka dilakukan secara sah dan tidak sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menekankan pentingnya pemeriksaan yang transparan dan akurat untuk menghindari kesalahan fatal dalam penetapan tersangka . Selain itu, prosedur gelar perkara, yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia . , juga memegang peranan penting. Gelar perkara ini dilakukan untuk memastikan bahwa bukti permulaan yang ada telah dievaluasi dengan cermat dan proses pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Upaya hukum yang dilakukan oleh Pegi Setiawan dalam kasus ini berfokus pada pemulihan hak-hak hukum yang dirampas akibat penetapan tersangka yang cacat Dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung, majelis hakim mengabulkan seluruh permohonan pemohon dengan beberapa pertimbangan yang mencerminkan ketidaksesuaian prosedural dalam proses hukum yang dijalani oleh korban. Keputusan ini menggarisbawahi bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti yang sah dan pemeriksaan yang memadai, sesuai dengan asas due process of law, yang mengharuskan adanya pemeriksaan yang sah terhadap calon tersangka sebelum penetapan status tersebut. Hasil dari sidang praperadilan ini menegaskan pentingnya pemenuhan prosedur hukum yang jelas dan transparan, serta perlindungan terhadap hak-hak individu dalam sistem peradilan pidana, untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penetapan tersangka yang berpotensi merugikan pihak yang tidak bersalah. 3 Tantangan Penegakan Keadilan dalam Kasus Error in Persona 1 Dampak Bagi Korban Salah Tangkap Hukum ada untuk membuat tertib kehidupan manusia, hukum di buat untuk kepentingan manusia dan hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan . eori eti. Sebagaimana tujuan adanya hukum adalah untuk mencapai keadilan bagi seluruh Menurut Gustav Radbruch bahwa penegakan hukum bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan . Keadilan merupakan perwujudan dari tindakan tidak memihak atau sewenang-wenang, dalam teori Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH keadilan menurut Aristoteles yang membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan kumulatif, yang dalam keadilan keadilan distributif bahwa setiap orang mendapatkan hak secara proposional apa yang seharusnya menjadi haknya atau konsep adil bahwa setiap orang mendapatkan hak secara sama rata . Dalam kasus salah tangkap pada dampak negatif yang melekat korban salah tangkap yaitu: Dampak psikologis: stigma negatif yang terlanjur melekat pada korban dari masyarakat akan berdampak buruk bagi psikologis korban, dan kemungkinan terburuknya, korban akan sulit untuk kembali ke kehidupan sosial. Dampak fisik: kemungkinan adanya penyiksaan pada masa penahanan, yang mungkin pula meninggalkan luka fisik dan permanen dan tekanan psikologis berdampak pada menurunnya Kesehatan korban salah tangkap. Dampak ekonomi: adanya kerugian materiil dan non materiil korban salah . Dampak sosial: reputasi nama tercemar dan sikap pengucilan dari keluarga dan . Dampak hukum: adanya pelanggaran hak asasi manusia sehingga korban berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Korban salah tangkap mengalami berbagai dampak negatif yang signifikan . Penting bagi sistem peradilan pidana untuk memperkuat mekanisme perlindungan hukum dan akuntabilitas untuk mencegah terjadinya salah tangkap serta memastikan korban mendapatkan pemulihan yang layak jika hal tersebut terjadi. Implementasi yang efektif dari prosedur hukum yang adil dan transparan adalah kunci untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah dampak negatif yang luas bagi korban salah tangkap. Dalam terjadinya salah tangkap, baik hak asasi korban dan kebebasan korban sempat terengut bahkan nama baik dan dampak lain yang harus di tanggung korban salah tangkap, maka negara memberikan kesempatan pemulihan hak korban salah tangkap dan pemberian ganti kerugian: Sebagaimana di atur dalam Pasal 77 KUHAP bahwa adanya ganti kerugian dan rehalibitasi bagi korban salah tangkap yang perkaranya dihentikan baik ditingkat penyidikan dan penuntutan . Hak korban salah tangkap juga di perkuat dalam Pasal 95 KUHAP dimana korban salah tangkap dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pengadilan, dengan besaran : . minimal 500-100 juta jika perkara dihentikan pada penyidikan dan penuntutan, . besaran 25 juta-300 juta jika korban salah tangkap mengalami luka berat atau cacat sehingga tidak mampu bekerja, . minimal 50 juta-600 juta jika korban salah tangkap sampai kehilangan nyawa/meninggal. Prosedur pengajuan tuntutan ganti rugi dimulai dengan pengaduan dari korban atau kuasa hukumnya kepada pihak berwenang, seperti polisi atau kejaksaan. Setelah pengaduan diterima, pihak berwenang akan melakukan penyelidikan untuk memverifikasi kebenaran pengaduan tersebut. Jika terbukti, korban dapat mengajukan tuntutan ganti rugi ke Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan Pasal 77 dan 95 KUHAP. Pengadilan kemudian akan memutuskan apakah korban berhak menerima ganti rugi dan menetapkan besaran jumlahnya, tergantung pada tingkat kerugian yang dialami. Dalam kasus yang dialami oleh Pegi Setiawan dimana dalam masa pemeriksaan perkara yang bersangkutan mengalami siksaan verbal baik kata-kata kasar maupun umpatan dan sebutan pembunuh, juga mengalami siksaan fisik berupa kekerasan atau penyiksaan pada Pegi Setiawan, yang bisa dikatakan diluar batas, maka Pegi Setiawan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 95 KUHP, dengan besaran besaran 25 juta-300 juta. Namun, pada kenyataanya, prosedur pengajuan ganti rugi seringkali rumit dan memakan waktu, dengan hambatan seperti kurangnya pemahaman korban tentang prosedur, kesulitan membuktikan kerugian . erutama dalam hal trauma psikologi. , dan ketidakpastian jumlah kompensasi yang diberikan. Oleh karena itu, penting untuk menyederhanakan prosedur dan memperkuat sosialisasi agar korban dapat lebih mudah mendapatkan keadilan. Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH 2 Pertanggungjawaban Penegak Hukum Atas Kejadian Salah Tangkap Demi kepentingan mencari kebenaran dari peristiwa pidana yang terjadi, maka aparat kepolisian di beri tugas untuk melakukan pernangkapan kepada yang disangka telah melakukan tindak pidana (Pasal 16 KUHAP) . Penangkapan harus sesuai aturan yang berlaku, karena semua tindakan/perbuatan ada konsekwensi tanggung jawab. Pemahaman tentang tanggungjawab adalah suatu aturan hukum yang memberikan kewajiban berdasarkan aturan hukum yang bersifat memaksa kepada subyek hukum beserta sanksi yang mengikuti jika kewajiban tidak di Dalam teori tanggungjawab yang di jelaskan ada bentuk tanggungjawab yang dilakukan atas perbuatan yang dilakukan sengaja atau karena kelalaian dan tanggungjawab mutlak tanpa mempersoalkan kesalahan . esalahan yang disengaja atau tidak disengaj. , jadi meskipun bukan karena kesalahannya ia tetap harus bertangung-jawab. Setiap tindakan hukum ada konsekuensi hukum yang berlaku, ada bentuk pertanggungjawaban yang harus di tanggung oleh subyek hukum yang telah melakukan suatu kesalahan. Dalam proses peradilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mulai dari proses penyidikan sampai pada proses persidangan seringkali tidak berjalan sesuai prosedur kaidah yang seharusnya. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat asas bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di bidang hukum, para penegak hukum mulai dari penyidik menjalankan asas ini, dengan tidak melakukan kesalahan dengan tidak menjalankan proses pemeriksaan perkara yang tidak sesuai prosedur, tidak menghormati hak asasi manusia, sehingga mengakibatkan salah tangkap atau error in persona yang mengkibatkan korban mengalami banyak kerugian baik materiil dan immaterial . Dengan dikabulkannya permohonan praperadilan Pegi Setiawan . ang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Vin. telah menunjukkan bahwa prosedur yang dijalankan penyidik tidak dilakukan secara profesional. Namun perlu digaris bawahi bahwa keputusan praperadilan tersebut hanya sebatas tentang sah dan tidaknya penetapan sebagai tersangka. Sehingga tidak menutup kemungkinan Pegi Setiawan dapat kembali ditetapkan sebagai tersangka jika ada dua alat bukti baru yang sah berkaitan dengan materi perkara, hal ini berdasarkan Pasal 2 Ayat . Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada yang intinya pihak penyidik dapat menetapkan sebagai tersangka setelah adanya 2 alat bukti yang baru dan sah yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang terkait dengan materi perkara . Adanya kesalahan yang terjadi menunjukkan bahwa kinerja aparat penegak hukum tidak profesional atau aparat penegak tidak mempunyai kompetensi yang cukup atau penegak hukum menyalahgunakan kewenangan yang di miliki, berdasarkan kepentingan tertentu, kesalahan yang terjadi secara berulang atas kejadian salah tangkap, jika sampai tahap pelimpahan ke pihak kejaksaan, maka menunjukkan bahwa belum adanya sinergi kerja dan kontrol dari pihak kejaksaan apakah pihak kepolisian sudah melakukan penyidikan sesuai standar yang benar dan lengkap atau sebaliknya, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kinerja aparat penegak hukum . yang masih lemah atau tidak profesional . Dalam kasus error in persona, salah satu tanggung jawab negara kepada warga negara adalah memberikan hak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi berdasarkan Pasal 95 KUHAP bahwa Au. setiap orang yang ditangkapA. kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasiAy. Selain itu dalam menjalankan tugas yang terbukti telah melanggar ketentuan atau terjadi penyalagunaan wewenang oleh penyidik dalam kasus error in persona, maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Pasal 9 Ayat . yang menyatakan bahwa pejabat dapat dipidana apabila sengaja melakukan perbuatan yang sebagaimana Ayat . Ausetiap orang yang di tahan, dituntut, diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian atau rehabilitasiAy . Setiap perbuatan ada konsekuensinya termasuk kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pertanggungjawaban penegak hukum atas kejadian salah tangkap dapat dianalisis sebagai berikut: Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH Pertanggungjawaban Etik. Administratif dan Perdata Perihal kesalahan yang dilakukan penyidik atas proses pemeriksaan atau penyalahgunaan wewenang, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. Tahun 2003 adanya tindakan teguran/tindakan fisik dan hukuman disiplin yaitu: . teguran secara tertulis,. penundaan mengikuti pendidikan maksimal satu tahun, . penundaan kenaikan gaji berkala, . penundaan kenaikan pangkat maksimal satu tahun, . mutasi bersifat demosi, . pembebasan dari jabatan, . penempatan di tempat khusus maksimal 21 hari . Sedangkan, menurut Pasal 15 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 intinya bahwa penyidik yang melakukan kesalahan menetapkan tersangka tanpa bukti cukup akan diberikan sanksi administratif berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat bahkan pemberhentian, bahkan aparat penegak hukum juga bisa diberikan sanksi pidana berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 bahwa AuA. dalam hal penetapan tersangka yang dilakukan tanpa buktiay maka penyidik yang bersangkutan dapat sanksi administrasi hingga pidana . Penyidik yang melakukan salah tangkap selain mendapat sanksi administratif juga dapat dikenakan sanksi etik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum baik selaku penyelidik, penyidik pembantu atau penyidik, mereka tidak boleh melakukan atau dilarang diantaranya di muat dalam huruf . merekayasa serta memanipulasi perkara yang menjadi tanggungjawabnya dalam rangka menegakkan hukum, dalam huruf . merekayasa isi dari berita acara pemeriksaan, . melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan . Sehingga atas kesalahan penyidik yang melanggar ketentuan tersebut, penyidik dapat dikenakan sanksi pelanggaran kode etik sebagaimana dimuat dalam Pasal 20 Perkapolri yang berbunyi bahwa . anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kewajban atau larangan dan dinyatakan sebagai terduga pelanggar, dan terduga pelanggar tersebut dapat dinyatakan sebagai pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan keputusan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Kesalahan yang terjadi pada penyidik dalam menangkap orang . uman erro. secara perdata merupakan pebuatan yang di ketegorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum dan merugikan orang lain, mewajibkan oramg yang melakukan kesalahan untuk mengati kerugian yang di timbulkannya . 5 KUHPerdat. Pemberian ganti rugi tergantung pada seberapa besar kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Dalam kasus "error in persona" atau salah tangkap, korban memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, rehabilitasi, dan jaminan bahwa penegak hukum yang bersalah akan dikenakan sanksi yang sesuai, sehingga keadilan dan perlindungan hak asasi manusia dapat terwujud dengan baik . Pertanggungjawaban Secara Pidana Adanya konsep hukum pertanggungjawaban pidana, maka setiap orang yang melakukan kesalahan harus menanggung akibat atau konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan, baik kesalahan yang disengaja atau kesalahan yang tidak disengaja. Terhadap kesalahan yang telah dilakukan oleh penyidik dengan salah menangkap orang maka penyidik selain harus menjalani sidang disiplin dan sidang kode etik profesi yaitu adanya pemberhentian tidak hormat dan tidak kalah penting adalah adanya permintaan maaf baik secara tertutup atau terbuka. Selain itu, penyidik yang melakukan kesalahan dan menyebabkan terjadinya error in persona juga dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini apabila kesalahan yang dilakukan terdapat unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang atau ada niat jahat dari pelaku. Dengan unsur-unsur tersebut, penyidik yang melakukan kesalahan salah tangkap, dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana, sebagaimana diatur dalam: Haniyah Haniyah | Rekonstruksi Hukum Kasus Error in Persona JRH Pasal 351 Ayat . KUHP tentang penganiayaan, mengatur sanksi pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan atau denda sebesar paling banyak empat ribu lima ratus rupiah . esuai Pasal 3 PERMA No. 2 Tahun 2. menjadi empat juta lima ratus ribu rupiah, dan jika perbuatan mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diberi sanksi pidana selama lima tahun. Pasal 421 KUHP mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Seorang penyidik yang menggunakan wewenangnya secara tidak sah untuk memaksa seseorang mengakui atau memberikan keterangan dapat dikenakan pidana dengan ancaman penjara paling lama 4 tahun. Penyidik juga bisa di tuntut atas kesalahan penyidik dengan Pasal tentang penganiayaan sebagaimana di muat dalam Pasal 333 KUHP yang mengatur tentang kesengajaan secara melawan hukum atas perampasan kemerdekaan seseorang diancam dengan pidana penjara delapan tahun, jika mengakibatkan luka berat maka sanksi pidana sembilan tahun. Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, juga dapat diterapkan dalam kasus kesalahan identifikasi oleh penyidik . Ketentuan lain dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pasal 466 yang intinya penganiayaan akan di beri sanksi penjara selama 2 tahun enam bulan dan denda paling banyak kategor i . ima puluh jut. , dan jika mengakibatkan luka berat akan di beri sanksi pidana paling lama lima tahun . Sanksi pidana tersebut dapat dikenakan jika ditemukan unsur niat jahat atau kesalahan yang disengaja dalam tindakan penyidik. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk menjaga ketelitian dan akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan untuk mencegah kesalahan dalam identifikasi yang dapat merugikan pihak lain. Pada hakikatnya, dalam kasus kesalahan identifikasi atau "error in persona", aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab besar baik secara etik, administratif, perdata, maupun pidana. Proses penyidikan yang tidak sesuai prosedur dan mengabaikan hak-hak individu dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi korban, baik secara material maupun immaterial. Dalam hal ini, aparat penegak hukum harus mempertanggungjawabkan segala kesalahan yang terjadi, baik melalui sanksi administratif dan disiplin, hingga sanksi pidana jika terdapat unsur kesalahan yang disengaja atau penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, korban salah tangkap berhak untuk mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP dan peraturan lainnya. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum selalu berjalan sesuai dengan standar yang berlaku, untuk menjaga keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Kesalahan dalam penetapan tersangka yang terjadi pada Pegi Setiawan menunjukkan betapa pentingnya profesionalisme dan pengawasan dalam proses penegakan hukum, agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali di masa depan. Kelemahan dalam sistem pengawasan, baik dalam hal pemantauan kinerja penyidik maupun proses evaluasi prosedur hukum, sering kali menjadi faktor yang memungkinkan kesalahan identifikasi. Sistem pengawasan yang lemah dapat menyebabkan kelalaian dalam pengecekan bukti dan analisis yang akurat, yang pada gilirannya dapat berakibat pada kesalahan dalam penetapan tersangka. Dengan demikian, upaya perbaikan dalam penegakan hukum harus terus diupayakan untuk memastikan keadilan dan hak-hak individu terlindungi dengan baik. Kesimpulan Kesalahan identifikasi pelaku dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon mencerminkan penerapan yang tidak tepat dari asas due process of law yang menuntut agar setiap tindakan hukum dilakukan melalui prosedur yang sah dan adil, serta menghormati hak-hak individu. Proses hukum yang melibatkan penetapan Reformasi Hukum | Vol. December 2024 JRH tersangka yang tidak didasarkan pada bukti yang cukup dan prosedur yang keliru menimbulkan kerugian bagi korban salah tangkap, baik dari segi materiil maupun Rekonstruksi hukum menunjukkan bahwa aparat penegak hukum harus mempertanggungjawabkan kesalahan mereka, baik melalui sanksi etik, administratif, perdata, hingga pidana, sesuai dengan aturan yang berlaku. Kasus ini menggarisbawahi perlunya perbaikan mendalam dalam prosedur penyidikan dan sistem pengawasan untuk menghindari kesalahan identifikasi pelaku serta memastikan perlindungan hak-hak individu. Penggunaan teknologi identifikasi forensik, seperti sistem pengenalan wajah atau pemanfaatan analisis DNA yang lebih cepat dan tepat, akan membantu meminimalisir kesalahan identifikasi yang terjad. Selain itu, pelatihan yang lebih intensif bagi aparat penegak hukum, sangat diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dalam menangani kasus-kasus pidana. Selain itu, untuk memastikan keadilan bagi individu yang menjadi korban kesalahan identifikasi, perlu adanya prosedur yang jelas dan transparan dalam menangani kasus praperadilan, serta mekanisme ganti rugi dan rehabilitasi yang lebih efektif. Penting untuk memastikan bahwa korban kesalahan identifikasi tidak hanya mendapatkan kompensasi finansial, tetapi juga rehabilitasi yang memadai untuk memulihkan reputasi dan kondisi psikologis mereka. Hal ini akan membantu menjaga integritas sistem peradilan pidana dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Daftar Pustaka