E-ISSN: 2809-8544 TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG TRANSFORMATION OF THE MEANING OF THE SIMALUNGUN BATAK ETHNIC COMMUNITY'S VIEWS ON THE USE OF BULANG Dear Ezra Sipayung1*. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 Universitas Negeri Medan. Indonesia *Email Correspondence: dearezrasipayung@gmail. Abstract Indonesia is a developing country with diverse customs, traditions, and ancestral heritage. One of the ethnic groups in Indonesia is the Simalungun Batak ethnicity, which has distinctive characteristics compared to other ethnicities, one of which is its traditional clothing called Bulang. This research aims to analyze the transformation of the use of Bulang in the Simalungun Batak This study uses a qualitative method, seeking to explain the transformation of the meaning of Bulang's use through descriptive analysis. Data collection was conducted by direct interviews with several members of the Simalungun Batak community. The results show that Bulang is traditionally worn by women who are married or have become wives. Keywords: Cultural Transformation. Bulang. Simalungun Batak Ethnicity. Traditional Clothing. Abstrak Indonesia adalah negara berkembang dengan beragam adat istiadat, tradisi, dan warisan leluhur. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Batak Simalungun. Suku Batak Simalungun memiliki ciri khas yang membedakannya dari suku-suku lain, salah satunya adalah pakaian tradisionalnya, yaitu Bulang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi penggunaan Bulang dalam suku Batak Simalungun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupaya menjelaskan transformasi makna penggunaan Bulang dengan menggunakan kata-kata. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara langsung dengan beberapa orang dari suku Batak Simalungun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bulang digunakan oleh perempuan yang telah menikah atau menjadi seorang istri. Kata kunci: Transformasi Budaya. Bulang. Suku Batak Simalungun. Pakaian Tradisional. PENDAHULUAN Permadi . 0: . mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dengan adat, tradisi sosial, dan warisan leluhur yang beragam. Sumatra Utara adalah salah satu Provinsi terbesar dari 38 Provinsi lainnya di Indonesia yang menarik perhatian karena kekayaan budayanya yang berasal dari sejarah, geografi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, peran wilayah sebagai pusat pertanian dan tambang, serta keunikannya dalam etnografi menjadi ciri khas dari Provinsi ini. Tidak sedikit orang atau pengunjung yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang datang ke Sumatra Utara untuk menyaksikan langsung bagaimana keindahan alam dan keberagaman budayanya. Keanekaragaman Provinsi ini mencakup berbagai aspek seperti agama, bahasa, ras, etnik, seni, dan lainnya. Sumatra Utara yang dihuni oleh banyak masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis yang berbeda, tidak hanya menjadi alasan mereka untuk membentengi diri satu sama lain, namun menjadikan keberagaman itu sebagai bukti bahwa mereka itu makhluk sosial. Namun menjadikan keberagaman itu sebagai bukti bahwa mereka itu mahluk sosial yang saling SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. membutuhkan dan saling melengkapi. Sampai saat ini. Sumatera Utara terus menjadi contoh integrasi sosiobudaya yang sukses, mencerminkan semangat masyarakat multikultural di Indonesia. Nusantara, bahkan tingkat global. Masyarakat multikultural yaitu masyrakat yang didalamnya terdapat banyak atau beragam jenis budaya, dan setiap budaya yang ada memiliki kelebihannya masing-masing sehingga terdapat perbedaan dari berbagai konteks (Bikhu Parekh, dalam Fitri. Fatma, 2022: . Hal ini sejalan dengan prinsip kenegaraan Indonesia yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika . erbeda-beda tapi tetap sat. Perbedaan yang ada dijadikan sebagai tali pengikat dalam menjalin hubungan sebagai warga negara Indonesia dan dapat mewujudkan pengamalan Pancasila. Kebudayaan merupakan dimensi kehidupan yang mencakup seluruh aspek perilaku, keyakinan, sikap, dan hasil aktivitas khas manusia di dalam suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Yang secara tidak sadar telah melahirkan hasil yang positif dan Unsur-unsur kebudayaan tersebut mencakup rumah adat, pakaian adat, lagu daerah, dan upacara adat. Sumatera Utara membanggakan keberagaman kebudayaannya di berbagai bidang. Setiap etnis memiliki ciri khasnya masing-masing. Oleh karena itu, kami melakukan wawancara dengan berbagai informan, termasuk sejarahwan dan tokoh adat di Sumatera Utara, untuk memahami lebih dalam mengenai kekayaan kebudayaannya. Salah satu implementasi konkretnya dapat ditemukan di Sumatera Utara, yaitu terdapat beragam kelompok masyarakat dengan perbedaan dalam hal adat istiadat, ekspresi konvensional, dan dialek daerah. Sumatera Utara juga terdiri dari berbagai kelompok etnis, termasuk Melayu. Nias. Batak Toba. Pakpak. Karo. Simalungun. Focal Tapanuli. Tapanuli Selatan, dan juga memiliki penduduk pendatang seperti Minang. Jawa, dan Aceh, yang membawa dengan mereka budaya dan tradisi khas masing-masing. Salah satu faktor yang menarik banyak wisatawan yaitu ke wilayah Simalungun yang menjadi keragaman kualitas sosial, adat istiadat, upacara tradisional, ekspresi budaya, arsitektur rumah adat, artefak konvensional, dan pakaian tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Batak Simalungun. Simalungun yang dikenal dengan masyarakatnya ketika bertutur ditandai dengan suara yang pelan dan lembut. Banyak potensi yang dimiliki oleh Simalungun untuk lebih bergerak maju. Yang nantinya akan menjadi ongkos dalam memperkenalkan Budayanya kepada dunia. Sumatera Utara menggambarkan kekayaan budayanya melalui berbagai elemen, termasuk rumah adat, pakaian adat, alat musik tradisional, dan lagu-lagu daerah. Varietas kebudayaan ini mencerminkan keanekaragaman yang kaya di dalam provinsi tersebut. Masyarakat Batak Simalungun membanggakan kualitas sosialnya yang unik, menjadikan Wilayah Simalungun sebagai tujuan wisata yang diminati. Mereka mempertahankan tradisi dan upacara dengan ketat, mengekspresikan kekayaan budaya melalui desain rumah adat, barang-barang konvensional, dan pakaian adat, serta mempertahankan identitas mereka sebagai masyarakat Simalungun. Budaya Simalungun mencakup beragam aspek dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi adat, upacara termasuk pernikahan, pertunjukan, seni, dan berbagai acara penting lainnya, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wilayah ini. Salah satu aspek yang memikat para pengunjung SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. adalah adat istiadat yang unik dan berbeda dari yang lain, dengan proses memenuhi adat yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu kearifan budaya yang penting dalam masyarakat Simalungun adalah pemakaian bulang yang dikenal sebagai "Hiou" atau sering disebut AubulangAy, yakni hiasan kepala yang dibuat dengan peliti dari perak dan bahan-bahan indah lainnya, untuk penutup kepala laki-laki dikenal sebagai "gotong" (Purba & Slamet. TINJAUAN PUSTAKA Kebudayaan Dalam bahasa Inggris, istilah untuk kebudayaan adalah "culture," yang berakar dari kata Latin "colere," yang bisa diartikan sebagai mengolah atau mengerjakan, dan terkadang diterjemahkan sebagai "Kultur" dalam bahasa Indonesia (Muhaimin, 2. (Aslan & Yunaldi, 2. Dalam KBBI, "budaya" . dijelaskan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang telah berkembang, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sulit Dalam penggunaan sehari-hari, budaya sering dianggap sebagai sinonim dari tradisi. Tradisi dalam konteks ini merujuk kepada kebiasaan yang tampak di masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2. Kebiasaan merupakan hal yang dilakukan secara berulangulang sehingga memungkinkan, ketika melakukannya tidak memerlukan lagi proses berpikir yang memakan waktu. Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai sistem keteraturan yang terdiri dari makna dan simbol-simbol. Simbol-simbol ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan untuk mengontrol perilaku, menyediakan sumber-sumber informasi ekstrasomatik, memantapkan identitas individu, memperluas pengetahuan, dan membentuk sikap moral. Hal itu memicu terciptanya karakter dan nilai positif dalam diri seseorang. Menurut Baran . , budaya dapat dianggap sebagai warisan tradisi dan gaya hidup yang sebaiknya dipahami oleh seluruh anggota masyarakat. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh MutiAoah . alam Agustina, dkk, 2. bahwa tradisi adalah pengetahuan, adat istiadat dan praktiknya yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya serta melibatkan metode transmisi pengetahuan. Dari pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, budaya merupakan entitas dinamis yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan pemahaman serta penghormatan terhadap warisan tradisi, simbol, dan gaya hidup menjadi kunci untuk mencapai keharmonisan di dalam masyarakat. Keharmonisan juga dapat lahir karena terpeliharanya hubungan sosial dengan baik sehingga menghilangkan adanya kesenjangan sosial (Herwani, 2018:. Pemahaman budaya melibatkan kompleksitas sistem nilai, simbol, tradisi, dan gaya hidup yang membentuk identitas dan interaksi masyarakat. Hal ini mencerminkan warisan yang diperoleh melalui proses sosial dan historis, serta memainkan peran penting dalam membentuk pandangan hidup dan sikap moral individu. Budaya, sebagai entitas dinamis, tidak hanya sekadar mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, tetapi juga mewakili suatu kompleksitas sistem nilai, simbol, tradisi, dan gaya hidup yang secara bersama-sama membentuk identitas dan interaksi masyarakat. Pemahaman dan penghormatan terhadap SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. warisan tradisi, simbol, dan cara hidup menjadi kunci utama untuk mencapai keharmonisan di dalam suatu masyarakat. Warisan yang dimiliki dapat berupa pakaian adat, alat musik, tarian, dan beragam lainnya. Pakaian Adat Gusparini . 4: . , mengemukakan bahwa pakaian adat merupakan busana yang secara turun temurun dikenakan, menjadi suatu ciri identitas dan sumber kebanggaan bagi sebagian besar pendukung kebudayaan tersebut. Sagala . alam Kristina. Ammamiarihta, 2. juga mengungkapkan bahwa pakaian adat digunakan oleh masyarakat tertentu untuk melaksanakan berbagai acara sakral. Setiap pakaian adat memiliki karakteristik unik yang berasal dari perbedaan kebiasaan di dalam masyarakat setempat. Faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan antar pakaian adat melibatkan individu atau tokoh yang memakainya serta peran yang dimainkan oleh individu tersebut dalam lingkungan Koentjaraningrat . 2: . secara terperinci menguraikan bahwa pakaian memiliki setidaknya empat kategori fungsi, yaitu: . sebagai pelindung dari cuaca panas atau dingin, angin, dan faktor lingkungan lainnya, . sebagai simbol kekuasaan dan prestise, . sebagai representasi kesucian, dan . sebagai elemen dekoratif untuk mempercantik Identitas dan simbol kekuasaan tercermin dalam desain pakaian, bahan yang digunakan, ornamen, dan cara penggunaannya. Selain itu, setiap elemen pakaian adat juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Misalnya, pada penutup kepala dapat berbeda dengan fungsi selendang. Bulang Pada masyarakat Simalungun dikenal adanya penutup kepala yang digunakan oleh perempuan disebut Bulang dan yang digunakan oleh laki-laki disebut Gotong (Purba. Slamet dalam Salsa Ovellia Putri, dkk, 2. Kedua penutup kepala tersebut memiliki makna yang berbeda dalam penggunaannya dan memiliki nilai-nilai istiadat yang masih kental. Ketepatan dalam menggunakan Bulang yaitu bagaimana posisi Bulang ketika dipasang diatas kepala seorang perempuan. Secara umum. Bulang digunakan untuk acara-acara adat seperti pernikahan dan acara duka. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin besar . aman moder. juga mempengaruhi penggunaan Bulang dan aturan yang telah ditetapkan Ditandai dengan pergeseran Budaya yaitu mengesampingkan nilai dan makna pengunaan Bulang sebagaimana seharusnya. Perkembangan zaman yang sebenarnya memiliki dua sisi yaitu sisi negatif dan positif. Mengendalikan diri dan mempertahankan jati diri menjadi hal pokok yang harus dilakukan sehingga apa yang tertanam seperti nilai-nilai budaya tidak hilang begitu saja. Selain itu, sebagai bentuk menghargai nenek moyang melalui tetap menjalankan adat istiadat yang ada serta menggunakan segala hal yang menjadi ciri khas dari budaya kita seperti Ulos. Bulang, serta yang lainnya. Sekarang ini. Bulang tidak lagi hanya digunakan oleh masyarakat Simalungun. Banyak dari etnis lain ikutserta Digunakan dalam berbagai kegiatan resmi dan tidak resmi. Seperti saat SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. ada kegiatan di Gereja, pentas seni, sosialisasi, dan sebagainya. Di satu sisi, hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Simalungun. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif bersifat deskritif dan analitis. Dalam penelitian kualitatif, deskriptif berarti menggambarkan dan menjelaskan suatu peristiwa, fenomena, atau situasi sosial yang diteliti. Analisis adalah memahami dan menafsirkan, dan membandingkan data hasil penelitian. Menurut (Sugiyono, 2013: . metode penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang Alasan menggunakan metode ini, karena penelitian ini ingin mengetahui fenomena yang ada dan kondisi alam, bukan dalam kondisi terkontrol, laboratorium atau Selain itu, karena peneliti perlu terjun langsung ke lapangan dengan objek penelitian, maka penelitian kualitatif deskriptif lebih tepat digunakan. Sumber Data Peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan dengan menggunakan wawancara untuk mengumpulkan data yang digunakan dalam penelitian. Sumber data pada penelitian ini disebut dengan responden atau informan, yang disebut dengan orang yang merespon atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, berupa pertanyaan lisan yang diajukan secara langsung. Penentuan informan dipilih oleh penulis langsung, tokoh adat, tokoh masyarakat. Adapun beberapa nama yang menjadi sumber data peneliti adalah: Ibu St. Simarmata . Tahu. Bertempat di Tirtosari. Perumnas Mandala. Medan. Sumatera Utara. Gusnida Sinaga. S . Tahu. Bertempat di A. Hakim. Gg. Pertama. Medan. Sumatera Utara. Ibu R. Damanik . Tahu. Bertempat di Kecamatan Sidamanik. Sumatera Utara. Oppung Dorlin Damanik . Tahu. Bertempat di Kecamatan Tigabolon. Sumatera Utara. Bapak Situada Simanihuruk . Bertempat di Desa Sipinggan. Tigabolon. Sumatera Utara. Bapak G. Purba . Tahu. Bertempat di Kecamatan Sidamanik. Sumatera Utara. Ibu R. br Girsang . Tahu. Bertempat di Tanjung Beringin. Sumatera Utara. Bapak H. Sinaga . Tahu. Bertempat di Tanjung Beringin. Sumatera Utara. SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Esterberg dalam Sugiyono . mendefinisikan wawancara merupakan pertemuan dua orang orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara secara terstruktur, dimana penulis sudah menyiapkan pertanyakan kepada pihak yang akan diwawancarai. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip termasuk buku-buku, pendapat dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian (Margono 2007:. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dari buku-buku, dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian yang Dengan memadukan hasil wawancara dengan hasil studi pustaka maka akan mempermudah peneliti dalam memaparkan pemahaman yang telah diperoleh tentang topik yang akan dijelaskan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian yang telah dilakukan pada beberapa masyarakat etnis Simalungun yang membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika sosial dan budaya. Metode pengumpulan data yang digunakan melibatkan wawancara dengan 8 responden, yang memberikan perspektif langsung dari komunitas tersebut. Selain itu, informasi yang kaya diperoleh dari berbagai literatur memberikan landasan teoritis yang kokoh untuk mendukung temuan-temuan dari penelitian ini. Keseluruhan pendekatan ini menciptakan gambaran komprehensif tentang kehidupan masyarakat etnis Simalungun, untuk menggali lebih dalam dan memahami aspek-aspek unik dari kebudayaan mereka. Sejarah Pemakaian Bulang pada Acara Adat pada Etnis Simalungun Bulang Simalungun merupakan bagian integral dari busana adat perempuan Simalungun yang telah menikah, berfungsi sebagai penutup kepala. Hingga saat ini, bulang masih menjadi bagian penting yang digunakan dalam berbagai upacara adat atau acara lainnya yang mencerminkan identitas kultural masyarakat Simalungun, seperti yang dijelaskan oleh Damanik . Penggunaan bulang tidak hanya sebagai elemen mode, tetapi juga sebagai simbolisasi keberlanjutan tradisi dan nilai-nilai budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Simalungun, misalnya pada pernikahan, hasuhutan . yang meninggal dan acara adat lainnya. Peneliti mewawancarai masyarakat Simalungun bernama St. Rasni Simarmata berusia 69 tahun yang bertempat tinggal di Medan. Sumatera Utara. Beliau memaparkan pada waktu oppung moyang atau dikenal sebagai nenek moyang menikahkan anaknya, mereka harus menggunakan penutup kepala yaitu bulang. Bulang tersebut dinamakan silappei yang dikhususkan untuk dipakai oleh pengantin. Tetapi, karena zaman sudah mulai berkembang sudah banyak masyarakat etnis Simalungun yang mengganti pemakaian bulang silappei dengan bulang teget. Tidak hanya saat acara pernikahan, bulang teget ini juga dipakai pada saat keluarga mengadakan acara dengan tarian lagu deideng . arian khas SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. Simalungu. Pada saat acara kematian seorang yang ber-etnis Simalungun, boru atau perempuan Simalungun wajib mengenakan bulang. Selain itu, peneliti juga bertanya kepada salah satu masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Medan. Sumatera Utara Saudari Gusnida Sinaga berusia 23 Tahun. Ia mengatakan, zaman dahulu bulang dipakai pada saat seorang wanita Simalungun sudah menjadi ibu rumah tangga. Mereka mengenakannya saat melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya saat menghidangkan makanan, pergi ke ladang dan saat menggunakannya rambut harus ditata rapi serta digulung agar terhindar dari helaian rambut yang jatuh. Pemakaian bulang juga dikenakan pada saat menghadiri sebuah acara pernikahan, yaitu wanita Simalungun diwajibkan mengenakannya, atau pada saat acara dukacita, seorang istri haruslah mengenakan bulang. Jenis jenis bulang terdiri dari 3 itu: Bulang sulappeh Bulang ginjang yaitu bulang yang dikenakan dalam kehidupan sehari-hari. Cara penggunaannya dengan hanya menyangkutnya di kepala tetapi, tetap disatupadukan dengan ulos yang ber-etnis Simalungun (Suri-sur. Bulang teget yaitu bulang yang dikenakan pengantin saat acara pernikahan atau adat. Menurut Ibu R. Damanik berusia 64 Tahun sejarah bulang pada etnis Simalungun pada zaman dahulu pertama sekali digunakan oleh kaum Ibu sebagai penutup kepala. Bulang digunakan sebagai penutup kepala orang tua yang sudah lanjut usia agar mereka terhindar dari kedinginan, dikarenakan pada zaman dahulu belum ada yang namanya topi. Sehingga, digunakanlah bulang untuk pergi kemanapun, baik itu ke ladang ataupun di dalam rumah. Tidak hanya itu, bulang juga diperbolehkan digunakan oleh perempuan yang sudah menikah, namun jika dalam acara pentas seni atau pergelaran perempuan yang belum menikah masih diperbolehkan untuk menggunakan bulang. Selain itu. Oppung Dorlin Damanik berusia 61 Tahun mengatakan bahwa bulang digunakan setelah menjadi seorang istri atau perempuan yang sudah berumah tangga. Tidak hanya menjadi sebuah simbol sebagai sebagai penutup kepala, bulang menjadi representasi simbolis dari status pernikahan, menegaskan komitmen dan peran baru yang diemban oleh seorang istri dalam masyarakat Simalungun. Bulang digunakan pada acara pernikahan dan juga acara adat sayur matua. Semua suhut . dalam acara adat tersebut diwajibkan menggunakan bulang, dan kaum laki-laki menggunakan gotong. Beralih ke daerah Desa Sipinggan Tiga Bolon, peneliti menemukan narasumber berikutnya yang bernama Situada Simanihuruk berusia 55 tahun. Menurutnya, sejarah atau latar belakang penggunaan bulang adalah untuk mengingat tradisi dari perpindahan penduduk Batak Toba ke daerah Simalungun yang menjadi pembeda cara berpakaian perempuan, atau dengan kata lain menjadi lambang atau tanda yang berbentuk seperti tanduk Bulang yang dikenakan adalah terbuat dari ulos yang digunakan pada acara-acara adat Simalungun, seperti acara pernikahan dan meninggal dunia. Purba berusia 70 tahun menyatakan bahwa bulang merupakan pakaian tudung seorang Ibu bagi etnis Simalungun. Pemakaian bulang beragam, ada yang lepes kebelakang yang digunakan untuk keladang dan ada juga yang pemakaiannya miring ke kiri atau ke SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. kanan yang digunakan untuk pergi keacara adat, pesta atau acara meninggal, yang dikenal dengan sayur matua. Bulang biasanya dikenakan oleh seorang Ibu, namun anak-anak tidak dapat menggunakannya karena tidak lazim, kecuali dalam acara kegiatan-kegiatan kebudayaan Simalungun yang diperankan oleh para remaja. Selanjutnya adalah ke daerah Tanjung Beringin, peneliti menjumpai narasumber berikutnya, yaitu R. br Girsang berusia 86 Tahun, yang menyatakan bahwa sejarah keberadaan bulang dahulu kala hanya digunakan oleh orang-orang kerajaan. Namun, saat ini hanya dikenakan oleh perempuan yang sudah menikah dan digunakan ketika ada acara adat, seperti pernikahan dan meninggal dunia. Pendapat terakhir yaitu menurut H. Sinaga berusia 70 Tahun, yang berpendapat bahwa asal mula bulang dulu ada dua jenis bulang. Bulang seperti yang kita kenal sekarang yang digunakan oleh orang kerajaan ataupun para bangsawan. Dan untuk orang biasa menggunakan bulang yang dinamai dengan sulappei. Namun, zaman sekarang sudah banyak orang yang menggunakan jenis bulang apapun. Baik yang belum menikah ataupun yang sudah, seperti diacara sekolah, gereja, tidak hanya diacara adat pernikahan dan orang Ciri khas adatnya lebih tepat digunakan pada acara penting adat, seperti pernikahan dan orang meninggal. Walaupun kita tahu sekarang sudah tidak sepenuhnya Makna Simbolis dan Keterkaitan Nilai Budaya Pemakaian bulang mengandung simbolisme yang kaya, mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan pandangan hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara kultural, bulang bukan hanya menjadi penanda status pernikahan, tetapi juga mencakup aspek-aspek lebih dalam seperti keseimbangan, dan keharmonisan. Filosofi di balik pemakaian bulang mungkin berkisar pada konsep kesatuan, bulang tidak hanya sebagai aksesoris fisik, tetapi juga sebagai representasi simbolis dari perjalanan hidup, persatuan keluarga, dan keberlanjutan tradisi. Seorang narasumber, yaitu St. Simarmata berusia 69 tahun, mengatakan bahwa makna simbolis pada bulang yaitu jika hasuhutan . yang meninggal, pihak keluarga laki-laki memakaikan bulang pada menantunya karena yang memakai bulang hanyalah saudara dekat dari pihak tersebut. Jika ada yang memakai bulang tetapi mereka tidak keluarganya, maka itu dianggap tidak sah atau tidak diperbolehkan. Pemasangan bulang ini pun tidak boleh sembarangan. Bulang dipakaikan sisi kanan harus lebih tinggi daripada sisi sebelah kiri ini menandakan bahwa sisi sebelah kanan menandakan Tuhan, sedangkan sisi sebelah kiri menandakan sesama manusia. Jadi artinya manusia harus menghormati Tuhan dan harus mengasihi sesamanya manusia seperti ia mengasihi dirinya Selain itu, bulang yang dipakai miring juga berarti tondong . aki-lak. berdiri disamping kanan Parboru . Selain itu, narasumber Gusnida Sinaga berusia 23 tahun, menyatakan bahwa pemakaian bulang haruslah miring ke kiri yaitu sisi kanan lebih tinggi daripada sisi sebelah Filosofi pemakaian bulang yang harus dikenakan secara miring sebelah kiri karena SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. perempuan yang sudah menikah pasti berdiri disebelah kanan laki-laki. Makna bulang sisi kanan lebih tinggi itu karena ketika perempuan etnis Simalungun menikah, mereka harus tunduk dan taat pada suaminya serta menghargai suaminya sebagai kepala keluarga yang akan memimpin rumah tangganya. Tidak selaras dengan kedua pendapat diatas, menurut Ibu R. Damanik berusia 64 tahun, bulang memiliki dua sisi, sisi kanan dan sisi sebelah kiri. Dalam pemakaian bulang bagian sebelah kiri lebih tinggi sedikit jika dibandingkan dengan yang sebelah kanan. Alasan dalam penggunaan bulang tersebut digunakan tidak merata, untuk menambah keindahan posisi bulang yang sedang digunakan. penggunaan bulang oleh kaum perempuan dalam etnis Simalungun bukan hanya mencerminkan semangat, tetapi juga merupakan ekspresi bangga terhadap tradisi dan warisan budaya mereka. Oppung Dorlin Damanik berusia 61 tahun, mengatakan bahwa pemakaian bulang tersebut haruslah miring sebelah kiri yaitu sisi sebelah kanan lebih tinggi dibandingkan sisi sebelah kanan. Makna yang terkandung dalam pemakaian bulang tersebut pun menandakan bahwa seorang perempuan sudah menjadi seorang istri. Sehingga pada acara kematian ataupun pernikahan, seseorang perempuan yang masih belum menikah tidak diperbolehkan menggunakan bulang. Situada Simanihuruk berusia 55 tahun, berpendapat bahwa terkait aturan khusus adalah melihat ruang lingkup tempat tinggal, sehingga disesuaikan pemakaian bulang tersebut dengan status atau peran individu yang menghadiri acara adat Simalungun. Secara umum, semua umur dapat menggunakan bulang, namun secara adat penggunaan bulang hanya diperuntukkan oleh wanita yang sudah menikah. Bulang juga dapat digunakan oleh anak-anak, tetapi dalam konteks untuk mempertunjukkan dan mengeksplorasi adat Simalungun dalam seni pertunjukkan atau hiburan. Posisi pemakaian bulang tidak boleh rata, namun harus miring sekitar 30A dan dibantu dengan jepit rambut lidi agar tidak mudah jatuh dari atas kepala. Makna menggunakan bulang adalah sebagai atribut yang menandakan ciri khas wanita Simalungun yang dilatarbelakangi dengan perbedaan etnis Batak lainnya. Purba berusia 70 tahun, memiliki perspektif sendiri terkait aturan pemakaian Beliau menjelaskan bahwa tidak ada aturan khusus dalam memiringkan posisi bulang, itu hanya versi pemakaian pribadi yang mengenakannya, karena sampai saat ini tidak ada ketetapan dalam memposisikan bulang. Biasanya dalam kegiatan adat, baik suka maupun duka, para ibu yang diwajibkan mengenakan bulang adalah menandakan ibu tersebut merupakan suhut, sehingga tidak semua kaum ibu mengenakan bulang pada acara kegiatan adat. Bertentangan dengan pendapat G. Purba berusia 70 tahun. br Girsang berusia 86 tahun, berpendapat bahwa saat menggunakan bulang harus memperhatikan posisinya karena ada makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Aturan lainnya yaitu bahwa bulang seharusnya hanya boleh digunakan oleh wanita yang sudah resmi menikah karena dia sudah memiliki pasangan hidup yang disebut pargotong. Terkait posisi bulang, beliau menyatakan bahwa posisi yang benar adalah posisi bulang sebelah kanan lebih tinggi daripada bulang sebelah kiri, dengan kata lain posisinya tidak lurus namun harus sedikit miring. Hal tersebut SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. memiliki filosofi bahwa sebelah kanan dilambangkan sebagai anak dan sebelah kiri adalah orang tua. Dari sini diharapkan bahwa anak itu harus lebih maju dan lebih hebat dari Maknanya adalah saat memakai bulang, menandakan bahwa wanita tersebut sudah menikah dan akan mengikuti suaminya untuk membangun keluarga dan memiliki Pendapat terakhir yaitu menurut H. Sinaga berusia 70 tahun, yang berpendapat bahwa bulang digunakan oleh seorang perempuan yang sudah menikah. Aturan lainnya adalah memperhatikan posisi dan arah bulang. Untuk posisi yang benar yaitu posisi sebelah kanan lebih tinggi dan mengarah kepada suami daripada posisi sebelah kiri. Artinya wanita tersebut akan mengikut sang suami dan melahirkan keturunan yang akan mengikuti marga dari suaminya. Maknanya adalah lambang kesetiaan perempuan terhadap suaminya, disebut dengan Pargotong-nya. Respon Masyarakat Etnis Simalungun Terkait Pemakaian Bulang Sesuai Hukum Adat yang Berlaku Pemakaian bulang bukan sekadar sebuah tindakan, melainkan sebuah warisan budaya yang memiliki nilai-nilai tradisional yang mendalam. Masyarakat Simalungun secara cermat mematuhi hukum adat dalam penggunaan bulang, menghormati aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka. Hal ini mencerminkan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Respek terhadap hukum adat dalam pemakaian bulang menjadi simbol keberlanjutan dan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisional yang telah menjadi bagian integral dari identitas etnis Simalungun. St. Simarmata berusia 69 tahun, menyatakan tidak ada aturan khusus atau sanksi yang berat bagi seorang yang bukan berasal dari etnis Simalungun mengenakan bulang dengan cara yang salah. Jika mereka salah, maka sebagai orang yang mengerti ber-adat, maka harus dibaguskan dan jangan dibiarkan begitu saja agar kedepannya mereka mengerti bagaimana pemakaian bulang yang benar. Disisi lain, kaum awam yang bukan berasal dari etnis Simalungun mengenakan bulang, maka masyarakat etnis Simalungun sangat bangga dan bersyukur karena salah satu identitas mereka dikenal khalayak umum. Demikian saudari Gusnida Sinaga berusia 23 tahun, mengatakan jika ada yang memakai bulang dengan cara yang salah, maka haruslah diperbaiki pemasangannya agar terlihat indah dan selaras. Pemakaian bulang yang salah, masyarakat Simalungun juga tidak terlalu sakit hati dan justru mereka bangga karena keragaman dari suku mereka sudah dikenal masyarakat umum. Tetapi tidak lupa juga, mereka yang mengerti haruslah memperbaiki pemasangan bulang tersebut. Selain itu. Ibu R. Damanik berusia 64 tahun, jika seseorang menyadari bahwa ada kesalahan dalam pemakaian bulang, adalah kewajiban yang pantas untuk memberikan teguran dan membantu memperbaiki posisi bulang yang sedang digunakan oleh individu Sebagai orang Simalungun, rasa bangga pasti meluap saat melihat anggota etnis lain bersedia mengenakan bulang. Pemakaian bulang oleh etnis lain bukan hanya SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. mencerminkan keragaman budaya, tetapi juga mengindikasikan bahwa pakaian adat etnis Simalungun memiliki daya tarik yang menarik hati, layak untuk diapresiasi dan digunakan oleh siapa pun. Oppung Dorlin Damanik berusia 61 tahun, mengatakan bahwa apabila kita menemui pemakaian bulang yang tidak tepat, sebagai anggota masyarakat Simalungun yang memahami letak posisi yang benar, seharusnya kita berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan koreksi dan membantu memperbaikinya. Rasa tanggung jawab terhadap keaslian tradisi budaya kita mendorong kita untuk ikut serta menjaga keberlanjutan adat Simalungun. Sebagai warga Simalungun, tentu saja kita merasa bangga ketika melihat anggota etnis lain tertarik untuk mengenakan bulang. Pemakaian bulang oleh etnis lain seolah menjadi suatu bentuk pengakuan terhadap keindahan dan keunikan pakaian tradisional Simalungun, mengukuhkan posisinya sebagai warisan budaya yang patut dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat lintas etnis. Senada dengan pendapat di atas. Situada Simanihuruk berusia 55 tahun, berpendapat bahwa setiap manusia tidak lepas dari kesalahan, begitu pula dalam menggunakan bulang, terkadang salah dalam pemakaiannya. Hal yang dapat dilakukan adalah menegur ataupun memperbaiki kesalahan pemakaian bulang. Jika tidak memperbaikinya maka hal tersebut sama saja dengan pelecehan tradisi. Respons beliau terhadap penggunaan bulang oleh etnis lain adalah tergantung mereka memposisikan penggunaan bulang tersebut. Sebagai contoh, jika digunakan dalam acara adat harus disesuaikan dengan bahasa, atribut, dan keperluan dalam beradat, dengan kata lain janganlah bertolak belakang dari kesesuaian adat Simalungun. Purba berusia 70 tahun, berasumsi bahwa kesalahan dalam memakai bulang dikarenakan orang tersebut tidak mengerti tentang bulang. Oleh karena itu, orang yang mengerti tentang bulang kiranya memperbaikinya bukan malah mempersalahkan agar tidak menjadi bahan tertawaan. Orang yang mengerti tentang bulang merupakan orang yang mau berbudaya dan beradat Simalungun, jadi orang Simalungun belum tentu mengerti tentang bulang jika ia tidak memiliki rasa ingin tahu terkait berbudaya atau beradat Simalungun. Masyarakat Simalungun tentunya bersukacita jika ada orang dari etnis lain menggunakan pakaian adat Simalungun karena dengan kata lain orang tersebut mau berbudaya Simalungun dengan harapan orang tersebut mau mendalami apa yang ia kenakan. br Girsang berusia 86 tahun, berpendapat bahwa kesalahan dalam memakai bulang mengakibatkan dampak yang dapat menimbulkan masalah karena sudah melanggar aturan dan seperti tidak menghargai nenek moyang terdahulu. Namun, terkadang hal itu tidak disengaja, sehingga yang dapat dilakukan adalah menegur dengan sopan agar orang yang bersangkutan tidak tersinggung kemudian kita membantu memperbaikinya. Respons beliau jika seseorang dari etnis lain memakai bulang adalah senang, karena mengetahui ternyata banyak yang menyukai bulang. Oleh karena itu, tidak ada aturan yang melarang orang yang bukan etnis Simalungun yang ingin menggunakan bulang. Pendapat terakhir yaitu menurut H. Sinaga berusia 70 tahun, yang berpendapat bahwa jika terdapat seseorang yang memakai bulang dengan cara yang salah mengakibatkan SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. dampak yaitu melanggar aturan dan dapat menimbulkan komentar negatif yang datang dari Yang dapat kita lakukan adalah menegurnya dan memberi tahu seperti apa posisi yang benar, sehingga dapat menjadi evaluasi bagi diri sipemakai. Kehadiran seseorang yang bukan berasal dari etnis Simalungun membuat masyarakat Simalungun merasa sangat bangga dan senang, karena melalui hal tersebut dapat menjadi salah satu cara dalam melestarikan warisan budaya Simalungun, seperti penggunaan bulang tersebut. PENUTUP Kesimpulan Bulang Simalungun, sebagai elemen integral dari busana adat perempuan yang telah menikah, tidak hanya sekadar pakaian tradisional yang membawa bersamaan sejarah dan makna mendalam di dalam setiap seratnya. Terdiri dari tiga jenis utama. Sulappeh. Ginjang, dan Teget, bulang menandai perjalanan hidup seorang perempuan Simalungun melalui berbagai peristiwa penting, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga upacara adat. Posisi miring dengan sisi kanan lebih tinggi daripada sisi sebelah kiri menjadi ritual simbolis, mengungkapkan rasa hormat terhadap Tuhan dan sesama manusia. Bagi masyarakat Simalungun, pemakaian bulang bukan hanya ritual fisik, melainkan pernyataan tulus akan komitmen terhadap tradisi dan nilai-nilai leluhur. Sebagai penjaga tradisi, bulang bukan hanya sekadar pakaian, melainkan juga penyampai pesan simbolis yang kaya akan makna. Dalam setiap seratnya, terkandung nilainilai seperti kesatuan, keseimbangan, dan keharmonisan yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Simalungun. Seiring waktu, bulang telah menjadi simbol identitas kultural, menggambarkan status pernikahan dan mewakili warisan budaya yang turun temurun. Respon masyarakat terhadap pemakaian bulang mencerminkan sikap yang penuh kesadaran dan tanggung jawab terhadap warisan budaya. Kesalahan dalam pemakaian bulang dianggap sebagai peluang untuk memberikan koreksi tanpa menimbulkan ketidaknyamanan atau kebencian. Ketika etnis lain mengenakan bulang, masyarakat Simalungun melihatnya sebagai bentuk apresiasi terhadap keindahan dan keunikan pakaian tradisional mereka, mengukuhkan kebanggaan akan kekayaan budaya yang mereka miliki. Dengan demikian, bulang Simalungun bukan hanya pakaian adat, tetapi juga pewaris nilainilai luhur yang terus dijunjung tinggi oleh masyarakat, sebuah penghormatan hidup bagi mereka yang mengenakannya dan sebuah cahaya kebudayaan yang bersinar di tengahtengah perbedaan. Ucapan Terimakasih Para penyusun ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua yang terlibat dalam proses pembuatan artikel ini. Khususnya, rasa terima kasih disampaikan kepada para narasumber yang telah berbagi pengetahuan dan wawasan mereka mengenai tradisi etnis Simalungun, terutama dalam konteks pemakaian bulang. Kerjasama dan kontribusi dari setiap individu dihargai secara mendalam, dan hasil kolaboratif ini tidak mungkin terwujud tanpa dukungan serta dedikasi dari semua pihak yang terlibat. Semoga SIBATIK JOURNAL | VOLUME 3 NO. https://publish. ojs-indonesia. com/index. php/SIBATIK TRANSFORMASI PEMAKNAAN PANDANGAN MASYARAKAT ETNIS BATAK SIMALUNGUN TERHADAP PEMAKAIAN BULANG Dear Ezra Sipayung1. Bethesda Ulfa Siagian2. Masdiwati Sinaga3. Sri Hartati Sinaga4. Adelia Fitri Anggita5. Lasenna Siallagan6 DOI: https://doi. org/10. 54443/sibatik. artikel ini bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca. Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang luar biasa. DAFTAR PUSTAKA