Vol. 9(1): 161-178, January 2021 DOI: https://doi.org/10.23960/jsl19161-178 Jurnal Sylva Lestari P-ISSN: 2339-0913 E-ISSN: 2549-5747 Journal homepage: https://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JHT Full Length Research Article Effect of Chemical Characteristics on Mechanical and Natural Durability Properties of Three Lesser-Used Wood Species Pengaruh Karakteristik Kimia terhadap Sifat Mekanis dan Keawetan Alami Tiga Jenis Kayu Kurang Digunakan Sarah Augustina1, Imam Wahyudi2,*, I Wayan Darmawan2, Jamaludin Malik3, Yoichi Kojima4, Taiyo Okada4, Naoki Okano4 1 Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, IPB University. Kampus IPB, Dramaga, Bogor 16680, Indonesia 2 Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University. Kampus IPB, Dramaga, Bogor 16680, Indonesia 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16610, Indonesia 4 Department of Bioresource Sciences, Faculty of Agriculture, Shizuoka University, 836 Ohya, Surugaku, Shizuoka, 422-8529 Japan * Corresponding author. E-mail address: imyudarw16@yahoo.com ARTICLE HISTORY: Received: 21 October 2020 Peer review completed: 7 January 2021 Received in revised form: 21 January 2021 Accepted: 23 January 2021 KEYWORDS: Lesser-used wood species Mechanical properties Natural durability Parameters interrelationship Wood chemical characteristics © 2021 The Author(s). Published by Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Lampung in collaboration with Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). This is an open access article under the CC BY-NC license: https://creativecommons.org/licenses/bync/4.0/. ABSTRACT Chemical, mechanical, and natural durability properties of three lesserused wood species from North Kalimantan, namely nyatoh (Palaquium lanceolatum), pisang putih (Mezzettia leptopoda), and sepetir (Sindora wallichii) woods, were analyzed to seek the interrelationships among them and give an overview related to their utilization. The results showed that pH values of three wood species were categorized into moderate to weak acid levels. The extractive contents in hot and cold water as well as in NaOH 1% of sepetir wood were higher than those of nyatoh and pisang putih woods. In contrast, the solubility in ethanol-benzene of nyatoh wood was the highest. The ash content in the three wood species were categorized into medium level. Lignin contents in sepetir and nyatoh woods were classified as moderate, while lignin content in pisang putih wood was high. Holocellulose and hemicellulose contents in sepetir wood were higher than those in nyatoh and pisang putih woods, whereas alpha cellulose in sepetir wood was the lowest. MOE values of the three wood species were classified as strength class of IV‒V, while MOR and compression parallel to the grain were classified as strength class of IV. The hardness value of nyatoh wood was higher than that of other woods. The durability of the three wood species was classified into poor (low durable). The relationship between chemical characteristics and mechanical properties of wood was primarily influenced by its major components (cellulose, hemicellulose, and lignin), whereas natural durability was influenced by its minor components (extractives and inorganic materials). 1. Pendahuluan Kayu dapat didefinisikan sebagai ‘three-dimensional biopolymer composite’ yang dari segi kimianya tersusun dari 2 komponen utama yaitu komponen mayor, yang terdiri dari selulosa, 161 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 hemiselulosa, dan lignin, serta komponen minor, yakni ekstraktif dan bahan inorganik (Lhate 2011; Rowell et al. 2005). Jumlah komponen kimia dan jenis senyawa penyusunnya dapat berbeda baik antar dan intra spesies, antar bagian di pohon yang sama, bahkan pada jaringan penyusun dinding sel. Menurut Rowell et al. (2005), kayu daun jarum memiliki kadar selulosa dan lignin yang lebih tinggi dibandingkan kayu daun lebar, namun kadar ekstraktifnya lebih sedikit. Pada umumnya, zat ekstraktif lebih banyak terdeposit di bagian kayu teras daripada kayu gubalnya (Rowell et al. 2005). Menurut Saka (1991), kandungan kimia juga bisa berbeda antara kayu awal dan kayu akhir, bahkan pada jaringan penyusun dinding sel. Kayu awal pada kayu pinus memiliki kandungan selulosa, galaktan, glucomannan, serta glucurono-arabinoxylan yang lebih tinggi dibanding kayu akhir. Lamela tengah dan dinding primer sel penyusun kayu Scotch pine tersusun dari 84% lignin, 0,7% selulosa, dan 13,3% hemiselulosa; lapisan S1 tersusun dari 51,7% lignin, 30% selulosa, dan 18,3% hemiselulosa; lapisan S2 tersusun dari 15,1% lignin, 54,3% selulosa, dan 30,6% hemiselulosa; sedangkan lapisan S3 tersusun dari 13% selulosa, 87% hemiselulosa dengan sedikit atau tidak ada terkandung lignin. Jumlah dan jenis komponen kimia tersebut berpengaruh terhadap sifat mekanis dan keawetan alami kayu. Sifat mekanis merupakan karakteristik suatu bahan dalam merespon tekanan atau gaya dari luar, termasuk ketahanan terhadap deformasi dan distorsi, serta ketahanan terhadap pembebanan (Winandy 1994). Beberapa pengujian yang digunakan untuk menganalisis sifat mekanis kayu antara lain keteguhan lentur (modulus of elasticity/MOE) dan patah (modulus of rupture/MOR), kekuatan tekan sejajar serat, serta kekerasan. Variasi nilai tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh sifat kimia kayu, terutama komponen mayornya. Winandy dan Rowell (1984) menyebutkan bahwa selulosa merupakan polimer terkuat pada kayu dan berpengaruh terhadap kekuatan kayu akibat tingginya derajat polimerisasi dan orientasi liniernya, hemiselulosa berperan sebagai jembatan antara fibrous cellulose dan amorphous lignin serta matriks untuk selulosa yang berperan dalam meningkatkan packing density-nya, sedangkan lignin, terutama senyawa phenoliknya, tidak hanya mampu mengikat sel serat namun juga berperan sebagai agen kekakuan pada molekul selulosa diantara dinding sel serat. Menurut Zhang et al. (2013), nilai MOE dan MOR berkorelasi positif dengan jumlah kandungan ligninnya. Longui et al. (2012) menambahkan bahwa lignin terbukti mampu meningkatkan sifat kekakuan pada dinding sekunder dan kohesi antar jaringan kayu serta berpengaruh kuat terhadap sifat mekanis kayu terutama pada arah tranversal. Augustina (2019) menyatakan bahwa diameter pembuluh yang lebih sempit mengindikasikan porsi dinding sel dan jumlah selulosa yang lebih banyak serta kerapatan yang lebih tinggi menyebabkan kayu cenderung lebih padat sehingga menghasilkan kekuatan tekan sejajar serat dan kekerasan yang tinggi pula. Istilah keawetan alami kayu dikenal sebagai kemampuan kayu untuk menahan degradasi biologis untuk periode waktu tertentu. Sifat ini biasanya terkait dengan mekanisme atau proses deteriorasi akibat serangan organisme perusak kayu, seperti rayap, jamur, kumbang, dan sebagainya. Variasi sifat tersebut dipengaruhi oleh jenis kayu, jumlah dan jenis komponen kimia (mayor dan minor) yang bersifat racun, umur pohon, bagian kayu (kayu gubal/teras), serta posisi dalam batang (Nandika et al. 1996; Winandy 1994). Menurut Shanbhag dan Sundararaj (2013), kandungan selulosa berkorelasi positif, sedangkan lignin dan total senyawa fenolik berkorelasi negatif terhadap sifat keawetan kayu. Komponen organik dari ekstraktif dapat mempengaruhi karakteristik kayu seperti warna, bau, rasa, ketahanan terhadap organisme perusak, kerapatan, higroskopisitas, dan keterbakaran (Owoyemi dan Olaniran 2014). Semakin tinggi kadar ekstraktif maka akan memberikan sifat ketahanan terhadap organisme perusak yang lebih baik pula 162 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 (Herliyana et al. 2013). Menurut Winandy (1994), beberapa jenis kayu memiliki kandungan gula di dalam selnya yang mampu berubah menjadi ekstraktif yang sangat beracun. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa terdapat pengaruh yang jelas antara jumlah dan jenis komponen kimia terhadap sifat mekanis dan keawetan alaminya. Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik kimia kayu, sifat mekanis, dan keawetan alami dari ketiga jenis kayu kurang digunakan (kayu nyatoh, pisang putih dan sepetir) asal Kalimantan Utara, serta hubungan di antara sifat-sifat tersebut. 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Bahan utama yang digunakan adalah kayu bulat (log) nyatoh (Palaquium lanceolatum), pisang putih (Mezzettia leptopoda), and sepetir (Sindora wallichii) dengan panjang 80 cm dan diameter sekitar 65 cm. Log berasal dari bagian pangkal batang pada ketinggian 30 cm dari atas permukaan tanah. Pohon contoh diperoleh dari kawasan hutan alam di Provinsi Kalimantan Utara. Masing-masing log dikonversi menjadi sampel uji untuk masing-masing pengujian (Gambar 1). Sampel yang digunakan dalam pengujian adalah sampel uji yang bebas dari mata kayu dan terbebas dari cacat-cacat visible lainnya. 2 cm 65 cm 50 cm 80 cm Serbuk 40-60 mesh (b) (a) (c) Gambar 1. Pembuatan dan pembagian sampel uji: (a) Log dengan panjang 80 cm dan diameter 65 cm, (b) Sampel uji sifat mekanis dan keawetan alami kayu, serta (c) Sampel uji sifat kimia kayu. 2.2. Metode 2.2.1. Pengujian sifat kimia kayu Sampel yang digunakan berupa serbuk kayu dengan ukuran 40-60 mesh. Serbuk kayu dihitung kadar airnya, kemudian dilanjutkan dengan pengujian komponen kimia. Kadar holoselulosa, alphaselulosa, dan hemiselulosa ditetapkan berdasarkan TAPPI T-203 (TAPPI 1999a), lignin klason TAPPI 222 om-88 (TAPPI 2002b), kelarutan dalam air dingin dan air panas TAPPI T-207 om-88 (TAPPI 1999b), kelarutan dalam etanol-benzena ASTM D-1107 (ASTM 2007), kelarutan dalam 1% NaOH TAPPI T-212 om-93 (TAPPI 2002a), serta pH kayu (Masendra et al. 2019). Penetapan komponen kimia dilakukan dengan tiga ulangan masing-masing jenis kayu, dan dilakukan secara duplo. Kadar air serbuk untuk pengujian sifat kimia kayu dihitung dengan menggunakan rumus: KA serbuk (%)= BA-BKT BKT × 100 163 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 dimana KA adalah kadar air (%), BA adalah berat awal serbuk (g), dan BKT adalah berat kering tanur serbuk (g). Nilai pH kayu diukur di Laboratorium Wood Biomass Utilization, Fakultas Pertanian, Shizuoka University, Jepang menggunakan pH meter (HORIBA). Sampel uji yang digunakan berupa serbuk kayu masing-masing jenis sebanyak 1 g. Serbuk kayu direndam dalam akuades dengan perbandingan 1:20 selama 24 jam, kemudian ekstrak dari masing-masing jenis dianalisis menggunakan pH meter (Masendra et al. 2019). Penetapan kadar holoselulosa mengacu pada Browning (1967). Serbuk kayu sebanyak 2,5 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan 150 ml aquades, 1 g NaClO2, dan 1 ml asam asetat secara berurutan. Sampel kemudian dipanaskan menggunakan waterbath pada suhu 70–80oC, dan setiap 1 jam ditambahkan 1 g NaClO2 dan 0,2 ml asam asetat (dilakukan sebanyak 4 kali penambahan). Setelah residu berwarna keputih-putihan, sampel disaring dan kemudian dibilas menggunakan 500 ml akuades dan 25 ml asam asetat 10%. Setelah itu dikeringkan dalam oven suhu 103 ± 2oC selama 24 jam hingga konstan, lalu ditimbang beratnya. Penetapan kadar alphaselulosa juga mengacu pada Browning (1967). Sampel holoselulosa sebanyak 1,5 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan 75 ml NaOH 17,5% pada suhu 20oC dan diaduk rata. Pengaduk kemudian dibilas menggunakan 25 ml NaOH 17,5% dan larutan dibiarkan selama 30 menit pada suhu 25 ± 0,2oC. Seratus ml akuades ditambahkan ke dalam larutan kemudian dibiarkan selama 30 menit. Sampel lalu disaring dan dibilas menggunakan akuades panas. Setelah itu sampel dibilas kembali menggunakan asam asetat 10% sebanyak 3 kali lalu dibilas menggunakan akuades panas hingga sampel bebas asam. Sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 103 ± 2oC dan ditimbang hingga konstan. Penetapan kadar lignin klason mengacu pada TAPPI T 222 om-88 (TAPPI 2002b). Serbuk kayu sebanyak 1 g ditempatkan dalam gelas piala. Kemudian 15 ml asam sulfat 72% dingin ditambahkan secara bertahap sambil dilakukan pengadukan. Sampel didiamkan pada suhu 20 ± 1oC selama reaksi. Setelah tercampur, gelas piala ditutup menggunakan watch glass dan didiamkan pada suhu 20 ± 1oC selama 2 jam sambil diaduk untuk memastikan larutan teraduk sempurna. 300– 400 ml akuades ditempatkan dalam Erlenmeyer kemudian sampel ditambahkan ke dalam Erlenmeyer. Sampel kemudian dibilas dan diencerkan menggunakan air dan 3% asam sulfat hingga volume mencapai 575 ml. Larutan kemudian dipanaskan selama 4 jam. Air panas ditambahkan secara berkala agar volumenya konstan. Larutan kemudian disaring dan dibilas menggunakan air panas. Residu sampel kemudian dibilas menggunakan asam asetat 10% lalu dibilas dengan air panas hingga bebas asam, dan selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 103 ± 2oC selama 24 jam hingga konstan, lalu ditimbang untuk mendapatkan lignin Klason. Pengukuran kadar ekstraktif larut air dingin mengacu pada TAPPI T-207 om-88 (TAPPI 1999b). Serbuk kayu sebanyak 2 g ditempatkan dalam Erlenmeyer 400 ml kemudian 300 ml akuades ditambahkan secara perlahan. Sampel dipastikan terbasahi semua untuk menghindari kemungkinan mengapung. Ekstraksi dilakukan pada suhu 23 ± 2oC dengan pengadukan konstan selama 48 jam. Sampel kemudian dipindahkan ke kertas saring yang sudah dikeringkan, kemudian dibilas menggunakan 200 ml akuades dingin, dan dikeringkan dalam oven 103 ± 2oC hingga beratnya konstan. Kertas saring ditempatkan dalam desikator lalu ditimbang. Pengukuran kadar ekstraktif larut air panas juga mengacu pada TAPPI T-207 om-88 (TAPPI 1999b). Serbuk kayu sebanyak 2 g ditempatkan dalam Erlenmeyer 200 ml kemudian ditambahkan 100 ml akuades panas. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam waterbath mendidih selama 3 jam. Air di dalam waterbath dijaga agar tetap di atas batas sampel dengan menambahkan air panas. 164 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Sampel kemudian disaring dan dibilas menggunakan 200 ml air panas, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 103 ± 2oC hingga bobotnya konstan, dan ditimbang. Penetapan kadar ekstraktif larut etanol-benzena mengacu pada ASTM D-1107 (ASTM 2007). Serbuk kayu sebanyak 2 g ditimbang menggunakan wadah. Satu sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2oC kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Proporsi BKT serbuk dalam berat kering udara serbuk kemudian dihitung. Sampel lainnya ditempatkan pada alat soxhlet. Ekstraksi dilakukan menggunakan 150 ml larutan etanol-benzena selama 6 sampai 8 jam, cairan dijaga agar cepat mendidih. Setelah pelarut dievaporasi dari labu ekstraksi, sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan hingga bobotnya konstan. Pengukuran kadar ekstraktif larut 1% NaOH mengacu pada TAPPI T-212 om-93 (TAPPI 2002a). Larutan 1% NaOH sebanyak 100 ± 1 ml ditambahkan ke dalam 2 g sampel kemudian diaduk menggunakan batang pengaduk. Labu Erlenmeyer yang berisi sampel kemudian ditutup menggunakan watch glass dan dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu yang diatur antara 97 hingga 100oC selama 1 jam. Air di dalam penangas diatur agar tetap mendidih dan berada di atas larutan alkali pada Erlenmeyer. Kemudian larutan diaduk selama 5 detik pada menit ke-10, 15, dan 25 setelah ditempatkan dalam penangas. Setelah 60 menit sampel dipindahkan ke kertas saring dan dibilas menggunakan 100 ml air panas. Kemudian 25 ml asam asetat 10% ditambahkan dan dibiarkan membasahi sebelum dihilangkan dan ulangi dengan 25 ml asam asetat 10% yang kedua. Sampel kemudian dibilas menggunakan air panas hingga bebas asam. Kertas saring beserta sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2oC hingga bobotnya konstan. 2.2.2. Pengujian Sifat Mekanis Kayu Sifat mekanis yang diuji terdiri dari keteguhan lentur statis (MOE dan MOR), keteguhan tekan sejajar serat, dan kekerasan sisi. Pengujian mengacu pada standar Inggris BS 373-1957 (BSI 1957) dengan tiga ulangan untuk masing-masing jenis kayu. Pengujian keteguhan lentur statis menggunakan sampel uji berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm. Sampel uji didudukkan mendatar pada mesin dan dilakukan pembebanan terpusat. Jarak sangga ditetapkan sebesar 28 cm. Nilai MOE dan MOR diperoleh dengan persamaan: MOR = MOE = 3 x Pmaks x L 2 x b x h2 ∆P x L3 4 x ∆y x b x h3 dimana MOE adalah modulus of elasticity (kg/cm2), MOR adalah modulus of rupture (kg/cm2), Pmaks adalah beban hingga sampel uji rusak (maksimum) (kg), ΔP adalah perubahan beban yang terjadi di bawah batas proporsi (kg), L adalah jarak sangga (cm), Δy adalah perubahan defleksi akibat beban (cm), B adalah lebar sampel uji (cm), dan h adalah tebal sampel uji (cm). Pengujian keteguhan tekan sejajar serat menggunakan sampel uji berukuran 2 cm x 2 cm x 6 cm. Sampel uji didudukkan vertikal pada alat dan dilakukan pembebanan secara perlahan-lahan dengan arah beban sejajar dengan arah serat. Nilai kekuatan tekan sejajar serat ditentukan dengan persamaan: Pmaks σtk // = A dimana σ tk// adalah keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm²) dan A adalah luas penampang (cm²). 165 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Pengujian kekerasan kayu dilakukan pada bagian ujung sampel uji keteguhan lentur statis. Kekerasan yang dihitung adalah kekerasan radial dan tangensial. Pembebanan dilakukan dengan membenamkan setengah bola baja berdiameter 1,1278 cm hingga kayu rusak. Nilai kekerasan dihitung dengan rumus: Pmaks H= A dimana H adalah kekerasan kayu (kg/cm²) dan A adalah luas penampang (cm²). 2.2.3. Pengujian keawetan alami kayu Pengujian keawetan alami kayu (Gambar 2) dilakukan secara uji kubur (grave yard test) selama 3 bulan, mengacu pada ASTM D 1758-06 (ASTM 2006). Sebelum dilakukan penancapan ke tanah, sampel terlebih dahulu diampelas agar permukaannya rata, kemudian dihitung kadar airnya, ditimbang beratnya, dan diberi tanda. Sampel uji berukuran 2 cm x 2 cm x 46 cm dikubur secara vertikal sedalam 25–30 cm di Arboretum, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University. Jarak antar sampel uji dalam satu baris (antar kolom) 30 cm, sedangkan jarak antar baris 60 cm. Beberapa persyaratan penting yang harus dipenuhi adalah tempat penanaman harus subur, belum ditanami, kelembapan relatif hangat, drainase baik, perlu informasi terkait keberadaan rayap di tempat tersebut, dan tanah yang ingin digunakan haruslah berjarak 150 mm dari tanah yang telah digunakan sebelumnya untuk pengujian yang sama. Parameter yang dinilai dalam pengujian ini adalah bentuk atau derajat kerusakan yang terjadi dan pengurangan berat sampel uji (Tabel 1). Pengujian keawetan menggunakan tiga ulangan untuk masing-masing jenis kayu. Tabel 1. Level kerusakan sampel oleh rayap berdasarkan standar ASTM D 1758-06 (ASTM 2006) Level 10 9 8 7 6 4 0 Deskripsi kondisi sampel Tidak diserang; 1 hingga 2 lubang kecil diperbolehkan Terdapat lubang hingga 3% dari luasan penampang melintang Penetrasi 3 hingga 10% dari luasan penampang melintang Penetrasi 10 hingga 30% dari luasan penampang melintang Penetrasi 30 hingga 50% dari luasan penampang melintang Penetrasi 50 hingga 75% dari luasan penampang melintang Gagal (a) (b) Gambar 2. Pengujian keawetan alami kayu secara uji kubur (a) sampel uji dan (b) denah uji kubur. 166 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 2.3. Analisis Data Data kualitatif disajikan dalam bentuk foto dan dideskripsikan, sedangkan data kuantitatif dihitung nilai rata-rata dan standar deviasinya menggunakan Microsoft Excel. Perbedaan nilai ratarata untuk setiap jenis ditentukan menggunakan t-student pada selang kepercayaan 99% dan 95%. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Sifat Kimia Ketiga Jenis Kayu Analisis komponen kimia kayu merupakan tahapan yang penting guna mengetahui karakteristik/ciri pembeda dan kualitas dari masing-masing jenis kayu. Keuntungan dalam menganalisa komponen kimia kayu antara lain dapat menilai performa pengerjaan kayu (wood working/machining), mengetahui tingkat durabilitas terhadap mikroorganisme perusak, dan tujuan pemanfaatannya (Darmawan et al. 2012; Lhate 2011). Kadar komponen kimia kayu yang terdiri dari lignin klason, holoselulosa, alphaselulosa, hemiselulosa, kadar abu, pH, zat ekstraktif (larut air panas, air dingin, etanol-benzena, dan NaOH 1%), serta kadar air serbuk ketiga jenis kayu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen kimia ketiga jenis kayu Jenis kayu Signifikansi antar-jenis Nyatoh Pisang Putih Sepetir Kadar air serbuk (%) 10,20 ± 0,79 11,92 ± 0,34 11,20 ± 0,16 0,00** Kelarutan air panas (%) 1,31 ± 0,79 2,25 ± 0,49 6,99 ± 1,00 0,05* Kelarutan air dingin (%) 2,08 ± 1,25 2,48 ± 2,18 6,17 ± 1,42 0,04* Kelarutan NaOH 1% (%) 13,21 ± 1,60 5,42 ± 3,36 19,39 ± 0,71 0,00** Kelarutan etanol-benzena (%) 5,32 ± 0,31 4,44 ± 0,43 1,93 ± 0,31 0,00* Lignin klason 32,75 ± 0,93 39,30 ± 2,32 21,78 ± 1,92 0,00** Holoselulosa (%) 77,57 ± 1,15 76,16 ± 1,71 80,81 ± 0,69 0,00** Alphaselulosa (%) 58,15 ± 2,36 60,24 ± 3,86 56,46 ± 2,62 0,00** Hemiselulosa (%) 19.43 ± 2.69 15,92 ± 5,32 24,36 ± 2,71 0,00** Kadar abu (%) 0,43 ± 0,03 0,76 ± 0,21 1,02 ± 0,20 0,00** pH 5,66 ± 0,11 6,87 ± 0,58 6,69 ± 0,24 0,00** Keterangan: ns = tidak signifikan, * = signifikan pada level 5%, dan ** = signifikan pada level 1%. Pengujian komponen kimia 3.1.1. Kadar air serbuk Rata-rata kadar air (KA) serbuk dari ketiga jenis berkisar 10,20‒11,92%. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menyatakan bahwa nilai KA berbeda sangat nyata pada masingmasing jenis (Tabel 2). Serbuk kayu pisang putih memiliki KA yang tertinggi, sedangkan serbuk kayu nyatoh terendah. KA berhubungan dengan perbedaan kerapatan kayu yang menunjukkan perbedaan kemampuan dinding sel dalam mengikat air. Umumnya kayu yang kerapatannya rendah memiliki nilai KA yang tinggi dan sebaliknya (Bowyer et al. 2003). Hasil penelitian Augustina (2019) menunjukkan bahwa kerapatan kayu nyatoh 0,49 g/cm3, kayu pisang putih 0,43 g/cm3, dan kayu sepetir 0,37 g/cm3. Variasi KA berpengaruh terhadap penetrasi bahan kimia. Keberadaan air dalam rongga dan dinding sel akan menghambat masuknya bahan kimia. Sehingga nilai KA serbuk yang disarankan untuk pengujian sifat kimia berkisar 12‒20% atau kondisi kering udara (Seng 1990). 167 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 3.1.2. pH kayu Nilai pH kayu pada masing-masing jenis adalah 5,66 (nyatoh); 6,87 (pisang putih), dan 6,69 (sepetir). Nilai pH kayu nyatoh masuk ke dalam kategori asam sedang, sedangkan kayu pisang putih dan sepetir asam lemah. Menurut Stamm (1964), umumnya pH kayu berkisar 3‒5,5. Meskipun hasil yang diperoleh diluar dari rentang nilai tersebut, namun pH kayu nyatoh lebih rendah dibanding pH bagian teras kayu blackgum (Nyssa sylvatica Marsh) dan gubal kayu Northern white cedar (Thuja occidentulis L.) masing-masing sebesar 5,86 dan 5,82 (Johns dan Niazi 1980). Nilai pH kayu pisang putih lebih rendah dibanding bagian peralihan kayu Acer laetum, bagian teras dan peralihan kayu Fagus orientalis, serta bagian teras dari kayu Alnus subcordata yang berkisar 6,89‒7,47; sedangkan pH kayu sepetir mendekati pH bagian gubal kayu Fagus orientalis dan Alnus subcordata yakni sebesar 6,68 (Sadeghifar et al. 2010). Tingkat keasaman kayu dipengaruhi oleh kandungan hemiselulosa, ekstraktif, dan kadar bahan inorganik dalam kayu (Hernández 2013). Pengetahuan tentang pH kayu menjadi penting karena dapat berpengaruh terhadap proses perekatan dan pengerjaan kayu (Johns dan Niazi 1980), hingga sifat mekanis dari produk komposit yang akan dibuat (Hernández 2013). Kayu dengan tingkat keasaman tinggi akan membuat proses curing perekat urea formaldehida (UF) dan melamin formaldehida (MF) menjadi kurang maksimal karena perekat sudah mulai mengeras sebelum dimasukkan ke dalam mesin kempa panas sehingga menurunkan sifat mekanis, dan juga menyebabkan paku mudah berkarat (Hernández 2013; Johns dan Niazi 1980). 3.1.3. Ekstraktif Zat ekstraktif merupakan hasil dari metabolisme sekunder yang terdiri dari komponen organik dan inorganik. Komponen organik dapat diklasifikasikan ke dalam senyawa aliphatic dan alicylic, senyawa fenolik, dan senyawa lainnya (Stenius 2000); sedangkan komponen inorganik terdiri dari abu dan silika (Rowell et al. 2005). Kadar ekstraktif dapat dibedakan menjadi empat yaitu ekstraktif larut air panas, air dingin, etanol-benzena, dan NaOH 1%. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menunjukkan bahwa ekstraktif terlarut NaOH 1% berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis dan pada selang kepercayaan 95% kadar ekstraktif larut air panas, air dingin dan etanol-benzena berbeda nyata pada masing-masing jenis (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2, masing-masing jenis kayu memiliki kadar ekstraktif yang bervariasi. Kayu sepetir memiliki kadar ekstraktif larut air panas dan dingin tertinggi (masing-masingnya 6,17 dan 6,99%), sedangkan kayu nyatoh memiliki nilai terendah (1,31 dan 2,08%). Kelarutan air dingin dan panas kayu nyatoh dan pisang putih lebih rendah dibanding A. mangium, tetapi untuk kayu sepetir berlaku sebaliknya (Pari dan Saepuloh 2000). Kelarutan dalam air panas dan dingin dapat menjelaskan kemudahan ekstraksi senyawa pati, tannin, getah, pektin dan senyawa disakarida. Kelarutan dalam NaOH 1% kayu sepetir lebih tinggi (19,39%) kemudian diikuti dengan kayu nyatoh (13,21%) dan pisang putih (5,42%). Kelarutan dalam NaOH 1% pada kayu nyatoh dan pisang putih lebih rendah dibanding A. mangium, sedangkan pada kayu sepetir hampir sama (Pari dan Saepuloh 2000). Tingginya kelarutan dalam NaOH 1% menunjukkan kemudahan dalam mendegradasi selulosa dan dapat digunakan untuk memprediksi kadar karbohidrat dan lignin yang memiliki bobot molekul rendah (Hastuti et al. 2017). Kadar ekstraktif dalam etanol-benzena tertinggi terdapat pada kayu nyatoh (5,32%), sedangkan yang terendah pada kayu sepetir (1,93%). Nilai yang diperoleh hampir sama dengan yang terdapat pada kayu A. hybrid, A. mangium, dan A. auriculiformis (Yahya et al. 2010). Kelarutan dalam etanol-benzena menunjukkan kemudahan 168 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 untuk mengekstrak senyawa semi polar dan non polar seperti polifenol sederhana, glikosida, tannin, mono dan disakarida. Senyawa polifenol dan sakarida sangat penting bagi industri biorefineri, farmasi, kosmetik dan pembuatan bioethanol (Hastuti et al. 2017). 3.1.4. Kadar abu Kadar abu kayu mengindikasikan kandungan bahan anorganik seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan, dan silikon di dalam kayu. Rata-rata kadar abu ketiga jenis kayu berkisar 0,43‒1,02%. Nilai tersebut termasuk kategori sedang (0,2‒6%). Nilai kadar abu ketiga jenis kayu sedikit lebih tinggi dibanding yang terdapat pada kayu A. mangium yaitu 0,26‒0,88% sebagaimana Pari dan Saepuloh (2000). Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menyatakan bahwa kadar abu berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 2). Kayu sepetir memiliki nilai kadar abu tertinggi, sedangkan kayu nyatoh terendah. Tingginya kadar abu akan berpengaruh saat proses pembakaran terutama untuk bahan baku alternatif di bidang biorefinery karena akan menyebabkan penumpukan abu. 3.1.5. Lignin klason Lignin klason dikenal juga sebagai lignin tidak larut asam (acid insoluble lignin). Kadar lignin klason pada ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah 23,78% untuk kayu sepetir, 32,75% untuk kayu nyatoh, dan 39,30% untuk kayu pisang putih. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menyatakan bahwa kadar lignin klason berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 2). Kadar lignin klason yang diperoleh hampir sama dengan yang terdapat pada kayu A. mangium (Yahya et al. 2010), namun lebih tinggi dibanding E. globulus (Ona et al. 1998). Berdasarkan kelas komponen kimia kayu Indonesia, kadar lignin klason kayu sepetir dan nyatoh tergolong sedang (18‒33%), sedangkan kayu pisang putih tergolong tinggi (>33%). Dalam aplikasi di industri pulp dan kertas, kadar lignin klason dapat digunakan untuk memprediksi sifat pulp yang dihasilkan dan konsumsi alkali selama proses pulping. Pari dan Saepuloh (2000) menyatakan bahwa kadar lignin klason <25% akan menghasilkan pulp dengan warna kuning, sedangkan >25% akan menghasilkan pulp dengan warna coklat hitam. 3.1.6. Holoselulosa, alphaselulosa dan hemiselulosa Holoselulosa merupakan fraksi total dari karbohidrat, yang terdiri dari selulosa dan hemiselulosa, yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu (Astuti et al. 2018). Kadar holoselulosa pada ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah 76,16% untuk kayu pisang putih, 77,57% untuk kayu nyatoh, dan 80,81% untuk kayu sepetir. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% juga menunjukkan bahwa kadar holoselulosa berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 2). Kadar holoselulosa yang diperoleh hampir sama dengan yang terdapat pada A. mangium (Yahya et al. 2010), namun lebih rendah dibanding E. globulus (Ona et al. 1998). Dalam aplikasi di industri pulp dan kertas, tingginya kandungan holoselulosa sangat diharapkan karena akan menghasilkan rendemen pulp yang tinggi (Yahya et al. 2010). 169 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Kemurnian selulosa biasa dinyatakan sebagai persentase alphaselulosa. Kadar alphaselulosa pada ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah 56,46% untuk kayu sepetir, 58,16% untuk kayu nyatoh, dan 60,24% untuk kayu pisang putih. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menunjukkan bahwa kadar alphaselulosa berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 2). Kadar alphaselulosa yang diperoleh lebih tinggi dibanding pada A. mangium dan E. globulus (Ona et al. 1998; Yahya et al. 2010). Besarnya nilai alphaselulosa diperlukan dalam pembuatan kertas saring “whatman”, selulosa nitrit, karboksil metil selulosa dan selulosa xantat (Fengel dan Wegener 1995). Hemiselulosa merupakan polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin. Hemiselulosa pada umumnya mudah mengalami depolimerisasi atau terhidrolisis oleh asam dan basa serta mudah larut dalam air. Kadar hemiselulosa pada ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah 15,92% untuk kayu pisang putih, 19,43% untuk kayu nyatoh, dan 24,36% untuk kayu sepetir. Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menyatakan bahwa kadar hemiselulosa berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 2). Kadar hemiselulosa yang diperoleh lebih rendah dibanding kadar hemiselulosa kayu E. globulus (Ona et al. 1998) dan A. mangium (Karlinasari et al. 2010). Dalam aplikasinya di industri pulp dan kertas, banyaknya hemiselulosa akan membantu terjadinya ikatan antar serat sehingga memudahkan terbentuknya sifat hidrofilik dari pulp yang dihasilkan (Stephenson 1951). 3.2. Hubungan antara Sifat Kimia dan Sifat Mekanis pada Ketiga Jenis Kayu Rata-rata hasil pengujian sifat mekanis ketiga jenis kayu disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisis t-student pada selang kepercayaan 99%, jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE, MOR, keteguhan tekan sejajar serat, dan kekerasan kayu (Tabel 3). Tabel 3. Nilai sifat mekanis ketiga jenis kayu Jenis kayu Nyatoh Pisang Putih MOE (kg/cm2) 72.266 ± 9.107 78.386 ± 11.664 MOR (kg/cm2) 505 ± 102 520 ± 50 Tekan // serat (kg/cm2) 304 ± 65 292 ± 22 Kekerasan radial (kg/cm2) 262 ± 29 176 ± 23 Kekerasan tangensial (kg/cm2) 308 ± 79 270 ± 95 Kadar air (%) 14,55 ± 2,43 14,92 ± 3,16 Keterangan: ns = tidak signifikan dan ** = signifikan pada level 1%. Parameter Sepetir 53.964 ± 10.479 406 ± 57 228 ± 92 181 ± 49 216 ± 98 15,10 ± 3,44 Signifikansi antar-jenis 0,00** 0,00** 0,00** 0,00** 0,00** 0,07ns 3.2.1. MOE dan MOR Rata-rata nilai MOE dan MOR yang diperoleh untuk ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah 53.963 dan 406 kg/cm2 untuk kayu sepetir, 72.265 dan 505 kg/cm2 untuk kayu nyatoh, dan 78.386 dan 520 kg/cm2 untuk kayu pisang putih (Tabel 3). Berdasarkan tabel kelas kuat kayu (Seng 1990), nilai MOE kayu sepetir termasuk kelas kuat V, sedangkan untuk kayu nyatoh dan pisang putih masuk kelas kuat IV. Nilai MOR pada ketiga jenis kayu termasuk ke dalam kelas kuat IV. Nilai MOE dan MOR ketiga jenis kayu tersebut lebih kecil dibanding kayu karet masing-masingnya 52.759‒107.187 kg/cm2 dan 649‒900 kg/cm2 (Sipahutar et al. 2015), serta kayu A. mangium masing-masing 104.189‒118.693 kg/cm2 dan 725‒942 kg/cm2 (Ginoga 1997). 170 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Sifat mekanis kayu terutama MOE dan MOR dipengaruhi oleh jumlah dan jenis komponen kimia, serta kerapatan kayu. Menurut Zhang et al. (2013), MOE dan MOR berkorelasi positif dengan jumlah lignin. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh. Kadar lignin yang tinggi pada kayu nyatoh dan pisang putih menyebabkan tingginya nilai MOE dan MORnya dibandingkan kayu sepetir. Lignin berkontribusi terhadap sifat kekakuan dinding sel dan kohesi antar jaringan penyusun kayu, serta berpengaruh kuat terhadap sifat mekanis kayu terutama pada arah tranversal (Longui et al. 2012). Kerapatan kayu yang tinggi pada kayu tersebut (Augustina 2019) mengindikasikan kandungan alphaselulosanya juga tinggi (Tabel 2) sehingga cenderung akan menghasilkan nilai MOE dan MOR yang tinggi pula. Baharoǧlu et al. (2013) menambahkan bahwa tingginya kandungan selulosa dan lignin terbukti mampu meningkatkan sifat mekanis, terutama MOE dan MOR pada panel kayu. Kiaei dan Samariha (2011) menyatakan terdapat hubungan linier antara MOR dengan kerapatan, sedangkan MOE memiliki hubungan yang lemah atau sedikit linier bahkan terkadang tidak signifikan dengan kerapatan. Di sisi lain, variasi komponen kimia juga berpengaruh terhadap sifat mekanis pada produk komposit (end-use). Baharoǧlu et al. (2013) menyatakan bahwa tingginya nilai kelarutan dalam etanol-benzena maupun dalam NaOH menyebabkan rendahnya sifat mekanis akibat terputusnya ikatan perekat. Selain itu, rendahnya pH juga berakibat pada menurunnya sifat mekanis produk komposit akibat pre-curing perekat UF yang terjadi sebelum proses kempa. Ketika pre-curing terjadi, lapisan perekat pada papan akan menjadi lemah, terkelupas, hingga akhirnya rusak (Baharoǧlu et al. 2013). Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa kayu nyatoh dan pisang putih lebih cocok diaplikasikan sebagai produk komposit dibanding kayu sepetir. Gambar 3. Bentuk kerusakan setelah pengujian MOR berupa brash tension pada kayu sepetir. Setelah pengujian MOE, biasanya akan terbentuk lengkungan pada permukaan sampel yang terkena tekanan, kemudian apabila beban dilanjutkan hingga sampel patah atau rusak (uji MOR) maka akan terbentuk kerusakan yang bentuknya berbeda tergantung jenis kayu. Bentuk kerusakan pada penelitian ini didominasi oleh brash tension (berupa patahan melintang hingga bergelombang pada bagian yang terkena tekanan) dan cross grain tension (berupa patahan yang memanjang searah serat) (Gambar 3). Yoshihara dan Kawasaki (2006) menyatakan bahwa bentuk kerusakan dipengaruhi oleh interaksi antara tegangan tekan dan geser. Umumnya tegangan geser yang lebih mendominasi dibanding tegangan tekan. Mereka menambahkan bahwa arah kerusakan akan dengan mudah berubah seiring berubahnya tegangan saat kerusakan awal terjadi. 171 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 3.2.2. Tekan sejajar serat Nilai keteguhan tekan sejajar serat yang diperoleh untuk ketiga jenis kayu dari mulai dari yang terendah hingga tertinggi adalah 228 kg/cm2 untuk kayu sepetir, 292 kg/cm2 untuk kayu pisang putih, dan 304 kg/cm2 untuk kayu nyatoh. Nilai-nilai tersebut termasuk ke dalam kelas kuat IV (Seng 1990). Nilai keteguhan tekan sejajar serat pada ketiga jenis kayu lebih tinggi dibanding kekuatan tekan kayu karet yang berkisar 80‒138 kg/cm2 (Sipahutar et al. 2015), akan tetapi lebih rendah dibanding yang terdapat pada kayu A. mangium yang berkisar 416‒441 kg/cm2 (Ginoga 1997). Menurut Chowdhury et al. (2012), nilai keteguhan tekan sejajar serat dipengaruhi oleh kerapatan masing-masing jenis. Kayu nyatoh memiliki kerapatan yang lebih tinggi (Augustina 2019) sehingga menghasilkan nilai kekuatan tekan sejajar serat yang tinggi pula. Nilai tekan sejajar serat secara signifikan berkorelasi negatif dengan diameter fiber dan sel pembuluh, namun berkorelasi positif dengan tebal dinding pembuluh (Chowdhury et al. 2012). Diameter sel pembuluh yang lebih sempit pada kayu nyatoh (Augustina 2019) mengindikasikan porsi dinding sel dan jumlah selulosa yang lebih banyak (Tabel 2), serta kerapatan yang lebih tinggi (Augustina 2019) sehingga kayu cenderung lebih padat. Bentuk kerusakan yang terjadi setelah pengujian antara lain crushing dan brooming atau end rolling (Gambar 4). (a) (b) (c) Gambar 4. Bentuk kerusakan setelah pengujian tekan sejajar serat pada ketiga jenis kayu, (a) kayu nyatoh, (b) pisang putih, dan (c) sepetir. 3.2.3. Kekerasan Kekerasan merupakan salah satu indikator kekuatan kayu. Rata-rata nilai kekerasan bidang radial dan tangensial yang diperoleh untuk ketiga jenis kayu berturut-turut adalah 181 dan 216 kg/cm2 untuk kayu sepetir, 176 dan 270 kg/cm2 untuk kayu pisang putih, serta 262 dan 308 kg/cm2 untuk kayu nyatoh. Nilai yang diperoleh pada ketiga jenis kayu lebih tinggi dibanding yang terdapat pada kayu karet yang berkisar 13‒18 kg/cm2 (Sipahutar et al. 2015). Akan tetapi, kekerasan radial kayu sepetir dan pisang putih lebih rendah dibanding A. mangium (218 kg/cm2) dan A. auriculiformis (393 kg/cm2), sedangkan kayu nyatoh lebih tinggi dibanding A. mangium namun lebih rendah dibanding A. auriculiformis. Nilai kekerasan tangensial kayu sepetir lebih rendah dibanding A. mangium (243 kg/cm2) dan A. auriculiformis (431 kg/cm2), sedangkan kayu pisang putih dan nyatoh lebih tinggi dibanding A. mangium tetapi lebih rendah dibanding A. auriculiformis (Shanavas dan Kumar 2006). Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa nilai kekerasan tangensial lebih besar dibanding kekerasan radialnya. Hasil serupa diperoleh Shanavas dan Kumar (2006) yang menggunakan kayu A. auriculiformis, A. mangium, dan G. robusta. Besarnya nilai kekerasan bidang tangensial akibat adanya pengaruh sel jari-jari yang memiliki fungsi sebagai penahan (Peng et al. 2016). 172 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Secara umum kekerasan kayu juga berkorelasi negatif terhadap diameter pembuluh (Ali 2011) namun berkorelasi positif dengan tebal dinding sel (Chowdhury et al. 2012). Peng et al. (2016) dan Green et al. (2006) menambahkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara kerapatan dan berat jenis dengan nilai kekerasan. Diameter pembuluh yang lebih sempit pada kayu nyatoh (Augustina 2019) menyebabkan tingginya nilai kekerasan. Diameter pembuluh yang sempit tersebut mengindikasikan porsi dinding sel dan jumlah selulosa yang lebih banyak serta kerapatan yang lebih tinggi sehingga kayu cenderung lebih padat. Kayu yang lebih padat akan menghasilkan permukaan yang mulus saat terbenam bola baja (Gambar 5). Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh kecuali pada nilai kekerasan bidang radial untuk kayu pisang putih. Fenomena tersebut diduga ada kaitannya dengan keberadaan sel jari-jari tipe multiseriate pada kayu pisang putih yang mampu menahan deformasi selama proses pengujian (Augustina 2019). (a) (b) (c) Gambar 5. Bentuk kerusakan setelah pengujian kekerasan pada ketiga jenis kayu, (a) kayu nyatoh, (b) pisang putih, (c) sepetir. 3.3. Hubungan antara Sifat Kimia dan Keawetan Alami pada Ketiga Jenis Kayu Penilaian sifat keawetan alami kayu yang diuji secara uji kubur (grave yard test) didekati dengan kehilangan berat dan persen kerusakan contoh uji. Nilai kehilangan berat dari ketiga jenis kayu dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut yaitu 32,70% untuk kayu sepetir, 38,00% untuk kayu pisang putih, dan 47,17% untuk kayu nyatoh; sedangkan persen kerusakannya untuk ketiga jenis kayu yang diteliti berkisar 84‒100% (Tabel 4). Analisis t-student dengan selang kepercayaan 99% menyatakan bahwa kehilangan berat dan persen kerusakan berbeda sangat nyata pada masing-masing jenis kayu (Tabel 4). Tabel 4. Nilai kehilangan berat dan kerusakan ketiga jenis kayu. Parameter Nyatoh Kehilangan berat (%) 47,17 ± 13,34 Kerusakan (%) 84% Keterangan: ** = signifikan pada level 1%. Jenis kayu Pisang putih 38,00 ± 6,48 100% Sepetir 32,70 ± 19,88 84% Signifikansi antar-jenis 0,00** 0,00** Berdasarkan Tabel 4, kayu nyatoh memiliki nilai kehilangan berat yang paling tinggi dibanding jenis lainnya. Walaupun kayu nyatoh memiliki berat jenis dan kerapatan yang lebih tinggi (Augustina 2019), namun tidak menjamin keawetan alaminya akan lebih baik. Hal ini terjadi karena kayu nyatoh memiliki kandungan alphaselulosa yang lebih banyak (58,15%) serta kandungan lignin yang lebih sedikit (32,75%). Keawetan alami kayu dipengaruhi oleh kandungan selulosa, lignin serta total senyawa fenolik dalam kayu. Menurut Shanbhag dan Sundararaj (2013), selulosa berkorelasi positif, sedangkan lignin dan total senyawa fenolik berkorelasi negatif 173 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 terhadap sifat keawetan kayu. Semakin tinggi kandungan selulosa mengindikasikan bahwa semakin banyak pula sumber makanan bagi organisme perusak kayu sehingga akan semakin besar kerusakan yang dihasilkan. Sedangkan lignin dan senyawa fenolik berperan sebagai agen penahan terhadap serangan organisme perusak kayu. Rendahnya nilai tersebut menyebabkan tingginya kerusakan yang dihasilkan oleh organisme perusak kayu. (a) (b) (c) Gambar 6. Sampel uji kubur ketiga jenis kayu setelah pengamatan selama 3 bulan: (a) kayu nyatoh, (b), pisang putih, (c) sepetir. Meskipun kayu sepetir memiliki kandungan lignin yang rendah (21,78%), namun kandungan ekstraktifnya tergolong paling tinggi. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa kadar ekstraktif terlarut air panas dan dingin serta NaOH 1% kayu nyatoh 1,31, 2,08, dan 13,21%; pada kayu pisang putih 2,25, 2,48, dan 5,42%; sedangkan pada kayu sepetir adalah 6,17, 6,99%, dan 19,39%. Hal tersebut berpengaruh terhadap rendahnya nilai kehilangan berat pada kayu sepetir. Zat ekstraktif juga mempengaruhi warna, bau, rasa, ketahanan kayu terhadap organisme perusak, kerapatan, higroskopisitas, dan reaksi keterbakaran (Owoyemi dan Olaniran 2014). Sifat keawetan alami kayu ditentukan oleh jumlah dan jenis ekstraktif yang bersifat racun yang nilainya bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, dan posisi dalam batang (Nandika et al. 1996). Semakin tinggi kadar ekstraktif maka akan memberikan sifat ketahanan terhadap organisme perusak yang lebih baik pula (Herliyana et al. 2013). Walaupun demikian, nilai kehilangan berat tersebut masih lebih besar dibanding kayu jati unggul berumur 4 dan 5 tahun yang juga diuji secara grave yard test yaitu berkisar 20‒23% (Wahyudi et al. 2014). Persentase kerusakan yang terjadi pada ketiga jenis kayu dapat diamati dengan jelas pada Gambar 6. Berdasarkan ASTM D 1758-06, ketiga jenis kayu dikategorikan ke dalam nilai keawetan ‘0’ yang mengindikasikan lebih dari 75% penampang lintang sampel uji mengalami kerusakan atau mampu ditembus oleh organisme perusak (ASTM 2006). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa bentuk kerusakan yang terjadi pada masing-masing jenis bervarisi yaitu mulai dari serangan ringan berupa bekas gigitan rayap dan liang yang tidak begitu lebar dan dalam, hingga lebih dari setengah atau dua pertiga dari panjang sampel uji habis dimakan (parah). 174 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 123-140 4. Kesimpulan Dari segi karakteristik kimia kayu, hasil penelitian menunjukkan pH ketiga jenis kayu tergolong asam sedang hingga asam lemah. Kandungan esktraktif larut air panas, air dingin dan NaOH yang tertinggi terdapat pada kayu sepetir, sedangkan kelarutan dalam etanol-benzena yang tertinggi terdapat pada kayu nyatoh. Kadar abu dari ketiga jenis kayu termasuk kategori sedang. Kadar lignin klason kayu sepetir dan nyatoh tergolong sedang, sedangkan pada kayu pisang putih tergolong tinggi. Kadar holoselulosa dan hemiselulosa kayu sepetir lebih tinggi dibanding jenis lainnya, sedangkan kadar alphaselulosanya lebih rendah. Dari segi sifat mekanis, nilai MOE ketiga jenis kayu termasuk kelas kuat IV‒V, sedangkan nilai MOR dan keteguhan tekan sejajar seratnya masuk kelas kuat IV. Kayu nyatoh memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dari jenis lainnya. Dari segi keawetan alami, ketiga jenis kayu tergolong tidak awet dengan nilai kehilangan berat sebesar 32,70‒47,17% dan persen kerusakan 84‒100%. Sifat mekanis lebih banyak ditentukan oleh komponen kimia mayornya (selulosa, hemiselulosa dan lignin), sedangkan keawetan alami dipengaruhi oleh komponen minornya (ekstraktif dan material organik lain). Sanwacana Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan biaya penelitian yang diberikan melalui skema PMDSU Batch II. Daftar Pustaka Ali, A.C. 2011. Physical-Mechanical Properties and Natural Durability of Lesser Used Wood Species from Mozambique [Thesis]. Swedish University of Agriculture Sciences, Uppsala (SWE). ASTM. 2006. Standard Test Method of Evaluating Wood Preservatives by Field Tests with Stakes. ASTM D 1758 – 06. West Conshohocken (USA): American Society for Testing and Materials (ASTM) International. ASTM. 2007. Standard Test Method for Ethanol-Toluene Solubility of Wood. ASTM D 1107 ‒ 96. West Conshohocken (USA): American Society for Testing and Materials (ASTM) International. Astuti, S., Yahya, R., and Sundaryono, A. 2018. Analisis Kadar Komponen Kimia Pelepah Sawit Varietas Dura sebagai Bahan Baku Pulp yang Diterapkan pada Pembelajaran Kimia. PENDIPA Journal of Science Education 2(1): 69–75. DOI: 10.33369/pendipa.2.1.69-75 Augustina, S. 2019. Sifat Dasar Tiga Jenis Kayu Lesser-Used Species dan Peningkatan Mutunya Melalui Teknik Densifikasi [Tesis]. IPB University, Bogor (ID). Baharoǧlu, M., Nemli, G., Sari, B., Birtürk, T., and Bardak, S. 2013. Effects of Anatomical and Chemical Properties of Wood on the Quality of Particleboard. Composites Part B: Engineering 52: 282–285. DOI: 10.1016/j.compositesb.2013.04.009 Bowyer, J.L., Shmulsky, R., and Haygreen, J.G. 2003. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar, Terjemahan [Third Edition]. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (ID). Browning, B.L. 1967. Methods of Wood Chemistry. Vol. 1. Interscience Publ, New York (US). BSI. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. BS 373:1957. London (UK): British Standard Institute. Chowdhury, M.Q., Ishiguri, F., Hiraiwa, T., Matsumoto, K., Takashima, Y., Iizuka, K., Yokota, 175 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 S., and Yoshizawa, N. 2012. Variation in Anatomical Properties and Correlations with Wood Density and Compressive Strength in Casuarina equisetifolia Growing in Bangladesh. Australian Forestry 75(2): 95–99. DOI: 10.1080/00049158.2012.10676390 Darmawan, W., Rahayu, I., Nandika, D., and Marchal, R. 2012. The Importance of Extractives and Abrasives in Wood Materials on The Wearing of Cutting Tools. Bioresources 7(4): 4715‒4729. DOI: 10.15376/BIORES.7.4.4715-4729 Fengel, D., and Wegener, D. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta (ID). Ginoga, B. 1997. Beberapa Sifat Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.) pada Beberapa Tingkat Umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(2): 132‒149. DOI: 10.20886/jphh.1997.15.2.132149 Green, D.W., Begel, M., and Nelson, W. 2006. Janka Hardness using Nonstandard Specimens. USDA Forest Products Laboratory, Research Note FPL-RN-0303. Hastuti, N., Efiyanti, L., Pari, G., and Setiawan, D. 2017. Komponen Kimia dan Potensi Penggunaan Lima Jenis Kayu Asal Jawa Barat Kurang Dikenal. Jurnal Peneliti Hasil Hutan 35(1): 15–27. DOI: 10.20886/jphh.2017.35.1.15-27 Herliyana, E. N., Tsunoda, K., Hadi, Y. S., and Natalia, D. A. 2013. Pleurotus Ostreatus for Durability Test of Rubber and Sengon Woods using Indonesian National Standard and Japanese Standard Methods. 7(2): 651–656. DOI: 10.5281/zenodo.1083049 Hernández, V. 2013. Radiata Pine pH And Buffering Capacity: Effect of Age and Location in The Stem. Maderas: Ciencia y Tecnologia 15(1): 73–78. DOI: 10.4067/S0718221X2013005000007 Johns, W. E., and Niazi, K. A. 1980. Effect of pH and Buffering Capacity of Wood on The Relation Time of Urea Formaldehyde Resin. Wood and Fiber Science 12(4): 255–263. Karlinasari, L., Nawawi, D., and Widyani, M. 2010. Kajian Sifat Anatomi dan Kimia Kayu Kaitannya dengan Sifat Akustik Kayu. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik 12(3): 110–116. Kiaei, M., and Samariha, A. 2011. Fiber Dimensions, Physical and Mechanical Properties of Five Important Hardwood Plants. Indian Journal of Science and Technology 4(11): 1460–1463. DOI: 10.17485/ijst/2011/v4i11/30270 Lhate, I. 2011. Chemical Composition and Machinability of Selected Wood Species From Mozambique. [Thesis]. Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala (SE). Longui, E.L., Bremaud, I., da Silva, Jr. F.G., Lombardi, D.R., and Alves, E.S. 2012. Relationship among Extractives, Lignin and Holocellulose Contents with Performance Index of Seven Wood Species Used for Bows of String Instruments. IAWA 33(2) 141‒149. DOI: 10.1163/22941932-90000085 Masendra, Ashitani, T., Takahashi, K., Susanto, M., and Lukmandaru, G. 2019. Hydrophilic Extracts of The Bark from Six Pinus Species. Journal of the Korean Wood Science and Technology 47(1): 80–89. DOI: 10.5658/WOOD.2019.47.1.80 Nandika, D., Soenaryo., and Saragih, A. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Jakarta (ID). Ona, T., Sonoda, T., Ito, K., and Shibata, M. 1998. Relations Between Various Extracted Basic Densities and Wood Chemical Components in Eucalyptus globulus. Journal of Wood Science 44(3): 165–168. DOI: 10.1007/BF00521958 Owoyemi J.M., and Olaniran, S.O. 2014. Natural Resistance of Ten Selected Nigerian Wood Species to Subterranean Termite’s Attack. International Journal of Biological Sciences and 176 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Applications 1(2): 35–39. Pari, G., and Saepuloh. 2000. Analisis Komponen Kimia Kayu Mangium pada Beberapa Macam Umur Asal Riau. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17(3): 140‒148. DOI: 10.20886/jphh.2000.17.3.140-148 Peng, H., Jiang, J., Zhan, T., and Lu, J. 2016. Influence of Density and Equilibrium Moisture Content on The Hardness Anisotropy of Wood. Forest Products Journal 66(7–8): 443–452. DOI: 10.13073/FPJ-D-15-00072 Rowell, R.M., Pettersen, R., Han, J.S., Jeffrey, S., Rowell., and Tshabalala, M.A. 2005. Cell wall chemistry. in: Rowell RM, ed. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites hlm 35‒ 74.: FPL, Madison (US). Sadeghifar, H., Veisi, R., Einollahi, Y., Seifollahi, J., and Ebadi, A.G. 2010. pH, Conductivity and Buffer Capacity of Six Iranian Wood Species. Asian Journal of Chemistry 22(2): 1615–1618. Saka, S. 1991. Chemical composition and distribution. in: Hon DNS, Shiraishi N, ed. Wood and Cellulosic Chemistry hlm 59–88. Marcel Dekker Inc, New York (US). Seng, O.D. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman No.13. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor (ID). Shanavas, A., and Kumar, B.M. 2006. Physical and Mechanical Properties of Three Agroforestry Tree Species from Kerala, India. Journal of Tropical Agriculture 44(1-2): 23–30. Shanbhag, R.R., and Sundararaj, R. 2013. Physical and Chemical Properties of Some Imported Woods and Their Degradation by Termites. Journal of Insect Science 13(63):1-8. DOI: 10.1673/031.013.6301 Sipahutar, R.H., Sucipto, T., and Iswanto, A.H. 2015. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Karet (Hevea brasiliensis MUELL Arg) Bekas Sadapan dan Kayu Karet tanpa Sadapan. Peronema Forestry Science Journal 4(1): 95–101. Stamm, A.J. 1964. Measurement of pH. Para. 10.1. Selective Adsorption from Solutions. Chapter 10. Wood and Cellulose Science. The Ronald Press Company, NY (US). Stenius, P. 2000. Papermaking Science and Technology: Forest Products Chemistry. Book 3. Forest products chemistry, Helsinki (FI). Stephenson, J. 1951. Pulp and Paper Manufacture; Preparation of Stack for Making Paper. Mc Grow Hill Book Companny Inc, NewYork (US). TAPPI. 1999a. T-203 Alpha-, Beta-, Gamma-cellulose in Pulp. Atlanta (US): Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI) Press. TAPPI. 1999b. T-207 Water Solubility of Wood and Pulp. Atlanta (US): Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI) Press. TAPPI. 2002a. T-212 One Percent Sodium Hydroxide Solubility of Wood and Pulp. Atlanta (US): Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI) Press. TAPPI. 2002b. T-222 Acid Insoluble Lignin in Wood and Pulp. Atlanta (US): Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI) Press. Wahyudi, I., Priadi, T., and Rahayu, I. S. 2014. Karakteristik dan Sifat-Sifat Dasar Kayu Jati Unggul Umur 4 dan 5 Tahun Asal Jawa Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 19(1): 50– 56. Winandy, J.E. 1994. Wood Properties. in: Arntzen, Charles J, ed. Encyclopedia of Agricultural Science hlm 549‒56. Academic Press, Orlando (FL). Winandy, J.E., and Rowell, R.M. 1984. The Chemistry of Wood Strength. in: Rowell RM, editor, 177 Augustina et al. (2021) Jurnal Sylva Lestari 9(1): 161-178 Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites hlm 303‒347. FPL, Madison (US). Yahya, R., Sugiyama, J., Silsia, D., and Gril, J. 2010. Some Anatomical Features of An Acacia hybrid, A. mangium and A. auriculiformis Grown in Indonesia with Regard to Pulp Yield and Paper Strength. Journal of Tropical Forest Science 22(3): 343–351. Yoshihara, H., and Kawasaki, T. 2006. Failure Behavior of Spruce Wood Under Bending-Shear Combined Stress Field. Journal of Materials in Civil Engineering 18(1): 93–98. DOI: 10.1061/(ASCE)0899-1561(2006)18:1(93) Zhang, S.Y., Fei, B.H., Yu, Y., Cheng, H.T., and Wang, C.G. 2013. Effect of the Amount of Lignin on Tensile Properties of Single Wood Fibers. Forest Science and Practice 15(1): 56–60. DOI: 10.1007/s11632-013-0106-0 178