Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Contextual Interpretation and the Existence of Women and Their Implications for Equalization of the Inheritance of Men and Women Tafsir Kontekstual dan Eksistensi Perempuan serta Implikasinya terhadap Penyetaraan Bagian Waris Laki-Laki dan Perempuan Muhammad Mahsus* Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Indonesia mahsusakhfa1@gmail. DOI: 10. 24260/jil. Received: January 31, 2020 * Corresponding Author Revised: February 4, 2020 Approved: February 24, 2020 Abstract: The times are increasingly demanding more competition in the realm of work which requires the role of women to take part in the The development of the times also has implications for increasing gender equality between men and women and improving the status of career women has spread evenly to the rural corner to help the family economy. This phenomenon makes modern Islamic thinkers try hard to explore legal products that support gender equality, including legal products on contextual interpretations in the form of equalizing the inheritance between men and However, these regulations are considered contrary to the rules of the larger in the Islamic ShariAoa, which is the argument of the texts of the Koran on the male part and female 2:1. The results showed that the male and female heirs could not be equalized, but instead remained on the rule of 2:1. The results of this study are based on a historical study of the increase in the existence of women who had existed during the revelation, the general provisions in the ShariAoa regarding the inheritance of men and women 2:1, and the continuing obligation to provide for the livelihoods charged to men following the nature of their creation. An alternative that allows applying the product of the contextual interpretation of the equalization of the assets of men and women is the distribution of the property of the gono-gini which is shared equally between husband and wife, and then the inheritance of the deceased person to the heirs according to their share. Keywords: Interpretation of Contextual. Existence of Women. Staging of Inheritance Parts. Abstrak: Perkembangan zaman semakin menuntut banyaknya persaingan dalam ranah pekerjaan yang mana hal ini menuntut peran perempuan untuk ikut andil dalam persaingan tersebut. Perkembangan zaman juga berimplikasi pada peningkatan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan peningkatan status wanita karir sudah menyebar rata hingga sudut pedesaan [ 25 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. guna membantu perekonomian keluarga. Fenomena demikian menjadikan para pemikir Islam modern berusaha keras untuk menggali produk hukum yang menunjang kesetaraan gender, di antaranya produk hukum atas tafsir kontekstual berupa penyetaraan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, poduk hukum tersebut dianggap bertentangan dengan kaidah yang lebih besar dakam syariat Islam, yakni dalil nash Alquran tentang bagian laki-laki dan perempuan 2:1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian waris laki-laki dan perempuan tidak dapat disetarakan, melainkan tetap pada kaidah 2:1. Hasil penelitian ini didasarkan pada telaah historis tentang peningkatan eksistensi perempuan yang sudah ada pada masa turunnya wahyu, ketentuan umum dalam syariat tentang bagian waris lakilaki dan perempuan 2:1, dan tetapnya kewajiban memberi nafkah yang dibebankan kepada laki-laki sesuai dengan kodrat penciptaannya. Alternatif yang memungkinkan untuk mengaplikasikan produk tafsir kontekstual tentang penyerataan harta laki-laki dan perempuan adalah pembagian harta gono-gini yang dibagi sama rata antara suami-dan istri, untuk kemudian dibagikan harta waris orang yang meninggal kepada ahli waris yang ada sesuai Kata Kunci: Tafsir Konstekstual. Eksistensi Perempuan. Penyerataan Bagian Waris. Pendahuluan Kontekstualisasi dan rekonstruksi pemahaman terhadap makna Alquran oleh para pemikir Islam modern merupakan usaha pembaharuan hukum Islam dengan cara mengadopsi pemikiran rekonstruksi terhadap kitab suci yang dilakukan oleh pemikir hermeneutika Barat. Pemikiran hermeneutika Barat ini dianggap memiliki fondasi epistemologi yang kuat, khususnya pada tinjauan historis penurunan kitab suci mereka. Sehingga para pemikir Islam ikut memfokuskan diri pada kajian historis penurunan ayat Alquran dan menerapkan nilai-nilai Alquran dalam masa sekarang. 1 Menurut para pemikir Islam, rekonstruksi pemahaman Alquran dengan pola hermeneutika mampu menghasilkan produk tafsir ayat-ayat hukum yang fleksibel dan akomodatif di masa sekarang. 2 Pun demikian, berdasakan sejarah yang ada, usaha kontekstualisasi ayat Alquran sudah 1 Ismail Fahmi Arrauf dan Miswari Miswari. AuMenangkap Pesan Tuhan: Urgensi Kontekstualisasi Alquran Melalui Hermeunetika,Ay At-Tibyan: Jurnal Ilmu AlqurAoan Dan Tafsir 3, no. Desember 2. : 235, https://doi. org/10. 32505/tibyan. 2 Yusep Rafiqi. AuKritik Hermeneutik dan Kontekstualisasi Ayat-Ayat Hukum,Ay Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah 17, no. Januari 2. : 239, https://doi. org/10. 15408/ajis. [ 26 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab yang mencetuskan bagian warisan ibu pada kasus gharrawayn. Tindakan ijtihad Umar bin Khattab dalam kasus gharrawayn ini adalah untuk mencari keadilan dan kemashlahatan bagi permasalahan umat Islam pada masa itu. Namun tindakan ijtihad Umar bin Khattab ini tidak terlepas dari ketentuan nas Alquran dan tetap mempertahankan nilai maupun kaidah umum dalam pembagian waris, yakni bagian waris pada laki-laki dan perempuan adalah dua banding satu. Hasil ijtihad tersebut diakui oleh ulama Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab dan produk hukum tersebut sampai dan diadopsi Islam Indonesia. Beberapa dekade ini muncul wacana berupa upaya para pemikir Islam dalam hal penyerataan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang asalnya dua banding satu menjadi satu banding satu. Penyerataan bagian warisan laki-laki dan perempuan ini dilakukan sebagai bentuk relevansi nilai-nilai Alquran dalam konteks kehidupan masyarakat modern sekarang, dan sebagai bentuk pemenuhan atas keadilan dan kemashlahatan umat modern. 4 Latar belakang penyerataan bagian warisan ini adalah berkembangnya karakter wanita zaman sekarang yang sudah hidup mandiri tanpa bergantung pada laki-laki. Berbeda dengan wanita zaman dulu, wanita sekarang bisa berperan ganda dalam ranah domestik dan publik,5 mencari tambahan nafkah suami6, serta tidak sedikit wanita yang menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Artinya, seorang wanita masa kini memiliki independensi besar terhadap aktifitasnya, tidak hanya berkutat dalam ranah domestik semata. 3 Muhammad Baltaji dan Masturi Irham. Metodologi Ijtihad: Umar bin al-Khathab (Jakarta: Khalifa, 2. , 126. 4 Muhammad Iqbal Piliang dan M. Najib Tsauri. AuPenafsiran Modern Ayat-Ayat Waris: Perbandingan Muuammad Shaurr dan Munawir Sjadzali,Ay Refleksi 18, no. September 2. 106, https://doi. org/10. 15408/ref. 5 Siti Mifthikhatul Jannah dan Puji Lestari. AuWomenAos Dual Roles in Family Economic Life,Ay , 13-14. 6 Frida Nur Rizkia. AuPeran Perempuan dalam Meningkatkan Perekonomian Keluarga Melalui Program P2WKSS di Sumber Gamol. Balecatur. Gamping. Sleman,Ay Social Studies 6, no. November 2. : 417. 7 Labib Muttaqin. AuAplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman terhadap Doktrin Kewarisan Islam Klasik,Ay Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 7, no. : 202-203, https://doi. org/10. 24090/mnh. [ 27 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Selain latar belakang di atas, para pemikir Islam modern juga berlandaskan pada pemikiran baru yang mengkomentari pemikiran ulama klasik atas produk hukum fikih yang lebih restriktif terhadap dimensi perempuan dalam hal 8 Para pemikir Islam modern yang lebih condong pada pemikiran progresif, mengklaim bahwa metodologi istinbath hukum ulama klasik berdasar pada konstruksi bangunan fikih dan tafsir yang tidak relevan untuk diterapkan pada era millenial. 9 Amin Abdullaah mengatakan bahwa para ulama klasik lebih condong merumuskan ilmu tafsir yang berimplikasi pada status quo yang permanen serta memicu timbulnya kemerosotan umat Islam secara moral, politik, maupun Hal ini juga dikuatkan oleh Daud Ali yang memandang metodologi tafsir klasik cenderung terpaku pada nilai-nilai normatif,11 sehingga produk hukum atas tafsiran ayat Alquran tentang bagian waris antara laki-laki dan perempuan dua banding satu adalah keputusan final yang tidak ada celah untuk berijtihad lagi. Karena ayat-ayat tentang pembagian waris menyebutkan dengan jelas berupa angka sehingga termasuk dalam kategori qathAoi al-dalalah. 12 Ketentuan syariat yang bersifat qathAoi al-dalalah ini dianggap sebagai penghalang oleh para pemikir Islam modern dalam usaha kontekstualisasi ayat waris. Karena bagaimanapun kemashlahatan yang dicanangkan oleh kaum kontekstualis akan dibantah oleh pakar ilmu Islam normatif. Oleh karena itu solusi yang diusulkan untuk mengatasi problematika ini adalah usaha redefinisi qathAoi al-dalalah dan pada akhirnya teori tafsir kontekstual ini banyak digemari oleh para pemikir Islam masa sekarang. Salah satu tafsir kontekstual dalam hal penyerataan bagian waris antara lakilaki dan perempuan adalah hasil penafsiran Ahmad An-NaAoim atas Q. An-Nisa ayat 11 menggunakan analisis reading for reality. Menurut An-NaAoim, konsep utama pada ayat tersebut adalah keadilan dalam pembagian harta baik itu berupa shadaqah, 8 Nandang Abdurrohim dan Hapid Ali. AuKontekstualiasi Kedudukan dan Peran Perempuan Kitab Taqrib,Ay Jurnal Perspektif Juni https://doi. org/10. 15575/jp. 9 Muttaqin. AuAplikasi TeoriAA,Ay 199. 10 Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme. Pluralisme, dan Liberalisme Agama. Cet. 1 (Jakarta: Hujjah Press, 2. , 15. 11 Mohammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2. , 102. 12 Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul al-Fiqhi (Indonesia: Al-Haramain, 2. , 35. [ 28 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. zakat, maupun warisan itu sendiri, dan tujuannya adalah menghindari kemungkinan buruk yang terjadi, yakni penguasaan harta kekayaan tidak hanya berlaku untuk orang kaya saja. Sehingga menurut An-NaAoim, ayat Alquran tentang pembagian warisan tadi memungkinkan adanya penyerataan pembagian harta warisan. Namun, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tafsir kontekstual tentang penyerataan bagian waris antara laki-laki dan perempuan bertentangan dengan ketentuan umum pembagian waris laki-laki dan perempuan dua banding satu yang bersifat qathAoi al-dalalah, serta bertentangan dengan produk hukum atas tafsir ulama terdahulu yang tidak diragukan sisi keilmuannya tentang Islam. Oleh karena itu perlu adanya koreksi mendalam tentang permasalahan tersebut, yakni eksistensi perempuan masa kini yang dijadikan alasan pembaharuan hukum Islam dalam mawaris. Mungkinkah dengan adanya peranan perempuan yang semakin meningkat tersebut dapat merubah ketentuan bagian waris dalam Alquran yang sudah qathAoi al-dalalah menjadi satu banding satu. Tulisan ini berbeda dengan beberapa hasil penelitan yang membahas tentang kesetaraan pembagian warisan antara laki-laki dengan perempuan. Di antaranya adalah Muhammad Burhan14 dan Muhammad Lutfi Hakim15. Burhan, dalam hasil penelitianya hanya mengungkap bahwa kedudukan dan hak perempuan sama atau setara dengan ahli waris laki-laki di Indonesia. Sedangkan Hakim, pendekatan yang digunakannya dalam membahas tentang kesetaraan pembagian warisan antara laki-laki dengan perempuan adalah pendekatan filsafat hukum Islam. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian pustaka dengan pendekatan historis. Inilah yang menjadikan tulisan ini urgen untuk dibahas. 13 Syamsul Wathani. AuHumanitas Yurisprudensi Ayat Waris,Ay Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin Filsafat September https://doi. org/10. 24239/rsy. 14 Muhammad Burhan. AuKedudukan dan Hak Perempuan sebagai Ahli Waris dalam Hukum Kewarisan Indonesia (Tinjauan Hukum Perdata. Adat dan Isla. ,Ay Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam 2, no. : 44, https://doi. org/10. 25217/jm. 15 M Lutfi Hakim. AuKeadilan Kewarisan Islam terhadap Bagian Waris 2:1 antara Laki-Laki dengan Perempuan Perspektif Filsafat Hukum Islam,Ay Al-Maslahah 12, no. : 18, https://doi. org/10. 24260/almaslahah. [ 29 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Tafsir Kontekstual dan Isu Kesetaraan Gender dalam Keluarga Nabi merupakan sumber pemecahan masalah umat pada masa itu dan meninggalkan warisan terbesar berupa Alquran dan hadits. Karena dalam hal ini nabi Muhammad SAW adalah sosok yang memiliki otoritas terhadap pemaknaan Alquran. Namun setelah Nabi wafat, umat Islam berada dalam kebimbangan mengenai penerus Rasulullah SAW yang berhak atas otoritas pemaknaan Alquran, sosok panutan sebagai tempat umat Islam mencari solusi mengenai suatu permasalahan atau hukum perkara baru yang belum pernah mereka hadapi di masa Rasulullah SAW. Berbagai pendapat atas suatu permasalahan pun akhirnya muncul karena banyaknya ilmuwan muslim dan mufassir yang memiliki sudut pandang masing-masing dalam menarik norma dari ayat Alquran yang berbeda dengan lainnya, baik dalam masa yang sama maupun generasi berikutnya. Banyaknya kitab tafsir yang ada merupakan konfigurasi banyaknya sudut pandang tiap mufassir dalam mengambil makna dan menarik norma atas ayat-ayat Alquran. Secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam empat pendekatan, yakni pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis logika, pendekatan berbasis taSAWuf, dan pendekatan berbasis riwayat. 16 Sejarah berkembangnya ilmu tafsir berawal dari tafsir tradisional yang berpedoman pemahaman literal, kemudian muncul tafsir tekstual yang menambahkan ayat lain maupun hadits untuk menguatkan makna literal, hingga pada abad ke-20 muncul tafsir kontekstual yang berusaha menggali pemahaman ayat secara utuh, yakni menganalisis ayat Alquran menggunakan pendekatan konteks mikro dan makro pada masa turunnya wahyu, mencari solusi untuk bisa dipraktekkan di masa sekarang. Berkembangnya tafsir Alquran dari masa kemasa setelah wafatnya Rasulullah SAW tidak dapat diartikan bahwa misi dakwah Nabi SAW dalam menyampaikan wahyu belum tuntas. Melainkan adanya perkembangan tatanan realita kehidupan modern serta meluasnya penyebaran agama Islam hingga penjuru dunia dengan berbagai tatanan kehidupan yang berbeda dari tatanan kehidupan turunnya wahyu. 16 Abdullah Saeed. Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual (Bandung: 2015. PT. Mizan Pustak. , 30-31. 17 Syukron Affani. Tafsir al-Quran dalam Sejarah Perkembangannya (Jakarta: Kencana, 2. , 3. [ 30 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Pandangan tafsir kontekstual berusaha mendialogkan antar tradisi dan antar peradaban, komunitas penafsir, dan disiplin ilmu yang tidak lain bertujuan agar produk hukum yang dihasilkan terhindar dari fikih yang otoriter. Perkembangan tafsir kontekstual masa kini mayoritas terfokus pada permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan keluarga. Hal ini berawal dari adanya isu kesetaraan gender dengan mereinterpretasi ayat kepemimpinan laki-laki atas Dengan menggunakan metode komprehensif. An-Nisa ayat 34 tidak diartikan secara normatif lagi, melainkan secara kontekstual untuk menghindari pemahaman yang terjerumus kedalam penafsiran ayat secara tekstual. Berkembangnya isu gender yang diadopsi dari pemikiran barat, sangat berpengaruh terhadap pola pikir wanita Indonesia hingga menyebabkan adanya desakan perubahan kondisi sosial keluarga. Dasar normatif penataan gender secara tradisional perlu adanya aktualisasi berkelanjutan dengan menafsirkan ayat-ayat yang terindikasi bias gender menggunakan sudut pandang pluralitas kebutuhan dan kondisi perempuan masa kini. Sehingga paradigma yang berkembang dimasyarakat adalah agama Islam yang fleksibel dalam merespon permasalahan terbaru mengenai isu gender dalam keluarga masa sekarang. Fleksibilitas ajaran Islam ini berimplikasi pada terealisasinya makna haqiqi kebebasan perempuan. Namun adanya isu penyetaraan gender dengan melakukan dakwaan maupun melakukan tuduhan secara terang-terangan terhadap kesucian Alquran perlu adanya kajian ulang, tidak dapat kita terima mentah-mentah informasi ini. Ali-alih para pegiat gender mengutarakan rekonstruksi pemahaman tafsir klasik yang dianggap kaku dan menimbulkan bias gender. Pada kenyataannya para pegiat gender terkesan memaksakan pemahaman terhadap makna Alquran demi mencapai maklumat yang ia tuju, yakni kesetaraan gender. Seperti tokoh pegiat gender Musdah yang mentafsirkan ayat Alquran menggunakan metode golongan 18 Mayola Andika. AuReinterpretasi Ayat Gender dalam Memahami Relasi Laki-Laki dan Perempuan (Sebuah Kajian Kontekstual Dalam Penafsira. ,Ay Musywa Jurnal Studi Gender dan Islam 17, no. Juli 2. : 151, https://doi. org/10. 14421/musawa. 19 Mutmainnah Mutmainnah. AuKesenjangan Gender Ditinjau dari Perspektif Islam,Ay Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies 5, no. Oktober 2. : 8, https://doi. org/10. 22373/equality. [ 31 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. feminis Kristian dalam mengkaji Bible. 20 Bila kita pahami lebih dalam lagi. Alquran tidak mengintimidasi perempuan. Islam tidak membedakan peran laki-laki dan perempuan melainkan perbedaan yang bersifat biologis. Perlu dipahami kembali bahwa gender dan seks yang notabennya adalah fungsi biologis sangatlah berbeda. Kodrat penciptaan laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda, begitu juga dengan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berbeda sesuai kodrat Peningkatan Eksistensi Perempuan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, latar belakang berkembangnya isu tafsir kontekstual yang mencanangkan penyetaraan bagian waris adalah adanya pergeseran peran perempuan dari masa turunnya wahyu sampai sekarang. Berbagai literasi menyebutkan perlu adanya realisasi penyerataan warisan bagi laki-laki dan perempuan setelah meninjau banyaknya wanita karier yang bekerja di ranah publik dan menyokong kebutuhan keluarga. Didukung adanya teori-teori kontemporer yang merumuskan pembaharuan hukum Islam khususnya hukum keluarga Islam. 22 Diantara teori-teori tersebut adalah teori gerak ganda yang dirumuskan oleh Fazlur Rahman, teori nasakh oleh NaAoim dan teori batas milik Sahrur. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan terhadap pergeseran peran perempuan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pergeseran kondisi sosial ini dapat dijadikan hujjah dalam kontekstualisasi ayat pembagian waris laki-laki dan perempuan. Peran perempuan sangat dipengaruhi oleh budaya lokal di mana tempat ia Seperti halnya budaya di Indonesia khususnya Jawa. Ajaran terdahulu yang berkembang di masyarakat Jawa adalah posisi perempuan yang didudukkan dibawah kendali laki-laki. Perempuan yang ideal adalah perempuan yang mampu menyenangkan hati suami. Hal ini mencakup tugas istri dalam menyiapkan 20 Karimuddin Nasution dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah. AuMetode Pentafsiran Gender Musdah Mulia,Ay Journal of al-Quran and al-Sunnah 4, no. : 46. 21 Afriadi Putra. AuIsu Gender Dalam Al-QurAoan: Studi Penafsirsan Kontekstual Abdullah Saeed terhadap Ayat-Ayat Warisan,Ay Kafa`ah: Journal of Gender Studies 7, no. Desember 2. 218, https://doi. org/10. 15548/jk. 22 Jefry Tarantang dan Jefry Tarantang. AuTeori dan Aplikasi Pemikiran Kontemporer dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam,Ay Jurnal Transformatif (Islamic Studie. 2, no. September 2. : 44, https://doi. org/10. 23971/tf. [ 32 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. hidangan makanan untuk suami dan keluarga, senantiasa merawat kebersihan rumah, mampu merawat anak dan lain-lain. Berbagai ajaran yang diwariskan dalam bentuk dokumentasi maupun diwariskan dalam bentuk lisan, mengindikasikan adanya perintah bagi kaum perempuan Jawa untuk mematuhi suami dan berdiam diri dalam rumah serta menyembunyikan perannya dalam ranah publik. pebanding, masyarakat Adat Lampung Pepadun23 memberikan hak waris kepada ahli waris laki-laki sajam dengan alasan gelar adat dan anak perempuan dianggap tidak mampu mengelola harta warisan. Dalam kenyataannya peranan perempuan Jawa dalam keluarga dibedakan menjadi dua hal, pertama wanita priyayi yang terdiri dari wanita kerajaan dan istri Mereka tidak terbebani dengan masalah keuangan karena memiliki suami yang berpenghasilan tinggi, sehingga wanita golongan ini hanya menjalankan aktifitas di dalam rumah. Kedua adalah wanita golongan alit yang terdiri dari para wanita istri petani maupun buruh. Kebanyakan dari mereka ikut membantu bekerja menghidupi keluarga dengan tujuan agar keadaan ekonomi keluarga menjadi membaik karena hasil kerja suami tidak mampu untuk memberi makan dan menyekolahkan anak mereka. Sebagian dari mereka berkerja sebagai petani di sawah, berjualan di rumah maupun di pasar, bahkan ada yang bekerja sebagai TKI. Tindakan AupenentanganAy terhadap ajaran Jawa tersebut berawal dari deklarasi emansipasi wanita yang dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini. 25 Pemikiran tersebut berasal dari kesadaran akan penderitaan wanita Jawa dahulu yang begitu mengekang dan memberatkan. Para wanita generasi kemerdekaan membuktikan bahwa mereka mampu berperan dalam ranah publik. Implikasi dari gerakan emansipasi ini terus berkembang hingga saat ini. Banyak wanita yang terjun ke publik, mengenyam pendidikan tinggi, dan berperan aktif dalam kancah politik. Selain gerakan emansipasi wanita, ada faktor lain yang mempengaruhi eksistensi 23 Habib Ismail dkk. AuHak Waris Anak Laki-Laki Tertua dalam Hukum Adat Lampung Pepadun Perspektif Gender (Studi di Tegineneng Kabupaten Pesawara. ,Ay ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam 4, no. : 56, https://doi. org/10. 30983/alhurriyah. 24 Esti Ismawati. AuStatus dan Peran Perempuan Jawa dalam Teks Sastra Indonesia dan Dunia Nyata The Status and The Roles of Javanese Women in Indonesian Literary Texts and in The Reality,Ay 233, diakses 30 Januari 2020, http://dx. org/10. 14203/jmb. 25 Darmin Tuwu. AuPeran Pekerja Perempuan dalam Memenuhi Ekonomi Keluarga: Dari Peran Domestik Menuju Sektor Publik,Ay Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian 13, no. Mei 2. 74, https://doi. org/10. 31332/ai. [ 33 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. wanita dalam ranah publik, diantaranya adalah adanya modernisasi dan globalisasi informasi26 yang terus berkembang. Terbukti banyaknya kedudukan yang ditempati wanita seperti sekretaris dan keuangan perusahaan ataupun instansi lainnya. Sama halnya dengan kedudukan perempuan dalam teks dan konteks budaya Jawa, kedudukan perempuan dalam teks dan konteks budaya arab terdahulu juga menempatkan perempuan sebagai pemeran utama dalam ranah domestik sebagai wanita yang harus patuh dan tunduk kepada suami. Bahkan sebelum adanya ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, budaya yang berlaku di Arab menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sewajarnya manusia. Diantaranya paradigma yang berkembang di masyarakat adalah seorang wanita yang dipandang bisa diwariskan setelah suaminya meninggal dunia kepada anaknya maupun saudara lainnya, wanita yang diasingkan selama ia mengalami menstruasi, lahirnya anak wanita yang dianggap sial karena dianggap dapat menurunkan kehormatan ayahnya27 tidak bisa diajak untuk berperang, dan lain sebagainya. Kemudian setelah datangnya Islam di Arab, paradigma tersebut perlahan dihapuskan oleh Islam yang salah satunya adalah adanya larangan anak untuk menikahi wanita yang dinikahi ayahnya sendiri, serta mensifati perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang keji. Demikian juga Islam mencela orang arab yang tidak menerima kenyataan atas kelahiran anak perempuan. 29 Dengan demikian, telah terbukti bahwa Nabi telah menaikkan dan memuliakan kedudukan perempuan dalam konteks budaya patriarki tersebut. Seperti halnya peran wanita dalam konteks budaya Jawa, wanita Arab pada masa itu juga dibagi menjadi wanita priyayi dan wanita golongan lemah. Wanita priyayi digambarkan dengan kejayaanya Khadijah, yang mana sebelum menjadi istri Nabi SAW. Khadijah adalah saudagar kaya dengan komoditas perdagangannya yang meluas dan terkenal. Dikisahkan pula Nabi SAW ketika berdagang, mengambil barang dagngan kepada Khadijah hingga ia mengutus pembantunya untuk 26 Leny Nofianti. AuPerempuan di Sektor Publik,Ay Marwah: Jurnal Perempuan. Agama dan Jender 15, no. Juni 2. : 58, https://doi. org/10. 24014/marwah. 27 Ingrid Mattson dan R. Cecep Lukman Yasin. Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar untuk Memahami Konteks. Kisah, dan Sejarah Al-Quran (Jakarta: Zaman, 2. , 33. 28 Q. An-Nisa ayat 22. 29 Q. An-Nahl ayat 58-59. 30 Saeed. Al-Quran AbadAA, 72. [ 34 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. mengawal Nabi ketika berangkat berdagang hingga pulang kembali, dan menceritakan semua kejadian menakjubkan kepada Khadijah. Pada akhirnya Khadijah menikah dengan Nabi SAW31 dan dengan kekayaannya ia mendukung dakwah Nabi. Sedangkan wanita golongan lemah digambarkan para wanita Arab yang bekerja menjadi buruh menyusui. Salah satunya adalah Halimah dari suku SaAod yang menyusui Nabi dan mengembalikan kepengasuhan ibu Nabi yaitu Aminah ketika Nabi berumur lima tahun. Sebagaimana Islam menghapuskan budaya patriarki bangsa Arab yang melemahkan perempuan. Setelah Nabi resmi diangkat menjadi Utusan Allah pada usia empat puluh tahun kemudian hijrah dari Makkah ke Madinah. Islam berkembang dengan pesat dan meluas hingga keluar dari jazirah Arab. Pada saat itulah pergeseran peran perempuan dapat terlihat jelas. Nabi mengajarkan betapa mulianya seorang perempuan yang telah berjuang mengandung dan melahirkan anak 33. Nabi juga mengajarkan kepada umat manusia untuk menghormati seorang ibu. Ajaran tersebut terdokumentasikan dalam hadits yang mengisahkan ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi siapakah orang pertama yang harus dihormati, kemudian menjawab dengan jelas AuibuAy sebanyak tiga kali, barulah kemudian AuayahAy. Pergeseran peran perempuan pada masa Nabi SAW juga dapat kita telusuri dalam keseharian Nabi dan keluarganya. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang mengenyam pendidikan, banyak dari kalangan wanita yang belajar kepada istri-istri Nabi SAW. Salah satu kisah yang masyhur adalah nabi yang membolehkan wanita yaitu Ummu Waraqah untuk menjadi imam salat bagi keluarganya, termasuk lakilaki yang ada dalam keluarga tersebut meskipun hadits ini banyak diperdebatkan dikalangan ulama. 31 Muhammad SaAoid Ramadlan Al-Buthi. Fiqh As-Sirah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1. , 46. 32 Al-Buthi. Fiqh As-Sirah, 37-38. 33 Q. Al-Ahqaff ayat 15. 34 Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari. Matnul-Bukhori Bi Hasiyatis-Sanadiy (Beirut: Dar Al-Fikr, 2. , 56. 35 M. Nasir Maidin. AuPerempuan Menjadi Imam Shalat (Kajian Hukum dalam Perspektif Hadi. ,Ay Al-Maiyyah : Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan 9, no. Juni 2. : 148-149. [ 35 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Begitu juga dengan peristiwa Nusaibah binti KaAoab yang berjuang membela Islam dalam peperangan. Awalnya Nusaibah hanya ditugaskan merawat tentara Islam yang terluka pada perang Uhud, namun pada akhirnya ia terjun dalam medan pertempuran, mengendarai kuda dan memegang sebilah pedang yang dihunuskan untuk menebas para musuh Allah. Tidak hanya perang Uhud, perang Hudaibiyah. Khaibar. Hunain dan perang lain pada saat Nabi masih hidup. Pasca wafatnya Rasululah SAW, ia tetap ikut berperang dalam memerangi kaum murtad dan enggan membayar zakat pada masa khalifah Abu Bakar. 36 Tidak hanya Nusaibah binti KaAoab saja, melainkan ada banyak wanita lainnya yang terkenal dalam pertempuran, yaitu Khaulah binti Azur. Ia mendapat julukan Aupedang AllahAy dari golongan wanita. Dari beberapa pernyataan di atas, pergeseran peran perempuan sudah terjadi pada masa turunnya wahyu. Banyak wanita pada masa Rasulullah SAW yang ikut berkontribusi dalam penyebaran Islam. Artinya peran perempuan pada masa itu tidak hanya terbatas pada ranah domestik, melainkan eksistensi perempuan sudah masuk dalam ranah publik. Dan pada dasarnya, berbagai sumber hukum Islam mulai dari Alquran, hadits, dan lainnya menggambarkan tatanan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh kemanusiaan. 37 Namun, khususnya dalam ranah seksualitas banyak berkembang bias nilai-nilai patriarki hingga paradigma pendiskriminasian terhadap wanita lebih dominan daripada paradigma ajaran Islam yang berkemanusiaan. Kodrat Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan dalam Ranah Pekerjaan Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai jenis dan karakter, serta spesialis dalam bidangnya masing-masing. Laki-laki dan perempuan dua karakter penciptaan Tuhan yang berbeda. Secara umum kodrat penciptaan laki-laki memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan perempuan. Namun, jika kita pahami lebih dalam. Islam lebih memuliakan perempuan daripada laki-laki. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Nabi mengisyaratkan laki-laki yang datang kepada 36 Muhammad Bakr Ismail dan S. Abu Sayyid. Bidadari 2 Negeri: Wanita-Wanita Luar Biasa Pelukis Sejarah Umat Manusia Bidadari Dunia dan Syurga (Jakarta: WIP, 2. 37 Neng Hannah. AuSeksualitas dalam Alquran. Hadis dan Fikih: Mengimbangi Wacana Patriarki,Ay Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, no. Juni 2. : 59, https://doi. org/10. 15575/jw. [ 36 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Nabi dengan menunjuk ibu sebanyak 3 kali. Diantaranya karena kodrat penciptaan laki-laki tidak mampu menanggung beratnya mengandung dan melahirkan serta menyusui anak. Kekuatan perempuan dalam hal ini diapresiasi oleh Islam dalam surat al-Ahqaf ayat 15 dengan memerintahkan manusia untuk menghormati dan memuliakan seorang ibu yang telah mengandung, menyusui, dan menyapih dengan penuh rasa sakit. Khitab penghormatan dalam ayat tersebut secara umum adalah kedua orangtua, kemudian dispesifikasikan kepada seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, hingga menyapih. Oleh karena itu, dikarenakan beban Islam memerintahkannya untuk tinggal dirumah. Sedangkan beban mencari nafkah untuk mencukupi kehidupan harian dalam keluarga ditanggungkan kepada laki-laki. Namun demikian. Islam bukanlah ajaran yang kaku hingga mengharuskan perempuan untuk tinggal dirumah terus menerus. Islam membolehkan bagi umatnya dari golongan perempuan untuk menjadi wanita karir. 39 Bagi perempuan yang memiliki suami mapan dan berkecukupan, ia akan dihadapkan pada situasi jenuh dan ingin mencari kegiatan, sedangkan perempuan dengan suami yang berpenghasilan kurang, ia akan berusaha membantu suami memenuhi kebutuhan sehari-hari. Disisi lain, perkembangan zaman menuntut adanya sisi kompetitif yang tidak hanya melibatkan laki-laki saja, sehingga perlu adanya perubahan paradigma Permasalahan terkait penghasilan istri nantinya untuk kebutuhan dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya, hal itu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Fenomena wanita karir yang banyak terjadi pada masa kini merupakan fenomena kasuistik sehingga tidak bisa merubah kaidah umum. Artinya meskipun wanita masa sekarang banyak yang memilih untuk menjadi wanita karir dengan berbagai alasan yang rasional dan dapat dibenarkan, namun demikian tidak bisa mengubah ketentuan umum tentang kodrat penciptaan laki-laki yang diwajibkan 38 Eko Zulfikar. AuPeran Perempuan dalam Rumah Tangga Perspektif Islam: Kajian Tematik dalam Alquran dan Hadis,Ay Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis 7, no. Juni 2. 99, https://doi. org/10. 24235/diyaafkar. 39 Henny Syafriana Nasution. AuWanita Bekerja dalam Pandangan Islam,Ay Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman . http://jurnal. id/index. php/almufida/article/view/61. [ 37 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. mencari nafkah. Kewajiban memberikan nafkah kepada wanita baik berupa mahar ataupun berupa nafkah untuk menghidupi keluarganya sehari-hari tetap pada seorang laki-laki. 40 Begitu juga dengan status kepala rumah tangga tetaplah pada laki-laki, baik dalam sudut pandang agama maupun budaya. Reinterpretasi Penyetaraan Bagian Waris sebagai Produk Tafsir Kontekstual Peningkatan eksistensi perempuan masa kini merupakan pemicu munculnya isu kesetaraan gender. Hal ini berimplikasi pada respon para pemikir Islam modern yang terobsesi pemikiran barat untuk mengoreksi kembali pemahaman terhadap Alquran, khususnya ayat-ayat yang dianggap menyudutkan perempuan. Para pemikir Islam modern beranggapan bahwa kondisi perempuan pada masa turunnya wahyu merupakan salah satu penyebab perintah yang terdapat dalam wahyu tersebut melimpahkan berbagai peran kepada kaum laki-laki saja tanpa melibatkan peran perempuan. Sehingga dengan adanya kondisi sosial yang demikian, mendorong hukum Islam pada masa Nabi untuk memberikan bagian yang lebih banyak dua kali lipat daripada bagian perempuan. Dengan kata lain. Alquran tidak bisa lepas dari kontekstual masa itu, artinya tujuan pensyariatan Islam adalah maslahat untuk umat manusia dan menyesuaikan kondisi sosial budaya yang ada. Usaha para pemikir Islam untuk mengkontekstualisasikan ayat Alquran sampai pada pembaharuan hukum Islam berupa pembagian warisan yang bersifat qathAoi al-dalalah. Dalam nash Alquran sudah disebutkan dengan jelas bagian warisan laki-laki lebih besar dua kali lipat perempuan, namun hal itu dipandang sudah tidak relevan menurut para pemikir Islam. Cara pandang mereka dipengaruhi oleh isu kesetaraan gender yang sudah berkembang dimasyarakat. Peningkatan peran dan eksistensi perempuan pada masa sekarang berimplikasi pada bertambahnya beban dan tangungjawab wanita, sehingga para wanita perlu mendapatkan bagian warisan yang sama besar dengan laki-laki. Dengan kata lain konstekstualisasi ayat Alquran tentang pembagian warisan yang paling sesuai adalah dengan menyetarakan bagian warisan antara laki-laki dan perempuan, karena lebih mashlahat dan menuai keadilan sesuai kondisi yang ada. Meskipun pada dasarnya keadilan tidak hanya terbatas pada penyerataan, 40 Al-Hafidh Ibnu Katsir Al-Dimasqi. Tafsir Al-Quran Al-Adhim. Juz 1 (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1. , 446. [ 38 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. melainkan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsinya, kemudian adanya saling melengkapi tanpa mendiskreditkan yang lemah. Menurut Ahmad Bahauddin Nursalim, para pemikir Islam modern yang menggaungkan penyetaraan warisan laki-laki dan perempuan tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. 42 Seolah-olah mereka mengetahui pasti kemashlahatan dan keadilan yang sesuai dengan umat Islam sekarang. Sedangkan Allah telah menyebutkan dalam akhir ayat Q. An-Nisa ayat 11 bahwa ketetapan Allah atas bagian waris laki-laki duakali bagian waris perempuan itu sudah pasti atau fardlu, manusia tidak akan mengetahui mana yang lebih bermanfaat untuk manusia. Potongan akhir ayat tersebut mengindikasikan bahwa Allah sudah mengetahui hukum pembagian warisan 2:1 akan menuai banyak kontroversi dikalangan Islam liberal yang tercemar pemikiran Barat. Bahauddin Nursallim juga menambahkan pemikiran rasionalnya, bahwa semuanya ketentuan tersebut sudah mashlahat sampai akhir zaman, pun jika bagian waris perempuan adalah 1, ketika dia menikah dengan laki-laki yang mendapatkan dua bagian, maka jumlahnya menjadi tiga. Begitu juga sebaliknya, laki-laki yang menikah dengan wanita jumlah bagian mereka menjadi tiga. Dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang penyetaraan bagian waris laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima dan hukum Islam tentang mawaris adalah ketentuan Allah yang sudah pasti. Pembaharuan hukum hanya bisa dilakukan pada dalil nash yang bersifat dhanni al-dalalah dan lainnya selain qathAoi al-dalalah. Sedangkan kemashlahatan yang dikemukakan oleh kaum pemikir Islam modern tidak bisa menjadi illah hukum pembagian waris 2:1 menjadi 1. 1, karena kemashlahatan adalah bagian dari hikmah adanya pensyariatan Islam, dan hikmah tidak bisa dijadikan landasan pencetusan produk hukum Islam. Penyetaraan bagian harta dari seorang wanita pekerja dapat diaplikasikan dalam pembagian harta 41 Umar Mukhtar. AuIsu Gender dan Upaya Menegakkan Keadilan Sosial,Ay Wahana Karya Ilmiah 3, no. Juni 2. : 83. 42 Allah Sudah Tahu FaroAoidl (Hukum Waris Isla. akan Digugat | Gus Baha: Tafsir QS. AlAhzab Februari https://w. com/watch?v=yNMUPnr5YH4. 43 Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni. Shofwah At-Tafasir. Juz 1 (Kairo: Dar Ash-Shobuni, 1. , 256. 44 Allah Sudah Tahu FaroAoidl (Hukum Waris Isla. akan Digugat | Gus Baha, menit. [ 39 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. gono-gini yang dikumpulkan oleh suami dan istri. Misalkan seorang suami meninggal dunia, maka sebelum dilakukan pembagian harta ke ahli waris yang ada, perlu dipisahkan atau dibagikan harta keseluruhan tadi antara bagian suami dan istri sama rata. Penutup Usaha pembaharuan hukum Islam tentang pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang dipukul rata merupakan produk daripada metodologi penafsiran kontekstual. Usaha tersebut berawal dari fenomena kasuistik dalam budaya modern ini, yakni peningkatan eksistensi perempuan dari domestik menuju ranah publik. Sehingga dengan adanya peningkatan ini, perempuan dianggap mampu mengimbangi posisi laki-laki dalam hal kepemimpinan dalam keluarga karena mampu mencari nafkah sendiri bahkan mampu menyokong ekonomi Sehingga dalam hal ini perempuan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh bagian waris. Namun hal ini perlu direfleksikan dengan peran perempuan pada masa turunnya wahyu, dimana tidak sedikit juga wanita yang bekerja dan mempunyai peran dalam ranah publik. Artinya alasan peningkatan eksistensi perempuan pada masa ini tidak bisa dijadikan illat hukum untuk mencetuskan hukum baru berupa penyerataan waris. Pun demikian, baik agama dan budaya tetap memposisikan laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memikul beban dan tanggung jawab berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Adapun ketika seorang perempuan memiliki penghasilan sendiri, maka hasilnya tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak ada kewajiban memberi nafkah keluarga. Hanya saja tidak mungkin bagi perempuan pada umumnya untuk mengalokasikan penghasilannya untuk dirinya sendiri, lantas dengan alasan tertentu kemudian ikut membantu ekonomi keluarganya. Sehingga kondisi sedemikian rupa tidak bisa mengubah posisi laki-laki sebagai pemangku kepala rumah tangga serta kewajiban memberi nafkah tetap pada laki-laki. Sehingga dalam pembagian harta waris, laki-laki mendapatkan bagian yang lebih banyak dua kali lipat dari bagian waris perempuan. Diantara salah satu hikmah daripada banyaknya bagian laki-laki tersebut karena kewajiban memberi nafkah kepada [ 40 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 1, 2020. Titik benang merah yang dapat diambil mengenai fenomena penyerataan antara bagian laki-laki dan perempuan adalah pada pembagian rata harta gono-gini suami istri. Bukan pada penyerataan bagian waris antara laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ketika salah satu dari suami atau istri yang sama-sama memiliki pekerjaan dan penghasilan meninggal dunia, maka perlu dipisahkan terlebih dahulu bagian harta suami dan istri yang terkumpul dalam harta gono-gini tersebut sebelum dilakukan pembagian waris kepada ahli waris yang ada. Kontekstualisasi konsep ini dapat digambarkan dalam kehidupan modern tanpa mengubah ketentuan nash yang bersifat qathAoi al-dalalah serta tidak kontra dengan ketentuan yang lebih umum dalam syariat Islam. DAFTAR PUSTAKA