Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. Pembatalan Perkawinan Anak Perempuan di Bawah Usia Minimal Karena Unsur Paksaan Oleh Orang Tua Pada Masa Pandemi Covid-19 Evelyn Santoso1 dan Yuzak Eliezer Setiawan2 Program Studi Magister Kenotariatan. Universitas Surabaya Panitera Muda. Pengadilan Negeri Rantau Corresponding author. Email: evelynsantoso05@gmail. Naskah diterima: 02-12-2021. revisi: 16-05-2022. disetujui: 20-06-2022 DOI: https://doi. org/10. 46257/jrh. Abstrak Perkawinan yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur . tau bisa disebut perkawinan din. yang dipaksakan oleh orang tua kepada anaknya mengalami kenaikan Indonesia karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya perkawinan anak di tengah pandemi antara lain karena masalah ekonomi mengingat para orang tua mereka banyak yang diberhentikan dari pekerjaannya atau usaha mengalami penurunan pendapatan secara drastis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat beberapa orangtua beranggapan bahwa dengan mengawinkan anak mereka dapat meringankan beban keluarga. Rumusan masalah yang dibahas yaitu terkait akibat hukum terhadap perkawinan dibawah usia minimal yang dilandasi unsur paksaan oleh orangtua. Tujuan penelitian untuk menganalisa akibat hukum terhadap perkawinan dibawah umur yang dipaksakan oleh orangtua khususnya karena tekanan ekonomi akibat Covid-19. Metode penelitian menggunakan metode yuridis-normatif. Hasil penelitian, bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat . Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak lakilaki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun. Serta Berdasarkan Pasal 6 ayat . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan dibawah umur dipaksakan dapat dibatalkan mengingat anak akan mengalami beberapa permasalahan mental dan kesehatan seperti masalah kehamilan, penyakit menular, dan kematian pada bayi maupun ibu. Kesimpulan Perkawinan dibawah usia minimal yang dilandasi unsur paksaan oleh orangtua dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang ditentukan berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan atau . agi yang beragama Isla. berdasarkan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam. Kata kunci: anak, perkawinan anak, kawin paksa. Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Cancellation of Marriage for Girls Under the Minimum Age Due to Elements of Coercion by Parents During the Covid-19 Pandemic Abstract Marriages carried out by underage children . r can be called early marriage. that are forced by parents on their children have increased in Indonesia due to several factors. The factors that led to the increase in child marriage in the midst of the pandemic were, among others, economic problems, considering that many of their parents were laid off from their jobs or businesses experienced a drastic decrease in income. Difficult economic conditions make some parents think that marrying their children can ease the burden on the family. The problem discussed is the legal consequences for marriages under the minimum age based on elements of coercion by parents. The purpose of the study was to determine the legal consequences of underage marriages imposed by parents, especially due to economic pressure due to COVID-19. The research method uses the juridical-normative method. The results of the study, that based on Article 7 paragraph . of Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage ("Law 16/2019") stipulates that marriage is only permitted if a man and a woman has reached the age of 19 And based on Article 6 paragraph . of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage states that: "Marriage must be based on the approval of the two prospective brides. " Underage marriages are forced to be canceled considering that children will experience several mental and health problems such as pregnancy problems, infectious diseases, and death in infants and mothers. Conclusion, marriage under the minimum age based on the element of coercion by parents can be canceled by parties determined by Article 23 of the Marriage Law or . or those who are Musli. based on Article 73 of the Compilation of Islamic Law. Keywords: child, child marriage, force marriage. Pendahuluan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia karena melibatkan beberapa aspek seperti aspek hukum, agama, dan sosial-budaya. Aspek-aspek tersebut terikat dan tidak dapat terpisahkan satu Perkawinan menghasilkan sebuah ikatan lahir batin guna membentuk keluarga yang bahagia serta terjalin selama-lamanya. Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan keikhlasan serta tidak adanya paksaan dari para pasangan calon mempelai untuk mengarungi bahtera rumah tangga sebagai suami isteri (Abidasari, 2020:. Tujuan tersebut telah tergambar secara eksplisit dalam definisi dari Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. perkawinan pada Pasal 1UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 . elanjutnya disebut UU Perkawina. dan menjadi dasar . dalam perumusan keseluruhan UU Perkawinan. Makna `bahagia` dan `kekal` seyogyanya dapat terwujud manakala para pihak dapat melangsungkan perkawinan sesuai ramburambu dalam UU Perkawinan. Khoiruddin Nasuiton dalam bukunya berjudul. AuHukum PerkawinanAy menggambar makna perkawinan sebagai upaya memperoleh kenyamanan hidup tanpa pertikaian . akinah, mawadah, wa Tidak hanya itu, terdapat tujuan-tujuan lain secara implisit seperti: . elahirkan anak atau meneruskan keturuna. pemenuhan kebutuhan biologis . menjaga martabat, dan yang paling penting. ibadah (Nasution, 2005:. Rambu-rambu tersebut berhubungan dengan norma hukum, agama, adat, dan kesusilaan yang di kolaborasi dan dirumuskan sedemikian rupa demi menjaga tujuan dari perkawinan tersebut dapat tercapai dalam berbagai kondisi. Faktor lainnya adalah dapat tercapai adalah faktor kedewasaan yang dapat Pentingnya melangsungkan perkawinan tidak hanya sekedar formalitas yang ditentukan oleh UU Perkawinan, tetapi lebih luas kepada permasalahan yang lebih kompleks seperti psikologis pasangan, kesehatan, ekonomi serta keamanan. Permasalahan usia dalam perkawinan menjadi polemik hangat mengingat adanya peningkatan perkawinan dibawah usia minimal khususnya anak perempuan dalam periode pandemi Covid-19. Legislatif sendiri telah merumuskan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . engan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2. terkait batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dan laki-laki dipersamakan dengan batas, yaitu 19 . embilan bela. Peningkatan batas minimal umur agaknya kurang memberikan kesadaran . dalam upaya memerangi perkawinan anak-anak. UU Perkawinan memang memberikan `jalan khusus` berupa dispensasi perkawinan yang diatur pada Pasal 7 UU Perkawinan. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak . A) Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. pada tahun 2020 menunjukan angka dispensasi kawin mengalami kenaikan 000 orang. Bahkan, permohonan perkawinan didominasi dari calon pasangan suami istri yang berusia di bawah 19 tahun (Putra, 2. Dirjen Peradilan Agama mencatat adanya lebih dari 30. 000 permohonan dispensasi dari awal hingga pertengahan 2020. Sebesar 95% . urang lebih sembilan puluh lima perse. permohonan diterima dan dikabulkan. Pada data tersebut, 60% . nam puluh perse. yang mengajukan adalah anak dibawah umur (Pusparisa. Alasan meningkatnya perkawinan didominasi oleh 2 . hal yaitu alasan ekonomi dan kehamilan yang tidak diinginkan (Okezone, 2. Alissa Wahid. Koordinator Nasional Gusdurian Network dalam Seminar AuToo Young To MarryAy menambahkan bahwa dua faktor tersebut diperparah dengan adanya stigma negatif bahwa seorang anak perempuan harus segera menikah atau anak perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan serta budaya patriarki (Okezone. Senada dengan Alissa Wahid, peneliti dari (UGM) Yogyakarta memperlihatkan faktor terbesar meningkatnya perkawinan di bawah usia minimal adalah karena kurangnya kesadaran dan pemahaman anak perempuan, kultur sekitar, kemiskinan, perubahan tata nilai dalam masyarakat, dan terlebih adalah rendahnya keinginan untuk memahami kebutuhan anak perempuan (Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2. Kondisi tersebut dapat disebabkan dari kurangnya sosialisasi dari instansi formal mengingat keterbatasan sumber daya penyuluh yang tidak sebanding dengan luas wilayah Indonesia (Septiana, 2020:. Era modern pada saat ini tetap saja sulit mengubah pola pikir mengenai gender and role discrimination yang khususnya menempatkan anak perempuan dalam keadaan tanpa pilihan. Ketimpangan gender dan kesesatan berpikir . memberikan akibat pada pergeseran pola pikir tentang esensi dan makna perkawinan itu sendiri. Berbagai unsur, budaya serta kepentingan, mampu menggeser esensi dari perkawinan itu sendiri. Paling berpengaruh adalah sistem sosial yang memposisikan laki-laki sebagai pemilik otoritas tertinggi serta pandangan yang terbentuk mengenai perkawinan di bawah usia Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. minimal, yaitu perempuan adalah pihak yang dinafkahi dan hanya bertugas di sektor domestik. Sistem dan pandangan ini berdampak pada pembatasan kebebasan dengan status ibu rumah tangga / istri seperti sulitnya untuk pengembangan bakat atau kemampuan. Tugasnya hanya terfokus pada pekerjaan rumah . eperti menyiapkan makanan, merapikan dan membersihkan ruma. (Sakina & A, 2017:. Terbukti, sekitar 2 juta dari 7,3 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 18 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah tersebut diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030 (Saubari, 2. Budaya yang menempatkan ketimpangan gender . dalam pergaulan menempatkan perempuan menjadi tersudut dalam masalah perkawinan di bawah usia minimal. Mereka tidak mempunyai hak menolak sebab pada budaya tertentu perempuan yang melawan untuk dikawini adalah sosok yang hina serta tidak memahami diri . idak tahu dir. Faktanya, penolakan tersebut terjadi karena ketidaksiapan mental bagi sang anak, tetapi fakta ini cenderung diabaikan (Sakina & A, 2017:. Permasalahan pemaksaan perkawinan anak dibawah usia sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. AuSurvei dari United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kejadian perkawinan di bawah usia minimal yang tergolong tinggi yaitu sebesar Indonesia menempati urutan ke 37 dari 158 negara di dunia tentang perkawinan di bawah usia minimal (Bastomi, 2016:. , sedangkan pada urutan Asia Tenggara (ASEAN) berada di urutan ke dua setelah negara Kamboja (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2. Media Tempo (Widyarti, 2. menjabarkan data-data eksternal mengenai tingginya perkawinan anak dibawah usia seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjelaskan bahwa 1 dari 4 anak perempuan menikah pada umur kurang dari 18 tahun dalam rentang 2008 - 2015. Data tersebut diperkuat oleh penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI . yang mengungkap sebanyak 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030. Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Faktanya, pertahun di Indonesia sekitar 300. 000 anak perempuan sebelum usia 16 tahun. Berdasarkan fakta dan penjelasan diatas, maka pemerintah perlu menaruh perhatian lebih terhadap peningkatan perkawinan anak perempuan dibawah umur yang dipaksakan oleh orangtua akibat tekanan ekonomi selama masa pandemi Covid-19. Peningkatan tersebut nyatanya berkorelasi pada penurunan ekonomi yang disebabkan pandemi sehingga terdapat faktor pemaksaan kehendak oleh orangtua kepada anak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketidakmampuan ekonomi merupakan pemicu dan alasan menikah di usia di bawah usia minimal. Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak . A). Yohana Susana Yembise, memberikan kesimpulan tegas terhadap permasalahan besar ini dengan menyatakan adanya keterkaitan antara perjodohan / perkawinan anak di bawah usia minimal yang dilakukan / dipaksakan oleh orang tua dengan alasan ekonomi terlebih . anak perempuan yang berasal dari keluarga miskin akan beresiko lebih besar . aripada anak laki-lak. untuk dikawinkan. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis akan membahas rumusan masalah mengenai: Bagaimana akibat hukum terhadap perkawinan dibawah usia minimal yang dilandasi unsur paksaan oleh orangtua? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui akibat hukum terhadap perkawinan dibawah umur yang dipaksakan oleh orangtua khususnya karena tekanan ekonomi akibat COVID-19. Kegunaan penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai akibat perkawinan yang memuat unsur paksaan, alasanalasan pembatalan perkawinan, pihak yang dapat membatalkan, serta terpenting adalah akibat perkawinan dibawah umur bagi anak secara fisik maupun psikis Berdasarkan masalah-masalah hukum diatas, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum Yuridis-Normatif yang menekankan pada kajian peraturan perundang-undangan . ukum positi. , doktrin, serta literatur yang berkaitan untuk mendukung penelitian. (Amiruddin & Asikin, 2016:. Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. Adapun pendekatan masalah menggunakan statute approach, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti (Marzuki, 2011:. dalam hal ini adalah UU. No. Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU No. Tahun 2019. Pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan konsep, yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada pendapat atau pandangan-pandangan para ahli khususnya ahli hukum perkawinan, ahli kesehatan, maupun ahli hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain bahan hukum primer yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019, bahan hukum sekunder berupa pendapat ahli, asas, doktrin, dan berbagai macan literatur yang membahas tentang perkawinan dari berbagai macam perspektif khususnya perspektif agama, dan terakhir bahan hukum tertier seperti kamus bahasa. Kajian akan berfokus pada faktor-faktor perkawinan anak di bawah umur khususnya permasalahan ekonomi yang disajikan dalam bentuk data pendukung seperti survei yang dilakukan BPS. BPPN. UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PKAPKHA UI). Kajian juga akan berfokus pada akibat perkawinan yang berdampak besar pada tumbuh kembang anak perempuan yang mengalami pemaksaan perkawinan oleh orangtuanya. Terakhir, akan dibahas mengenai pembatalan perkawinan dengan alasan adanya paksaan dalam berbagai berbagai sudut pandang agama dan kacamata hukum perkawinan di Indonesia. II. Pembahasan Faktor-Faktor Perkawinan di Bawah Usia Minimal dan Akibatnya Di masa pandemi ini, angka perkawinan anak di bawah usia minimal tetap Menurut Kemen PPN/Bappenas, 400Ae500 anak perempuan usia 10Ae17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Penyebab meningkatnya angka perkawinan anak di bawah usia minimal pada masa pandemi tidak jauh berbeda dengan penyebab perkawinan anak pada kondisi normal. Perkawinan Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. anak di bawah usia minimal tetap dilakukan oleh kelompok miskin dan kurang Kondisi kesejahteraan yang terus menurun akibat Covid-19 ini telah memaksa orang tua membiarkan anaknya untuk kawin. Penutupan sekolah ketika situasi ekonomi memburuk juga membuat banyak anak dianggap sebagai beban keluarga yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi. (Andina, 2021:. Terbukti dengan adanya 34. 000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang 97%-nya dikabulkan (Pusparisa, 2. Perkawinan anak di bawah usia minimal memang tidak memiliki pengertian secara pasti dalam peraturan di Indonesia. Istilah ini memang popular dalam masyarakat untuk menggambarkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang atau pasangan yang masih dalam usia anak-anak . ibawah delapan belas tahu. Istilah ini disamakan dengan istilah `perkawinan dini`. Kata `dini` memang ditujukan dan merujuk pada pengertian lebih awal (KBBI) sehingga seorang atau pasangan tersebut melakukan perkawinan lebih awal dari ketentuan UU Perkawinan yang mensyaratkan minimal umur untuk melakukan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 . embilan bela. WHO UNICEF menyebut kondisi tersebut dengan istilah Child Marriage atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu Early Marriage diartikan sebagai pelaksanaan pernikahan formal / informal sebelum usia dewasa. Selanjutnya, untuk mempermudah penyebutan maka akan digunakan istilah perkawinan dini. Perkawinan dini bukanlah peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini saja, hanya saja data statistik menunjukkan bahwa perkawinan dini lebih marak terjadi selama pandemi Covid-19. Catatan Bappenas menyebutkan peningkatan jumlah perkawinan di sebagian besar provinsi Indonesia pada 2019 dengan presentase tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar tiga setengah persen, disusul Jambi dan Papua Barat . Yayasan Plan Internasional (Plan Indonesi. merangkum beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan dini yaitu keterpurukan kesejahteraan, ketimpangan untuk mendapatkan pendidikan khususnya anak perempuan, norma, minimnya kemudahan untuk mengedukasi Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. kesehatan reproduksi, dan penggunaan informasi dunia maya yang keliru . yang berakibat pada pergaulan bebas. Plan Indonesia menjabarkan, setidak-tidaknya ada 9 . enurut narasumbe. yang mendorong praktik perkawinan anak di daerah yaitu kondisi sosial sebesar 28%, kesehatan sebesar 16%, pola didik keluarga sebesar 15%, tingkat kesejahteraan sebesar 12%, teknologi informasi sebesar 11%, budaya sebesar 10%, pendidikan sebesar 5,5%, agama sebesar 2%, dan terakhir hukum sebesar 1%. Faktor kondisi ekonomi dan kemiskinan yang akan disoroti tajam pada kondisi sekarang mengingat pandemi Covid-19 meningkatkan potensi pengangguran kurang lebih sekitar delapan juta orang sehingga persentase pengangguran meningkat menjadi 7,5% dalam skala moderat dan 10 % dalam skala berat (Putra, 2. Plan Indonesia . melakukan beberapa penelitian dan survei mengenai karakteristik perkawinan anak selama pandemik Covid-19 sebagai berikut: Pasangan tidak tercatat perkawinan di KUA / Kantor Catatan Sipil dan hanya sekedar melalui prosesi agama atau adat atau biasa disebut kawin siri sehingga sulit dipantau oleh pemerintah. Perkawinan tersebut didasari faktor ekonomi yang terus menurun akibat usaha terdampak Covid-19. Permasalahan ekonomi akhirnya merembet pada pemenuhan kebutuhan maupun pendidikan anak. Beberapa responden (Rembang. Sukabumi. Donggal. menyatakan terpaksa memberhentikan anaknya dari bangku pendidikan dan kemudian mengawinkan anaknya. Responden beranggapan bahwa dengan cara tersebut, kebutuhan hidup anak dapat tercukupi karena suami sekaligus mengurangi beban keluarga. Seperti di Kabupaten Rembang, sering ditemukan kasus dimana orang tua mengawinkan anaknya dengan anak atasannya atau pemilik kapal agar mengurangi beban keluarga sekaligus menaikkan derajat sosial keluarga di Di negara lain, faktor penurunan ekonomi yang terjadi akibat bencana alam juga memicu peningkatan perkawinan dini. Dewi dan Dartono Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. menggambarkan kejadian peningkatan perkawinan dini di India dan Srilanka pasca tsunami. Perkawinan dini juga sangat berkaitan dengan tempat dimana anak tersebut tinggal dan bergaul. Survei Sosial Ekonomi Nasional . elanjutnya disebut Susena. menunjukkan kerentanan kepedulian anak di keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah, maupun keluarga yang berada di daerah pedalaman atau Kondisi tersebut diperparah apabila anak tersebut memiliki pendidikan yang rendah sehingga berujung pada kemungkinan untuk bekerja di sektor `kasar`. Persentase perkawinan dini lebih berkurang apabila anak tersebut memilik tingkat pendidikan yang lebih tinggi (BPS. BPPN. UNICEF, dan PKAPKHA UI, 2020:XI). Data juga menunjukkan bahwa perkawinan dini lebih sering terjadi pada daerah dengan perekonomian rendah seperti pedesaan: Gambar 1. Presentase Perempuan Usia 20-24 Tahun Menurut Usia Perkawinan Pertama dan Daerah Tempat Tinggal 2018 Sumber: Susenas Maret 2018 Fokus pembahasan akan mengkerucut pada perkawinan dini yang dilakukan kepada anak perempuan mengingat data statistik memperlihatkan bahwa 11% anak perempuan di Indonesia telah menikah di usia belum dewasa. Statistik memperlihatkan angka sekitar 1,2 juta perempuan dengan rentan usia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia dewasa sehingga menempatkan Indonesia dalam daftar 10 negara dengan perkawinan anak tertinggi di dunia (BPS. BPPN. UNICEF, dan PKAPKHA UI, 2020:XI). Bandingkan dengan rangkuman data yang menunjukkan anak laki-laki . ekitar 1%), artinya hanya sekitar satu dari Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. seratus anak laki-laki dengan rentan usia 20-24 telah menikah sebelum usia Survei ini dilakukan pada tahun 2018. Perkawinan anak dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan dan masuk dalam tindak pidana kekerasan terhadap anak. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya psikis, tetapi juga pada kualitas tumbuh kembang seperti, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan mungkin fisik mengingat potensi terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Rentetan tersebut dapat berujung pada ketidaksejahteraan dan kemiskinan antar generasi mengingat adanya konflik besar pada orangtua Oleh sebab itu, permasalahan ini mulai disikapi dengan serius oleh banyak pihak. Terlihat dari banyaknya upaya baik dari pemerintah . LSM, maupun masyarakat dalam upaya pencegahan perkawinan Pemerintah khususnya, menunjukkan keseriusan dalam penanganan pencegahan perkawinan anak dengan ditetapkannya target penurunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 sebesar 2,5%. Penetapan target penurunan perkawinan dini merupakan cerminan dari kekhawatiran pemerintah akan adanya dampak terhadap anak yang dinikahkan. Dampak tersebut merupakan peristiwa nyata yang akan bersinggungan dengan banyak aspek dan muncul secara beruntun seperti masalah pendidikan, kesejahteraan, perlindungan sosial, kesehatan dan ketenagakerjaan. Sebagai contoh. Gaston . menjelaskan dampak perkawinan dini terhadap potensi pendidikan yang akan terganggu. Anak yang dipaksa untuk melakukan tanggungjawab orang dewasa akan merasa tertekan atas kondisi tersebut sehingga tidak memperdulikan lagi kepentingan pendidikan yang seharusnya Ada keluar/dikeluarkan dari sekolah karena beban pekerjaan rumah tangga yang menyita waktu. Dari sisi ketenagakerjaan, seringkali anak perempuan terkurung sehingga mengalami kesulitan mendapatkan informasi, koneksi, kreativitas baru serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan nilai tambah pada diri sendiri. Anak perempuan yang sudah berada dalam rumah tangga, seringkali hanya terlibat pada pekerjaan-pekerjaan formal seperti tugas rumah . eperti memasak, mencuci, membersihkan ruma. Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Paling penting yang menjadi sorotan adalah kesehatan dari anak dan janin dalam kandungan. Masalah kesehatan ini menjadi argumentasi utama pada sidang judicial review UU Perkawinan mengenai batas minimal perkawinan bagi perempuan yang pada saat itu berada di batas 16 . nam bela. Ahli Fransisca Handy dan Julianto Witjaksono menjabarkan setidaknya 5 . konsekuensi terhadap kesehatan dari kehamilan usia dibawah 18 . elapan bela. tahun yaitu, . kesehatan mental, . penyakit menular, . gangguan kehamilan, . masalah persalinan, . kesehatan bayi yang dilahirkan. Witjaksono menambahkan, bahwa ibu bersalin pada usia dibawah 18 . elapan bela. tahun memiliki resiko 3-7 kali lebih tinggi untuk meninggal dibandingkan mereka yang berumur 19 . embilan bela. tahun keatas (Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017:. Uraian tentang kesehatan dijabarkan secara rinci mulai dari angka 78-84 dalam putusan. Pandangan agama juga perlu disinggung sebagai faktor utama perkawinan dini mengingat ajaran agama berperan besar sebagai pedoman kehidupan sosial Agama Islam . engan penganut mayoritas di Indonesi. memandang perkawinan dini yang dilakukan walinya dalam hukum Islam digolongkan sebagai perkawinan yang mubah . oleh-boleh saj. sebab tidak ada aturan dalam sumber hukum Islam, yakni Alquran dan Hadis yang melarang pernikahan di bawah umur. Meskipun demikian, para fukaha memberikan hak anak-anak melangsungkan perkawinan yang pernah dilaksanakan oleh walinya itu atau merusakkannya dengan jalan fasakh . kan dibahas lebih lanjut pada pembatalan Hak ini disebut hak khiyar . enuntut hak terbai. artinya hak untuk menjamin adanya sukarela pihak-pihak yang bersangkutan atas perkawinan yang dilaksanakan walinya pada waktu mereka masih kanak-kanak (Triyatno, 2013:. Secara garis besar, terdapat beberapa pandangan yang dibagi dalam 3 . Pertama, pandangan jumhur fuqaha, yang memperbolehkan perkawinan dini dengan syarat tidak melakukan hubungan badan. Pandangan kedua dikemukakan oleh Ibn Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, yang Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. Terakhir, dikemukakan oleh Ibn Hazm yang memperbolehkan perkawinan dini yang dilakukan oleh anak perempuan, akan tetapi melarang perkawinan dini yang dilakukan laki-laki. Argumentasi tersebut berdasarkan perkawinan Aisyah dengan Nabi SAW (Supriyadi, 2009:. Namun dengan pertimbangan akan sebab akibat yang ditimbulkan dari pernikahan di bawah, dengan Sumber Hukum Islam yang ke empat yakni Qiyas, pernikahan di bawah umur dapat dikenai hukum Makruh . ebaiknya tidak dilakuka. (Triyatno, 2013:. Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan diatur di PP No. 9 Tahun 1975 mulai dari Bab VI Pasal 37 dan 38. Permasalahan pembatalan berhubungan/beririsan juga dengan ketentuan lain seperti: Pembatalan Perkawinan terkait dengan syarat dan prinsip perkawinan dalam Islam. Berhubungan dengan alasan dilarangnya suatu perkawinan dan poligami Berhubungan dengan pencatatan perkawinan dan tata cara perkawinan yang diatur pada Bab i Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Harahap, 2001:. Pasal yang perlu disoroti berkaitan dengan studi kasus pemaksaan perkawinan oleh orangtua adalah Pasal 27 ayat . UU Perkawinan yang menentukan. AuSeorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. Ay Pasal ini menekankan adanya alasan yang kuat untuk Unsur paksaan sebagai alasan pembatalan perkawinan tidak hanya diatur dalam UU Perkawinan, melainkan juga dalam norma-norma agama. Perkawinan pada dasarnya juga melibatkan norma-norma dalam agama sebagai landasan Dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 ayat . dan Pasal 5 ayat . UU Perkawinan. Contohnya saja. Pasal 5 mengatur tentang syarat-syarat Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Pasal tersebut tetap mengacu atau berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya tidak menentukan lain. Pandangan agama sangat penting terutama untuk mengkaji masalah pembatalan perkawinan. Selanjutnya, sebagai pembanding akan ditinjau persepektif agama atau bagaimana pandangan agama menyikapi pembatalan perkawinan khususnya mengenai paksaan Pembatalan perkawinan tidak saja diatur oleh undang-undang perkawinan, tetapi juga diatur oleh ajaran agama. Sebagai contoh, agama katholik mengaturnya dalam Kitab Hukum Kanonik (Supit, 2015:. Menurut Kitab Hukum Kanonik, terdapat Kanon 1057. KHK 1983, menyatakan beberapa persyaratan sahnya perkawinan menurut kanonik, yaitu: . kesepakatan tanpa pemaksaan / tanpa cacat . dilakukan antara laki-laki dan perempuan . erbeda jenis kelami. yang mempunyai legalitas untuk melakukan perkawinan tanpa halangan dalam hukum agama atau hukum nasional . ukum positi. , dan . dilaksanakan menurut tata cara keagamaan dan hukum sebagaimana diwajibkan oleh gereja ataupun negara. Berdasarkan persyaratan-persyaratan tersebut, dapat diambil analogi mengenai 3 . penyebab batalnya perkawinan, yaitu: Adanya unsur yang membuat kesepakatan menjadi cacat keterpaksaan, penipuan, atau pun karena ancaman. Dalam situasi ini, kedua pasangan tidak ada keinginan dari dalam diri masing-masing untuk melakukan perkawinan, namun mereka tetap melaksanakan karena unsurunsur tersebut yang dilakukan oleh salah satu pasangan (Kanon 1. Kasus karena halangan yang menggagalkan . edua belah pihak terdapat cacat atau terdapat salah satu dari 12 halangan nikah yang menggagalkan sebagaimana dicantumkan dalam Kanon 1083-1094. Kitab Hukum Kanoni. Kasus pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan tata cara agama . ontohnya, belum pernah dikukuhkannya perkawinan di gereja yang dilakukan oleh pemimpin gereja (Pasto. Romo RD. Dr. Gusti Bagus Kusumawanta. Pr. Sebagai seorang Hakim Tribunal Keuskupan menjelaskan secara singkat proses pembatalan perkawinan. Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. Pembatalan dilakukan melalui peradilan gereja atau disebut Tribunal Perkawinan atau dapat juga dilakukan di luar antara lain oleh Ordinaris wilayah. Terdapat 2 . jenis proses peradilan, yaitu proses regular yang dilakukan Tribunal Perkawinan . dk kann 1671-1. dan proses dokumental . dk, kann. (Katolisitas, 2. Agama Islam juga mengatur pembatalan perkawinan, yang dikenal dengan istilah fasakh (Hakim, 2000:. Pengaturannya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan tepatnya di dalam Kompilasi Hukum Islam. Pertama-tama. Agama Islam memandang perkawinan sebagai sebuah perjanjian yang mengharuskan adanya ijab . dan qabul . Rangkaian proses tersebut disebut akad yang sangat kuat . itsqan ghalidha. untuk mentaati perintah Allah, dan pelaksanaannya merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Isla. Perkawinan merupakan bentuk pelaksanaan perintah agama . agi yang mamp. dan harus segera dilakukan mengingat manfaat perkawinan untuk menghindari dosa maksiat baik secara tatapan ataupun bentuk lain seperti perzinahan (Ali, 2007:. Selanjutnya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70-76 Kompilasi Hukum Islam. Beberapa diantara alasan pembatalan perkawinan adalah karena dibawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 72 ayat . Kompilasi Hukum Isla. , penipuan atau salah sangka (Pasal 72 ayat . Kompilasi Hukum Isla. Batalnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam memang memiliki kemiripan dengan Pasal 22-28 UU Perkawinan. Terakhir adalah pihak yang berwenang atau memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Pasal 23 UU Perkawinan menyebutkan beberapa pihak tersebut antara lain . Suami/Istri . Keluarga suami/istri dengan garis keturunan lurus ke atas . Pejabat yang berwenang . ebelum perkawinan dilaksanakan atau diputu. Hakim melalui proses peradilan (Pejabat pengadila. Agama Islam dalam Pasal 73 KHI juga mengatur pihakpihak yang memiliki hak untuk mengajukan pembatalan. Kurang lebih pihaknya sama seperti yang disebutkan dalam UU Perkawinan, hanya ada beberapa tambahan seperti pejabat pengawas pelaksanaan perkawinan berdasarkan Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Undang-Undang. dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan karena mengetahui adanya kekeliruan pelaksanaan rukun dan persyaratan perkawinan berdasarkan hukum Islam atau peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 67 KHI. Perlu menjadi catatan penting adalah pembatalan perkawinan karena unsur paksaan memiliki daluarsa selama 6 bulan (Pasal 27 ayat . Artinya, lebih dari waktu tersebut maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan akan Daluarsa ini merupakan pembatasan terhadap hak untuk menggunakan upaya hukum. KHI juga mengatur daluarsa dengan jangka waktu yang sama. Berdasarkan uraian diatas, menurut hemat penulis, perkawinan dini merupakan problematika yang akan selalu ada apabila tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat masih rendah. Terbukti dengan meningkatnya perkawinan dini yang terjadi ditengah menurunnya kesejahteraan ekonomi masyarakat ditengah pandemi Covid-19. Kondisi tersebut dapat dilihat bersama pada negara-negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang cukup rendah seperti negara-negara di Benua Afrika. Oleh sebab itu, upaya pemerintah untuk menyikapi atau mengurangi angka perkawinan dini melalui sosialisasi kesehatan ataupun penambahan jumlah penyuluh harus diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan sosial melalui pembukaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya serta pemerataan pendidikan sebagai ujung tombak peningkatan kesejahteraan. Penulis juga menyoroti mudahnya pengabulan dispensasi perkawinan. Data menunjukkan adanya lebih dari 30. 000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama 2020, yang 97%-nya dikabulkan. Harus disadari bahwa tujuan perkawinan seperti yang telah dijelaskan diatas merupakan upaya membentuk keluarga harmonis dan terjalin selamanya. Akan berkontradiksi apabila pengabulan dispensasi perkawinan hanya sebagai upaya formil semata untuk melaksanakan perkawinan dini, yang pada akhirnya berujung pada perceraian ataupun berakibat buruk pada pasangan khususnya anak perempuan seperti kesehatan jasmani ataupun psikologisnya. Lembaga pengadilan perlu melakukan kajian juga terhadap tingginya kasus gugatan perceraian ataupun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan perkawinan dini Evelyn Santoso dan Yuzak Eliezer Setiawan Ae Pembatalan Perkawinan Anak di Bawah. terutama kekerasan dalam rumah tangga. Kajian tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengadilan untuk mengabulkan / menolak dispensasi Terakhir, upaya pembatalan perkawinan merupakan jalan yang dapat ditempuh apabila anak perempuan mendapatkan ancaman / paksaan kawin dengan alasan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Seperti yang telah dijelaskan, undang-undang telah mengatur bahwa upaya pembatalan perkawinan dilakukan khususnya oleh pihak keluarga. Kepekaan terhadap permasalahan perkawinan tidak lepas dari pantauan keluarga terlebih jika permasalahan tersebut telah bersinggungan dengan tindak pidana. Keluarga dapat berkoordinasi dengan lembaga-lembaga baik lembaga swasta ataupun pemerintah yang berkonsentrasi pada perlindungan anak maupun perempuan. Penutup Kesimpulan Pandemi Covid-19 yang menyebabkan penurunan ekonomi menjadi faktor meningkatnya perkawinan dibawah usia minimal . tau disebut perkawinan din. Perkawinan dini didasari paksaan dari orangtua untuk Covid-19. Pemaksaan terhadap perkawinan dini menimbulkan berbagai resiko dan masalah baru pada pasangan seperti kesehatan fisik maupun mental anak perempuan tersebut, gangguan kehamilan, dan yang terutama adalah kelanggengan perkawinan yang sebenarnya menjadi tujuan utama penyatuan dua insan. Akibat hukum terhadap perkawinan dini yang dilandasi unsur paksaan oleh orangtua adalah perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh pihakpihak yang ditentukan berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan atau . agi yang beragama Isla. berdasarkan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam. Permohonan pembatalan perkawinan karena adanya unsur paksaan wajib memperhatikan jangka waktu permohonan pembatalan yaitu 6 . Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XXVI No. Januari-Juni 2022. Hal. Saran Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi khususnya informasi masalah kesehatan fisik dan/atau psikologis yang akan timbul pada pasangan yang melakukan perkawinan dini. Pemerintah juga perlu melakukan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi dan pendidikan khususnya di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Pemerintah atau pembentuk undang-undang perlu mengkaji lebih lanjut mengenai peningkatan batasan umur minimal perkawinan khususnya rekomendasi Komnas Perempuan yang menyarankan agar batasan umur minimal perkawinan menjadi 21 tahun. Mahkamah Agung perlu membuat pedoman mengenai pengabulan . ispensasi Pedoman tersebut dapat menjadi acuan untuk menerima / menolak dispensasi perkawinan sekaligus menjadi upaya nyata dan kesadaran lembaga pengadilan dalam upaya memerangi perkawinan Daftar Pustaka