Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia PELAKSANAAN STANDARISASI PEMBERIAN PATEN DALAM INVENSI BIDANG OBATOBATAN DI INDONESIA Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Fakultas Hukum, Universitas Slamet Riyadi Surakarta Jl. Sumpah Pemuda 18, Kadipiro, Surakarta, Central Java, Indonesia E-mail: alanzaelani50@gmail.com Abstract This research is motivated by a patent given to Sanofi Pasteur, a French citizen who acts as a patent holder for Japanese encephalitis vaccine, measles, mumps, rubella using a pig enzyme in the form of trypsin as a catalyst in the process of making vaccines, whereas Article 9 letter a of Law Number 13 Year 2016 regarding Patents states that inventions that cannot be granted a Patent include processes or products that are announced, used or implemented in contravention of statutory regulations, religion, public order or decency. The purpose of this study is to analyze the standardization of the provision of patents in the field of medicine. This type of research is normative law. The data of this study are secondary data. Analysis of the data used is descriptive analytic. The research concludes that first, the background of the formation of the provisions of an invention that is considered to be contrary to religion in Indonesia as regulated in Article 9 letter a of the Law of the Republic of Indonesia Number 13 of 2016 is based on several justifications namely justification based on Article 27.2 and Article. 27.3 TRIPs Agreement and justification based on the translation of the Pancasila as the ideology of the Indonesian people, especially the Precepts of Godhead. Secondly, the provisions of an invention that is considered to be contrary to the religion of Islam in the field of medicines that contain illicit elements cannot be implemented because the provisions of Article 9 letter a of Law Number 13 Year 2016 are universal. Keywords: Standardization; Invention; Medicines; Patents Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Paten yang diberikan kepada Sanofi Pasteur Warga Negara Prancis yang bertindak sebagai pemegang paten vaksin ensefalitis jepang, campak, gondongan, rubela menggunakan enzim babi berupa Tripsin sebagai katalisator dalam proses pembuatan vaksin, padahal Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten menyebutkan bahwa invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundangundangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa standarisasi pemberian paten dalam bidang obat-obatan. Jenis penelitian ini adalah hukum normatif. Data penelitian ini adalah data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitik. Hasi Penelitian menyimpulkan bahwa pertama, latar belakang dibentuknya ketentuan suatu invensi yang dianggap bertentangan dengan agama di Indonesia sebagaimana diatur dalam Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 259 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Pasal 9 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 adalah didasarkan atas beberapa justifikasi yaitu justifikasi berdasarkan Article 27.2 dan Article. 27.3 Perjanjian TRIPs dan justifikasi berdasarkan penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, ketentuan suatu invensi yang dianggap bertentangan dengan Agama Islam di bidang obat-obatan yang mengandung unsur yang haram tidak dapat diimplementasikan dikarenakan ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 bersifat universal. Kata Kunci: Standarisasi; Invensi; Obat-obatan; Paten A. PENDAHULUAN Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten menyebutkan bahwa paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Sebagai bentuk perlindungan di bidang teknologi baik berupa produk maupun proses, Paten dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu Paten dan Paten Sederhana. Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri, sedangkan Paten Sederhana diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri. Peraturan tersebut juga mengatur mengenai invensi, invensi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu kebaharuan, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Walaupun demikian, terhadap invensi yang telah memenuhi ketiga syarat tersebut juga tidak semuanya dapat diberikan suatu hak paten karena harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 UU Paten mengenai invensi yang tidak dapat diberikan paten. Salah satunya adalah invensi yang bertentangan dengan agama, yakni sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf a yang menyebutkan bahwa Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan.1 Ketentuan tersebut juga menjadi poin utama dalam hal suatu invensi tidak dapat diberi Paten karena bertentangan dengan agama adalah pada kata “pengumuman”, “penggunaan”, dan “pelaksanaan”. Ketentuan tersebut sebagai langkah negara yang berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan kepada setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya terkait tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Menurut data Portal Informasi Indonesia menyebutkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, dengan penganut sebanyak 207 juta jiwa sama dengan 87,2%, 1 Astri Safitri Nurdin, Rohaini, Diane Eka Rusmawati, “Pelaksanaan Pendaftaran Paten dengan Cara Daring (Online)”, Pactum Law Journal, 2 No. 2 (2019): 701-712. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 260 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia sedangkan sisanya Kristen Protestan sebanyak 6,9%, Kristen Katolik sebanyak 2,9%, Hindu 1,7%, Buddha 0,7% dan Khonghucu 0,05%.2 Data tersebut menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk oleh penduduk Indonesia, sehingga agama Islam dapat dikatakan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat di Indonesia.3 Dalam kaitannya dengan invensi yang dilindungi Paten, seyogyanya invensi yang dihasilkan juga tidak bertentangan dengan agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, dan tentu penduduk beragama Islam menginginkan suatu invensi yang sesuai dengan tuntutan syariat Islam.4 Secara umum, tuntutan syariat Islam mewajibkan segala sesuatu yang halal, baik produk maupun prosesnya. Bahkan jauh sebelum ketentuan tersebut, secara konstitusional negara mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai manifestasi tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hak masyarakat atas jaminan hidup yang sehat dan terlindungi dalam beribadah sesuai dengan ajaran agamanya sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945. Salah satu invensi yang rentan berkaitan dengan halal haram-nya suatu produk adalah invensi di bidang obat-obatan. Obat disebut sebagai invensi karena obat merupakan suatu produk yang dihasilkan menggunakan suatu teknologi di bidang farmasi yang dalam proses pembuatannya bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada di masyarakat khususnya terkait dengan bidang kesehatan. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Berdasarkan ketentuan di atas maka obat dapat dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi bagi manusia. Salah satu bentuk obat yang digunakan sebagai pencegahan yang ada di pasaran khususnya di Indonesia adalah Vaksin. Imunisasi vaksin Measles Rubella (MR) adalah pemberian vaksin atau toksoid (suatu toksin bakteri yang diubah dan dilemahkan) yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang dari penyakit Campak dan Rubella. Gejala penyakit campak dapat berupa demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai batuk atau pilek dan konjungtifitis dan dapat berujung pada komplikasi berupa pneumonia, diare, meningitis bahkan menyebabkan kematian. Mengenai imunisasi vaksin MR terdapat pro dan kontra dalam penggunaannya, karena dalam proses pembuatan vaksin tersebut terdapat bahan yang tidak halal, terdapat unsur yang berasal dari babi. 2 Abdul Kadir Jaelani, Haeratun and Soeleman Djaiz B, "Pengaturan Kepariwisataan Halal di Nusa Tenggara Barat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015", Jurnal Hukum Jatiswara, 33, No. 3 (2018): 344-358. 3 Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Lembaga Pemberi Fatwa Halal di Beberapa Negara, Jurnal Wacana Hukum, Vol. 25, No. 1 (2019); 69 4 Yusuf Shofie, “Jaminan atas Produk Halal dari Sudut Pandang Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Syari’ah, 3, No. 2 (2015): 20-30. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 261 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Vaksin MR yaitu vaksin yang digunakan untuk mencegah penyakit Campak dan Rubella. Kedua penyakit ini digolongkan penyakit yang mudah menular dan berbahaya, karena bisa menyebabkan cacat permanen dan kematian. Jumlah kasus campak dan rubella dalam 5 tahun terakhir di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis yaitu tahun 2014 jumlah kasus suspek 12.943, tahun 2015 jumlah kasus suspek 13.890, tahun 2016 jumlah kasus suspek 12.730, tahun 2017 jumlah kasus suspek 15.014, tahun 2018 sampai bulan Juli jumlah kasus 2.398, total kasus yang dilaporkan dalam 5 tahun terakhir adalah 57.056 kasus, 8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella.5 Oleh karena itu MUI merespon dengan mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari Serum Intitute of India (SII) untuk Imunisasi. Fatwa ini menegaskan bahwa penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram, namun dalam kondisi keterpaksaan, belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal, maka penggunaan vaksi MR hukumnya dibolehkan (mubah). Berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI vaksin MR produk SII belum didaftarkan Paten. Fatwa tersebut khusus menyebut SII, padahal jumlah vaksin yang dipatenkan di Indonesia berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI sebanyak 500 buah invensi. Walaupun vaksin MR belum didaftarkan Paten, namun terdapat produk vaksin yang serupa didaftarkan dan diberikan Patennya kepada Sanofi Pasteur Warga Negara Prancis dengan nomor paten IDP000061348 yang bertindak sebagai pemegang paten vaksin ensefalitis jepang, campak, gondongan, rubela yang menggunakan enzim babi berupa Tripsin sebagai katalisator dalam proses pembuatan vaksin. Sebagaimana diketahui bahwa babi merupakan salah satu binatang yang diharamkan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 173 yang artinya sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Kemudian jika ayat tersebut dikaitkan dengan Pasal 9 huruf a UU Paten, bisa jadi invensi yang dalam prosesnya menggunakan bahan yang tidak halal membuat invensi tersebut tidak dapat diberi perlindungan Paten dan melanggar Pasal 9 huruf a UU Paten karena bertentangan dengan agama.6 Namun di sisi lain, penggunaan kandungan babi sebagai salah satu katalisator dalam proses pembuatan suatu produk obat-obatan telah lama dilakukan. Sejak tahun 1940-an, para peneliti menemukan bahwa tripsin bisa mengkatalis proses pertumbuhan mikroba dalam media biakan, sehingga hasil yang didapatkan bisa lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. 5 Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari Serum Intitute of India (SII) untuk Imunisasi. 6 Khoirul Hidayah, “Perlindungan Hak Paten dalam Kajian Hukum Islam dan Peran Umat Islam dalam Bidang IPTEK”, De Jure, 4 No.1 (2012): 85-95. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 262 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Setelah melalui banyak penelitian, ditemukan bahwa tripsin dari babi bisa digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan vaksin. Salah satu faktor yang menyebabkan penggunaan tripsin babi sebagai katalisator dalam proses pembuatan obat atau vaksin polio adalah terbatasnya sumber lain yang dapat digunakan sebagai katalisator pengganti dari tripsin babi tersebut. 7 Mengacu pada uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa Pasal 9 huruf a UU Paten tentang invensi yang tidak dapat diberi paten karena melanggar agama belum sepenuhnya diatur dengan jelas terkait dengan pengertian, maksud, maupun implementasinya. Dalam terminologi hukum normatif, fenomena seperti ini dapat disebut dengan kekaburan hukum (vague of norms), yakni norma yang ada belum dapat mengatur secara langsung dan tegas, sehingga memunculkan kebingungan dalam menginterpretasikan pasal tersebut. Selain itu, kurangnya sumber literatur seperti buku, penelitian, maupun jurnal ilmiah yang membahas terkait Pasal 9 huruf a UU Paten tersebut juga menjadikan pemahaman terhadap pasal tersebut menjadi berkurang sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa lebih dalam terkait pengaturan invensi yang pengumuman, penggunaan, dan pelaksanaannya bertentangan dengan agama, sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 huruf a UU Paten. Fokus penelitian ini pada dua masalah yakni bagaimanakah penentuan dan implementasi suatu invensi yang dianggap bertentangan dengan agama dalam bidang obat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan lebih mengutamakan studi pustaka (library research). Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.8 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptuan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan terkait dengan Paten. Pendekatan historis dilakukan dengan meneliti latar belakang dan argumentasi hukum dan sosiologis terkait standarisasi pemberian Paten. Kemudian, pendekatan konseptual dilakukan dengan mendalami konsep invensi yang tidak bertentangan dengan nilai agama, sebagai representasi sila pertama yaitu ketuhanan yang maha Esa. Data penelitian atau bahan hukum menggunakan sumber data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. B. PEMBAHASAN 1. Pengaturan tentang Invensi yang Dianggap Bertentangan dengan Agama di Indonesia 7 Basundari Sri Utami, Sekar Tuti, Anggita Bunga Anggraini, Mukhlissul Faatih, Siswanto, Trihono, “Situasi Paten Obat Anti Diabetes, Anti Hipertensi, Anti Malaria dan Anti Tuberkulosis di Indonesia”, Media Litbangkes 24, No. 2 (2014): 103-110. 8 Abdul Kadir Jaelani, “Pengembangan Destinasi Pariwisata Halal Pada Era Otonomi Luas di Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Pariwisata, 5, No.1 (2018): 56-67. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 263 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Awal mula pembentukan Pasal 7 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, sebagaimana diganti dengan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten merupakan penyesuaian hukum antara hukum internasional terutama melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang didalamnya mengandung instrumen yang mengatur perlindungan HKI bagi negara-negara anggota WTO yakni persetujuan tentang aspek-aspek dagang yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights selanjutnya disingkat TRIPs) dengan identitas bangsa Indonesia sebagai negara Pancasila.9 Paten sebagai salah satu bagian dari ruang lingkup HKI yang mendapatkan perlindungan hukum melalui TRIPs harus menjadi salah satu instrumen yang diatur dalam peraturan nasional masing-masing negara anggota WTO, tidak terkecuali bagi Indonesia. Penerimaan dan keikutsertaan TRIPs yang merupakan bagian dan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).10 Salah satu fungsi dari TRIPs adalah mengatur perlindungan Paten sesuai dengan kebutuhan negara anggota masing-masing dengan catatan tidak mengesampingkan atau melupakan prinsip-prinsip dasar yang ada adalah perjanjian TRIPs tersebut. Prinsip-prinsip dasar dari perjanjian TRIPs, sebagai berikut:11 a. Negara anggota saat dalam merumuskan atau mengubah hukum nasional dan peraturan nasional mereka, maupun mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan untuk mempromosikan kepentingan publik di sektor yang penting untuk melakukan pembangunan di bidang sosial-ekonomi dan teknologi negara anggota, diharapkan tindakan tersebut dapat berlangsung konsisten dengan ketentuan perjanjian TRIPs yang dibuat ini. Yaitu dengan menetapkan standar minimum untuk memberi perlindungan dan penegakan hukum HKI di negara-negara peserta. b. Mereka harus terus konsisten dengan ketentuan Perjanjian ini, diperlukan untuk dapat menanggulangi penyalahgunaan hak kekayaan intelektual oleh pemegang hak atau resor untuk praktik yang tidak wajar dalam menghambat perdagangan atau proses alih teknologi secara internasional. c. Masing-masing negara peserta harus memberikan perlindungan kepada warga negara dari negara peserta lainnya. Negara anggota diharuskan memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual yang sama kepada warga negara anggota lainnya. 9 Prasetyo Hadi Purwandoko dan M. Najib Imanullah, “Application of Natural Law Theory (Natural Right) to Protect the Intellectual Property Rights”, Yustisia, 6 No. 1 (2017): 40-55. 10 Siti Munawaroh, “Peranan Trips (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di Bidang Teknologi Informasi di Indonesia”, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, XI, No. 1 (2006): 23-29. 11 Basuki Antariksa, “Landasan Filosofis dan Sejarah Perkembangan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual: Relevansinya Bagi Kepentingan Pembangunan di Indonesia”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 11, No.1 (2016): 1-17. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 264 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia d. Penegakan hukum yang ketat disertai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa, yang diikuti dengan hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan secara silang. Secara historis, dimasukkan pengecualian terhadap invensi yang tidak dapat diberikan paten telah dimuat sejak peraturan perundang-undangan paten yang pertama dikeluarkan yaitu pada tahun 1989 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1989 yang kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997 tentang Paten (UU Paten 1997). UU Paten 1997 merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan sebagai konsekuensi bagi Indonesia selaku negara anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan TRIPs. Walaupun demikian, pada tahun 2001 UU Paten tersebut diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Melalui UU Paten tersebut ditegaskan bahwa pengecualian terhadap invensi yang dapat diberikan berkaitan dengan Invensi yang bertentangan dengan agama pertama kali dikeluarkan dan tetap dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang berlaku saat ini. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten mengatur mengenai invensi yang tidak dapat diberikan paten dapat dilihat pada Pasal 9 yakni sebagai berikut: Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi:12 a. Proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan; c. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; d. Makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau e. Proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis. Sebagai undang-undang Paten yang berlaku saat ini, ketentuan dalam Pasal 9 tersebut diatas tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan yang signifikan dari ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001. Perubahan yang membedakan antara kedua ketentuan tersebut hanya pada penambahan penjelasan Pasal 9 huruf b terkait maksud dari metode pemeriksaan yang merupakan metode diagnosa dan metode perawatan yang merupakan metode perawatan untuk medis yang sebelumnya tidak ada pada penjelasan Pasal 7 huruf b UU Paten 2001. Bagi Indonesia yang memiliki culture yang berbeda dengan negara lainnya, perlu suatu peraturan yang sesuai dengan apa yang ada dimasyarakatnya. Karena secara sosiologis mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat yang taat beragama. Terlihat dalam stastik 12 Yayuk Whindari, “Pengaturan Invensi Pegawai (Employee Invention) Dalam Hukum Paten Indonesia”, eL-Mashlahah, 8 No.2 (2018): 107-121. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 265 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia pemeluk agama Islam sebanyak 207 juta jiwa atau sama dengan 87,2%, sedangkan sisanya Kristen Protestan sebanyak 6,9%, Kristen Katolik sebanyak 2,9%, Hindu 1,7%, Buddha 0,7% dan Khonghucu 0,05%. Sebagai negara berideologi Pancasila maka dianggap perlu untuk merumuskan peraturan perundang-undangan dibidang HKI khususnya Paten sesuai dengan ideologi bangsa.13 Pancasila sebagai dasar negara14 dan sumber hukum negara15 merupakan amanah dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat.16 Dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara ekplisit menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dalam dinamika proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan tata hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesian untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.17 Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara konstitusional, berlaku, dan mengikat seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara, tanpa kecuali. Rumusan pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.18 Dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis (berjenjang). Pancasila sebagai dasar negara dalam hukum Indonesia merupakan sumber karena merupakan norma dasar (staatsfundamental), yang berturut turut kemudian verfassungnorm atau UUD 1945, grundgezetznorm atau ketetapan MPR, serta gezetznorm atau Undang-Undang. Pancasila merupakan esensi dari staatsfundamentalnorm, Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber bagi pembentukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sumber 13 Yoyon M Darusman, “Kedudukan Serta Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Paten dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional”, Yustisia 5, No. 1 (2016): 203-215. 14 Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), xi. 15 Siti Fatimah, Legal Drafting, (Yogyakarta: Daras, 2013), 5. 16 Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia, (Bandung: Fokusmedia, 2013), 10. 17 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (yogyakarta: Gatra Pustaka, 2010), 41. 18 Kaelan, Negara Kebangsaan ..., hlm. 544. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 266 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia dan dasar bagi pembentukan peraturan di bawahnya.19 Selama ini, sebagai negara anggota WTO, Indonesia telah melakukan berbagai penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan TRIPs ke dalam peraturan perundang-undangan nasional khususnya dalam bidang perlindungan paten sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, hal ini terlihat dalam Pasal 9 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten . 2. Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten Dalam Invensi Bidang Obat-Obatan di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Vaksin ramai diperbincangkan karena dianggap memiliki kandungan babi didalamnya sehingga menjadi perdebatan terkait halal atau haramnya. Pro kontra mengenai penggunaan vaksin berawal pada vaksin polio. Menurut Iskandar selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Bio Farma tahun 2008 menyebutkan bahwa produksi vaksin polio di Indonesia menggunakan enzim babi yang dikenal dengan istilah tripsin (Porcine-derived trypsin) sebagai katalisator dalam proses pembuatannya.20 Pembuatan vaksin yang mengandung babi tersebut sudah dimulai sejak merebaknya kasus polio pada tahun 2002 sehingga dibutuhkan suatu penanganan dalam upaya untuk mencegah agar tidak meluas. Penanganan tersebut mendapatkan penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa vaksin polio hukumnya haram, karena standarisasi pembuatannya mengandung benda najis yaitu babi. Selain permasalahan tersebut, tahun 2009 vaksin miningitis sangat meresahkan calon jemaah haji dan umrah. Karena vaksin miningitis produk Belgia yang diimpor oleh Kementerian Kesehatan RI dalam proses produksinya bersentuhan dengan bahan berupa enzim dari pankreas babi dan gliserol dari lemak babi.21 Karenanya MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa vaksin meningitis hukumnya haram, karena standarisasi pembuatannya bersentuhan dengan benda najis berupa enzim dari pankreas babi dan gliserol dari lemak babi. Namun, pada tahun 2010 masyarakat dapat merasa tenang karena terdapat alternatif lain pengganti vaksin buatan Belgia yaitu vaksin yang diproduksi oleh perusahaan dari Zheijiang China dan melalui Fatwa MUI Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penggunaan Vaksin Bagi Jemaah Haji atau Umrah vaksin meningitis buatan Zheijian China dianggap halal karena dalam proses produksinya tidak tercemar najis babi. Pada tahun 2018 muncul kembali permasalahan penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) terhadap penyakit campak yang diproduksi oleh SII (Serum Intitute of India) yang menggunakan bahan gelatin yang berasal dari kulit babi dan trypsin yang berasal dari pankreas babi dan bahan yang berasal dari tubuh manusia, yaitu human diploid cell.22 Oleh karena itu MUI merespon dengan mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan 19 Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, (Jakarta: Gramedia, 2009), 66. 20 “Tripsin Babi Masih Digunakan Dalam Pembuatan Vaksin” https://www.hidayatullah.com /berita/nasional/ read/2008/08/28/41703/ tripsin-babi-masih-digunakan-dalam-pembuatan-vaksin.html. Diakses pada tanggal 3 Agustus 2019. 21 Faidah, Mutimmatul, “Sertifikasi Halal di Indonesia Dari Civil Society Menuju Relasi Kuasa Antara Negara dan Agama”, Jurnal Studi Keislaman, 11, No. 2 (2017): 77-90. 22 Laporan Kajian Vaksin MR dari LPPOM MUI melalui Suratnya Nomor DN15/Dir/LPPOM MUI/VIII/18. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 267 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Vaksin MR Produk dari Serum Intitute of India (SII) untuk Imunisasi. Fatwa ini menegaskan bahwa penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram, namun dalam kondisi keterpaksaan, belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal, maka penggunaan vaksi MR hukumnya dibolehkan (mubah).23 Berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI vaksin MR produk SII belum didaftarkan Paten. Fatwa tersebut khusus menyebut SII, padahal jumlah vaksin yang dipatenkan di Indonesia berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI sebanyak 500 buah invensi. Walaupun vaksin MR belum didaftarkan Paten, namun terdapat produk vaksin yang serupa didaftarkan dan diberikan Patennya, diantaranya: Tabel 1. Daftar Vaksin yang Mirip Vaksin MR No Paten Pemohon IDP000046231 IDP000058077 IDP000052619 IDP000052312 IDP000046752 IDP000061348 Tim HIRST, dkk Radosevic, dkk Saville, dkk Hamid, dkk Ohsawa Bouckenooghe, dkk Perlindungan Tanggal Berakhir Pemberian 2017 2032 2019 2034 2018 2033 2018 2032 2017 2030 2019 2033 Nomor paten IDP000046231 merupakan invensi yang berhubungan dengan bidang vaksin. Secara lebih spesifik invensi ini berhubungan dengan komposisi dan metode untuk meningkatkan respons-respons imun yang diinduksi oleh vaksin-vaksin, yang meliputi vaksinvaksin yang ditargetkan pada infeksi dan kondisi sekunder yang berkaitan dengan infeksi influenza. Sedangkan nomor Paten IDP000058077 menunjukkan bahwa invensi yang menyediakan polipeptida-polipeptida domain batang hemaglutinin influenza. Adapun nomor paten IDP000052619 menunjukkan bahwa sebuah invensi yang berhubungan dengan komposisi vaksin yang berguna dalam metode perlindungan subjek manusia melawan penyakit dengue. Nomor paten IDP000052312 menunjukkan bahwa invensi yang komposisinya adalah imunogenik yang terdiri atas antigen-antigen Enterovirus A manusia, Enterovirus B manusia, Enterovirus C manusia, Enterovirus D manusia. Nomor paten IDP000046752 menunjukkan bahwa sebuah invensi yang menyediakan peptida-peptida terisolasi yang mempunyai urutan asam amino SEQ ID NO: 34 atau fragmen-fragmen dari itu, yang mengikat ke antigen HLA dan 23 Tomi Suryo Utomo, “Implikasi Pasal-Pasal Pelindung (The Trips Safeguards) Dalam UU Paten Indonesia: Kritik, Evaluasi Dan Saran Dari Perspektif Akses Terhadap Obat Yang Murah Dan Terjangkau”, Jurnal Hukum 14, NO. 2 (2007): 271 – 295 Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 268 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia menginduksi limposit T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyt-CTL) dan nomor paten IDP000061348 menunjukkan sebuah invensi yang berhubungan dengan suatu metode vaksinasi terhadap ensefalitis Jepang (JE), campak, gondongan dan rubela yang terdiri atas menggunakan penggunaan vaksin MMR dan penggunaan vaksin JE hidup yang dilemahkan atau yang diperoleh dari kultur sel yang dinonaktifkan secara bersamaan kepada pasien yang membutuhkan. Jika dikaitkan dengan Pasal 9 huruf a UU Paten, bisa jadi invensi yang dalam prosesnya menggunakan bahan yang tidak halal membuat invensi tersebut tidak dapat diberi perlindungan Paten dan melanggar Pasal 9 huruf a UU Paten karena bertentangan dengan agama. Standarisasi yang digunakan sebagai tolak ukur produk obat-obatan khusus berupa vaksin adalah haram dan halal. Halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak melanggar ketentuan syariat Islam, sedangkan haram adalah sesautu yang oleh Allah larang untuk dilakukan dengan larangan tegas, di mana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat. Secara umum pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan, diizinkan, atau dibenarkan oleh syariat Islam, sedangkan haram adalah perkara atau perbuatan yang harus atau tidak dibolehkan oleh syariat Islam.24 Secara terperinci sesuatu yang diharamkan berasal dari: 25 1. Babi, anjing, dan anak yang lahir dari perkawinan keduanya; 2. Bangkai kecuali ikan dan belalang; 3. Binatang yang menjijikan seperti caing, kutu, lintah dan sebagainya; 4. Binatang yang mepunyai taring; 5. Binatang yang berkuku pencakar yang memakan mangsanya dengan cara menerkam dan menyambar; 6. Binatang yang dilarang oleh Islam untuk membunuhnya seperti lebah, burung hud-hud, kodok, dan semut; 7. Daging yang dipotong dari binatang halal padahal binatang tersebut masih hidup; 8. Binatang yang beracun dan membahayakan bila dimakan; 9. Binatang yang hidup di dua alam seperti kura-kura, buaya, biawak dan sebagainya; 10. Darah, urine, feses, dan plasenta; 11. Minyak, lemak, dan tulang dari binatang telah disebutkan di atas; 12. Binatang yang disembelih bukan atas nama Allah; 13. Khamr (minuman keras). Kaidah yang berlaku untuk obat-obatan pada dasarnya tidak ada yang bersifat khusus. Sebab, dibuat dari bahan-bahan yang dikonsumsi manusia seperti ekstrak tumbuh-tumbuhan, ekstrak hewan, sintesi dan semi sintesis, bahan tambang (mineral), biologi, mikroba, dan virus, dan bisa juga campuran bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu, kaidah Halal dan Haram yang 24 Mega Hijriawati, Norisca Aliza Putriana, Patihul Husni, “Upaya Farmasis Dalam Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal”, Farmaka 16 No. 1 (2017): 127-132. 25 Mardani, Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), 29. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 269 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia berlaku dalam bahan pangan baik makanan maupun minuman juga berlaku untuk obat-obatan.26 Dalam pembuatan obat-obatan hendaklah terhindar dari bahan-bahan yang haram baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati), dari hewan (hewani), maupun campuran keduanya. Di samping itu, bahan tersebut juga harus suci, bersih dari najis. Apabila, bahannya berasal dari unsur kimia (sintetik) maka bahannya harus aman, tidak membahayakan manusia. Sementara itu, dalam proses produksinya juga harus terhindar dari bahan yang haram atau najis. Dengan demikian, pabrik sebagai tempat memproduksinya hanya memproduksi obat-obatan yang halal sehingga produknya tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan yang haram atau najis. Bila pabrik itu juga menghasilkan produk yang haram, maka harus ada proses pencucian peralatan yang digunakan sesuai ketentuan hukum Islam.27 Obat adalah semua zat baik zat kimia sintetik maupun bahan alami yang dalam dosis layak mampu mempengaruhi organ-organ tubuh agar berfungsi normal. Komponen yang digunakan untuk pembuatan obat terdiri atas bahan aktif obat atau zat berkhasiat dan bahan farmaseutik. Bahan aktif obat adalah zat utama yang mempunyai efek mengobati atau mencegah suatu penyakit antipretik atau obat turun panas, anti infeksi, anti histamin, dan lain-lain, sedangkan bahan farmaseutik adalah bahan tambahan yang buka obat yang bersama obat dibuat menjadi produk farmasi.28 Bahan aktif obat bisa berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroba, bahan kimia sintetik dan bagian tubuh manusia. Bahan aktif yang berasal dari tumbuhan dapat berasal dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan dengan cara esktraksi pelarut atau diproses dengan cara fermentasi. Kehalalannya dilihat dari bahan tambahan dari bahan aktif obat tersebut.29 Bahan aktif yang berasal dari hewan pada umumnya tergolong senyawa seperti protein, asam amino, vitamin, mineral, asam lemak dan turunannya, enzim, dan lain-lain. Bila berasal dari hewan yang haram, maka menjadi haram pula hukum mengkonsumsinya, sedangkan bila berasal dari hewan yang halal maka perlu kajian lebih lanjut tentang tatacara penyelembihannya.30 Bahan aktif yang berasal dari mikroba seperti statin, asam amino, hormon dan lain-lain maka kehalalannya sangat ditentukan oleh media yang dipergunakan baik media penyegaran, media perbanyakan, maupun media produksi. Di samping, kehalalannya juga ditentukan oleh bahan penolong yang digunakan dan juga keadaan bahan pasca fermentasi seperti pengggunaan karbon aktif untuk proses rafinasi, dan sebagainya.31 Berdasarkan kriteria tersebut apabila melihat dari penggunaan katalis didalam dunia farmasi yang memiliki kandungan babi walaupun kandungan katalis tersebut pada akhir proses pembuatan obat-obatan tidak akan meninggalkan sisa atau dengan kata lain tidak akan ada unsur babi maka tetap bisa 26 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, (Jakarta: GPPress, 2013), 97. 27 Winner Sitorus, “Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Paten”, Yuridika, 29 No. 1 (2014): 39-60. 28 Andi Budiansyah, Pradhini Digdoyo, Reza Ramdan Rivai, “Pemetaan Paten Terdaftar Berdasarkan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)”, PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1, No.7 (2015): 1715-1718. 29 Rian Saputra, Adi Sulistiyono dan Emmy Latifah, “Pendaftaran Internasional Sebagai Upaya Perlindungan Indikasi Geografis Indonesia Dalam Perdagangan Global (Study Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2018)”, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, VII, No.2 (2019): 75-85. 30 Mega Hijriawati, Norisca Aliza Putriana, Patihul Husni, “Upaya Farmasis Dalam Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal”, Farmaka 16 No. 1 (2017): 127-132. 31 Ibid. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 270 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia diisebut sebagai produk obat yang haram. Melihat dari kacamata hukum Paten yang berlaku di Indonesia saat ini, apabila suatu produk tersebut dianggap haram maka menjadi pertanyaan apakah invensi yang menghasilkan suatu produk berupa obat-obatan khususnya Vaksin tetap dapat diberikan Paten sebagaimana telah diatur dalam UU Paten 2016. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas apabila invensi dibidang obat-obatan mengandung unsur babi, maka Pemohon harus menjelaskan didalam dokumen permohonan Paten seperti apa saja kandungan yang ada dalam obat-obatan atau vaksin termasuk kandungan apa saja yang digunakan pada saat proses produksi atau pembuatanya. Invensi yang dimohonkan untuk diberikan Paten yang telah terbukti dalam proses pemeriksaan subtantifnya terdapat kandungan zat atau unsur yang dianggap haram berdasarkan kaidah hukum Islam baik dalam proses pembuatan maupun hasil akhir berupa produk obat-obatan atau dalam hal ini berupa vaksin tidak dapat begitu saja ditolak oleh DJKI untuk diberikan Paten. 32 Rumusan ketentuan invensi yang bertentangan dengan agama dalam Pasal 9 huruf a UU Paten 2016 bersifat universal yang artinya walaupun invensi yang menghasilkan produk berupa obat-obatan atau vaksin tidak sesuai dengan agama Islam tetapi menurut agama lain yang dianut dan diakui di Indonesia tidak menganggap bahwa invensi yang dimohonkan bertentanggan dengan isi ajaran agamanya masing-masing maka invensi tersebut tidak dapat ditolak atau dengan kata lain ketentuan invensi yang bertentangan dengan agama harus bertentangan dengan semua agama yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu maupun aliran kepercayaan lain yang diakui di Indonesia.33 Dengan demikian suatu invensi yang dimohonkan kepada DJKI memiliki peluang untuk diberikan perlindungan Paten walaupun invensi yang bersangkutan telah terbukti memiliki unsur atau kandungan pada proses pembuatan dan produk akhirnya yang bertentangan dengan salah satu agama di Indonesia atau dalam hal ini agama Islam. Prakteknya selama ini tidak ada satupun invensi yang diajukan kepada DJKI yang ditolak akibat invensi yang diajukan bertentangan dengan agama di Indonesia yang terpenting adalah invensi tersebut harus memenuhi syarat-syarat pemberian Paten berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada didalam UU Paten 2016.34 C. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertama, latar belakang pengaturan mengenai ketentuan suatu invensi yang dianggap bertentangan dengan Agama di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 adalah didasarkan atas beberapa justifikasi Article 27.2 dan Article. 27.3 Perjanjian TRIPs, justifikasi berdasarkan penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan justifikasi berdasarkan aspirasi masyarakat dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Paten tahun 2001. Kedua, 32 Peter K.Yu, “Intellectual Property, Asian Philosophy and the Yin-Yang School”, The WIPO Journal, 7, No. 1 (2015): 25-40. 33 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, ObatObatan dan Kosmetika, (Jakarta: GPPress, 2013), 97. 34 Ibid. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 271 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia ketentuan Suatu Invensi yang Dianggap Bertentangan dengan Agama Islam di bidang obatobatan yang mengandung unsur yang haram tidak dapat diimplementasikan dikarenakan ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 bersifat universal artinya Invensi yang bertentangan dengan agama tidak dapat dilaksanakan apabila hanya ada 1 (satu) agama saja yang menganggap suatu Invensi bertentangan dengan kaidahkaidah agama yang bersangkutan. Dalam menentukan suatu invensi yang dianggap bertentangan dengan Agama di Indonesia perlu adanya sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2016 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Karena negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Jaelani, Pengembangan Destinasi Pariwisata Halal Pada Era Otonomi Luas di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Jurnal Pariwisata, Vol. 5, No.1 (2018). Abdul Kadir Jaelani, Haeratun dan Soeleman Djaiz B, Pengaturan Kepariwisataan Halal di Nusa Tenggara Barat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 33, No. 3 (2018). Andi Budiansyah, Pradhini Digdoyo, Reza Ramdan Rivai, Pemetaan Paten Terdaftar Berdasarkan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prosiding Semnas Masyarakat Biodiv Indonesia, Vol. 1, No.7 (2015). Astri Safitri Nurdin, Rohaini, Diane Eka Rusmawati, Pelaksanaan Pendaftaran Paten dengan Cara Daring (Online), Pactum Law Journal, Vol. 2 No. 2 (2019). Basuki Antariksa, “Landasan Filosofis dan Sejarah Perkembangan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual: Relevansinya Bagi Kepentingan Pembangunan di Indonesia”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 11, No.1 (2016). Basundari Sri Utami, Sekar Tuti, Anggita Bunga Anggraini, Mukhlissul Faatih, Siswanto, Trihono, Situasi Paten Obat Anti Diabetes, Anti Hipertensi, Anti Malaria dan Anti Tuberkulosis di Indonesia, Media Litbangkes, Vol. 24, No. 2 (2014). Faidah, Mutimmatul, Sertifikasi Halal di Indonesia Dari Civil Society Menuju Relasi Kuasa Antara Negara dan Agama, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11, No. 2 (2017). Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari Serum Intitute of India (SII) untuk Imunisasi. Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia, Fokusmedia, Bandung: 2013. Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 272 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta: 2013. Khoirul Hidayah, Perlindungan Hak Paten dalam Kajian Hukum Islam dan Peran Umat Islam dalam Bidang IPTEK, De Jure, Vol. 4 No.1 (2012). Laporan Kajian Vaksin MR dari LPPOM MUI melalui Suratnya Nomor DN15/Dir/LPPOM MUI/VIII/18. Mardani, Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2018. Mega Hijriawati, Norisca Aliza Putriana, Patihul Husni, Upaya Farmasis Dalam Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Farmaka, Vol. 16 No. 1 (2017). Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Gramedia, Jakarta, Jakarta: 2009. Peter K.Yu, Intellectual Property, Asian Philosophy and the Yin-Yang School, The WIPO Journal, Vol. 7, No. 1 (2015). Prasetyo Hadi Purwandoko dan M. Najib Imanullah, Application of Natural Law Theory (Natural Right) to Protect the Intellectual Property Rights, Yustisia, Vol. 6 No. 1 (2017). Rian Saputra, Adi Sulistiyono dan Emmy Latifah, Pendaftaran Internasional Sebagai Upaya Perlindungan Indikasi Geografis Indonesia Dalam Perdagangan Global (Study Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2018), Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. VII, No.2 (2019). Siti Fatimah, Legal Drafting, Daras, Yogyakarta: 2013. Siti Munawaroh, Peranan Trips (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di Bidang Teknologi Informasi di Indonesia, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, Vol. XI, No. 1 (2006). Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Gatra Pustaka, Yogyakarta: 2010. Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, GPPress, Jakarta: 2013. Tomi Suryo Utomo, Implikasi Pasal-Pasal Pelindung (The Trips Safeguards) Dalam UU Paten Indonesia: Kritik, Evaluasi Dan Saran Dari Perspektif Akses Terhadap Obat Yang Murah Dan Terjangkau, Jurnal Hukum Vol. 14, No. 2 (2007). Winner Sitorus, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Paten, Yuridika, Vol. 29 No. 1 (2014). Yayuk Whindari, Pengaturan Invensi Pegawai (Employee Invention) Dalam Hukum Paten Indonesia, eL-Mashlahah, Vol. 8 No.2 (2018). Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 273 Abdul Kadir Jaelani, Alexander A. Kurniawan, Lusia Indrastuti Pelaksanaan Standarisasi Pemberian Paten dalam Invensi Bidang Obat-obatan di Indonesia Yoyon M Darusman, Kedudukan Serta Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Paten dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional, Yustisia, Vol. 5, No. 1 (2016). Yusuf Shofie, Jaminan atas Produk Halal dari Sudut Pandang Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Syari’ah, Vol. 3, No. 2 (2015). Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Lembaga Pemberi Fatwa Halal di Beberapa Negara, Jurnal Wacana Hukum, Vol. 25, No. 1 (2019) Legality, ISSN : 2549-4600, Vol. 27, No. 2, September 2019-Februari 2020, hlm. 259-274 274