Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. The Kaum Existence (Penghulu Adat) in Marriage: A Case Study of the Pekal Community, Ketahun District, North Bengkulu Regency Eksistensi Kaum (Penghulu Adat) dalam Perkawinan: Studi Kasus pada Masyarakat Pekal, Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara Sidiq Aulia* Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Indonesia zidexs1@gmail.com DOI: 10.24260/jil.v1i2.43 Received: March 26, 2020 * Corresponding Author Revised: August 1, 2020 Approved: August 2, 2020 Abstract: In the life of the Pekal community, Ketahun Subdistrict, North Bengkulu Regency, marriage is often found without going through the KUA (Office of Religious Affairs), in other words not recorded by the State. There are still many Ketahun people in North Bengkulu who do marriages through an intermediary of the Kaum (traditional headman). The purpose of this study was to determine the existence of the Pekal community in marriage. This study uses empirical legal research methods to see the working of law in society and the juridical-sociological approach. The results of research on the existence of people in marriage in the Pekal community are as leaders of traditional marriage ceremonies. The leader of the traditional wedding ceremony is interpreted through the form and symbol of traditional marriage, reflected by social values that are needed in the formation and development of the Pekal community's identity. Likewise, the social value is interpreted, which is one of the things that is very closely related to the life activities of the Pekal community, which in general is a form and arises from every human being. Keywords: Existence, Kaum, Penghulu Adat, Marriage, Pekal. Abstrak: Dalam kehidupan masyarakat Pekal, Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, sering dijumpai adanya pernikahan tanpa melalui KUA (Kantor Urusan Agama), dengan kata lain tidak tercatat oleh Negara. Masih banyak masyarakat Ketahun di Bengkulu Utara yang melakukan perkawinan melalui perantara Kaum (penghulu adat). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui eksistensi Kaum pada perkawinan masyarakat Pekal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dan pendekatan yuridis-sosiologis. Hasil penelitian mengenai eksistensi kaum dalam perkawinan di masyarakat Pekal adalah sebagai pemimpin upacara perkawinan adat. Pemimpin upacara perkawinan adat ini dimaknai melalui [ 218 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. bentuk dan simbol perkawinan adat, tercermin nilai-nilai sosial yang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan identitas masyarakat Pekal. Demikian pula nilai sosial dimaknainya, yaitu salah satu hal yang sangat erat hubungannya dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pekal yang pada umumnya sebagai wujud dan timbul dari setiap manusia. Kata Kunci: Eksistensi, Kaum, Penghulu Adat, Perkawinan, Pekal. A. Pendahuluan Salah satu usaha untuk mengembangkan kebudayaan nasional adalah mengembangkan salah satu aspek adat istiadat melalui aturan-aturan perkawinan secara adat. Perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang leluhur yang mana dimaknai mengandung nilai yang tinggi, warisan yang leluhur dan asli dari nenek moyang ini perlu dilestarikan. Antara satu suku atau daerah lain mempunyai aturan-aturan dalam perkawinan yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap daerah. Namun pada sisi lain seiring berkembangnya dinamisasi hukum yang berkembang cukup cepat ada sisisisi dalam budaya atau adat istiadat yang perlu ditinggalkan demi mencapai kemaslahatan. Suku Pekal Ketahun sebagai salah satu dari delapan suku yang terdapat di Provinsi Bengkulu. Suku ini berada di antara dua suku dominan yang berada di perbatasan Sumatera Barat, yakni Suku Minangkabau dan Suku Rejang. Pekal secara langsung berbatasan dengan daerah kebudayaan lainnya. Di utara, Pekal berbatasan dengan daerah budaya Suku Muko-Muko. Di timur, Pekal berbatasan langsung dengan daerah budaya Suku Rejang. Di selatan, Pekal berbatasan dengan wilayah Suku Rejang, yaitu Urai Bengkulu Utara. Di barat, Pekal berbatasan langsung dengan lautan Indonesia.1 Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tia Istiqomah,2 Suku Pekal itu sendiri banyak bermukim di daerah Ketahun, Putri Hijau, Napal Putih, Ulok Kupai dan sebagian di Ipuh Kabupaten Bengkulu Utara. Mulai dari Muara Ketahun sampai dengan Muara Santan. Namun di daerah kecamatan-kecamatan yang disebut di atas juga ada daerah trans yang berasal dari Jawa dan beberapa pendatang dari Sumbar, Kerinci, Palembang, dan sebagainya. 1 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1982), 24. 2 Tia Istiqomah, “Makanan Adat Pada Acara Perkawinan di Desa Lubuk Kembang Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu,” E-Journal Home Economic and Tourism 13, no. 3 (t.t.): 38. [ 219 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Budaya perkawinan dan aturanya yang berlaku pada masyarakat Ketahun yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara tidak terlepas dari pengaruh dan lingkungannya. Di mana masyarakat itu terbentuk dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyrakat pekal itu sendiri. Upacara perkawinan adat ini dimaknai melalui bentuk dan simbol perkawinan adat, tercermin nilai-nilai sosial yang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan identitas masyarakat Pekal. Demikian pula bahwa nilai sosial dimaknai adalah salah satu hal yang sangat erat hubungannya dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pekal, yang pada umumnya sebagai wujud serta timbul dari setiap manusia.3 Perkawianan adat merupakan bagian dari adat Pekal yang menggunakan bentuk-bentuk perkawinan adat dapat memiliki aspek-aspek baik yang berhubungan dengan sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Pekal. Sehingga bagaimanapun keadaan dari adat perkawinan tersebut tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya, khususnya perkawinan adat Pekal melalui Kaum. Di dalam kehidupan masyarakat Pekal Kabupaten Bengkulu Utara sering dijumpai nikah tanpa melalui KUA (tidak tercatat), tetapi melalui Kaum (seorang Tokoh Adat). Perkawinan ini merupakan bagian yang sangat integral dari kebudayaan masyarakat Pekal yang di dalamnya berisi nilai-nilai budaya. Nilai budaya itulah yang ditampilkan dalam upacara ritual yang penuh dengan makna simbol. Ada beberapa hasil penelitian yang membahas tentang penghulu. Muhammad Latif Fauzi4 memfokuskan hasil penelitiannya membahas posisi penghulu dan mudin, serta perebutan pengaruh antar kedua dalam hal pencatatan perkawinan. Asrinaldi dan Azwar5 membahas terkait peran penghulu yang ikut serta dalam pelaksanaan demokrasi lokal. Sedangkan Hasan Dau dan Rizal Darwis6 3 Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1992), 103. 4 Muhammad Latif Fauzi, “Registering Muslim Marriages: Penghulu, Modin, and the Struggles for Influence,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 57, no. 2 (24 Desember 2019): 397, https://doi.org/10.14421/ajis.2019.572.397-424. 5 Asrinaldi Asrinaldi, “Power Network of Penghulu Adat in The Concurrent Regional Election in West Sumatera,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 21, no. 1 (25 Oktober 2017): 57, https://doi.org/10.22146/jsp.28701. 6 Hasan Dau dan Rizal Darwis, “Eksistensi Penghulu dalam Meminimalisir Perceraian di Kabupaten Gorontalo Utara,” Al-Mizan 15, no. 2 (2019): 268, https://doi.org/10.30603/am.v15i2.1324. [ 220 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. membahas tentang eksistensi penghulu dan perannya dalam meminimalisir angka perceraian. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, tidak ada yang meneliti terkati eksistensi penghulu adat pada perkawinan masyarakat Pekal. Adapun yang lebih penting adalah adanya semacam kontestasi otoritas antara Penghulu adat dan Penghulu Negara. Inilah kebaharuan yang penulis tawarkan dalam tulisan ini. B. Masyarakat Hukum Adat Soepomo mengutip pendapat Cornelius van Vollenhoven dalam orasi ilmiahnya pada 2 Oktober 1901 yang menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum adat, maka perlu diselidiki sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang dikuasai hukum itu, hidup sehari-hari.7 Ter Haar berpendapat bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan itu sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubabaran golongan tersebut. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaan dan ghaib. Golongan-golongan demikian yang bersifat persekutuan hukum.8 Dari definisi yang dikemukakan Ter Haar di atas, maka persekutuan hukum (masyarakat hukum adat) memiliki unsur-unsur.9 Pertama, ada kesatuan manusia yang teratur. Kedua, menetap di suatu daerah tertentu. Ketiga, mempunyai penguasa-penguasa. Keempat, mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam; dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan 7 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984), 49. 8 Ter Haar Bzn, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Pramitha, 1960), 13. 9 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia: Suatu Pengantar (Surabaya: Laksbang Justitia Surabaya, 2014), 85. [ 221 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Selain dari pandangan di atas, konsepsi tentang masyarakat hukum adat juga dapat ditemui dari pendapat Hazairin, yang memberikan uraian yang relatif lebih panjang mengenai masyarakat hukum adat. Hazairin berpendapat bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri dan mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.10 Masyarakat adat adalah istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk kepada masyarakat asli yang ada di dalam negara Indonesia. Dalam teori hukum dan dalam Peraturan Perundang-undangan secara formil masyarakat adat disebut dengan masyarakat hukum adat.Istilah masyarakat hukum adat sebaiknya dipahami sebagai padanan dari “adat rechtsgemeenschap”. “Rechtsgemeenschap” itu diterjemahkan menjadi masyarakat hukum atau persekutuan hukum. Jadi, dasar pembentukan kata masyarakat hukum adat adalah “masyarakat hukum” dan “adat”, bukan “masyarakat” dan “hukum adat”.11 Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumber daya alam dalam jangkuannya.12 Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan daerah tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Pengertian mengenai masyarakat hukum adat sejatinya tidak merujuk pada definisi secara tertutup tetapi lebih kepada kriteria. Dalam teorinya suatu 10 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia (Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), 23. 11 Noer Fauzi Rachman dan Mia Siscawati, Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya (Yogyakarta: INSISTPress, 2014), 4. 12 Taqwadin, “Penguasaan atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh” (Disertasi tidak diterbitkan, Medan, Universitas Seumatra Utara, 2010), 34. [ 222 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. masyarakat hukum adat diberikan kesempatan dan kemandirian untuk mengidentifikasi dirinya sendiri (self identification) untuk dapat diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut dasar susunan para anggota masyarakat hukum adat terikat oleh faktor yang bersifat genealogi, territorial, dan gabungan antara genealogi-territorial.13 Genealogi adalah masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan pada atas pertalian keturunan atas asas kedarahan. Mereka ini merasa bersatu atas suatu keyakinan bahwa mereka ini bersumber dari suatu ikatan menurut garis leluhur kewangsaan. Berdasarkan atas pertalian keturunan dapat dikategorikan lagi menjadi tiga kategori. Pertama, patrilineal, yaitu seseorang menjadi anggota masyrakat hukum adat karena ia menjadi atau menganggap dirinya sebagai keturunan dari nenek moyang laki-laki atau tunggal ayah yaitu seorang bapak asal yang menurunkan anak cucu laki-laki dan perempuan selama perempuan itu tidak keluar dari kerabatnya. Kedua, matrilineal: yaitu seseorang menjadi anggota masyrakat hukum adat karena ia menjadi atau menganggap dirinya sebagai keturunan dari nenek moyang perempuan atau tunggal ibu yaitu ibu asal yang menurunkan anak cucu yang perempuan selama anak perempuan itu tidak meninggalkan kerabatnya dan pindak ke kerabat suaminya. Ketiga, parental, yaitu seseorang menjadi anggota masyrakat hukum adat yang bersangkutan karena ia berasal dari bapak-ibu yang sama atau tunggal nenek moyang baik dari pihak bapak asal maupun isu asal. Territorial adalah masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan pada pertalian kedaerahan. Mereka merasa bersatu atas suatu keyakinan bahwa mereka terikat oleh atau berasal dari daerah yang sama. Di sini, berlaku asas territorialitas atau asas kewilayahan. Ikatan emosional dengan tanah menjadi asas yang sangat kuat dan menentukan. Genealogi-territorial merupakan masyarakat hukum adat yang didasarkan pada faktor keturunan dan wilayah, keanggotaannya harus memenuhi dua syarat, yaitu termasuk dalam suatu kesatuan genealogi dan ia harus bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan hukum. 13 Rato, Hukum Adat…..., 88–90. [ 223 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masingmasing bentuk bentuk masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat, dan berangkai.14 Secara teori, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi. Pertama, masyarakat hukum adat genealogis ada yang tunggal, bertingkat, berangkai. Kedua, masyarakat hukum adat territorial yang tunggal, bertingkat, berangkai. Ketiga, masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaliknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang tunggal, bertingkat, berangkai.15 Sebagai persekutuan hukum, masyarakat hukum adat memiliki corak kehiduan bersama, yang oleh Soepomo corak-corak tersebut pada pokoknya dijelaskannya sebagai berikut:16 Pertama, keagamaan. Keagamaan bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah memelihara keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya. Kedua, kemasyarakatan. Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak kemasyarakatan, bercorak komunal. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat. Ia bukan seorang (individu) yang pada asasnya bebas dalam segala laku perbuatan asal tidak melanggar batas-batas hukum yang telah ditetapkan. Seorang manusia menurut faham tradisional hukum adat adalah terutama warga golongan, teman semasyarakat dan tiap-tiap individu warga itu mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya di dalam golongan, atau persekutuan yang bersangkutan. Pertama, kewibawaan. Kewibawaan kepala rakyat di dalam persekutuan adalah berdasar pertama atas peristiwa, bahwa di dalam persekutuan-persekutuan yang bersifat genealogi dan territorial ia adalah anggotayang tertua dari famili yang tertua atau yang berkuasa di dalam daerah persekutuan, dan di dalam persekutuan-persekutuan yang hanya bersifat 14 Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 95. 15 Ibid., 96. 16 Soepomo, Bab-Bab......, 71–73. [ 224 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. territorial belaka, kepala rakyat di desa-desa di mana tradisi masih besar pengaruhnya, kepala rakyat biasanya dipilih dari keturunan pembuka desa. Kedua, pengangkatan kepala rakyat. Apabila ada lowongan jabatan kepala, maka diseluruh daerah Indonesia dapat dikatakan bahwa menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala diangkat (diakui atau dipilih) atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam permusyawaratan dirapat desa. Permusyawaratan dilakukan atas dasar sekato (suara bulat) antara para warga desa yang berhak ikut serta dalam rapat (kumpulan) desa (di Jawa dan Bali) atau antara, seluruh kepala rakyat dari persekutuan. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam masyarakat hukum adat terdapat seperangkat aturan yang mengatur perilaku dan tatacara berhubungan dengan sesama anggota masyarakat dan lingkungan di mana mereka berada. Hukum adat itu sendiri mencakup dua unsur utama, yaitu unsur idil dan riil. Unsur idil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia. Sedangkan unsur riil mencakup aspek-aspek yang terikat pada manusia, lingkungan alam, dan kebudayaannya.17 Hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan dipihak lain dalam keadaaan tidak dikodifikasi. Singkatnya, hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum adat termasuk hukum kebiasaan, sementara suatu kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan apabila memenuhi syarat.18 Pertama, syarat materil. Adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang berlangsung lama, harus ada apa yang dinamakan longaet inveterate consuetudo. Kedua, syarat intelektual. Kebiasaan itu harus menimbulkan opini keyakinan umum bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. Keyakinan ini tidak hanya merupakan keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian, tetapi keyakinan bahwa memang seharusnya demikian. Kebiasaan itu 17 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992), 141. 18 Sudikno Mertokusomo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1991), 87–88. [ 225 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. harus dilakukan bahwa dengan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum. C. Eksistensi Penghulu Adat Eksistensi institusi kepenghuluan, penghulu negara didasarkan pada peraturan perundang-undangan sedangkan penghulu non-negara (penghulu adat) didasarkan pada peraturan kharisma individu dan tradisi setempat. Selanjutnya perbedaan sumber otoritas ini melahirkan relasi yang berbeda dengan masyarkat, di mana penghulu non-Negara menjadi pilihan alternatif di samping penghulu Negara sebagai pemangku otoritas tunggal penyelenggaraan perkawinan. Menikah menurut agama berpengaruh pada upacara perkawinan, sehingga acara nikah menurut Hukum Islam merupakan akad antara mempelai pria dengan wanita atau walinya yang dihadiri oleh dua orang saksi. Pernyataan ijab qabul diucapkan secara khidmat dan membayar mas kawin merupakan bagian dari proses perkawinan secara keseluruhan yang dilakukan menurut hukum adat. Di dalam perkawinan Nasrani, tidak memberi peluang kepada hukum adat. Hukum adat telah mengatur segala aspek dalam perkawinan. Hukum adat yang berlaku hanya yang sejalan dengannya. Namun, kenyataannya umat nasrani masih menggunakan upacara-upacara adat yang terpisah sama sekali dengan acara nikahnya. Dengan demikian, upacara adat selalu masih diselenggarakan di samping upacara menurut hukum agama. Upacara adat merupakan gabungan ritual yang mempunyai sifat tradisional baik dilakukan sebelum, saat nikah atau sesudah menikah.19 Upacara perkawinan pelaksanaan upacara perkawinan menurut hukum adat dilakukan pada saat yang telah disepakati bersama kedua belah pihak. Namun demikian sebenarnya upacara perkawinan sudah dimulai sejak sebelumnya, misalnya pada acara peminangan dan pertunangan. Upacara perkawinan bersumber kepada adat istiadat, sehingga dilangsungkan sesuai dengan adat istiadat setempat. Di dalam upacara perkawinan selalu nampak sifat komunal, 19 Andry Harijanto Hartiman, Bahan Ajar Hukum Adat (Bengkulu: PHK A2 FH Unib, 2007), 86. [ 226 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. sebab perkawinan dianggap bukan hanya menyangkut kepentingan calon suami istri, tetapi juga merupakan urusan kerabat dan bahkan juga urusan masyarakat. Upacara perkawinan bertujuan menjamin terpenuhinya segala kepentingan baik suami istri, kerabat, masyarakat dan agar tetap terbina keseimbangan magis, menjamin kelestarian, kebahagiaan kerabat, serta menjamin kerukunan dan kebahagiaan suami istri dikemudian hari. Apabila suatu perkawinan tanpa diselenggarakan upacara adat, maka dapat timbul anggapan negatif dari masyarakat sekelilingnya. Dengan demikian upacara adat menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan, meskipun masalah perkawinan ini telah diatur dalam perundang-undangan. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran rechtsgefuhl atau rechtsbewustzijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.20 Di Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat yang sangat penting di dalam politik hukum khususnya, serta pembangunan pada umumnya yang merupakan suatu perubahan yang direncanakan. Kesadaran hukum dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variabel tergantung.21 Selain itu, kesadaran hukum dapat merupakan variabel bebas yang terletak antara hukum dengan perilaku manusia yang nyata. Perilaku yang nyata terwujud dalam ketaatan hukum, namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanya diperoleh apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan, oleh karena kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kesadaran hukum di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dengan maksud untuk dapat menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengannya.22 Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan 20 Soekanto dan Taneko, Hukum Adat......, 338. 21 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali Press, 1982), 208. 22 R. Otje Salman, Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung: Alumni, 1995), 39. [ 227 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sementara itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan pandangannya bahwa hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan gejala sosial atau empiris. Hal tersebut diketahui dari pengertian hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Jika kita artikan dalam artinya yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan kata lain, perkataan suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.23 Hukum sebagai gejala normatif dapat dilihat dari kata-kata “asas-asas dan kaidah-kaidah” pada pengertian hukum di atas, sementara hukum sebagai gejala sosial atau empiris dapat dilihat dari kata-kata “lembaga-lembaga dan prosesproses”. Pandangan Mochtar Kusumaatmadja, tentang hukum sebagai gejala sosial atau empiris, menunjukan bahwa dia mendapat pengaruh dari aliran sosiological jurisprudence, dan pragmatic legal realism. Selanjutnya dia mengatakan bahwa, “Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat (bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat).”24 Eugen Ehrlich, menganjurkan terdapatnya keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut ia namakan living law dan just law, dan itu merupakan kunci bagi teorinya. Lebih lanjut Ehrlich mengemukakan, “Hukum positif yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan “living law” atau disebut “inner order” dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan di 23 Mochtar Kusumuatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1975), 11. 24 Mochtar Kusumuatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1976), 8. [ 228 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. dalamnya.”25 Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak saja sebagai gejala normatif akan tetapi juga merupakan suatu gejala sosial.26 D. Penegakan Hukum (Law Enforcement) Hukum Perkawinan mempunyai kedudukan yang sama dengan hukumhukum lainnya begitu juga dengan hukum perkawinan Islam telah termuat dalam KHI yang menjadi pedoman para Hakim di Lingkungan Peradilan Agama. Dengan adanya hukum perkawinan tersebut, maka warga negara Indonesia hendaknya melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan yang belaku supaya perkawinannya sah menurut agama dan negara. Namun, sampai saat ini masih marak sekali terjadi perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Mereka hanya melakukan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya saja, tanpa dicatatkan di KUA (perkawinan sirri).27 Uniknya, hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang Islam yang kini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat pedesaan dengan pendidikan rendah atau karena perekonomian yang kurang memadai. Akan tetapi, sudah berkembang pada kalangan yang berpendidikan tinggi. Perkawinan yang terjadi ini biasa disebut oleh masyarakat dengan kawin sirri. Kawin sirri adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.28 Perkawinan sirri itu dapat dicatatkan dengan mengajukan istbat nikah di pengadilan agama. 29 Sampai saat ini praktek kawin sirri di Kecamatan Ketahun masih terjadi meskipun tidak mencapai rekor tinggi karena kawin sirri memang bukan merupakan adat atau kebudayaan masyarakat Ketahun yang dibawa secara turun Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1976), 5. 26 Salman, Kesadaran Masyarakat......, 37. 27 A. Syafi’ As, “Fenomena Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Dusun Gendok Kelurahan Balerejo Kecamatan Dempet Kabupaten Demak Jawa Tengah),” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam 3, no. 1 (30 Juni 2018): 31, https://doi.org/10.25217/jm.v3i1.181. 28 Akhsin Muamar, Nikah Bawah Tangan Versi Anak Kampus (Depok: Qultum Media, 2005), 18. 29 Sudirman dan Iskandar, “Resolusi Isbat Nikah di Indonesia: Sebuah Pendekatan Maslahah,” JIL: Journal of Islamic Law 1, no. 1 (2020): 102, https://doi.org/10.24260/jil.v1i1.16. 25 [ 229 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. menurun oleh leluhurnya seperti yang ada di Kecamatan Ketahun dan di beberapa kecamatan lain. Kawin sirri (kawin adat) yang biasa dilakukan oleh masyarakat Ketahun adalah karena dirinya sendiri yang sudah terlanjur hamil diluar nikah, atau untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya karena ia sudah menjadi janda, ada pula karena tidak ada biaya untuk melakukan kawin secara sah di KUA. Namun dari beberapa faktor yang ada kebanyakan terjadinya perkawinan sirri tersebut adalah karena adat. Fenomena yang terjadi pada masyarakat Ketahun tersebut, peneliti kaitkan dengan teori kesadaran Hukum di mana penegakan Hukum harus memperhatikan kebiasaan masyarakat yang hidup. Suku pekal itu sendiri banyak bermukim di Daerah Ketahun, Putri Hijau, Napal Putih, Ulok Kupai dan sebagian di Ipuh Kabupaten Bengkulu Utara. Mulai dari Muara Ketahun sampai dengan Muara Santan. Namun, di daerah kecamatan-kecamatan yang disebut di atas juga ada daerah transmigrasi yang berasal dari Jawa dan beberapa pendatang dari Sumbar, Kerinci, Palembang, dan sebagainya.30 Budaya perkawinan dan aturanya yang berlaku pada masyarakat Ketahun yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara tidak terlepas dari pengaruh dan lingkungannya. Di mana masyarakat itu terbentuk dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyrakat pekal itu sendiri. Upacara perkawinan adat ini dimaknai melalui bentuk dan simbol perkawinan adat, tercermin nilai-nilai sosial yang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan identitas masyarakat Pekal. Demikian pula bahwa nilai sosial dimaknai adalah salah satu hal yang sangat erat hubungannya dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pekal, yang pada umumnya sebagai wujud serta timbul dari setiap manusia.31 Perkawianan adat merupakan bagian dari adat Pekal yang menggunakan bentuk-bentuk perkawinan adat dapat memiliki aspek-aspek baik yang berhubungan dengan sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Pekal. Sehingga bagaimanapun keadaan dari adat perkawinan tersebut tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya, khususnya perkawinan adat Pekal melalui Kaum. Di 30 Istiqomah, “Makanan Adat......, 38. 31 Hilman, Pengantar Ilmu......, 103. [ 230 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. dalam kehidupan masyarakat Pekal Kabupaten Bengkulu Utara kehidupan masyarakat Pekal sering dijumpai nikah tanpa melalui KUA (tidak tercatat) tetapi melalui Kaum (seorang Tokoh Adat). Perkawinan ini merupakan bagian yang sangat integral dari kebudayaan masyarakat Pekal yang di dalamnya berisi nilainilai budaya. Nilai budaya itulah yang ditampilkan dalam upacara ritual yang penuh dengan makna simbol. Kaum dalam sistem budaya masyarakat Pekal memiliki wewenang untuk memutuskan dan mempertimbangkan terhadap perkara yang terjadi di masyarakat Pekal.32 Salah satu contoh yaitu tentang sanksi adat potong kambing bagi pasangan muda-mudi yang bertindak asusila dan Perempuan Lajang yang hamil diluar nikah lalu darah kambing disebar ke pohon pinang dan pohon kelapa lalu stelah 40 hari usia anak yang lahir diluar nikah tadi maka harus dinikahkan ulang oleh imam dusun setempat bagi pelaku yang menolak menjalani sanksi maka akan diasingkan oleh masyarakat adat setempat dengan cara tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan desa dan tidak ditegur oleh masyarakat setempat. 33 Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, masalah perkawinan itu bukan saja berarti perikatan perdata (hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban orang tua, kedudukan anak), tetapi juga merupakan perikatan adat (hubungan adat istiadat, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan, upacaraupacara adat). Perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi. Perkawinan dalam arti ikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan sering juga disebut upacara “penganten” yang mengandung arti siap sebagai pengganti tanggung jawab orang tua. Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Dalam hal untuk mendapat keturunan yang 32 Hasil wawancara dengan Taharudin, Ketua Adat Desa Lubuk Mindai, Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara, Mei 2018. 33 Hasil FGD dengan Muslani, Ketua Kadun II Desa Lubuk Mindai, Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara, Mei 2018. [ 231 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. sah, Nabi Muhammad SAW, menyatakan, “Kawinlah dengan orang yang dicintai dan yang berkembang (berketurunan)”. Agar keturunan itu sah, maka perkawinan harus dilangsungkan secara sah. Tujuan perkawinan untuk mencegah maksiat atau terjadinya perzinahan atau pelacuran sebagaimana Nabi berseru kepada generasi muda, “Hai para pemuda, jika di antara kamu mampu dan berkeinginan untuk kawin, hendaklah kawin”. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah surat Ar-Rum ayat 21: ۡ‫ن‬ َّۡ ‫ل ۡ َبينَكُم ۡ َّم َو َّدٗۡةۡ َو َرح َمةۡ ۡ ِإ‬ َۡ ‫نۡ َخلَقَۡ ۡلَكُم ۡ ِمنۡ ۡأَنفُ ِسكُمۡ ۡأَز َٰ َو ٗجا ۡ ِلت َسكُنُ ٓواۡ ۡ ِإلَي َها ۡ َو َج َع‬ ۡ َ ‫َو ِمنۡ ۡ َءا َٰ َي ِت ِۡهۦٓ ۡأ‬ ۡ ۡ‫ون‬ َۡ ‫فِيۡ َٰذَ ِلكَۡۡ ََلٓ َٰيَتۡۡ ِلقَومۡۡيَتَفَ َّك ُر‬ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya itu adalah Dia telah menciptakan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21). Salah satu usaha untuk mengembangkan kebudayaan nasional adalah mengembangkan salah satu aspek adat istiadat yang melalui aturan-aturan perkawinan secara adat. Perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang leluhur yang mana dimaknai mengandung nilai yang tinggi, warisan yang leluhur dan asli dari nenek moyang ini perlu dilestarikan. Antara satu suku atau daerah lain mempunyai aturan-aturan dalam perkawinan yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap daerah. Namun pada sisi lain seiring berkembangnya dinamisasi hukum yang berkembang cukup cepat ada sisi-sisi dalam budaya atau adat istiadat yang perlu ditinggalkan demi mencapai kemaslahatan. Suku Pekal sebagai salah satu dari delapan suku yang terdapat di wilayah Provinsi Bengkulu. Suku ini berada di antara dua suku dominan yang berada diperbatasan mereka, yakni Suku Minangkabau dan Suku Rejang. Wilayah kebudayaan Pekal secara langsung berbatasan dengan daerah kebudayaan lainnya. Di utara wilayah kebudayaan Pekal berbatasan dengan daerah budaya Suku MukoMuko, di timur berbatasan langsung dengan daerah budaya Suku Rejang, di selatan berbatasan dengan wilayah Suku Rejang Urai Bengkulu Utara, dan di Barat berbatasan langsung dengan lautan Indonesia.34 34 Hasil wawancara dengan Taharudin, Hasil Wawancara. [ 232 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Upacara perkawinan adat ini dimaknai melalui bentuk dan simbol perkawinan adat, tercermin nilai-nilai sosial yang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan identitas masyarakat Pekal. Demikian pula bahwa nilai sosial dimaknai adalah salah satu hal yang sangat erat hubungannya dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pekal, yang pada umumnya sebagai wujud serta timbul dari setiap manusia. Perkawianan adat merupakan bagian dari adat Pekal yang menggunakan bentuk-bentuk perkawinan adat dapat memiliki aspek-aspek baik yang berhubungan dengan sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Pekal. Bagaimanapun keadaan dari adat perkawinan tersebut tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya, khususnya perkawinan adat Pekal melalui Kaum. Di dalam kehidupan masyarakat Pekal Kabupaten Bengkulu Utara kehidupan masyarakat Pekal dapat dijumpai pernikahan tanpa melalui KUA (tidak tercatat), tetapi melalui Kaum (seorang Tokoh Adat). Walaupun kini sudah mulai berkurang seiring dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang meningkat, tetap saja sebelum proses pencatatan di KUA (Kantor Urusan Agama) tetap harus dilalui karena merupakan bagian dari sistem adat. Perkawinan ini merupakan bagian yang sangat integral dari kebudayaan masyarakat Pekal yang di dalamnya berisi nilai-nilai budaya. Nilai budaya itulah yang ditampilkan dalam upacara ritual yang penuh dengan makna simbol. Dalam adat suku Pekal, wanita itu “dijujur” atau dibeli oleh laki-laki, kebalikan dari adat Suku Minang. Jika seorang wanita itu sebelum menikah akan dimandikan dengan uang logam dan disumpah, maka wanita itu telah dijual kepada calon suaminya dan wanita itu telah menjadi hak dari suaminya. Uang yang berasal dari pembelian adiknya tadi juga dipakai oleh kakaknya untuk membeli wanita yang akan jadi calon istrinya. Adat ini mulai hilang dan jarang lagi ditemui karena perubahan zaman. Proses pernikahan suku pekal yang pertama adalah melamar atau berasan. Kedua, biaya adat. Ketiga, menikah. Keempat, berarak (supaya orang-orang tahu bahwa akan ada yang menikah maka acara arakan ini wajib tidak boleh ditinggalkan). Prosesnya ada lima sebagai berikut ini. Pertama, duduk di kursi di tengah laman dikelilingi oleh orang banyak dan diiringi dengan tarian pencak silat. Kedua, kembali ke pelaminan. Ketiga, minum punai untuk orang yang menolong [ 233 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. dalam menyiapkan pernikahan, yaitu pada pagi hari. Keempat, makan besak maksudnya hari puncak dengan makan-makan bersama pada sorenya. Kelima, setelah selesai acara pernikahan, besok harinya diadakan ngubak basung atau doa (balik bahasa).35 Adat pulang bukti gadis, ini adalah adat yang menyatakan kesediaan menerima perempuan yang dinikahi jika masih perawan. Pada adat ini sang suami memberikan seperai atau alas tidur saat malam pertama kepada ibu si perempuan sebagai tanda anaknya masih suci. Jika tidak suci lagi, sang laki-laki berhak mengembalikan anak gadisnya yang tidak dapat menjaga kesuciannya. Si lelaki berhak membatalkan pernikahan. Ini menandakan betapa tinggi masyarakat suku Pekal menganut ajaran agama Islam yang sejati. E. Penutup Peran kaum dalam prosesi perkawinan adat masyarakat Ketahun adalah sebagai pemimpin upacara perkawinan adat ini dimaknai melalui bentuk dan simbol perkawinan adat, tercermin nilai-nilai sosial yang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan identitas masyarakat Pekal. Demikian pula bahwa nilai sosial dimaknai adalah salah satu hal yang sangat erat hubungannya dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pekal, yang pada umumnya sebagai wujud serta timbul dari setiap manusia. Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 Kaum menjadi tokoh sentral dalam prosesi pernikahan bahkan hingga mediasi dalam perceraian antara suami isteri, walaupun saat ini sebagian besar masyarakat Pekal sudah memilik kesadaran hukum untuk mencatatkan perkawinan mereka prosesi adat dalam perkawinan oleh Kaum tidak bisa dilewatkan karena menjadi kearifan lokal tersendiri dan tentu membantu tugas KUA dalam pembinaan terhadap keluarga dan calon pengantin. Perkawianan adat merupakan bagian dari adat Pekal yang menggunakan bentuk-bentuk perkawinan adat dapat memiliki aspek-aspek baik yang berhubungan dengan sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Pekal. Sehingga bagaimanapun perkawinan adat tersebut tetap dipertahankan oleh masyarakat Pekal melalui Kaum. 35 Hasil wawancara dengan Taharudin. [ 234 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. DAFTAR PUSTAKA As, A. Syafi’. “Fenomena Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Dusun Gendok Kelurahan Balerejo Kecamatan Dempet Kabupaten Demak Jawa Tengah).” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam 3, no. 1 (30 Juni 2018): 29–58. https://doi.org/10.25217/jm.v3i1.181. Asrinaldi, Asrinaldi. “Power Network of Penghulu Adat in The Concurrent Regional Election in West Sumatera.” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 21, no. 1 (25 Oktober 2017): 57. https://doi.org/10.22146/jsp.28701. Bzn, Ter Haar. Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Pramitha, 1960. Dau, Hasan, dan Rizal Darwis. “Eksistensi Penghulu dalam Meminimalisir Perceraian di Kabupaten Gorontalo Utara.” Al-Mizan 15, no. 2 (2019): 24. https://doi.org/10.30603/am.v15i2.1324. Fauzi, Muhammad Latif. “Registering Muslim Marriages: Penghulu, Modin, and the Struggles for Influence.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 57, no. 2 (24 Desember 2019): 397–424. https://doi.org/10.14421/ajis.2019.572.397424. Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992. Hartiman, Andry Harijanto. Bahan Ajar Hukum Adat. Bengkulu: PHK A2 FH Unib, 2007. Hasil FGD dengan Muslani. Ketua Kadun II Desa Lubuk Mindai, Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara, Mei 2018. Hasil wawancara dengan Taharudin. Ketua Adat Desa Lubuk Mindai, Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara, Mei 2018. Hilman, Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1992. Istiqomah, Tia. “Makanan Adat Pada Acara Perkawinan di Desa Lubuk Kembang Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu.” E-Journal Home Economic and Tourism 13, no. 3 (t.t.): 18. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1982. [ 235 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1976. Kusumuatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1976. ———. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung: LPHK Fakultas Hukum Unpad-Bina Cipta, 1975. Mertokusomo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1991. Muamar, Akhsin. Nikah Bawah Tangan Versi Anak Kampus. Depok: Qultum Media, 2005. Rachman, Noer Fauzi, dan Mia Siscawati. Masyarakat Hukum Adat Adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya. Yogyakarta: INSISTPress, 2014. Rato, Dominikus. Hukum Adat di Indonesia: Suatu Pengantar. Surabaya: Laksbang Justitia Surabaya, 2014. Salman, R. Otje. Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum Waris. Bandung: Alumni, 1995. Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006. Soekanto, Soerjono, dan Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press, 1982. Soekanto, Soerjono, dan Soleman B Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Soepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984. Sudirman, dan Iskandar. “Resolusi Isbat Nikah di Indonesia: Sebuah Pendekatan Maslahah.” JIL: Journal of Islamic Law 1, no. 1 (2020): 100–114. https://doi.org/10.24260/jil.v1i1.16. Taqwadin. “Penguasaan atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh.” Disertasi tidak diterbitkan, Universitas Seumatra Utara, 2010. [ 236 ]