Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Penilaian Kesehatan Hutan pada Berbagai Tipe Hutan di Provinsi Lampung Assessment of Forest Health in Various Forest Types in Lampung Province Oleh: Rahmat Safe’i1*, Christine Wulandari1, Hari Kaskoyo1 Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Jln. Soemantri Brojonegoro No. 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145, Lampung, Indonesia. * email: mat_ane@yahoo.com ABSTRAK Di Provinsi Lampung, kesadaran tentang pentingnya kesehatan hutan dalam mencapai pengelolaan hutan yang lestari di berbagai tipe hutan sampai saat ini masih kurang sehingga permasalahan kesehatan hutan sejauh ini belum mendapat perhatian yang serius. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan indikator penilaian kesehatan hutan dan nilai status kondisi kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove dan hutan rakyat di Kabupaten Lampung Timur serta hutan lindung dan hutan konservasi di Kabupaten Tanggamus pada tahun 2018. Tahapan penelitian ini terdiri dari perumusan jaminan indikator kesehatan hutan, pembuatan plot ukur, pengukuran kesehatan hutan, pengolahan data, dan penilaian kesehatan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator untuk menilai kondisi kesehatan hutan di hutan mangrove adalah vitalitas dan biodiversitas, di hutan rakyat adalah produktivitas, vitalitas, dan kualitas tapak, di hutan lindung adalah biodiversitas, vitalitas, dan produktivitas, dan di hutan konservasi adalah biodiversitas dan produktivitas. Adapun status kondisi kesehatan pada masing-masing klaster plot di hutan mangrove adalah buruk dan baik, di hutan rakyat adalah baik dan sedang, di hutan lindung adalah buruk dan baik, dan di hutan konservasi adalah buruk dan baik. Kata kunci: indikator, status kesehatan hutan, tipe hutan, Provinsi Lampung ABSTRACT In Lampung Province, awareness of the importance of forest health in achieving sustainable forest management in various types of forests is still low so that forest health problems have not received serious attention so far. This study aims to obtain indicators of forest health assessment and the status of forest health conditions in various types of forests in Lampung Province. This research was carried out in mangrove and community forests in East Lampung District, and protected and conservation forests in Tanggamus District in 2018. The stages of this study consisted of formulating guarantees of forest health indicators, making measuring plots, measuring forest health, processing data, and forest health assessment. The results showed that indicators for assessing the health of forests in mangrove forests are vitality and biodiversity, in community forests are productivity, vitality and site quality, in protected forests are biodiversity, vitality and productivity, and in conservation forests are biodiversity and productivity. The status of health conditions in each cluster of plots in mangrove forest is 95 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 bad and good, in community forests is good and medium, in protected forests is bad and good, and in conservation forests are bad and good. Keywords: indicator, forest health status, forest types, Lampung Province PENDAHULUAN Penilaian kesehatan hutan dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hutan saat ini, perubahan, dan kecenderungan yang mungkin terjadi (Mangold 1997). Informasi tentang kondisi kesehatan ekosistem hutan di banyak negara telah menjadi tujuan manajemen pengelolaan hutan seperti di Amerika Serikat yang sudah menjadi program nasional, yaitu dengan melakukan pemantauan kesehatan hutan secara periodik sehingga penilaian kesehatan hutan dilakukan secara menyeluruh (USDA-FS 1999). Di Indonesia (termasuk di Provinsi Lampung), kesadaran tentang pentingnya kesehatan hutan dalam mencapai pengelolaan hutan yang lestari sampai saat ini masih kurang, apalagi pada berbagai tipe hutan sehingga permasalahan kesehatan hutan sejauh ini belum mendapat perhatian yang serius. Padahal kesehatan hutan merupakan upaya untuk mengendalikan tingkat kerusakan hutan yang tetap di bawah ambang ekonomi yang masih dapat diterima (Safe’i et al 2014; Safe’i et al 2015), sehingga menjamin keamanan investasi, lindung, produksi dan konservasi serta fungsi hutan yang lain dari berbagai tipe hutan dapat terwujud. Tipe hutan (berdasarkan fungsi) yang ada di Provinsi Lampung antara lain: hutan mangrove (hutan lindung), hutan rakyat (hutan produksi), hutan lindung (hutan kemasyarakatan/HKm), dan hutan konservasi. Tipe-tipe hutan tersebut dibatasi dan dipengaruhi oleh kondisi ekosistem setempat dan sistem silvikultur yang diterapkan serta perspektif pengelolaan hutan yang akan dicapai. Oleh karena itu, indikator keberhasilan pengelolaan hutan tergantung kepada kondisi ekosistem setempat dan sistem silvikultur yang diterapkan, sehingga indikator kesehatan hutan harus disesuaikan dengan ekosistem setempat. Penerapan indikator, khususnya indikator penilaian kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung belum banyak dikembangkan. Pengembangan indikator kesehatan hutan di berbagai tipe hutan ini dimaksudkan untuk mengukur dan menilai tingkat kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan sehingga para pengelola hutan dapat mengetahui kondisi kesehatan hutan dan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap kondisi tersebut secara cepat dan akurat; karena menurut Nuhamara et al (2001), hutan dikatakan sehat apabila hutan tersebut masih dapat memenuhi fungsinya sebagaimana fungsi utama yang telah ditetapkan sebelumnya, misal hutan rakyat (produksi) yang sehat akan memiliki produktivitas yang tinggi dan berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan indikator penilaian kesehatan hutan dan nilai status kondisi kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove dan hutan rakyat yang berada di wilayah Kabupaten Lampung Timur; hutan lindung (HKm) dan hutan konservasi (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan/TNBBS) yang berada di wilayah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 96 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Perumusan Indikator Jaminan Kualitas Kesehatan Hutan Perumusan indikator jaminan kualitas (quality assurance) bertujuan untuk menjamin kualitas suatu indikator kesehatan hutan untuk keberhasilan penilaian kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan. Perumusan indikator jaminan kualitas dilakukan terhadap indikator ekologis kesehatan hutan yang dikemukakan oleh Supriyanto et al (2001), yaitu: produktivitas, vitalitas, kualitas tapak, dan biodiversitas dengan cara melakukan wawancara terhadap informan kunci, yaitu para pakar (ahli dibidangnya/telah berkecimpung/ berpengalaman pada bidangnya; tidak harus/selalu mempunyai gelar akademik) kehutanan (petani, akademisi, dan pemerintah) di Provinsi Lampung. Hasil dari wawancara tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui skala prioritas dengan menggunakan metode AHP (Analytic Hierarchy Process) (Saaty 1996; 2003). Pembuatan Plot Ukur Kesehatan Hutan Pembuatan plot ukur kesehatan hutan ini didasarkan pada metode Forest Health Monitoring (FHM) (Mangold 1997; USDA-FS 1999). Penetapan plot ukur berdasarkan tipe hutan. Pembuatan klaster plot FHM kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan sebanyak delapan klaster plot (32 plot ukur), yaitu masing-masing dua klaster plot di hutan mangrove, hutan rakyat, hutan lindung (HKm), dan hutan konservasi (TNBBS). Desain klaster plot FHM kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung sebagaimana disajikan pada Gambar 2. 97 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Subplot jari-jari 7,32 m Annular plot jari-jari 17,95 m Titik contoh tanah @ Jarak antara tiap pusat plot adalah 36,6 m Azimut 1-2 3600 Azimut 1-3 1200 Azimut 1-4 2400 @ Jarak titik contoh tanah dari titik pusat subplot adalah 18 m Mikroplot Jari-jari 2.07 m @ azimut jarak dari titik pusat subplot 3.66 m Gambar 2. Desain klaster plot FHM. Pengukuran Kesehatan Hutan Pengukuran kesehatan hutan dilakukan terhadap indikator ekologis yang dihasilkan dari perumusan indikator jaminan kualitas kesehatan hutan untuk masing-masing tipe hutan. Pengukuran kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan berdasarkan metode FHM. Teknik pengukuran indikator ekologis kesehatan hutan adalah sebagai berikut: a. Produktivitas. Produktivitas dilakukan dengan melakukan pengukuran pertumbuhan pohon. Pengukuran pertumbuhan pohon dilakukan terhadap pohon-pohon yang berada di dalam subplot. Pertumbuhan pohon diukur dari penambahan diameter pohon. Diameter pohon diukur pada ketinggian 1,3 m di atas permukaan tanah. Pohon yang memiliki diameter ≥20 cm dikategorikan sebagai pohon, pohon dengan diameter 10-19,9 cm dikategorikan sebagai tiang dan pohon dengan diameter <10 cm dikategorikan pancang. b. Vitalitas. Vitalitas dilakukan dengan melakukan pengukuran kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Pengukuran kerusakan pohon dan kondisi tajuk dilakukan terhadap pohonpohon yang berada didalam subplot. Kondisi kerusakan pohon diukur berdasarkan lokasi ditemukannya kerusakan, yaitu pada: akar, batang, cabang, tajuk, daun, pucuk, dan tunas dalam metode FHM. Kondisi tajuk pohon dalam metode FHM diukur berdasarkan parameter-parameter sebagai berikut (Nuhamara dan Kasno 2001): rasio tajuk hidup (Live Crown Ratio/LCR), kerapatan tajuk (Crown Density/Cden), transparansi tajuk (Foliage Transparancy/FT), diameter tajuk (Crown Diameter Width dan Crown Diameter at 900), dan dieback (CDB). c. Kualitas tapak. Kualitas tapak dilakukan dengan melakukan pengambilan contoh tanah dari tiga buah titik berbentuk lingkaran yang terletak di antara dua subplot dengan masingmasing lingkaran berdiameter 15 cm. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan kedalaman 0-10 cm. d. Biodiversitas. Biodiversitas dilakukan dengan melakukan pengukuran keanekaragaman jenis (flora/fauna). Pengukuran keanekaragaman jenis dilakukan terhadap flora/fauna yang berada di dalam subplot. 98 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan terhadap hasil pengukuran indikator kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan. Pengolahan dan analisis data hasil pengukuran indikator ekologis kesehatan hutan, sebagai berikut: pertumbuhan pohon dihitung sebagai pertumbuhan luas bidang dasar (Cline 1995), kondisi kerusakan pohon dihitung berdasarkan nilai indeks kerusakan tingkat klaster plot (Cluster plot Level Index/CLI) (Nuhamara dan Kasno 2001; Nuhamara et al 2001; Putra 2004; Safe’i 2005; Safe’i et al 2014; Safe’i et al 2015; Safe’i 2015), kondisi tajuk dihitung berdasarkan nilai peringkat penampakan tajuk (Visual Crown Ratio/VCR) (Putra 2004), keanekaragaman jenis flora/fauna menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener (Soerianegara dan Indrawan 2005), dan kesuburan tanah diwakili oleh Kapasitas Tukar Kation (KTK) hasil dari analisis tanah (Hardjowigeno 2003). Penilaian Kesehatan Hutan Penilaian kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan diperoleh dari nilai akhir kondisi kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan. Nilai akhir kondisi kesehatan hutan merupakan hasil perkalian antara nilai tertimbang dengan nilai skor parameter dari masing-masing indikator kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan. Rumus Persamaan 1, yaitu nilai akhir kesehatan hutan (Safe’i et al 2015). Dalam persamaan 1 tersebut, NKH merupakan nilai akhir kondisi kesehatan hutan, NT merupakan nilai tertimbang parameter dari masing-masing indikator kesehatan hutan, dan NS merupakan nilai skor parameter dari masing-masing indikator kesehatan hutan. NKH = NT x NS .…………………………………….. Persamaan (1) Nilai tertimbang berupa nilai eigen yang diperoleh dengan menggunakan metode (Analytic Networking Process) ANP (Saaty 1996; 2003; 2005). Nilai skor diperoleh melalui transformasi terhadap nilai masing-masing parameter dari indikator-indikator ekologis kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator Kesehatan Hutan Mangrove Tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan mangrove hasil AHP berdasarkan hasil wawancara dengan pakar kehutanan di Provinsi Lampung disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa indikator vitalitas menempati tingkat kepentingan (skala prioritas) tertinggi dengan nilai 0,38, diikuti biodiversitas dengan nilai 0,33. Adapun kualitas tapak dan produktivitas menempati tingkat kepentingan terendah dengan nilai masing-masing 0,19 dan 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa indikator vitalitas dan biodiversitas mampu memberikan jaminan kualitas dan dukungan dalam mengukur apa yang ingin diukur dalam kesehatan hutan mangrove. Adapun kualitas tapak dan produktivitas kurang mampu memberikan jaminan kualitas dan dukungan dalam mengukur apa yang ingin diukur dalam kesehatan hutan mangrove. Nilai tingkat kepentingan untuk indikator vitalitas yang sangat tinggi (0,38) menunjukkan bahwa kontribusi indikator vitalitas pada pencapaian kesehatan hutan mangrove sangat tinggi. Vitalitas dapat dijelaskan atau dicirikan oleh kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk (Safe’i et al 2015). 99 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Gambar 3. Tingkat kepentingan indikator ekologis kesehatan hutan mangrove. Kerusakan pohon dan kondisi tajuk pohon mangrove adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon mangrove. Nilai tingkat kepentingan untuk indikator biodiversitas yang sangat tinggi (0,33) menunjukkan bahwa kontribusi indikator biodiversitas pada pencapaian kesehatan hutan mangrove sangat tinggi. Biodiversitas di hutan mangrove dapat dijelaskan atau dicirikan oleh keanekaragaman jenis fauna. Keanekaragaman jenis fauna menunjukkan kualitas tapak baik dengan kompoisi bahan organik yang berasal dari tegakan mangrove sendiri. Oleh karena itu, indikator vitalitas dan biodiversitas merupakan indikator penting untuk dapat menjelaskan kondisi kesehatan hutan mangrove. Indikator Kesehatan Hutan Rakyat Tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan rakyat hasil AHP berdasarkan hasil wawancara dengan pakar kehutanan di Provinsi Lampung disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Tingkat kepentingan indikator ekologis kesehatan hutan rakyat. Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan rakyat berturut-turut adalah indikator produktivitas, kualitas tapak, vitalitas, dan biodiversitas. Indikator produktivitas menempati tingkat kepentingan tertinggi dengan nilai 0,33, diikuti kualitas tapak dengan nilai 0,27, dan vitalitas dengan nilai 0,26, serta biodiversitas menempati tingkat kepentingan terendah dengan nilai 0,14. 100 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Nilai tingkat kepentingan untuk indikator produktivitas yang sangat tinggi (0,33) menunjukkan bahwa kontribusi indikator produktivitas pada pencapaian kesehatan hutan rakyat sangat tinggi. Tinggi rendahnya tingkat produktivitas dalam hutan rakyat menunjukkan tingkat keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Disisi lain, tingkat produktivitas ditentukan oleh dua faktor, yaitu: kondisi tapak tumbuh dan vitalitas tegakan (Supriyanto et al 2001). Kualitas tapak memperoleh nilai tingkat kepentingan yang tinggi (0,27) untuk menjadi indikator kesehatan hutan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tapak menjadi salah satu indikator penting kesehatan hutan rakyat karena kemampuan tanah untuk menyokong produktivitas pohon; terutama tanah untuk menyokong pertumbuhan pohon (Ginting dan Nuhamara 2001). Adapun nilai tingkat kepentingan untuk indikator vitalitas sebesar 0,26 menunjukkan bahwa vitalitas memiliki pengaruh yang cukup penting bagi pencapaian kondisi kesehatan hutan rakyat. Vitalitas dapat dicirikan oleh kerusakan pohon yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon sehingga akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kayu olahan yang akan dihasilkan. Seperti dinyatakan oleh Putra (2004) bahwa dengan adanya kerusakan pada pohon akan menyebabkan terjadinya cacat yang mempengaruhi kualitas kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu, indikator produktivitas, kualitas tapak, dan vitalitas merupakan indikator penting untuk dapat menjelaskan kondisi kesehatan hutan rakyat. Indikator Kesehatan Hutan Lindung (HKm) Tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan lindung (HKm) hasil AHP berdasarkan hasil wawancara dengan pakar kehutanan di Provinsi Lampung disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Tingkat kepentingan indikator ekologis kesehatan hutan lindung (HKm). Gambar 5 menunjukkan bahwa tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan lindung (HKm) berturut-turut adalah indikator biodiversitas, vitalitas, produktivitas, dan kualitas tapak. Indikator biodiversitas menempati tingkat kepentingan tertinggi dengan nilai 0,36, diikuti vitalitas dengan nilai 0,25, dan produktivitas dengan nilai 0,20, serta kualitas tapak menempati tingkat kepentingan terendah dengan nilai 0,19. Nilai tingkat kepentingan untuk indikator biodiversitas yang sangat tinggi (0,36) menunjukkan bahwa kontribusi indikator biodiversitas pada pencapaian kesehatan hutan lindung (HKm) sangat tinggi. Tingkat biodiversitas pada suatu area, terutama keanekaragaman jenis, berkaitan erat dengan tingkat kestabilan ekologi pada suatu ekosistem (Putra 2004). Ekosistem yang stabil dan bersifat lentur terhadap tekanan dan gangguan akan 101 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 berpengaruh positif terhadap kondisi tegakan. Nilai tingkat kepentingan untuk indikator vitalitas dan produktivitas masing-masing sebesar 0,25 dan 0,20 menunjukkan bahwa vitalitas dan produktivitas memiliki pengaruh yang cukup penting bagi pencapaian kondisi kesehatan hutan lindung (HKm). Vitalitas merupakan angka yang dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan suatu spesies dalam perkembanganya sebagai respon terhadap lingkungan (Pranata 2012). Adapun tinggi rendahnya pertumbuhan suatu spesies (produktivitas) dalam suatu ekosistem hutan dapat menggambarkan kondisi kesehatan hutan yang dikelola (Safe’i et al 2015). Oleh karena itu, indikator biodiversitas, vitalitas, dan produktivitas merupakan indikator penting untuk dapat menjelaskan kondisi kesehatan hutan lindung (HKm). Indikator Kesehatan Hutan Konservasi Tingkat kepentingan (skala prioritas) indikator ekologis kesehatan hutan konservasi hasil AHP berdasarkan hasil wawancara dengan pakar kehutanan di Provinsi Lampung disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Tingkat kepentingan indikator ekologis kesehatan hutan konservasi. Gambar 6 menunjukkan bahwa indikator biodiversitas dan produktivitas menempati tingkat kepentingan tertinggi dengan nilai masing-masng 0,48, dan 0,28. Adapun kualitas tapak dan vitalitas menempati tingkat kepentingan terendah dengan nilai masing-masing 0,14 dan 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa indikator biodiversitas dan produktivitas mampu memberikan jaminan kualitas dan dukungan dalam mengukur apa yang ingin diukur dalam kesehatan hutan konservasi. Adapun kualitas tapak dan vitalitas kurang mampu memberikan jaminan kualitas dan dukungan dalam mengukur apa yang ingin diukur dalam kesehatan hutan konservasi. Biodiversitas pada suatu ekosistem dapat menjadi dasar pertimbangan dalam upaya konservasi jenis dan ekosistem yang merupakan habitatnya. Selain itu, biodiversitas mendukung fungsi produktivitas melalui peranannya pada kemampuan pulih kembali dari gangguan (Safe’i 2015). Gangguan yang menyebabkan penurunan biodiversitas akan menyebabkan terjadinya penurunan pada produktivitas dan kesehatan hutan (Putra 2004). Oleh karena itu, indikator biodiversitas dan produktivitas merupakan indikator penting untuk dapat menjelaskan kondisi kesehatan hutan konservasi. 102 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Status Kondisi Kesehatan Hutan Mangrove Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya ditentukan oleh tingkat kesehatan pohon penyusunnya dan dipengaruhi oleh penyebab dan tipe kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut (Mangold 1997). Hasil pengukuran kesehatan hutan mangrove disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai CLI, VCR, dan H’ pada masing-masing klaster-plot. Klaster Plot CLI VCR H' 1 0,46 3,91 0,45 2 0,74 2,74 0,92 Keterangan: CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener Berdsarkan Tabel 1 nilai CLI pada klaster plot satu lebih rendah dibandingkan dengan klaster plot dua. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Nilai VCR yang terbesar terdapat pada klaster plot satu yang menunjukkan kerapatan tajuk yang tinggi; dimana kondisi tajuk ini dapat menggambarkan stratifikasi pohon pada hutan mangrove. Nilai H’ tertinggi terdapat pada klaster plot dua yang menunjukkan keanekaragaman jenis epifauna yang lebih baik dibandingkan klaster plot yang lainnya. Keanekaragaman jenis merupakan parameter yang digunakan dalam mengetahui suatu komunitas. Keanekaragaman jenis epifauna menunjukkan kualitas tapak baik dengan komposisi bahan organik berasal dari tegakan mangrove sendiri. Untuk mengetahui nilai status kondisi kesehatan hutan mangrove dilakukan dengan melakukan perhitungan nilai akhir kondisi kesehatan hutan mangrove. Nilai akhir kondisi kesehatan hutan mangrove merupakan hasil perkalian antara nilai tertimbang (Tabel 2) dengan nilai skor parameter dari masing-masing indikator ekologis kesehatan hutan mangrove (Tabel 3). Nilai tertimbang indikator hutan mangrove disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai tertimbang pada masing-masing indikator hutan mangrove Biodiversitas CLI VCR H’ NT 0,45 0,45 0,92 Keterangan: CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener, NT= Nilai Tertimbang Indikator Vitalitas Adapun nilai skor indikator hutan mangrove pada masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai skor indikator hutan mangrove pada masing-masing klaster plot. Klaster Plot CLI VCR H' 1 10 10 1 2 1 1 10 Keterangan: CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener Klaster plot dua memiliki nilai akhir kesehatan hutan mangrove sebesar 4,51 dan memiliki kategori kesehatan hutan mangrove yang baik (Tabel 4). Kondisi status tersebut disebabkan oleh tingginya nilai biodiversitas pada ekosistem hutan mangrove. Biodiversitas mangrove merupakan perpaduan antara flora dan fauna yang saling tergantung satu dengan yang lainnya sehingga total biodiversitas ekosistem mangrove menjadi lebih tinggi (Prianto et al. 2006). Adapun hasil penilaian kesehatan hutan mangrove (nilai status kondisi kesehatan hutan mangrove) pada masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 4. 103 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Tabel 4. Nilai status kondisi kesehatan hutan mangrove. Klaster-plot 1 2 Nilai akhir kesehatan hutan mangrove 3,16 4,51 Kategori kondisi kesehatan hutan mangrove Buruk Baik Status Kondisi Kesehatan Hutan Rakyat Pertumbuhan pohon dihitung sebagai pertumbuhan luas bidang dasar (LBDS). Nilai LBDS tertinggi terdapat pada klaster plot dua; yang disebabkan oleh tingginya perubahan LBDS. Hal ini menunjukkan bahwa LBDS dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas (Cline 1995). Hasil pengukuran kesehatan hutan rakyat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai LBDS, CLI, VCR, dan KTK pada masing-masing klaster-plot. Klaster Plot LBDS CLI VCR KTK 1 3,06 2,25 2,00 15,89 2 4,93 1,82 2,20 7,84 Keterangan: LBDS= Luas Bidang Dasar, CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, KTK= Kapasitas Tukar Kation Berdasarkan Tabel 5, CLI tertinggi terdapat pada klaster plot satu dibandingkan klaster plot dua. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai CLI menunjukkan tingkat kerusakan pohon pada tingkat klaster plot yang semakin tinggi. Oleh karena itu dampak seluruh kerusakan pohon akan mengakibatkan tingkat pertumbuhan yang menurun, kondisi tajuk yang rendah, kehilangan biomassa dan terutama berpengaruh terhadap kesehatan hutan (Safe’i 2015). Nilai VCR tertinggi terdapat pada klaster plot dua dibandingkan klaster plot satu. Menurut Nuhamara dan Kasno (2001) bahwa nilai VCR merupakan penjumlahan lima parameter pengukuran tajuk, yaitu: rasio tajuk hidup, transparasi tajuk, kerapatan tajuk, diameter tajuk dan dieback. Kelima parameter pengukuran tajuk tersebut sangat mempengaruhi kriteria kondisi tajuk pohon, sedangkan besaran nilainya akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya nilai VCR. Kondisi tanah dilihat dari nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK). Nilai KTK klaster plot dua lebih rendah dari klaster plot dua. Nilai KTK yang rendah antara lain karena reaksi tanah atau pH yang cukup rendah (H2O 5,8) dan persentase bahan organik yang kecil (C-organik 0,67% dan N-organik 0,07%). Seperti yang dinyatakan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa tinggi rendahnya KTK ditentukan oleh kandungan liat dan bahan organik dalam tanah. Untuk mengetahui nilai status kondisi kesehatan hutan rakyat dilakukan dengan melakukan perhitungan nilai akhir kondisi kesehatan hutan rakyat. Nilai akhir kondisi kesehatan hutan rakyat merupakan hasil perkalian antara nilai tertimbang dengan nilai skor parameter dari masing-masing indikator ekologis kesehatan hutan rakyat. Nilai tertimbang indikator hutan rakyat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai tertimbang pada masing-masing indikator hutan rakyat Produktivitas Vitalitas Kualitas Tapak LBDS CLI VCR KTK NT 0,33 0,25 0,25 0,27 Keterangan: LBDS= Luas Bidang Dasar, CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, KTK= Kapasitas Tukar Kation, NT= Nilai Tertimbang Indikator Nilai skor indikator hutan rakyat masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 7. Adapun hasil penilaian kesehatan hutan rakyat (nilai status kondisi kesehatan hutan rakyat) pada masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 8. 104 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Tabel 7. Nilai skor indikator hutan rakyat pada masing-masing klaster plot. Klaster Plot LBDS CLI VCR KTK 1 10 10 3 9 2 8 5 5 1 Keterangan: LBDS= Luas Bidang Dasar, CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, KTK= Kapasitas Tukar Kation Tabel 8. Nilai status kondisi kesehatan hutan rakyat. Klaster-plot 1 2 Nilai akhir kesehatan hutan rakyat 8,98 5,41 Kategori kondisi kesehatan hutan rakyat Baik Sedang Berdasarkan Tabel 7 dan 8 klaster plot satu memiliki nilai akhir kesehatan hutan rakyat sebesar 8,98 dan memiliki kategori kesehatan hutan rakyat yang baik. Kondisi status tersebut disebabkan oleh tingginya nilai pertumbuhan pohon (LBDS) dan kesuburan tanah (KTK) serta rendahnya nilai kerusakan pohon (CLI). Hal ini menunjukkan bahwa supaya kondisi kesehatan hutan rakyat sehat, maka pohon-pohon penyusun tegakan harus sehat, karena kerusakan pohon akan mempengaruhi laju pertumbuhan pohon. Selain itu, pohon akan mampu tumbuh dengan baik jika didukung oleh kualitas tapak tempat tumbuh pohon yang dapat menyokong pertumbuhan optimal tegakan yang ditunjukkan oleh kondisi kesuburan tanah (Safe’i 2015). Status Kondisi Kesehatan Hutan Lindung (HKm) Kerusakan pada pohon dan kondisi tajuk akan berpengaruh pada pertumbuhan pohon sehingga akan berdampak pada kesehatan hutan secara keseluruhan (Kasno et al 2007). Hasil pengukuran kesehatan hutan lindung (HKm) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai H’, CLI, VCR, dan LBDS pada masing-masing klaster-plot. Klaster Plot H’ CLI VCR LBDS 1 2,27 6,10 2,70 10,55 2 1,45 6,70 2,80 14,73 Keterangan: H’= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, LBDS= Luas Bidang Dasar Nilai H’ terbesar terdapat pada klaster plot satu dibandingkan dengan klaster plot dua. Hal tersebut menunjukkan bahwa komunitas vegetasi pada klaster plot satu pada kondisi lingkungan sangat stabil. Seperti dinyatakan oleh Soerianegara dan Indrawan (2005) bahwa jika nilai H’ > 2, maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan sangat stabil. Nilai CLI yang terendah terdapat pada klaster plot satu dan nilai VCR yang terbesar terdapat pada klaster plot dua. Hal ini menunjukkan bahwa supaya kondisi kesehatan hutan lindung (HKm) sehat, maka pohon-pohon penyusun tegakan harus berada dalam keadaan sehat karena kerusakan pohon dan kondisi tajuk yang tidak sehat akan mempengaruhi laju pertumbuhan pohon. Pertumbuhan pohon dapat dihitung sebagai pertumbuhan LBDS pohon (Safe’i 2015). Nilai LBDS yang terbesar terdapat pada klaster plot dua yang menujukkan tingkat perubahan pertumbuhan pohon yang tinggi. Tabel 10. Nilai tertimbang pada masing-masing indikator hutan lindung (HKm). Biodiversitas Vitalitas Produktivitas H’ CLI VCR LBDS NT 0,15 0,25 0,25 0,32 Keterangan: H’= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, LBDS= Luas Bidang Dasar, NT= Nilai Tertimbang Indikator 105 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Untuk mengetahui nilai status kondisi kesehatan hutan lindung (HKm) dilakukan dengan melakukan perhitungan nilai akhir kondisi kesehatan hutan lindung (HKm). Nilai akhir kondisi kesehatan hutan lindung (HKm) merupakan hasil perkalian antara nilai tertimbang dengan nilai skor parameter dari masing-masing indikator ekologis kesehatan hutan lindung (HKm) (Tabel 10). Nilai skor indikator hutan lindung (HKm) pada masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 11. Adapun hasil penilaian kesehatan hutan lindung (HKm) (nilai status kondisi kesehatan hutan lindung/HKm) pada masing-masing klaster plot disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Nilai skor indikator hutan lindung (HKm) pada masing-masing klaster plot. Klaster Plot H’ CLI VCR LBDS 1 10 10 1 1 2 1 1 10 10 Keterangan: H’= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener CLI= Cluster plot Level Index, VCR= Visual Crown Ratio, LBDS= Luas Bidang Dasar Tabel 12. Nilai status kondisi kesehatan hutan lindung (HKm). Klaster-plot 1 2 Nilai akhir kesehatan hutan lindung (HKm) 4,57 5,10 Kategori kondisi kesehatan hutan lindung (HKm) Buruk Baik Berdasarkan Tabel 12 klaster plot dua memiliki nilai akhir kesehatan hutan lindung (HKm) sebesar 5,14 dan memiliki kategori kesehatan hutan lindung (HKm) yang baik. Kondisi status tersebut disebabkan oleh tingginya nilai skor pertumbuhan pohon (LBDS) dan kondisi tajuk (VCR) (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai skor dapat menunjukkan tingkat kesehatan suatu ekeositem hutan. Seperti yang dinyatakan oleh Safe’i et al (2015) bahwa semakin tinggi nilai skor menunjukkan bahwa tingkat kesehatan hutan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah nilai skor maka tingkat kesehatan hutan akan semakin rendah. Status Kondisi Kesehatan Hutan Konservasi Nilai H’ (keanekaragaman jenis pohon) pada klaster plot satu lebih tinggi dibandingkan dengan klaster plot dua (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi nilai keanekaragaman jenis pohon pada suatu area akan meningkatkan pula keragaman fungsi ekologi yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan pada tingkat stabilitas ekologi. Adapun nilai LBDS tertinggi pada klaster plot dua. Tinggi nya LBDS ini akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Dimana pertumbuhan pohon merupakan salah satu parameter produktivitas pohon yang mudah diukur dan memiliki tingkat keakuratan serta konsistensi cukup tinggi (Philip 1994). Tabel 13. Nilai H’ dan LBDS pada masing-masing klaster-plot. Klaster Plot H’ LBDS 1 2,97 10,15 2 2,54 19,07 Keterangan: H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener, LBDS= Luas Bidang Dasar Untuk mengetahui nilai status kondisi kesehatan hutan konservasi dilakukan dengan melakukan perhitungan nilai akhir kondisi kesehatan hutan konservasi. Nilai akhir kondisi kesehatan hutan konservasi merupakan hasil perkalian antara nilai tertimbang (Tabel 14) dengan nilai skor parameter dari masing-masing indikator ekologis kesehatan hutan konservasi (Tabel 15). 106 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Tabel 14. Nilai tertimbang pada masing-masing indikator hutan konservasi Produktivitas H’ LBDS NT 0,15 0,32 Keterangan: H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener, LBDS= Luas Bidang Dasar, NT= Nilai Tertimbang Indikator Biodiversitas Tabel 15. Nilai skor indikator hutan konservasi pada masing-masing klaster plot. Klaster Plot H’ LBDS 1 10 1 2 1 10 Keterangan: H= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Whiener, LBDS= Luas Bidang Dasar Klaster plot dua memiliki nilai akhir kesehatan hutan konservasi sebesar 7,74 dan memiliki kategori kesehatan hutan konservasi yang baik (Tabel 16). Nilai akhir kondisi kesehatan hutan konservasi dalam kategori baik dipengaruhi oleh besar kecilnya nilai tertimbang dan nilai skor dari masing-masing parameter indikator ekologis kesehatan hutan konservasi. Semakin besar nilai tertimbang dan nilai skor dari masing-masing parameter indikator ekologis kesehatan hutan konservasi, maka semakin tinggi nilai akhir kondisi kesehatan hutan konservasi (Safe’i 2015). Tabel 16. Nilai status kondisi kesehatan hutan konservasi. Klaster-plot 1 2 Nilai akhir kesehatan hutan konservasi 3,76 7,74 Kategori kondisi kesehatan hutan konservasi Buruk Baik SIMPULAN Indikator penilaian kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung adalah produktivitas, vitalitas, kualitas tapak, dan biodiversitas. Indikator tersebut dapat digunakan, baik dua/tiga/empat indikator secara bersamaan atau terpisah untuk menilai kesehatan hutan. Penggunaan indikator tersebut digunakan sesuai dengan ekosistem tipe hutan. Nilai status kondisi kesehatan hutan pada berbagai tipe hutan di Provinsi Lampung adalah buruk/sedang/baik. Kondisi status kesehatan hutan tersebut berdasarkan indikator penilaian kesehatan hutan pada masing-masing tipe hutan. SANWACANA Terimakasih atas pendanaan penelitian Tim Pascasarjana Tahun 2018 dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Nomor: 062/SP2H/LT/DRPM/2018). 107 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 DAFTAR PUSTAKA Cline SP. 1995. FHM: Environmental Monitoring and Assessment Program. Environmental Protection Agency, Office of Research and Development, Washington D.C.: U.S. 296p. Ginting AN. dan Nuhamara ST. 2001. Soil Indicator: Present Status of Site Quality. Di dalam: Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Volume I. Japan: ITTO dan Bogor: SEAMEO-BIOTROP. 124p. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. 305p. Kasno, Haneda NF., Syaufina L, dan Putra E.I. 2007. Pengembangan metode penilaian kesehatan hutan lindung dan hutan tanaman. 5 Juni 2018. http://www.respository.ipb. ac.id/614. Mangold R. 1997. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide. USDA Forest Service, USA. 197p. Nuhamara ST. dan Kasno. 2001. Present Status of Crown Indicators. Di dalam: Forest Health Monitoring to Monitor The Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Volume I. Japan: ITTO dan Bogor: SEAMEO-BIOTROP. 124p. Nuhamara ST. dan Kasno. 2001. Present Status of Forest Vitality. Di dalam: Forest Health Monitoring to Monitor The Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Volume II. Japan: ITTO dan Bogor : SEAMEO-BIOTROP. 176p. Nuhamara ST., Kasno, dan Irawan US. 2001. Assessment on Damage Indicators in Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Di dalam: Forest Health Monitoring to Monitor The Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Volume II. Japan: ITTO dan Bogor : SEAMEO-BIOTROP. 176p. Philip MS. 1994. Measuring Trees and Forest. CAB International, Wallingford. 324p. Pranata RA. 2012. Ekologi Tumbuhan: Vitalitas. 15 Juli 2018. http://rianbio.wordpress.com/ rianhilyawan12-2/page/4/. Prianto E., Rhomie JH., Ramses F., Taufik H., dan Miswadi. 2006. Keanekaragaman Hayati dan Struktur Ekologi Mangrove Dewasa Di Kawasan Pesisir Kota Dumai-Provinsi Riau. Jurnal Biodiversitas 7(4):327-332. Putra E.I. 2004. Pengembangan Metode Penilaian Kesehatan Hutan Alam Produksi. Tesis. Institut Pertanian Bogor, 106p. Safe’i R. 2005. Penilaian Areal Hutan Bekas Terbakar Berdasarkan Metode Fire Severity dan Forest Health Monitoring. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 101p. Safe’i R., Hardjanto, Supriyanto, Leti Sundawati. 2014. Value of Vitality Status in Monoculture and Agroforestry Planting Systems of the Community Forest. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research 18(2):340-353. Safe’i R., Hardjanto, Supriyanto, dan Sundawati L. 2015. Pengembangan Metode Penilaian Kesehatan Hutan Rakyat Sengon. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 12(3):175-187. Safe’i R. 2015. Kajian Kesehatan Hutan Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Provinsi Lampung. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 124p. Saaty TL. 1996. The Analytic Hieararchy Process: Planning, Priority Setting, Resource Allocation. RWS Publications, Pittsburgh. 287p. Saaty TL. 2003. Decision-Making with the AHP: Why is The Proncipal Eigenvector Necessary. European Journal of Operational Research 145(2003):85-91. Saaty TL. 2005. Theory and Applications of the Analytic Network Process. RWS Publications, Pittsburgh. 324p. 108 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (95-109) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Supriyanto, Stolte KW., Soekotjo, dan Gintings AN. 2001. Present Status of Crown Indicators. Di dalam: Forest Health Monitoring to Monitor The Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. Volume I. Japan: ITTO dan Bogor: SEAMEOBIOTROP. 124p. Soerianegara I. dan Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. 83p. United States Development Agency-Forest Service (USDA-FS). 1999. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide (International 1999). USDA Forest Service Research Triangle Park, Asheville NC. 199p. 109