Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Konservasi Satwa Liar secara Ex-Situ di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Ex-Situ Wildlife Conservation in Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Oleh: Nabila Alfalasifa1*, Bainah Sari Dewi1 1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung *E-mail: wishperinglight@gmail.com ABSTRAK Konservasi ex-situ yang dilakukan oleh Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung (TSLHBL) adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi jenis-jenis tumbuhan dan hewan di luar habitat asli. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian upaya konservasi satwa liar secara ex-situ di TSLHBL dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Data diolah dengan metode perbandingan evaluatif dengan indikator kesesuaian kesejahteraan satwa liar Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) dan Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW). Hasil penelitian kesesuaian kandang dan tempat bermain satwa dari dua puluh lima kandang ditemukan 44% kandang yang belum sesuai menurut PKBSI dan ISAW yaitu: owa jawa (Hylobates moloch), owa sumatera (Hylobates agilis), merak hijau (Pavo muticus), rusa timor (Cervus timorensis), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang brontok (Nisaetus cirrhatus), elang bondol (Haliastur indus), beo (Gracula religiosa), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), binturung (Arctictis binturong), buaya muara (Crocodylus porosus), dan buaya irian (Crocodylus novaeguineae). Dari dua puluh enam jenis satwa, hanya satwa jenis burung merak hijau (Pavo muticus) yang jumlah pakannya tidak sesuai dengan jumlah pakan yang seharusnya diberikan. Satwa yang menghasilkan keturunan hanya satu ekor rusa pada tahun 2016, sedangkan satwa lain belum memiliki keturunan. Pemanfaatan satwa liar di TSLHBL adalah untuk penelitian, berfoto, peraga, dan atraksi satwa. Kata kunci: konservasi ex-situ, pelestarian satwa liar, taman satwa lembah hijau ABSTRACT Ex-situ conservation carried out by Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung (TSLHBL) is an effort made to protect species of plants and animals outside the original habitat. This study aims to determine the suitability of ex-situ wildlife conservation efforts in TSLHBL using observation and interview methods. Data was processed by evaluative comparison methods with conformity indicators for wildlife welfare of the Indonesian Zoo Association (PKBSI) and the Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW). The results of the study of the suitability of cages and animal playgrounds from twenty-five cages found 44% of cages that were not according to PKBSI and ISAW namely: Owa Jawa (Hylobates moloch), Owa Sumatera 71 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 (Hylobates agilis), Merak Hijau (Pavo muticus), Rusa Timor (Cervus timorensis), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus), Elang Bondol (Haliastur indus), Beo (Gracula religiosa), Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Binturung (Arctictis binturong), Buaya Muara (Crocodylus porosus), and Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae). Of the twentysix species of animals, only species of Merak Hijau (Pavo muticus) whose amount of feed does not match the amount of feed that should be given. Animals that produce offspring are only one deer in 2016, while other animals have no offspring. The utilization of wildlife in TSLHBL is for research, photo taking, visuals and animal attractions. Keywords: ex-situ conservation, wildlife conservation, wildlife parks lembah hijau PENDAHULUAN Indonesia adalah negara Megacenter of biodiversity (Astirin, 2000, Baliton et al., 2017), karena negara Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa termasuk satwa liar dan tumbuhan yang cukup tinggi. Indonesia memiliki 300.000 spesies satwa atau 17% satwa di dunia (Profauna Indonesia, 2007; Warsito, 2010) atau 350.000 satwa (Astirin, 2000). Kekayaan jenis satwa yang dimiliki Indonesia antara lain 515 spesies mamalia (Astirin, 2000), 1.539 spesies burung, 45% dari jumlah spesies ikan di dunia ada di Indonesia (Profauna Indonesia, 2007; Warsito, 2010; Mangi, 2013), 16% spesies reptil, 15% spesies serangga yang ada di dunia juga terdapat di Indonesia (Astirin, 2000, Baliton et al., 2017). Wildlife atau sumberdaya alam liar termasuk satwa liar adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali dan tidak akan habis (renewable resource) karena dalam pengelolaannya menerapkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan (Wulandari, 2011). Dengan demikian satwa liar dapat dikelola dan dimanfaatkan secara lestari dalam suatu habitat buatan. Kondisi seperti ini dapat disebut sebagai konservasi ex-situ. Menurut Ngabekti (2013), konservasi exsitu adalah proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia. Fungsi utama dari konservasi ex-situ (Departement Kehutanan, 2007; Suhandi, 2015) adalah melakukan usaha perawatan dan penangkaran berbagai jenis satwa untuk membentuk dan mengembangkan habitat baru sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk sarana rekreasi alam yang sehat. Lembaga konservasi hewan seperti kebun binatang merupakan wadah interaksi antara pengunjung dengan hewan yang tidak mungkin kita temui dalam kehidupan sehari-hari; sebuah tempat dimana manusia dapat merasa berkaitan dengan alam (Patrick, Patricia, and Tunnicliffe, 2010; Anugrah, 2014). Salah satu lembaga non pemerintah yang mengembangkan konservasi ex-situ adalah Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung (TSLHBL). Kesesuaian upaya konservasi satwa liar secara ex-situ di taman satwa tersebut masih minim sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut agar satwa-satwa yang ada dikelola secara baik. Diketahui bahwa banyak taman satwa mengelola satwa liar yang ada baru sesuai dengan ketersediaan sumberdaya manusia dan finansial yang ada di organisasinya tanpa memperdulikan kebutuhan satwasatwanya (Putri, 2015). Belum diketahuinya mengenai kesesuaian upaya konservasi yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dan indikator yang harus dipenuhi oleh kebun binatang, maka dilakukan penelitian ini. 72 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian upaya konservasi satwa liar secara ex-situ dan untuk mengetahui pemanfaatan satwa liar di Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian di Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung dan dilaksanakan pada bulan November-Desember 2016. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat tulis, kamera digital, dan laptop. Objek penelitian ini adalah: satwa liar yang ada di Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung serta upaya - upaya konservasi seperti perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian satwa liar yang dilakukan oleh pengelola TSLHBL. Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Taman Satwa Lembah Hijau dengan skala 1:25.000 (Sumber: Setiawan, 2015) Penelitian ini menggunakan metode observasi kemudian dianalisis berdasarkan indikator kesejahteraan satwa liar menurut PKBSI (2009) dan ISAW (2015). Metode observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian kemudian dicatat dan ditabulasikan. Data yang diambil dengan metode observasi adalah data mengenai jenis, jumlah, dan upaya perlindungan satwa liar. Metode wawancara, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak pengelola TSLHBL. Data yang diambil dari metode wawancara adalah data mengenai pemanfaatan dan pelestarian satwa liar. 73 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelestarian Satwa dilindungi di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Satwa liar dilindungi yang dipelihara di Taman Satwa Lembah Hijau adalah sebanyak 26 spesies yang terdiri dari 17 spesies dari kelas aves, 4 spesies dari kelas primata, 2 spesies dari kelas reptil, dan 3 spesies dari kelas mamalia. Satwa liar dilindungi di TSLH BL berasal dari Kebun Binatang Surabaya, BKSDA Lampung, BKSDA Sumatera Selatan, dan BKSDA DKI Jakarta. Satwa yang di pelihara di TSLHBL dan status konservasinya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Status Konservasi Satwa Liar Dilindungi di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Status Konservasi PPNo. 7/1999 CITES 1. Bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus) Dilindungi 2. Kakaktua jambul Kuning (Cacatua sulphurea) Dilindungi Appendix I 3. Jalak bali (Leucopsar rothschildi) Dilindungi Appendix I 4. Kakaktua tanimbar (Cacatua goffiniana) Dilindungi Appendix I 5. Kakaktua seram (Cacatua moluccensis) Dilindungi Appendix I 6. Cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda) Dilindungi Appendix II 7. Beo (Gracula religiosa) Dilindungi Appendix II 8. Nuri bayan (Eclectus roratus) Dilindungi Appendix II 9. Nuri kepala itam (Lorius lory) Dilindungi Appendix II 10. Nuri kabare / Kasturi raja (Psittrichas fulgidus) Dilindungi Appendix II 11. Elang hitam (Ictinaetus malayensis) Dilindungi Appendix II 12. Elang brontok (Nisaetus cirrhatus) Dilindungi Appendix II 13. Elang bondol (Haliastur indus) Dilindungi Appendix II 14. Rangkong badak (Buceros rhinoceros) Dilindungi Appendix II 15. Kasuari gelambir ganda (Casuarius casuarius) Dilindungi 16. Merak hijau (Pavo muticus) Dilindungi Appendix II 17. Undan kacamata (Pelecanus conspicillatus) Dilindungi 18. Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) Dilindungi Appendix I 19. Siamang (Sympalangus syndactylus) Dilindungi Appendix I 20. Owa sumatera (Hylobates agilis) Dilindungi Appendix I 21. Owa jawa (Hylobates moloch) Dilindungi Appendix I 22. Buaya irian (Crocodylus novaeguineae) Dilindungi Appendix II 23. Buaya muara (Crocodylus porosus) Dilindungi Appendix II 24. Beruang madu (Helarctos malayanus) Dilindungi Appendix I 25. Binturung (Arctictis binturong) Dilindungi Appendix III 26. Rusa timor (Cervus timorensis) Dilindungi Sumber: CITES, 2004, 2012; Departemen kehutanan, 1999; IUCN, 1996, 2008, 2012, 2013, 2015. No. Nama Satwa IUCN VU CR CR NT VU LC LC LC LC VU LC LC LC NT VU EN LC EN EN EN EN LC LC VU VU VU B. Kandang Satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Observasi kesesuaian kandang satwa di taman satwa lembah hijau ada yang sesuai (S) dan ada yang tidak sesuai (TS) diambil dari 5 satwa yang ada di TSLH, yaitu: Tabel 2. Kesesuai kandang satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung dan perbandingannya No. 1. Nama Satwa Liar Elang hitam (Ictinaetus malayensis) Pembanding Menurut Setio dan Takandjandji (2007) dalam konservasi ex situ burung endemik langka melalui penangkaran, mengatakan bahwa jenis predator dan kompetitor masing-masing dapat dimasukkan 74 TSLHBL  Ukuran kandang: 2 m x 2 m x 2,5 m  Kandang terbuat dari: besi  Lantai kandang terbuat dari: besi kawat  Ukuran pintu: cukup besar  Komponen habitat: Tidak ada S/TS TS S TS S TS Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) No. 2. 3. 4. 5. Nama Satwa Liar Elang brontok (Nisaetus cirrhatus) Elang bondol (Haliastur indus) Merak hijau (Pavo muticus) Buaya irian (Crocodylus novaeguineae) dan Buaya muara (Crocodylus porosus) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Pembanding ke dalam kandang individu yang terpisah. Satu unit kandang/sangkar individu dibuat berukuran 3 m x 3 m, dengan tinggi minimal 3 m. Menurut Setio dan Takandjandji (2007) dalam konservasi ex situ burung endemik langka melalui penangkaran mengatakan, bahwa jenis predator dan kompetitor masing-masing dapat dimasukkan ke dalam kandang individu yang terpisah. Satu unit kandang/sangkar individu dibuat berukuran 3 m x 3 m, dengan tinggi minimal 3 m. Menurut Setio dan Takandjandji (2007) dalam konservasi ex situ burung endemik langka melalui penangkaran, mengatakan bahwa jenis predator dan kompetitor masing-masing dapat dimasukkan ke dalam kandang individu yang terpisah. Satu unit kandang/sangkar individu dibuat berukuran 3 m x 3 m, dengan tinggi minimal 3 m. TSLHBL tumbuhan  Fasilitas untuk satwa: ada tempat bertengger, tempat berteduh  Satwa dapat di jangkau oleh pengunjung  Ukuran kandang: 2 m x 2 m x 2,5 m  Kandang terbuat dari: besi  Lantai kandang terbuat dari: besi kawat  Ukuran pintu: cukup besar  Komponen habitat: Tidak ada tumbuhan  Fasilitas untuk satwa: ada tempat bertengger, tempat berteduh  Satwa dapat di jangkau oleh pengunjung  Ukuran kandang: 2 m x 2 m x 3 m  Kandang terbuat dari besi  Lantai kandang terbuat dari: besi kawat  Ukuran pintu: kecil  Komponen habitat: Tidak ada tumbuhan  Fasilitas untuk satwa: ada tempat bertengger, tempat berteduh  Satwa dapat di jangkau oleh pengunjung Kandang burung merak di Taman  Ukuran kandang: 13 m x 5 m x 2,5 m Margasatwa Ragunan memiliki (Diberi sekat menjadi 3 bagian untuk ukuran 5 m x 4 m x 6 m untuk 2 3 ekor merak) ekor merak. Kandang terbuatdari  Kandang terbuat dari: besi kawat ram besi kawat ram yang sisi-sisi  Lantai kandang terbuat dari: tanah lainnya ditopang dengan kawat  Ukuran pintu: besar yang lebih kokoh, di dalam  Komponen habitat: Tidak ada kandang terdapat pohon yang tumbuhan dijadikan sebagai tempat  Fasilitas untuk satwa: ada tempat bertengger burung, dan satwa tidak bertengger, tempat berteduh dapat dijangkau Purwaningsih  Satwa dapat di jangkau oleh (2012). pengunjung Kandang buaya muara untuk usia  Ukuran kandang: 18 m x 15,5 m x 3 18 tahun berukuran 108 m x 32 m m x2 m untuk menampung 41-60  Kandang terbuat dari: semen, besi dan ekor dengan kedalaman kolam bata optimum 25-50cm (Bolton ,1981;  Lantai kandang terbuat dari: tanah Nuryanti, 2013).  Letak pintu dan ukuran pintu: tidak ada pintu namun akses untuk masuk kekandang terbuka  Komponen habitat: ada tumbuhan untuk berteduh tapi tidak mencukupi untuk menghindari panas matahari  Fasilitas untuk satwa: Fasilitas untuk 75 S/TS S TS TS S TS S TS S TS TS S TS TS TS S TS TS S S S TS S TS S S S TS TS Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) No. Nama Satwa Liar ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Pembanding TSLHBL satwa: ada kolam namun terlalu sempit untuk 2 ekor buaya yang berbeda jenis, dan hanya muat untuk satu ekor (buaya irian), sedangkan satu ekor (buaya muara) lagi ada di kubangan pojok kandang.  Satwa dapat di jangkau oleh pengunjung. S/TS TS TS Keterangan: S = Sesuai dan TS = Tidak Sesuai Dengan demikian ditemukan 11 kandang yang belum sesuai menurut PKBSI dan ISAW yaitu: (1) Owa Jawa (Hylobates moloch), (2) Owa Sumatera (Hylobates agilis), (3) Merak Hijau (Pavo muticus), (4) Rusa Timor (Cervus timorensis), (5) Elang hitam (Ictinaetus malayensis), (6) Elang brontok (Nisaetus cirrhatus), (7) Elang bondol (Haliastur indus), (8) Beo (Gracula religiosa), (9) Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), (10) Binturung (Arctictis binturong), (11) Buaya Muara (Crocodylus porosus), dan Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae). Khusus untuk Burung Merak Hijau dan Buaya Irian dapat dirinci kondisinya sebagaimana yang diuraikan berikutnya. Ukuran kandang Burung Merak Hijau (Pavo muticus) adalah 13 m x 5 m x 2,5 m, dan diberi sekat menjadi tiga bagian untuk tiga ekor burung merak hijau. Ukuran kandang satwa ini tidak sesuai karena satwa tidak dapat berperilaku secara alami. Menurut Purwaningsih (2012) kandang burung merak harus memiliki fasilitas penunjang perilaku satwa seperti tempat istirahat, tempat tidur, tempat makan, tempat berteduh, pasir untuk mandi debu, padang rumput, dan semak. Berikut adalah perbandingan gambar kandang satwa (Gambar 2): a dan b) di Taman Satwa Lembah Hijau dengan Taman Margasatwa Ragunan (TMR) yang memiliki ukuran 5 m x 4 m x 6 m untuk dua ekor Burung Merak Hijau (Pavo muticus) dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan manajemen perbaikan kandang-kandang satwa. (a) (b) Gambar 2. (a) Kandang merak hijau di TSLHBL berukuran 13 m x 5 m x 2,5 m diberi sekat menjadi tiga bagian untuk tiga ekor burung merak hijau, dan (b) kandang merak hijau di TMR berukuran 5 m x 4 m x 6 m untuk dua ekor burung merak hijau. Ukuran kandang buaya adalah 18 m x 15,5 m x 3 m. Dalam kandang buaya, terdapat dua spesies yang berbeda jenis yaitu buaya irian (Crocodylus novaeguineae) dan buaya muara (Crocodylus porosus). Hal-hal yang tidak sesuai di dalam kandang buaya dapat dilihat pada Gambar 4 adalah: (a) Pada lingkaran hijau kandang tidak diberi pintu sehingga akses untuk masuk ke dalam kandang terbuka, hal ini berbahaya jika ada pengunjung yang berusaha untuk 76 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 berinteraksi dengan satwa; (b) Pada lingkaran biru penempatan satwa untuk jenis buaya muara (Crocodylus porosus) tidak sesuai, karena satwa berada di dekat pinggir kandang yang dapat terjangkau oleh pengunjung; (c) Pada lingkaran merah tampak air di dalam kolam buaya terlihat kotor, dan sebaiknya air diganti seminggu sekali; dan (d) Tempat berteduh kurang sesuai, yang ternaungi hanya satu ekor yaitu buaya Irian (Crocodylus novaeguineae). Gambar 4. Kandang buaya di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung. Kondisi kandang satwa di Taman Satwa Lembah Hijau 44% tidak memenuhi standar untuk kesejahteraan satwa, ini dapat dilihat dari fasilitas yang kurang memadai untuk satwa, dan kondisi kandang satwa yang dapat dijangkau oleh pengunjung, seperti pada kandang owa jawa, owa sumatera, merak hijau, rusa timor, elang hitam, elang brontok, elang bondol, beo, bangau tong-tong, dan buaya (buaya muara dan buaya irian). Satu kandang Binturung dengan atap jerami yang tidak memadai untuk tempat berteduh satwa. C. Pakan Satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Waktu pemberian pakan satwa di taman satwa lembah hijau berbeda – beda setiap jenis satwa, tetapi ada beberapa jenis satwa yang pemberian pakannya tidak sesuai dengan aktivitas satwa seperti, hasil penelitian pada binturung (arctictis binturong), rusa timor (cervus timorensis), dan beruang madu (helarctos malayanus). Pemberian pakan satwa tersebut dilakukan pagi atau siang hari, ini tidak sesuai karena satwa tersebut aktif di malam hari (nokturnal). Pemberian jenis pakan yang tidak sesuai dengan pakan satwa di habitat alami satwa liar, adalah nasi putih dan pur yang tidak tersedia di alam bebas. Nasi putih dan pur (konsentrat) diberikan kepada satwa sebagai pakan tambahan untuk memenuhi porsi pakan satwa yang diberikan. Pemberian porsi pakan dan komposisi pakan yang tidak sesuai salah satunya ditemukan di burung merak hijau (Pavo muticus) karena pakan yang diberikan berupa sayuran, jagung, kangkung, bayam, kacang panjang, tauge, dan pur. Jumlah pakan untuk tiga ekor merak tidak memenuhi jumlah pakan yang seharusnya, dan komposisi bahan pakan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan tiga ekor burung merak (Tabel 3). 77 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Tabel 3. Pemberian pakan burung merak pada penelitian Kesesuaian Teknis Konservasi Satwa Liar Dilindungi Secara Ex-situ di Taman Satwa Lembah Hijau Bandarlampung November-Desember 2015 Tanggal 8-11-2015 9-11-2015 10-11-2015 Jenis pakan yang di berikan Sayur Tauge Pur Jagung Tauge Pur Jagung Tauge Pur Berat (gram/3ekor/hari) Jumlah Total 610 855 600 6,70 2,45 3,5 6,70 2,45 35 2.065 12,65 44,15 Menurut Purwaningsih (2012) pakan burung merak di Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah dibagi menjadi tiga yaitu, pakan kering, pakan basah, dan pakan tambahan. Pakan tambahan burung merak berupa cangkang/kulit kerang dan food dog yang diberikan setiap satu minggu sekali, dan kandungan protein di dalam pakan tidak boleh melebihi 50%. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah komposisi bahan pakan kering dan basah harus sesuai dengan takaran perbandingan yang disajikan pada (Tabel 4). Tabel 4. Komposisi dan perbandingan bahan pakan kering dan basah untuk sepasang burung merak hijau (Pavo muticus) di penangkaran TB TMII 2012 Jenis Pakan Pakan kering Pakan basah/segar Perbandingan (Unit) 1 1 1 2 Bahan Pakan Jagung giling Beras merah Kacang hijau Gabah Jumlah berat total Tauge Kangkung 1 1 Jumlah berat total Berat (gram/pasang/hari) 7 7 7 14 35 15 15 30 Sumber: Purwaningsih, 2012 D. Kesehatan Satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Dokter hewan dan animal keeper bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan satwa dilindungi di TSLHBL. Bentuk perlakuan kesehatan satwa tersebut, yaitu: 1. Kebersihan kandang satwa: Kandang satwa di Taman Satwa Lembah Hijau dibersihkan rutin setiap hari pada waktu pagi hari, kandang satwa dibersihkan dengan disapu dan disiram air tanpa menggunakan desinfektan sebagai campuran. 2. Pemeriksaan kesehatan satwa: Satwa di TSLHBL dilakukan setiap seminggu sekali dan dua minggu sekali tergantung cuaca. Pemberian obat cacing dan pemberian vaksin dilakukan setiap enam bulan sekali untuk semua jenis satwa. Jenis primata mendapat perlakuan kesehatan yang berbeda dari jenis satwa lainnya, seperti pemberian obat cacing setiap enam bulan sekali, pemberian vaksin rabies setiap enam bulan sekali, dan pemberian vaksin hepatitis setiap satu tahun sekali. Pemberian vitamin untuk satwa jenis primata berupa vitamin yang 78 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 dikonsumsi manusia seperti Curcuma Plus Emulsion dan madu yang dicampurkan pada pakan dan diberikan setiap hari. Pemberian vitamin pada satwa jenis burung di berikan sebulan sekali seperti Vitaplex Drop yang dimasukkan ke dalam air minum, dan untuk beruang madu diberikan suntikan vitamin seperti biosolamine. Pemberian obat-obatan untuk satwa yang sakit seperti burung diberikan obat antibiotik seperti Tetra-Chlor dan Super-N. Super-N digunakan untuk mengobati burung jenis kicauan yang terkena penyakit seperti diare, berak kapur, berak darah, berak air, luka, lesu, bulu kusam, ngorok, flu, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dan mikroorganisme. Sedangkan Tetra-chlor digunakan untuk mengobati burung berukuran besar yang terkena penyakit seperti Kolera, Pullorum, Snot, CRD. Jenis primata dan beruang madu diberi obat berupa suntikan intermectin sebanyak 10 %, yang digunakan untuk mengobati penyakit Cacing pada saluran pencernaan, Cacing Paru-Paru, Cacing Hidung, Scabies, Demodek, Kulit Bernanah, Caplak, dan untuk membunuh Kutu (Dominicus, 2009). E. Pemanfaatan Satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Pemanfaatan satwa liar di TSLHBL berdasarkan pengamatan, hingga saat ini satwa baru dijadikan peraga untuk memperlihatkan jenis-jenis satwa yang dimiliki oleh TSLHBL. Ada pemanfaatan untuk objek untuk berfoto bersama dengan satwa seperti burung kakaktua jambul kuning (Cacatua sulphurea), dan kakaktua seram (Cacatua moluccensis). Selain itu ada pula untuk atraksi satwa seperti burung macau biru emas (Ara ararauna), macau merah (Ara macao), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan berang-berang (Aonyx cinerea), selain itu satwa liar di TSLHBL juga sudah dijadikan objek penelitian. F. Pelestarian Satwa di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung Hasil dari pelestarian satwa di TSLHBL terhadap 26 spesies, hingga saat penelitian baru menghasilkan satu ekor rusa timor jantan. Sedang jenis satwa yang lain belum dapat menghasilan keturunan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan ada beberapa faktor yang menyebabkan satwa di TSLHBL belum memiliki keturunan yaitu: (a) Satwa yang belum mencapai fase dewasa, seperti merak hijau, rangkong badak, owa sumatera, owa jawa, kasuari gelambir ganda, orangutan Kalimantan; dan (b) Tidak memiliki pasangan untuk menghasilkan keturunan seperti Bangau Tong-tong, Buaya Irian, Jalak Bali, Cenderawasih Kuning Besar, Beo, Elang Hitam, Elang brontok, Elang bondol, Binturung, Buaya Muara. SIMPULAN Kesesuaian kandang dan tempat bermain satwa dari 25 kandang ditemukan 11 kandang yang belum sesuai menurut PKBSI dan ISAW yaitu: (1) Owa Jawa (Hylobates moloch), (2) Owa Sumatera (Hylobates agilis), (3) Merak Hijau (Pavo muticus), (4) Rusa Timor (Cervus timorensis), (5) Elang hitam (Ictinaetus malayensis), (6) Elang brontok (Nisaetus cirrhatus), (7) Elang bondol (Haliastur indus), (8) Beo (Gracula religiosa), (9) Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), (10) Binturung (Arctictis binturong), (11) Buaya Muara (Crocodylus porosus), dan Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae). Dari 26 jenis satwa, hanya satwa jenis burung merak hijau (Pavo muticus) yang jumlah pakannya tidak sesuai dengan jumlah pakan yang seharusnya diberikan. Satwa keturunan yang dihasilkan berupa satu ekor rusa pada tahun 2016, sedangkan satwa yang lain belum memiliki keturunan. Pemanfaatan satwa liar di Taman Satwa Lembah Hijau baru sebatas untuk penelitian, berfoto, peraga, dan atraksi satwa. 79 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 DAFTAR PUSTAKA Anugrah AP. 2014. Produk Observasi Interaktif untuk Sarana Introduksi Hewan di Kebun Binatang. Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa Dan Desain, 3(1): 376. Astirin OP. 2000. Permasalahan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Dalam Jurnal Biodiversitas. 1(1): 36-40. Baliton RS., Wulandari C., Landicho LD., Cabahug RED., Paelmo RF., Comia RA., Roberto G., Budiono P., Herwanti S., Rusita and Castillo AKSA. 2017. Ecological Services of Agroforestry Landscapes in Selected Watershed Area inThe Philippines and Indonesia. BIOTROPIA. 24(1): 71-84. Bolton M. 1981. Crocodile Husbandry in Papua New Guinea. FAO. Port Moresby. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2004. Crocodylus porosus. Dari https://cites.org/eng/node/16013/. Diakses pada 17 Februari 2016. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2012a. Appendices I, II, III. Dari www.wwf.ru/data/woodtool/e-2012-09-25.pdf, Diakses pada 7 April 2015. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2012b. Appendices I, II, III. Dari www.cites.org/eng/resources/qoutas/2000/suriname.html., 12 Mei 2015. Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Dominicus D. 2009. Intermectin Anti Ektoparasit dan Endoparasi. Dari http://ivermectindarryl.blogspot.co.id. Diakses pada 16 Februari 2016. Indonesian Society for Animal Welfare. 2015.Dari http://www.isaw.or.id/standar-dasar-praktekkebun-binatang/.Diakses pada 21 November 2015 International Union for Concervation of Nature and Natural Resources. 2016. The IUCN Red List of Treatened Species. Dari http://www.iucnredlist.org, Diakses pada 17 Febuari 2016. Mangi H. 2013. Asosiasi Burung Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dengan Pohon Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Cagar Alam Pangi Binangga Desa Pangi Kabupaten Parigi Moutong. Warta Rimba 1(1): 1-8. Ngabekti S. 2013. Konservasi Beruang Madu Di KWPLH Balikpapan. Biosaintifika: Journal of Biology and Biology Education 5(2): 90 – 96. Nuryanti RY. 2013. Teknik Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus Porosus) Di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Patrick, Patricia G., and Tunnicliffe SD. 2013. Zoo Talk. Springer: New York Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia. 2009. Pengelolaan Taman Satwa di Indonesia. Jakarta. Purwaningsih AD. 2012. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Merak Hijau Jawa di Taman Margasatwa Ragunan dan Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Putri AN., Fitriyah, dan Turtiantoro. 2014. Analisis Kinerja Pegawai Taman Margasatwa Kota Semarang. Journal of Politic and Government Studies 3(4): 336-345. Pro Fauna Indonesia. 2007. Fakta tentang Fauna di Indonesia. http//www. Pro Fauna Indonesia. 80 Jurnal Sylva Lestari Vol. 7 No. 1, Januari 2019 (71-81) ISSN (print) 2339-0913 ISSN (online) 2549-5747 Setio P., dan Takandjandji M. 2007. Konservasi Ex-situ Burung Endemik Langka Melalui Penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam. Suhandi AP. 2015. Perilaku Harian Orangutan (Pongo pygmaeus Linnaeus) Dalam Konservasi Ex-situ di Kebun Binatang Kasang Kulim Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Riau. Jurnal Online Mahasiswa Faperta 2(1): 14. Warsito H. 2010. Penyebaran dan Populasi Burung Paruh Bengkok Pada Beberapa Tipe Habitat di Papua. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7(1): 93 – 102. Wulandari C. 2011. Agroforestry: Kesejahteraan Masyarakat dan Konservasi Sumberdaya Alam. Buku. Penerbit Universitas Lampung. 78 hlm. 81