Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Rational Reasoning and Maslahah: Umar ibn al-KhattabAos IjtihAd on Cases of Islamic Inheritance Penalaran Rasional dan Maslahah: Ijtihad Umar ibn alKhattab pada Kasus-Kasus Kewarisan Islam Muhammad Yusron* Institut Agama Islam Negeri Pekalongan. Indonesia yusron@iainpekalongan. DOI: 10. 24260/jil. Received: June 16, 2021 * Corresponding Author Revised: July 28, 2021 Approved: July 29, 2021 Abstract: The provisions of Islamic inheritance have been regulated in such detail and specific in the QurAoan and hadth. However, several cases of Islamic inheritance produced by Umar ibn al-Khattab seem to contradict the provisions of the nah. This paper is a literature study with a normativejuridical study approach that aims to describe and analyze the results of Umar ibn al-KhattabAos ijtihAd in inheritance cases that are ijtihAdiyyah. This study indicates that the results of Umar ibn al-KhattabAos ijtihAd in resolving inheritance cases are based on logical reasoning and are oriented to benefit . This matter can be evidenced by giving 1/3 of the remaining part to the mother in the gharawain case, the unification of the inheritance of a sibling with a half brothers or sisters in the musytarakah case, and other inheritance cases such as Aoaul, radd, and inheritance of grandparents. Umar always prioritizes rational reasoning and maslahah in his interactions with nah. For him, a law is very much tied to the context of when and where it is Differences in time and place in the determination of law affect the results of ijtihAd. Keywords: UmarAos IjtihAd. Rational Reasoning. Maslahah. Case of Islamic Inheritance. Abstrak: Ketentuan kewarisan Islam telah diatur secara detail dan terperinci dalam AlqurAoan dan hadis. Namun, beberapa kasus dalam kewarisan Islam yang diproduksi oleh Umar ibn al-Khattab terkesan bertentangan dengan ketentuan nah. Tulisan ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan kajian yuridis-normatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis hasil ijtihad Umar ibn al-Khattab dalam masalah kewarisan yang bersifat ijtihAdiyyah. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa hasil ijtihad Umar ibn al-Khattab dalam menyelesaikan kasus-kasus kewarisan didasarkan pada penalaran rasional dan berorientasi pada kemaslahatan. Hal ini dapat dibuktikan pemberian bagian 1/3 sisa untuk ibu dalam masalah gharawain, penyatuan bagian waris antara saudara sekandung dengan saudara seibu dalam masalah musytarakah dan kasus-kasus kewarisan [ 197 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. lainnya seperti Aoaul, radd dan kewarisan kakek dan nenek. Umar selalu mengedapankan penalaran rasional dan maslahah dalam interaksinya dengan nah. Baginya, sebuah hukum sangat terikat dengan konteks kapan dan di mana ia ditetapkan. Perbedaan waktu dan tempat dalam penetapan hukum berpengaruh terhadap hasil ijtihad. Kata Kunci: Ijtihad Umar. Penalaran Rasional. Maslahah. Kasus Kewarisan Islam. Pendahuluan Ketentuan kewarisan Islam telah diatur secara detail dan terperinci dalam AlqurAoan dan hadis. Namun, beberapa kasus dalam kewarisan Islam yang diproduksi oleh Umar ibn al-Khattab terkesan bertentangan dengan ketentuan nah. Istilah-istilah baru dalam kewarisan Islampun muncul seperti gharawain, musytarakah, ataupun istilah-istilah lainnya yang lahir dari ijtihad Umar terhadap masalah-masalah kewarisan yang muncul pada saat itu. Ijtihad Umar tersebut tidak lepas dari cara pandangnya terhadap nah. Pembacaannya atas nah selalu dikaitkan dengan kemaslahatan. Nah dipahami dalam suatu konteks, sehingga rasionalitas sangat diperlukan dalam penerapannya. 1 Cara pandang Umar terhadap dengan nah ini berbeda dengan cara pandang para sahabat yang lain, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan prespektif dalam penerapan nah mawaris terhadap masalah-masalah waris yang muncul. Masalah-masalah tersebutpun menjadi masalah khilafiyah dan masuk dalam ranah ijtihad yang selalu menarik untuk dikaji. Terkait dengan masalah-masalah kewarisan yang bersifat ijtihAdiyyah terdapat beberapa tulisan yang membahas dengan fokus kajian yang berbedabeda. Di antaranya adalah Syabbul Bachri yang mengkaji tentang perdebatan masalah Aoaul dalam kewarisan Islam. Ia mengkomparasikan antara pendapat ulama Sunni dengan ulama SyiAoah dalam masalah tersebut. 2 Dalam tulisan yang lain. Syabbul Bachri juga membahas tentang penafsiran ibn AbbAs atas ayat-ayat waris yang sekaligus menjadi pendapatnya dalam masalah kewarisan. Padahal, 1 Alma`arif. AuKesadaran Hermeneutik dalam Membaca Teks: Model Ijtihad Umar ibn alKhattab,Ay Al-AAoraf : Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat 13, no. : 210. 2 Syabbul Bachri. AuPro Kontra AoAul dalam Kewarisan Islam: Studi Komparatif antara Pandangan Sunni dan Syiah,Ay De Jure: Jurnal Hukum dan SyariAoah. Vol 10. No. : 49Ae60. [ 198 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. pendapatnya tersebut berbeda dengan pendapat kebanyakan para sahabat. Masalah ijtihAdiyyah lain yang telah menjadi objek kajian adalah masalah SyuhadaAo yang menulis tentang masalah ini berfokus pada perbandingan antara pendapat Umar ibn al-Khattab dengan Ibn AbbAs dalam penyelesaian masalah tersebut. Sementara itu, terdapat pula beberapa tulisan yang membahas tentang pendapat Umar ibn al-Khattab dalam masalah-masalah ijtihAdiyyah. Zaidi Abdad membahas tentang model ijtihad Umar dan pengaruh perubahan sosial terhadap hasil ijtihadnya. Ia menyimpulkan bahwa pemahaman yang komprehensif dan integral menjadi dasar dan pijakan bagi Umar untuk berijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad Umar juga berorientasi pada tercapainya kemaslahatan umat Islam. Selain itu. Tasnim Rahman Fitra mengkaji tentang relevansi model ijtihad Umar ibn al-Khattab dengan konsep hukum Progresif. 6 Kajian tentang pendapat Umar juga dilakukan oleh Elfia. Ia membuat analisis terhadap beberapa kebijakan Umar ibn al-Khattab terkait masalah kewarisan7 Dalam tulisannya. Elfia menitikberatkan pada aspek-aspek yang melatarbelakangi adanya kebijakan yang diambil oleh Umar dalam menyelesaikan masalah-masalah kewarisan. Dari hasil analisanya, terdapat tiga aspek yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. Elfia mengungkap sebab dan alasan munculnya suatu kebijakan hukum dalam menyelesaikan suatu Namun, dalam kajiannya, ia tidak menyebutkan semua hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh Umar dalam masalah kewarisan, sehingga perlu ada kajian lain untuk melengkapinya guna mendapatkan mendapatkan informasi yang lebih utuh dan menyeluruh, serta menambah khazanah keilmuan khususnya yang terkait dengan hukum kewarisan Islam. 3 Syabbul Bachri. AuRekonstruksi Kewarisan Islam: Studi Hermeneutika ibn Abbas atas Ayat- Ayat Waris,Ay Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam. Vol 5. No. : 21-50. 4 SyuhadaAo. AuBagian Waris Ibu dalam Gharrawayn. Analisis Ijtihad Umar dan ibn Abbas dalam Bagian Waris Ibu,Ay Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman 2. No. : 77Ae96. 5 M. Zaidi Abdad. AuIjtihad Umar ibn al-Khattyb: Telaah Sosio-Historis atas Pemikiran Hukum Islam,Ay Istinbath: Jurnal Hukum Islam. Vol 13. No. : 37Ae50. 6 Tasnim Rahman Fitra. AuIjtihad Umar ibn al-Khattab dalam Perspektif Hukum Progresif,Ay Al-Ahkam Vol 26. No. : 49-64. 7 Elfia. AuKebijakan Hukum dalam Penyelesaian Kewarisan Islam,Ay Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol 2. No. : 125Ae150. [ 199 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Berdasar pada hal tersebut, perlu untuk dikaji lebih lanjut terkait ijtihad Umar dalam hukum Islam secara umum dan hukum kewarisan secara khusus. Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, kajian ini lebih difokuskan pada analisis terhadap argumentasi hukum untuk mengetahui dasar dan pijakan umar dalam berijtihad. Kajian ini akan membahas lebih spesifik tentang ijtihad Umar terhadap masalah-masalah kewarisan dan argumentasi hukum yang digunakannya dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Terlebih lagi kedudukan Umar sebagai sahabat sekaligus khalifah yang putusan-putusan dan kebijakankebijakannya diikuti oleh umat Islam. Tulisan ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan kajian yuridis-normatif. Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendapat Umar ibn al-Khattab pada masalah kewarisan yang bersifat ijtihAdiyyah. 8 Kajian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang saling terkait dengan masalah kewarisan dan ijtihad Umar. Bahan primer dalam kajian ini adalah pendapat-pendapat Umar ibn al-Khattab dalam masalah kewarisan yang bersifat ijtihAdiyyah yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun Bahan kajian yang terkumpul kemudian dilakukan analisa dan dipertanggungjawabkan, sehingga layak dijadikan sebagai referensi dalam khazanah hukum kewarisan Islam. Umar ibn al-Khattab dan Ijtihad Hukumnya Ijtihad Umar ibn al-Khattab memiliki nilai dan karakteristik yang khusus dalam Islam. 9 Posisinya sebagai khalifah menjadikan ruang ijtihadnya tidak terbatas pada masalah-masalah keagamaan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, keuangan, politik, dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Umar memiliki 8 Soerjono Soekanto and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2. , 14. 9 Ijtihad adalah suatu pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syaraAo dari dalil yang terperinci, dengan bersumber dari dalil-dalil syaraAo. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid antara lain. menguasai bahasa Arab dengan segala cabang ilmunya, menguasai AlqurAoan dengan segala hukum yang terkandung, menguasai hadis dengan segala hukum yang terkandung di dalamnya, mampu menerapkan qiyas dengan mencari Aoillah hukumnya, mengetahui kemaslahatan serta perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Lihat: Abd al-WahhAb KhallAf. Ilmu Ul al-Fiqh (Kairo: DAr al-Qolam, 1. , 216. [ 200 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. kualitas keilmuan yang sangat baik. Bahkan ketika Rasulullah SAW masih hidup, pendapat-pendapatnya sering dibenarkan langsung oleh Allah SWT. Imam alSuyi menyebutkan ada 16 pendapat Umar yang dibenarkan langsung oleh Allah SWT melalui AlqurAoan. Di antaranya adalah ayat tentang hijab, pelarangan khamer, maqAm IbrAhim, dan menyalatkan orang munafik. Ijtihad Umar berdasarkan pada pemahaman yang terintegrasi dan komprehensif terhadap nah yang ada untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Umar sangat memperhatikan aspek-aspek perubahan sosial dan budaya yang sedang berkembangan saat itu. Budaya patriarki sebagai sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat juga termasuk aspek yang diperhatikan, khususnya dalam masalah yang berkaitan dengan kewarisan. Meskipun hasil ijtihad Umar terkadang seolah-olah bertentangan dengan eAhir nah, seperti ijtihadnya dalam masalah ghanmah, masalah talak, hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman pezina bagi seorang gadis, maupun masalah pemberian zakat bagi para muallaf, tetapi sesungguhnya Umar sedang menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam nah tersebut dan lebih berkonsentrasi pada kemaslahatan yang merupakan tujuan syaraAo itu sendiri. Umar sering menggunakan dalil kemaslahatan jika berijtihad dalam masalah yang berkaitan dengan kenegaraan dan kemasyarakatan mengingat ia adalah seorang khalifah 12 Putusannya dalam masalah ghanmah setelah penaklukan kota irak misalnya. Umar tidak membagi tanah ghanmah seperti yang sudah biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun Abu Bakar, tetapi mengembalikannya kepada para penduduk dan mengambil pajak dari mereka. Dalam hal ini. Umar sebenarnya sedang melakukan tahsis terhadap nah dengan uikmah al-tasyrAo dan maslahat yang dibenarkan secara syaraAo. Umar menerapkan ayat tentang pembagian ghanmah dengan suatu kebijakan yang tidak 10 Muhammad RawwAs QalAoahji. Mausah Fiqh Umar ibn al-Khattab, 4th ed. (Beirut: DAr al- NafAis, 1. , 10. 11 Muhammad al-Madani. NaearAt f Fiqh al-FArq Umar ibn al-Khattab (Kairo: WizArah alAuqAf, 2. , 76-75. 12 Muhammad Fuad UAhir. Al-IjtihAd al-Uli Aoinda Umar ibn al-Khattab (Mabarrah al- AAoli wa al-AshAb, 2. , 324. 13 Ysuf ibn Hasan ibn Abd al-HAdi al-Mubarrid. Mahs al-owAb f FasAil al-Amir alMuAominin Umar ibn al-Khattab (Madinah: UmAdah al-Bau al-AoIlmi bi al-JAmiah al-IslAmiyah, 2. Vol. II, 456. [ 201 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. bertentangan dengan kemaslahatan umum yang mana hal tersebut merupakan tujuan syaraAo itu sendiri. Ijtihad Umar dalam masalah hukum keluarga juga didasarkan pada dalil maslahah, seperti jatuhnya talak tiga dengan satu lafae yang pada masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar talak seperti ini dianggap jatuh talak satu. Umar melihat fenomena yang terjadi di masyarakat di mana banyak suami pada saat itu terlalu terburu-buru dalam menjatuhkan talak . 15 Dalam masalah kewarisan. Umar banyak berijtihad untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di masyarakat. Ijtihadnya dalam masalah kewarisan juga tidak lepas dari orientasinya pada kemaslahatan disamping penggunaan argumentasi yang logis. Ijtihad Umar ibn al-Khattab: Kasus-Kasus Kewarisan Islam Umar sebagai seorang mujtahid sekaligus khalifah sering dihadapkan dengan masalah kewarisan yang terjadi di masyarakat. Masalah tersebut menuntut Umar untuk melakukan ijtihad. Hasil ijtihad Umarpun banyak disepakati para sahabat dan diikuti oleh para ulama setelahnya, sehingga menghasilkan ketentuanketentuan baru dalam kewarisan Islam. Masalah Gharawain atau Umariyatain Masalah gharawain adalah dua masalah waris yang ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah, dan suami atau istri. Masalah gharawain disebut juga dengan masalah umariyatain karena putusan Umar ibn al-Khattab dalam penyelesaian kedua masalah tersebut. Putusan Umar tersebut disetujui oleh mayoritas sahabat di antaranya Zaid ibn Abit. Ibn MasAod. UsmAn ibn AffAn, dan kemudian diikuti oleh jumhur ulama. Ibn MasAod mengatakan: AuKetika Umar mengambil sebuah jalan, lalu kita mengikutinya di jalan tersebut niscaya kita akan mendapati suatu kemudahanAy. 17 Namun tidak dengan Ibn abbAs. Dalam masalah ini, ia berpendapat bahwa ibu mendapatkan bagian 1/3 harta, karena al-NisaAo 14 Abdulah al-KlAni. IjtihAd Umar ibn al-Khattab f Ars al-SawAd wa ilatuhu bi al-SiyAsah al-IqtiAdiyah al-SyarAoIyyah (Oman: DAr al-Aariyah, 2. , 40. 15 Abu Bakar Abd al-RazzAq HammAm al-anAoAni. Musannaf Abd al-RazzAq (Beirut: AlMaktab al-IslAmi, 1. , vol. VI, 391. 16 Al-Mubarrid. MahsA, vol, i, 769-772. 17 QalAoahji. Mausah, 63. [ 202 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. ayat 11 secara jelas telah menerangkan bahwa bagian ibu adalah 1/3 harta. Bagian 1/3 sisa tersebut tidak diatur dalam AlqurAoan dan murni merupakan pendapat dari Zaid ibn Abit. Jumhur sahabat berpendapat bahwa ibu mendapatkan bagian 1/3 dari sisa setelah diambil bagian suami/istri, bukan 1/3 dari seluruh harta waris. Mereka berargumentasi bahwa kaidah yang berlaku dalam ketentuan waris Islam ialah jika seorang laki-laki dan seorang perempuan berada dalam satu derajat kekerabatan yang sama, maka bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki. 20 Hal ini tidak akan terwujud kecuali jika ibu diberikan bagian 1/3 dari sisa setelah diambil bagian suami/istri. Seandainya ibu diberikan bagian 1/3 harta, maka ayah akan mendapatkan bagian setengah dari bagian ibu ketika mereka mewaris bersama suami, karena suami mendapat bagian 1/2, ibu mendapat 1/3, dan sisanya untuk ayah 1/6. Pembagian seperti ini tidak logis dan tidak berlaku dalam aturan waris Islam. Pembagian seperti ini tidak sesuai dengan nah AlqurAoan ataupun pemaknaannya. AlqurAoan mengatur kewarisan orang tua . yah dan ib. berdasarkan prinsip 1/3 untuk ibu dan 2/3 untuk ayah, sehingga persentase bagian waris mereka didasarkan pada prinsip Dengan demikian, bagian yang mengharuskan ayah mendapat setengah dari bagian ibu tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan persentase bagian mereka yang telah ditetapkan dalam AlqurAoan. Berdasarkan pada prinsip tersebut, maka ibu diberikan bagian 1/3 dari sisa karena sesuai dengan nah AlqurAoan ataupun pemaknaannya. Ketika ayah dan ibu mewarisi tidak bersama salah satu dari suami atau istri, bagian ibu adalah 1/3 dan ayah mendapatkan bagian sisa . , dan ketika mereka mewarisi bersama salah satu dari suami atau istri, maka persentase bagian yang telah ditetapkan oleh aturan waris Islam ini yang dijadikan sebagai acuannya. 18 Muhammad RawwAs QalAoahji. Mausah Fiqh ibn AbbAs (Makkah: MaAohad al-Buu alIlmiyah, t. ), 133. 19 Al-anAoAni. Musannaf, vol. X, 254. 20 Kaidah ini diambil dari ketentuan yang telah dijelaskan dalam AlqurAoan, yaitu: al-Nisa ayat 11, dan 176. 21 Muhammad Abu Zahrah. AhkAm al-TarikAt wa al-MawAri (Kairo: DAr al-Fikri alArabi,t. ), 132. [ 203 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Persentase bagian ini tidak terwujud kecuali jika ibu diberikan bagian 1/3 dari sisa setelah diambil bagian suami/istri, dan sisanya diberikan kepada ayah. Masalah Kewarisan Ibu Bersama Kakek Umar ibn al-Khattab tidak memberikan bagian waris kepada ibu melebihi bagian kakek. 23 Umar menempatkan kakek pada posisi ayah, sehingga bagiannya tidak boleh lebih sedikit dari bagian ibu. Pendapat ini diikuti oleh Ibn MasAod, sehingga dalam masalah gharawain kedudukan ayah bisa digantikan oleh kakek. 24 Atas dasar ini, dalam masalah kewarisan ibu bersama kakek, ibu tidak diberikan bagian lebih banyak dari bagian kakek. Jika kakek mendapatkan bagian 1/3 maka ibu diberikan bagian 1/3 sisa, dan jika kakek mendapatkan bagian kurang dari sepertiga maka ibu diberikan bagian 1/6. Dalam kasus waris yang ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan kakek misalnya. Suami mendapat 1/2, ibu mendapat 1/3 sisa . , saudara perempuan 1/2, dan kakek 1/6, sehingga pokok masalahnya adalah 6 dan di-Aoaul-kan menjadi 8, suami 4 bagian, ibu 1 bagian, saudara 2 bagian, dan kakek 1 bagian. 26 Kasus waris lain yang ahli warisnya terdiri dari: kakek, ibu, dan saudara perempuan sekandung. Umar memberikan kepada saudara perempuan sekandung 1/2, kepada ibu 1/3 sisa . , dan kakek 1/3, sehingga pokok masalahnya adalah 6, saudara perempuan sekandung mendapat 3 bagian, ibu 1 bagian, dan kakek 2 bagian. Pendapat Umar ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama. Setidaknya ada 8 masalah kewarisan ibu bersama kakek yang ditetapkan oleh Umar berbeda dengan pendapat mayoritas ulama. 28 Hal ini karena prinsip yang dipegang oleh Umar yaitu menempatkan kakek pada posisi ayah ketika ia mewarisi bersama ibu. 22 Zahrah, 132. 23 Al-anAoAni. Musannaf, vol. X, 269. 24 Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm. Al-Muhalla bi al-AAr (Beirut: DAr al-Kutub al-AoIlmiyah, 2. ,vol. Vi, 274. 25 Mahfd ibn Ahmad ibn Hasan al-KalwaAni. Al-Tahb f al-FarAis (Beirut: DAr al-Kutub al-AoIlmiyah, 1. , 85. 26 QalAoahji. Mausah,63. 27 Al-anAoAni. Musannaf, vol. X, 271. 28 QalAoahji. Mausah, 89-92. [ 204 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Masalah Musytarakah Masalah musytarakah atau disebut juga dengan masalah musyarrakah, uimAriyah, uajariyah, atau yammiyah, yaitu masalah waris yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu atau nenek, dua saudara laki-laki/perempuan seibu atau lebih, dan saudara laki-laki sekandung. 29 Disebut dengan masalah musytarakah karena sebagian ulama menyatukan bagian saudara laki-laki sekandung dengan bagian dua saudara laki-laki/perempuan seibu atau lebih dalam satu bagian fars dan membaginya dengan sama. Masalah ini pernah terjadi dua kali pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, dan dua putusan yang berbedapun diberikan oleh Umar ibn al-Khattab kepada para ahli waris yang berperkara. Dalam putusan pertama terhadap masalah ini. Umar tidak memberikan bagian waris kepada saudara laki-laki sekandung dikarenakan dia termasuk ahli waris aAbah sementara semua harta waris sudah habis dibagi oleh para aw alfurs. Namun pada kasus yang kedua. Umar memutuskan bahwa saudara lakilaki bersama-sama Umar menyamakan saudara sekandung dengan saudara seibu karena mereka memang berasal dari satu ibu yang sama, dan tidak menganggap keberadaan Putusan Umar yang kedua ini menganulir putusan pertama yang tidak memberikan bagian waris kepada saudara sekandung. Dua putusan tersebut memiliki logika dan cara pandang penyelesaiannya masing-masing. Bagi yang memahami ayat secara tekstual, maka dia akan berpendapat bahwa saudara perempuan seibu berhak mendapatkan bagian 1/3 sesuai dengan nah AlqurAoan dan bagian mereka tidak boleh berkurang Tetapi jika dicermati lagi, saudara sekandung sebenarnya juga merupakan saudara seibu, bahkan hubungannya dengan pewaris lebih kuat karena mereka memiliki ayah yang sama, dan seharusnya ketika seseorang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih kuat dengan pewaris, maka ia akan lebih berhak atas harta warisnya. 29 Muhammad Abduh Yazid. Al-ManAhij al- adiah f al-MabAhi al-MirAiyah, . ), 186. 30 QalAoahji. Mausah, 59. 31 Zahrah. AhkAm, 125. 32 Muhammad Baltaji. Manhaj Umar ibn al-Khattab f TasyrAo (Beirut: DAr al-Fikr al-Arabi, ), 316. [ 205 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Sebenarnya nalar logika yang digunakan untuk memahami nah tidak menolak dua pendapat tersebut. Namun, terdapat faktor lain yang merupakan pondasi dari hukum Islam itu sendiri yang mendukung salah satu dari dua pendapat tersebut, yaitu rasa keadilan, terlebih dalam masalah waris yang jika terdapat rasa ketidakadilan dapat menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar kerabat bahkan sampai terjadi pertikaian. Keadilan dalam konteks ini adalah dengan menggabungkan saudara sekandung dengan saudara seibu . an memang mereka adalah seib. dan bersama-sama dalam bagian 1/3. Faktor inilah yang menjadi pertimbangan Umar dalam menyamakan saudara sekandung dengan saudara seibu, karena ketika argumentasi-argumentasi logis itu sama kuatnya, maka jika ada faktor luar yang mendukung salah satu argumentasi maka ia akan menjadi penentu pilihan hukum. Masalah AoAul Secara etimologi. Aoaul memiliki makna curang, menyimpang dari kebenaran, hilang atau dikalahkan, dan mengangkat. 34 Makna terakhir dari Aoaul tersebut sering digunakan oleh ulama farAAois. Secara terminologi Aoaul didefinisikan sebagai bertambahnya jumlah harta waris dan berkurangnya kadar penerimaan ahli waris . w al-fur. atau bertambahnya angka pokok masalah dari yang seharusnya. 35 Hal ini terjadi ketika terdapat beberapa ahli waris yang berhak mendapatkan bagian waris, tetapi harta waris tidak mencukupi untuk dibagikan kepada sebagian ahli waris yang lain. Solusinya ialah pokok masalah dinaikkan supaya semua ahli waris memperoleh bagiannya masing-masing. 36 Dengan demikian. Aoaul berarti mengurangi bagian masingmasing ahli waris. Para ahli waris tidak terhalang dari menerima harta waris akibat naiknya angka pokok masalah, melainkan bagian harta warisnya saja yang berkurang. 33 Baltaji, 316. 34 Abu Mansr Muhammad ibn Ahmad al-Azhari. Tahb al-Lugah (Beirut: DAr IhyA alTurA al-AoArabi, 2. , 124. 35 Abd al-Karim ibn Muhammad al-LAuim. Al-FarAis (Riyadh: WizArah al-SyuAon alIslamiyah wa al-AuqAf wa al-DaAowah wa al-IrsyAd, 1418 H), 26. 36 Yazid. Al-ManAhij, 144. [ 206 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Masalah Aoaul termasuk dalam masalah ijtihAdiyyah. Masalah Aoaul pertama terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab. Ketika itu salah seorang sahabat datang kepada Umar ibn al-Khattab seraya menanyakan tentang penyelesaian masalah waris yang ahli warisnya terdiri dari suami dan dua saudara perempuan sekandung. Umar bimbang dalam menyelesaikan masalah Masalah ini kemudian dimusyawarahkan dengan para sahabat. Umar berkata bahwa bagian suami sudah ditetapkan . dan bagian saudara perempuan sekandung sudah ditetapkan . Jika dimulai dengan memberikan waris kepada suami, maka tidak ada hak yang sempurna bagi dua saudara perempuan. Jika dimulai dengan memberikan waris kepada dua saudara perempuan, maka tidak ada hak yang sempurna bagi suami. AbbAs ibn Abd al-Mualib memberikan pertimbangan kepada Umar dengan Aoaul. menganalogikan masalah ini dengan pembayaran hutang pewaris. Jika seseorang meninggal dan ia memiliki harta sebanyak enam dinar, sementara ia berhutang kepada dua orang yang masing-masing sebanyak empat dinar dan tiga dinar, maka cara penyelesaiannya adalah dengan membagi harta enam dinar tersebut menjadi tujuh bagian kemudian diberikan kepada dua orang tersebut sesuai jumlah hutangnya. 37 Kemudian Umar menerima pendapat AbbAs ibn Abd al-Mualib, karena lebih memperhatikan kemaslahatan para ahli waris, dan tidak ada satupun dari sahabat yang mengingkari pendapat tersebut. Tidak adanya pengingkaran dari para sahabat terhadap masalah Aoaul ini, bisa dianggap para sahabat menyepakati konsep Aoaul, sehingga sudah menjadi ijmaAo. Namun setelah meninggalnya Umar ibn al-Khattab. Ibn AbbAs menyelisihi pendapat Umar. Ibn AbbAs menentang keras konsep Aoaul yang dipraktekkan Umar dalam menyelesaikan masalah waris, sehingga ia berani melakukan mubAhalah kepada siapa saja yang membenarkan konsep Aoaul. Baginya, masalah yang terjadi pada masa Umar tersebut dapat diselesaikan dengan cara mendahulukan ahli waris yang didahulukan Allah dan mengakhirkan ahli waris yang diakhirkan Allah, ia berkata: AuDemi Allah, andaikan didahulukan orang yang didahulukan oleh Allah TaAoala dan diakhirkan orang yang diakhirkan oleh 37 QalAoahji. Mausah, 73. Lihat juga: Ari AoAli IbrAhm. AuAl-AoAul f MasAil al-MirA,Ay Anbar University Journal of Islamic Sciences 39 . ), 319. [ 207 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Allah TaAoala, niscaya tidak terjadi suatu Aoaul sama sekali. "38 Menurutnya, orang yang didahulukan adalah orang yang dipindahkan oleh Allah dari suatu al-furs al-muqaddarah ke al-furs al-muqaddarah yang lain, seperti suami atau ibu dan orang yang diakhirkankan adalah orang yang dipindahkan dari suatu al-furs al-muqaddarah kepada bukan al-furs al-muqaddarah seperti para saudara perempuan dan anak-anak perempuan. Berdasarkan konsep ini, masalah waris yang terjadi pada masa khalifah Umar tersebut dapat diselesaikan dengan memberikan bagian suami terlebih dahulu . , kemudian memberikan bagian dua saudara perempuan . , 2/3. Sebagaimana dalam masalah mubAhalah yang diselesaikan oleh Ibn AbbAs dengan konsep ini, yaitu ketika masalah waris terdiri dari suami, saudara perempuan sekandung dan ibu. Dalam kasus ini, suami mendapat bagian1/2, ibu mendapat bagian 1/3, dan saudara perempuan sekandung mendapat bagian sisa, yaitu 1/6, meskipun bagian sebenarnya adalah 1/2. Ini berbeda dengan konsep Aoaul yang dipraktikkan Umar ibn al-Khattab. Berikut perbandingannya:40 Tabel 1 Penyelesaian Masalah MubAhalah Konsep AoAul Konsep Ibn AbbAs Ahli Waris Bagian Bagian Suami Ibu Saudara Perempuan Sekandung Ibn AbbAs meyakini penuh dengan konsepnya. Ia mendasarkan konsepnya pada analogi qiyAs. Ketika hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan itu tidak bisa terpenuhi semuanya, maka didahulukan yang lebih kuat, sebagaimana yang berlaku dalam pemenuhan hak-hak yang berkaitan 38 Abu Bakar Ahmad ibn al-usain ibn AoAli Al-Baihaqi. Al-Sunan Al-Kabr, 1st ed. (Kairo: Markaz Hajr li al-Bu Wa al-DirAsAt al-Arabiyah wa al-IslAmiyah, 2. , vol. XII, 568. 39 IbrAhm, "Al-AoAul, 319. 40 Al-LAuim. Al-FarAis, 30-31. [ 208 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. dengan harta peninggalan yang meliputi biaya pemulasaraan jenazah, pelunasan hutang, penunaiaan wasiat, dan waris. Ibn AbbAs meng-qiyas-kan permasalahan tersebut dengan pemenuhan hak-hak dari harta peninggalan. Mayoritas ulama memilih konsep Aoaul yang dipraktikkan Umar ibn alKhattab untuk menyelesaikan kasus masalah waris. Mereka memilih konsep ini berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam AlqurAoan, hadis, ijmaAo dan qiyAs. Dalam al-NisaAo ayat 11, 12, dan 176 telah dijelaskan bagian waris secara terperinci. Ayat mawAris ini berlaku mutlak, sehingga tidak ada pembedaan antara para ahli waris dalam menerima hak waris, baik ketika ahli warisnya sedikit ataupun banyak dan mengakibatkan terjadinya Aoaul. Dalam penerimaan hak waris. Para ahli waris diperlakukan sama, tidak ada ahli waris yang didahulukan dari pada ahli waris yang lain. 42 Dalam hadis juga disebutkan adanya perintah untuk memberikan harta waris kepada para ahli warisnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: AuBerikanlah bagian waris yang telah ditetapkan . arAAoi. kepada yang berhak, maka jika ada bagian yang tersisa maka berikanlah kepada pewaris laki-laki yang paling dekat nasabnya. Ay43 Perintah dalam hadis ini jelas, yaitu agar harta waris itu diberikan kepada para ahli warisnya, dan tidak terdapat pengkhususan untuk melakukan pengurangan kepada salah satu dari para ahli waris. Jika harta itu habis dibagi dan para ahli waris mendapatkan sesuai dengan bagiannya masing-masing, maka masalah sudah terselesaikan. Namun, jika harta itu sudah habis dibagi, sementara ada sebagian ahli waris yang belum mendapatkan bagiannya, maka kekurangan itu harus dibebankan kepada semua ahli waris karena semuanya termasuk aw al-furs. Selain dari ayat maupun hadis di atas, konsep Aoaul sudah disepakati oleh para sahabat. Ketika Umar ibn al-Khattab mempraktikkan konsep Aoaul ini, tidak ada satu orangpun dari para sahabat yang mengingkarinya, sehingga konsep Aoaul ini sudah menjadi ijmaAo para sahabat. Pengingkaran terhadap konsep Aoaul 41 Al-LAuim, 28. 42 Al-LAuim, 27. 43 Muhammad ibn Ismail ibn IbrAhm ibn al-Mugirah al-BukhAri, auu al-BukhAri, 1st ed. (Kairo: DAr al-SyaAobi, 1. , vol. Vi, 187. 44 Al-LAuim. Al-FarAis, 28. [ 209 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. yang dilakukan oleh Ibn AbbAs ini baru terjadi setelah khalifah Umar ibn alKhattab meninggal dunia yaitu pada masa kekhalifahan UsmAn ibn AffAn. Argumentasi Ibn AbbAs dengan analogi qiyas tidak bisa dibenarkan. Menganalogikan masalah Aoaul dengan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan termasuk al-qiyAs maAoa al-fAriq. Dua masalah tersebut berbeda. Dasar perolehan bagian pasti para aw al-furs adalah sama yaitu nah, maka mereka memiliki hak yang sama kuat. Sementara hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan, di antaranya ada yang lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuatlah yang akan diutamakan. Analogi masalah Aoaul dengan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan juga tidak lebih baik dari analogi masalah Aoaul dengan penyelesaian masalah hutang yang dipakai AbbAs ibn Abd al-Mualib sebagai argumentasi konsep Aoaul. Masalah Radd Secara memulangkan kembali. 47 Secara terminologi, radd adalah pengembalian sisa harta waris setelah diambil ahli waris aw al-furs kepada mereka sesuai dengan bagiannya masing-masing jika tidak ada ahli waris ashAbah. 48 Agar pembagian waris dapat dilakukan secara tepat, maka dapat dilakukan dengan ketentuan jika jumlah bagian para ahli waris melebihi jumlah pokok masalah, maka pokok masalah tersebut di-Aoaul-kan. Demikian juga jika jumlah bagian para ahli waris itu lebih kecil dari pada pokok masalah, maka harus diselesaikan juga secara tepat supaya harta waris habis dibagi. Dalam ketentuan waris Islam sisa harta tersebut harus dikembalikan . i-radd-ka. kepada para ahli waris yang berhak sesuai bagiannya masing-masing. Terdapat beberapa pendapat yang beredar di antara para sahabat dalam masalah radd. Zaid ibn Abit berpendapat bahwa sisa harta setelah dibagikan kepada para ahli aw al-furs tidak di-radd-kan kepada mereka. Jika sudah tidak ada ahli waris aAbah, maka sisa harta diberikan ke bait al-mAl. 45 Al-LAuim, 28. 46 Al-LAuim, 28. 47 Al-Azhari. Tahb. XIV, 46. 48 Al-LAuim. Al-FarAis, 123. [ 210 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. berargumentasi bahwa Allah telah menentukan kadar bagian masing-masing ahli waris aw al-furs. Jika sisa harta setelah dibagikan kepada para ahli waris aw al-furs itu di-radd-kan kepada mereka, maka mereka telah mendapatkan bagian yang lebih banyak dari yang telah ditetapkan oleh Allah. Sisa harta berstatus tanpa pemilik, sehingga diberikan ke bait al-mAl untuk kepentingan kaum muslimin secara umum. 49 Pendapat ini diikuti oleh mahab maliki. Imam SyafiAoi juga memilih pendapat ini, hanya saja dengan mensyaratkan adanya bait al-mAl tersebut dikelola dengan baik. 50 Namun pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa bait al-mAl diperuntukkan bagi kaum muslimin secara Para ahli waris aw al-furs sudah pasti termasuk dalam kategori kaum muslimin, bahkan mereka mempunyai hubungan yang lebih dengan pewaris yaitu hubungan kekerabatan, sehingga mereka seharusnya lebih berhak atas sisa harta waris dari pada bait al-mAl. UsmAn ibn AffAn berpendapat bahwa sisa harta di-radd-kan kepada semua aw al-furs termasuk suami ataupun istri sesuai dengan bagiannya masing-masing. Ia berargumentasi bahwa suami ataupun istri termasuk golongan aw al-furs, sehingga mereka memiliki hak yang sama dengan aw al-furs lainnya, baik dalam bagian pasti maupun bagian radd. 52 Namun pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kewarisan suami dan istri dengan ahli waris aw al-furs Kewarisan suami dan istri disebabkan oleh adanya hubungan pernikahan yang ketika pewaris meninggal dunia secara otomatis hubungan pernikahan itu sudah tidak ada. Sedangkan kewarisan aw al-furs lainnya disebabkan oleh adanya hubungan nasab, dan hubungan nasab tidak terputus meskipun pewaris meninggal dunia. Umar ibn al-Khattab. Ali ibn Abi hAlib. Ibn AbbAs, dan mayoritas para sahabat berpendapat bahwa sisa harta di-radd-kan kepada semua aw al-furs sesuai dengan bagiannya masing-masing kecuali suami atau istri, ayah, dan 49 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 125. 50 Al-LAuim. Al-FarAis, 124. 51 Al-LAuim, 125. 52 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 128. 53 Al-LAuim. Al-FarAis, 126. [ 211 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Oleh karena itu, penerima radd terbatas kepada: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan 54 Argumentasi dari pendapat ini adalah bahwa kata ul al-aruAm yang terdapat pada surat al-Anfal ayat 75 memiliki makna yang mencakup seluruh kerabat, baik aw al-furs, aw aAbah, ataupun aw al-aruAm. Posisi aw alfurs lebih kuat dari pada aw al-aruAm, sehingga aw al-furs lebih berhak untuk mendapatkan pengembalian sisa harta. 55 Rasulullah SAW juga pernah bersabda: AuSiapa yang . meninggalkan harta maka hartanya itu untuk ahli warisnya dan siapa yang meninggalkan keluarga yang miskin maka menjadi tangungan kami. Ay 56 Hadis ini menegaskan bahwa harta waris diberikan seluruhnya kepada para ahli waris, dan tidak diperbolehkan adanya sisa dalam Jika tidak terdapat aAbah maka satu-satunya cara adalah meraddkan sisa harta kepada aw al-furs. 57 Suami dan istri tidak berhak atas pengembalian sisa harta dikarenakan kewarisan mereka disebabkan oleh adanya hubungan pernikahan, sementara ayah dan kakek tidak berhak atas pengembalian sisa harta dikarenakan mereka dapat mewarisi dengan jalur aAbah, jadi sisa harta akan secara otomatis diberikan kepada mereka. Masalah Kewarisan Saudara Perempuan Sekandung Bersama Anak Perempuan Para ulama sepakat bahwa saudara perempuan sekandung mewarisi secara fars jika pewarisnya kalAlah dan terhalang dari menerima waris jika bersama anak laki-laki atau ayah. Namun terdapat perbedaan pendapat jika saudara perempuan sekandung mewarisi bersama anak perempuan. Umar ibn al-Khattab dalam putusannya menjadikan saudara perempuan sekandung sebagai aAbah jika dia mewarisi bersama anak perempuan. 58 Saudara 54 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 127. 55 Al-LAuim. Al-FarAis, 124. 56 Al-BukhAri, auu. Vi, 193. 57 Al-LAuim. Al-FarAis, 124. 58 QalAoahji. Mausah, 61. [ 212 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. perempuan sekandung akan menerima bagian sisa setelah anak perempuan menerima bagiannya. Putusan Umar tersebut tidak memuaskan Ibn AbbAs. Dalam satu riwayat dari Abu Salamah ibn Abd al-Rahman menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Ibn AbbAs dan berkata bahwa seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dan saudara perempuan sekandung. Ibn AbbAs berkata: untuk anak perempuan 1/2, saudara perempuan sekandung tidak mendapatkan bagian, dan sisanya diberikan kepada aAbah-nya. Kemudian lakilaki itu berkata kepadanya: sesungguhnya Umar telah memberikan putusan yang lain, yaitu untuk saudara perempuan sekandung 1/2, dan untuk anak perempuan 1/2. Lalu Ibn AbbAs berkata: AuApakah kalian semua lebih tahu dari pada Allah? Allah berfirman: jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, sedangkan kalian berkata: bagi saudara perempuan itu bagian 1/2 meskipun seorang yang meninggal dunia itu memiliki anak. Ay60 Umar ibn al-Khattab menjadikan saudara perempuan sekandung sebagai aAbah jika ia mewarisi bersama anak perempuan. Umar mengikuti Rasulullah SAW dalam memutuskan kasus masalah yang sama, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Huzail ibn Syurahbil, dia berkata: bahwasanya Abu Msa alAsyAoari pernah ditanya tentang masalah waris yang ahli warisnya terdiri dari: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan . ekandung/seaya. Abu Msa menjawab: AuBagian anak perempuan setengah, dan bagian saudara perempuan setengah. Tanyalah kepada Ibn MasAod niscaya dia akan mengikutikuAy. Penanya itu lalu pergi menanyakan masalah tersebut kepada Ibn MasAod. Ia menceritakan apa yang dikatakan oleh Abu Msa, dan dijawab: Aujika aku mengikutinya maka aku termasuk orang yang tersesat, aku akan memutuskan dengan apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah SAW, bagi anak perempuan setengah . dan bagi cucu perempuan dari anak laki- 59 Bagian saudara perempuan sekandung ini yang oleh ulama kemudian dikenal dengan istilah ashabah maAoal ghairi, bagian ini juga berlaku bagi saudara perempuan seayah. 60 QalAoahji. Mausah, 61. [ 213 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. laki seperenam . sebagai penyempurna dua pertiga . , sedangkan sisanya untuk saudara perempuan sekandung/seayah. Ay Setelah itu penanya tersebut pun kembali menuju Abu Msa al-AsyAoari dan menceritakan kepadanya putusan Ibn MasAod. Lalu Abu Msa berkata: AuJanganlah kalian bertanya kepadaku selama Ibn MasAod bersama kalianAy. Bagian 1/6 (Seperena. Untuk Para Nenek Nenek, baik dari arah ayah . bunya aya. atau arah ibu . bunya ib. , berhak mendapatkan bagian waris 1/6 . , baik seorang diri ataupun lebih jika mereka masih dalam satu derajat kekerabatan. 62 Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwasanya Umar ibn al-Khattab memberikan kepada seorang nenek 1/6, dan ia berkata jika para nenek bersama-sama, maka 1/6 dibagi di antara mereka. 63 Al-Zuhri mengatakan bahwa orang yang pertama kali memberikan bagian waris kepada dua nenek adalah Umar ibn al-Khattab. Namun al-QAsim Muhammad sesungguhnya Abu Bakarlah orang yang pertama kali memberikan bagian waris kepada dua nenek. Al-QAsim meriwayatkan bahwa ada dua orang nenek datang menemui Abu Bakar, kemudian Abu Bakar bermaksud memberikan bagian 1/6 kepada nenek dari arah ibu . bunya ib. Abd al-Rahman ibn Sahl . eorang sahabat dari kalangan Anso. berkata kepadanya: AuSungguh kamu telah memberikan bagian waris kepada nenek yang jika dia meninggal dunia cucunya tidak mewarisinyaAy. Abu Bakar kemudian memberikan bagian 1/6 kepada dua nenek tersebut. Penyatuan Umar terhadap dua nenek tersebut dalam satu bagian 1/6 dikarenakan ada seorang nenek yang datang kepada Abu Bakar dan bertanya kepadanya tentang bagian waris yang berhak dia terima. Awalnya. Abu Bakar tidak memberikan bagian waris kepadanya, karena AlqurAoan tidak menjelaskan tentang bagian warisnya. Namun ketika ada sahabat yang bersaksi bahwa dia menyaksikan Rasulullah SAW memberinya bagian 1/6, maka Abu Bakar 61 Al-BukhAri, auu. Vi, 188. 62 QalAoahji. Mausah,64. 63 QalAoahji, 64. 64 QalAoahji,64. 65 QalAoahji, 35. [ 214 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. memberikan kepada nenek tersebut bagian 1/6. Selang kemudian datanglah nenek yang lain kepada Umar dan menanyakan hak warisnya. Umar berkata kepadanya bahwa Allah tidak menjelaskan tentang bagian warisnya di dalam AlqurAoan, dan putusan yang dibuat oleh Abu Bakar diperuntukkan bagi nenek selain dia. Umar tidak akan menambah sedikitpun dari bagian waris yang telah ditentukan, tetapi bagian 1/6 itulah yang menjadi bagian mereka. Jika mereka bersama-sama, maka bagian itulah untuk mereka bersama, dan siapapun yang lebih dekat dengan pewaris, maka dialah yang berhak. Dalam riwayat Abu ZinnAd yang disebutkan oleh Ibn azm bahwasanya nenek yang datang kepada Abu Bakar itu adalah ibunya ibu. Sedangkan nenek yang datang kepada Umar ibn al-Khattab setelahnya itu adalah ibunya ayah. Umar berkata kepada nenek tersebut bahwa bagian warisnya tidak dijelaskan dalan AlqurAoan dan ia akan menanyakan kepada orang-orang. Seorang laki-laki dari bani arisah berkata kepada Umar: AuMengapa engkau tidak memberi bagian waris kepada nenek tersebut padahal seandainya dia meninggal maka si cucu akan mewarisinya, sementara ibunya ibu, seandainya dia meninggal maka si cucu tidak akan mewarisinyaAy. Umarpun memberi kepada nenek . bunya aya. tersebut bagian waris. 67 Imam al-Baihaqi bahkan meriwayatkan bahwa Umar ibn al-Khattab pernah memberikan bagian waris 1/6 kepada empat nenek. Masalah Kewarisan Nenek Bersama Anak Laki-lakinya (Aya. Para ulama sepakat bahwa nenek dari ibu . bunya ib. tidak terhalang oleh ayah. Ia berhak mendapatkan bagian waris meskipun mewarisi bersama Namun bagaimana jika nenek dari ayah . bunya aya. mewarisi bersama Apakah ia akan terhalang oleh ayah atau tidak. Menurut Umar ibn alKhattab nenek berhak mendapatkan bagian waris meskipun ia mewarisi bersama anak laki-lakinya . yahnya pewari. Ayah tidak menjadi penghalang bagi ibunya ayah untuk mendapatkan bagian waris. 69 Dalam masalah ibunya ibu, ibunya ayah, dan ayah misalnya. Menurut Umar, ibunya ibu dan ibunya ayah 66 QalAoahji, 64-65. 67 QalAoahji, 65. 68 Al-Baihaqi. Al-Sunan, vol. XII, 511. 69 QalAoahji. Mausah, 65. [ 215 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. bersama-sama mendapat bagian 1/6, dan sisanya diberikan kepada ayah. Sementara menurut UsmAn dan Ali, ibunya ibu mendapat bagian 1/6, dan sisanya diberikan kepada ayah, sedangkan ibunya ayah tidak berhak mendapat bagian karena terhalang oleh ayah. 70 Dalam masalah ibunya kakek . apaknya aya. dan ayah juga demikian. Menurut Umar ibunya kakek mendapat bagian 1/6, dan sisanya diberikan kepada ayah. Ayah juga tidak menghalangi Sementara menurut UsmAn dan Ali seluruh harta diberikan kepada ayah dan neneknya terhalang olehnya. Demikian juga dalam masalah-masalah lain yang melibatkan nenek dan anak laki-lakinya. Abdullah ibn umaid ibn Abd al-Rahman meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya dia berkata: anak laki-lakinya asakah al-ibi telah wafat dan ia meninggalkan asakah dan ibunya asakah. Abu Msa al-AsyAoari kemudian menyurat kepada Umar tentang masalah ini. Umar menjawabnya dengan memberikan ibunya asakah 1/6 meskipun ia bersama anak laki-lakinya. Umar juga memberikan bagian waris kepada neneknya seorang laki-laki dari bani aqif sedang dia bersama anak laki-lakinya. 73 Ijtihad Umar dalam masalah ini tidak diikuti oleh mayoritas ulama setelahnya. Para ulama lebih memilih pendapatnya UsmAn dan Ali, yaitu tidak memberikan bagian waris kepada nenek jika ia mewarisi bersama anak laki-lakinya . yahnya pewari. Oleh karena itu, keberadaan ayah menjadi penghalang bagi ibunya ayah dalam memperoleh bagian waris. Masalah Kewarisan aw Al-AruAm Kata AuawAy berarti orang yang memiliki, sedangkan kata Aual-aruAmAy merupakan bentuk jamak dari kata AuraumAy yang berarti tempat tumbuhnya 74 Kata raum maupun al-aruAm secara majas berarti kekerabatan. Jadi, aw al-aruAm adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan menurut ulama farAAois, aw al-aruAm memiliki arti yang lebih spesifik, yaitu para kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapatkan 70 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 114. 71 Al-KalwaAni, 114. 72 QalAoahji. Mausah, 65. 73 Al-Baihaqi. Al-Sunan, vol. XII, 475 . 74 Al-Azhari. Tahb. V, 34. [ 216 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. bagian pasti atau tidak termasuk ahli waris aAbah, baik laki-laki maupun 75 Secara rinci mereka adalah: keturunan . aki-laki atau perempua. dari anak perempuan, keturunan dari saudara perempuan . ekandung atau seaya. , keturunan dari saudara . aki-laki atau perempua. seibu, keturunan perempuan dari saudara laki-laki . ekandung atau seaya. , keturunan perempuan dari paman . ekandung atau seaya. , paman seibu, bibi . audara perempuannya ayah, ayahnya ibu . akek tidak sejat. , paman . audara lakilakinya ib. dan bibi . audara perempuannya ib. Kewarisan aw al-aruAm termasuk salah satu yang tidak diatur secara langsung dalam AlqurAoan. Kewarisan mereka menjadi perdebatan di antara para Zaid ibn Abit menjadikan mereka sebagai orang asing dan tidak termasuk sebagai kerabat, dan menganggap bait al-mAl lebih berhak atas harta waris dari pada mereka. 77 Pendapat ini diikuti oleh beberapa ulama seperti: Said ibn al-Musayyib, al-Zuhri, al-AuzaAoi. Imam Malik. Imam SyafiAoi, dan juga dAwd al-eAhiri. Umar ibn al-Khattab memiliki ijtihad yang lain. Menurutnya, para aw al-aruAm berhak mendapatkan harta waris jika tidak ada ahli waris dari golongan aw al-furs selain suami atau istri dan juga aw aAbah. 79 Ijtihad Umar ini disetujui oleh para sahabat, seperti Ali ibn Abi hAlib. Ibn MasAod. Abu Ubaidah ibn al-JarrAh. Abu Hurairah. Aisyah. Mua ibn Jabal. Abu dardAAo. Pendapat ini diikuti oleh beberapa ulama seperti: Umar ibn Abd al-Aziz. Aoao. Aws. SufyAn al-auri. Ahmad ibn Hanbal. Abu Hanifah, dan mayoritas ulama. Bahkan Umar ibn al-Khattab lebih mendahulukan kewarisan aw al-aruAm dari pada ahli waris aAbah sababiyah . Abah karena membebaskan buda. Diriwayatkan dari Abu Msa al-AsyAoari bahwa sesungguhnya ia pernah menulis surat kepada Umar ibn al-Khattab bahwasanya ada seorang laki-laki meninggal dunia dan tidak memiliki kerabat ataupun walinya. Umar kemudian menulis surat kepada Abu Msa yang isinya: Jika dia memiliki kerabat, maka 75 Zahrah. AhkAm, 179. 76 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 163. 77 Al-KalwaAni,164. 78 Al-KalwaAni,164. 79 Zahrah. AhkAm, 190. 80 Al-KalwaAni. Al-Tahb, 165. [ 217 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. ahli warisnya adalah kerabat itu. jika tidak ada kerabat, maka ahli warisnya adalah orang yang memerdekakanya. jika tidak ada, maka bait al-mAl yang akan menjadi pewarisnya. 81 Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Umar ibn alKhattab telah memberikan harta waris kepada saudaranya ibu . ketika tidak ada ahli waris lainnya. Keputusan ini didasarkan pada ketetapan Rasulullah SAW. Umar berkata. Rasulullah SAW bersabda: AuSaudaranya ibu . adalah ahli warisnya orang-orang yang tidak memiliki ahli waris. Ay82 Hadis ini menjadi dasar dalam pemberian harta waris kepada aw al-aruAm. Mayoritas ulama mengikuti hasil ijtihad Umar ini. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini dikuatkan dengan surat al-Anfal ayat 75. Kata ul al-aruAm yang ada dalam ayat tersebut memiliki makna yang mencakup seluruh kerabat, baik aAbah, aw al-furs, ataupun yang tidak masuk kedalam dua kelompok aw al-aruAm yang bukan merupakan dua kelompok tersebut juga masuk dalam Aoaulawiyah . yang dimaksud dalam surat al-Anfal ayat Prioritas yang dimaksud adalah mereka bisa saling mewarisi jika tidak ada orang yang lebih berhak darinya. Dengan ayat ini mereka dianggap lebih utama dari selain kerabat, dan sudah pasti lebih utama dari bait al-mAl. Selain adanya penguatan dari ayat diatas, secara logika mengatakan bahwa jika seandainya aw al-aruAm tidak berhak mendapatkan harta waris, maka harta waris akan diberikan ke bait al-mAl. Kemudian bait al-mAl akan mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Disini akan timbul pertanyaan, siapakah yang lebih berhak untuk memperoleh harta waris Apakah para kerabat yang tidak dianggap sebagai ahli waris atau kaum muslimin secara umum. Dari sini kita bisa mencermati bahwa baik para kerabat maupun kaum muslimin memiliki sifat yang sama yaitu keislaman. aw al-aruAm atau para kerabat selain memiliki sifat keislaman juga memiliki sifat tambahan yaitu mereka memiliki hubungan kekerabatan. Oleh karena itu mereka harus diutamakan dari pada kaum muslimin secara umum. 81 QalAoahji. Mausah, 74. 82 Zahrah. AhkAm, 191. 83 Zahrah, 190-191. 84 Zahrah, 191. [ 218 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Penalaran Rasional dan Maslahah dalam Kasus Kewarisan Islam Perhatian Umar ibn al-Khattab terhadap kemaslahatan sangatlah besar. dikenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam AlqurAoan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan. 85 Dalam menentukan Umar nah mempertimbangkan realitas masyarakat dengan melibatkan rasionalitasnya. Penetapan hukum dalam masalah ijtihAdiyah harus berdasar pada penalaran rasional untuk mewujudkan maslahah. Maslahah menjadi sangat penting karena merupakan inti dari tujuan syaraAo itu sendiri. 87 Umar sangat memahami pentingnya mewujudkan maslahah dalam setiap ijtihadnya, sehingga penggunaan dalAlah Aoaqliyah dan orientasi pada maslahah merupakan pijakan utama Umar dalam berijtihad. Tidak jarang ia menyelisihi ketetapan-ketetapan nah demi untuk mencapai kemaslahatan. 88 Penyelisihan itu terjadi bukan karena Umar tidak memahami nah. Penetapan hukum yang dilakukan oleh Umar justru merupakan hasil dari pemahaman yang utuh atas nah. Ijtihad Umar dalam kasus kewarisan berdasar pada penalaran yang logis dan pertimbangan kemaslahatan. Umar mengedepankan penalaran rasional . alAlah Aoaqliya. dari pada eAhir nah untuk mewujudkan maslahah. Ijtihadnya dalam dua masalah umariyatain misalnya. Umar memberikan ibu bagian 1/3 sisa berdasar pada rasionalitas yang ia bangun. Jika ibu diberikan bagian 1/3 harta sesuai dengan eAhir nah, maka bagian ibu akan lebih banyak bahkan dua kali lipat dari bagian ayah. Penyelesaian seperti ini tidak mengacu pada prinsip yang sudah diatur dalam AlqurAoan, yaitu bagian ayah adalah dua kali lebih besar dari bagian 85 Mami Nofrianti. AuPerkembangan Hukum Islam pada Masa Umar ibn Khattab . -644 M),Ay JURIS (Jurnal Ilmiah Syaria. 17, no. , 279. 86 M. Yazid Afandi. AuRasionalisasi Ajaran Agama: Studi atas Respon Umar bin Khattab terhadap Dinamika Zaman,Ay SOSIO-RELIGIA 5, no. , 240. 87 Abu IshAq IbrAhim ibn MsA al-SyAibi. Al-MuwAfaqAt (RiyAs: DAr ibn AoAffAn, 1. , vol. II, 12. Lihat juga: KhallAf. Ilmu, 84. 88 Umar tidak memberikan zakat kepada para muallaf, tidak memotong tangan pencuri ketika paceklik, tidak mengasingkan pezina, menambah hukuman cambuk bagi peminum khamer menjadi 80 kali, menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz, membiarkan tanah ghanmah dikelola para penduduknya dan mengambil pajak dari mereka. 89 Muhamad Zulfar Rohman. AuMenakar Hermeneutika Umar,Ay Nun: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara 5, no. : 139. [ 219 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Kewarisan orang tua . yah dan ib. telah diatur berdasarkan prinsip 1/3 untuk ibu dan 2/3 untuk ayah, sehingga persentase bagian waris mereka berdasar pada prinsip ini. 90 Kasus musytarakah juga demikian, ketika menganggap saudara sekandung sebagai saudara seibu dapat memberikan maslahah bagi saudara sekandung, dan memang secara logika mereka berasal dari ibu yang sama, maka Umar menyatukan saudara sekandung dan saudara seibu dalam bagian 1/3. Ijtihad Umar dalam masalah Aoaul dan radd juga mempertimbangkan maslahah bagi para ahli waris. Argumentasi yang digunakan juga sangat logis. Ketika harta waris sudah habis dibagi, sementara masih terdapat beberapa ahli waris yang belum menerima bagiannya maka masalah di-Aoaul-kan supaya semua ahli waris menerima bagiannya. Hal ini dilakukan untuk memberikan maslahah bagi semua ahli waris. Karena jika tidak di-Aoaul-kan, maka akan terjadi diskriminasi di antara ahli waris, padahal mereka memiliki hak yang sama untuk menerima bagian waris. Demikian juga dalam masalah radd, ketika terjadi kelebihan harta maka harta dikembalikan kepada para ahli waris dari jalur kerabat. Penyelesaian kasus kewarisan kakek maupun nenek yang dilakukan oleh Umar sangat mempertimbangkan aspek kemaslahatan. Umar adalah orang yang pertama memberikan bagian waris kepada dua nenek. 91 Dalam penyelesaian kewarisan kakek. Umar setidaknya pernah mengeluarkan seratus putusan yang 92 Umar telah menuliskan ketentuan-ketentuan tentang kewarisan kakek, namun menjelang wafatnya ia menghapus semua ketentuan tersebut. 93 Hal ini dapat dipahami bahwa Umar tidak ingin kasus-kasus kewarisan kakek yang akan terjadi di masa setelahnya diputuskan dengan ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan olehnya, karena bisa jadi realita sosial dan kondisi masyarakat sudah berubah, sehingga kemaslahatan yang seharusnya menjadi orientasi dalam putusan tidak dapat terwujud. Baginya, suatu hukum sangat terikat dengan konteks kapan dan di mana ia ditetapkan. Perbedaan waktu dan tempat penetapan suatu hukum akan berpengaruh terhadap hasil suatu ijtihad. 90 SyuhadaAo. AuBagianA", 84. 91 Al-anAoAni. Musannaf, vol. X, 278. 92 Al-anAoAni, vol. X, 261. Lihat juga: Al-Baihaqi. Al-Sunan, vol. XII, 540. 93 Al-Baihaqi. Al-Sunan, vol. XII, 541. 94 Rohman. AuMenakarA. ", 141. [ 220 ] Journal of Islamic Law (JIL). Vol. No. 2, 2021. Penutup Ijtihad Umar ibn al-Khattab dalam kasus-kasus kewarisan berdasar pada penalaran rasional dan berorientasi pada kemaslahatan. Putusan-putusannya yang terlihat menyelisihi nah menunjukkan bahwa dalam berijtihad ia tidak sepenuhnya terikat dengan nah yang ada. Kasus gharawain dan musytarakah adalah contoh kasus yang sangat jelas bahwa Umar memahami nah dengan rasionalitasnya dan mempertimbangkan maksud dari pada nah. Tujuannya ialah supaya dapat ditemukan hukum yang dapat mewujudkan kemaslahatan. Cara berijtihad Umar dalam menyelesaikan kasus-kasus kewarisan ini tepat untuk menjadi model ijtihad yang dapat diikuti, sehingga dalam menyelesaikan kasuskasus waris baru yang muncul dapat ditemukan hukum yang sesuai dengan realita sosial dan kondisi masyarakat, serta menjadikan ketentuan-ketentuan dalam kewarisan Islam lebih dinamis. DAFTAR PUSTAKA