JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DI LAUT YANG MENYEBABKAN KONFLIK KEWENANGAN ANTARA LEMBAGA PEMERINTAHAN DI INDONESIA (ISSUANCE OF LAND TITLE CERTIFICATES IN THE SEA THAT CAUSE CONFLICTS OF AUTHORITY BETWEEN GOVERNMENT AGENCIES IN INDONESIA) Akbar. BRIMOB Makassar Akbarbahtiar91@gmail. Afdhal. Fakultas Hukum Prodi Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar Afdhal@unismuh. Auliah Andika Rukman. Fakultas Hukum Prodi Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar Auliah. andika@unismuh. Tulisan Diterima: 05-02-2025. Direvisi: 16-02-2025. Disetujui Diterbitkan: 20-02-2025 ABSTRAK Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, namun juga rentan terhadap berbagai permasalahan, salah satunya adalah tumpang tindih kewenangan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut. Konflik kewenangan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif hukum preskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini mengkaji peraturan perundang-undangan terkait pertanahan dan kelautan, serta putusan pengadilan yang relevan untuk menganalisis konflik kewenangan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan konflik kewenangan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut, serta memberikan rekomendasi solusi untuk mengatasi konflik tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa konflik kewenangan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut disebabkan oleh tumpang tindih peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan batasan wilayah, perbedaan interpretasi, dan kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintahan terkait. Penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut yang cacat secara administrasi dan hukum dapat dibatalkan. Pembatalan sertifikat dapat dilakukan melalui proses hukum yang melibatkan pengadilan dan lembaga pertanahan. harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan dan kelautan. Tumpang tindih dan ketidakselarasan antar peraturan menjadi akar masalah yang perlu segera diatasi. penegasan batasan wilayah antara darat dan laut juga merupakan langkah penting. Batasan yang jelas akan menghilangkan keraguan dan tumpang tindih dalam menentukan kewenangan masing-masing Lembaga. sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan terkait pertanahan dan kelautan juga perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu memahami hak dan kewajiban mereka terkait dengan tanah di wilayah pesisir, serta proses dan prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah di Keyword: Sertifikat. Kewenangan. Konflik. Lembaga Pemerintah. Indonesia 1 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 ABSTRACT Indonesia's coastal areas and small islands possess significant natural resource potential but are also vulnerable to various issues, one of which is overlapping authority in the issuance of land title certificates at sea. This jurisdictional conflict can lead to legal uncertainty, environmental degradation, and social disputes. This study employs a prescriptive normative legal research method with a case study approach. examines relevant land and maritime regulations as well as court decisions to analyze jurisdictional conflicts in the issuance of land title certificates at sea. The research aims to identify and analyze the factors contributing to these jurisdictional conflicts and provide recommendations for resolving them. The findings indicate that conflicts arise due to overlapping regulations, unclear territorial boundaries, differing interpretations, and a lack of coordination among relevant government agencies. The issuance of land title certificates at sea that are legally and administratively flawed may be annulled through legal proceedings involving the courts and land authorities. Harmonizing land and maritime regulations is crucial in addressing these conflicts. The overlapping and inconsistent legal frameworks must be resolved immediately. Additionally, clarifying the jurisdictional boundaries between land and sea is an essential step, as clear demarcations will eliminate uncertainty and conflicts regarding institutional authority. Public awareness and education on land and maritime regulations must also be enhanced, ensuring that communities understand their rights and obligations concerning coastal land, as well as the processes and procedures for obtaining land title certificates at sea. Keyword: Certificate. Authority. Conflict. Government Institution. Indonesia Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, memiliki wilayah pesisir dan laut yang kaya akan sumber daya alam. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi fenomena pemasangan pagar laut di berbagai daerah, termasuk di Jakarta Utara, yang menimbulkan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut. Fenomena ini memicu konflik kewenangan antara lembaga pemerintahan di Indonesia. Pemasangan pagar laut di Pulau C. Jakarta Utara, menjadi sorotan publik setelah ditemukan struktur pagar yang membentang sepanjang 500 meter di wilayah tersebut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan penelusuran untuk memastikan legalitas dan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut. (Tempo, 2. Kasus serupa juga terjadi di wilayah pesisir Tangerang. Banten, di mana ditemukan pagar laut sepanjang sekitar 30 kilometer. Pemasangan pagar ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir, terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut. KKP menegaskan bahwa pemasangan pagar laut tersebut melanggar hukum dan mengganggu aktivitas ribuan nelayan(Aguido Adri Kompas, 2. 2 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Penerbitan SHAT di atas wilayah laut menimbulkan konflik kewenangan antara berbagai lembaga pemerintahan, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). KKP, dan pemerintah daerah. Ombudsman Republik Indonesia menyoroti potensi malpraktik dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area laut yang seharusnya tidak bisa dijadikan objek hak milik pribadi. Kolaborasi lintas lembaga diperlukan untuk menangani permasalahan ini dan memastikan bahwa prosedur administratif dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku(Ombudsman KLIPING BERITA. Selain itu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti bahwa penerbitan SHAT di wilayah laut berpotensi melanggar hukum dan menimbulkan konflik WALHI menelusuri adanya indikasi afiliasi antara perusahaan yang mendapatkan SHAT dengan korporasi pengembang properti besar, yang dapat mengarah pada privatisasi ruang laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem serta mata pencaharian masyarakat pesisir(Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Fenomena pemasangan pagar laut dan penerbitan SHAT di wilayah laut menunjukkan adanya tumpang tindih kewenangan dan kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintahan terkait. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial di masyarakat pesisir. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang komprehensif dan kolaboratif antara lembaga pemerintahan untuk menyelesaikan permasalahan ini dan memastikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan. Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menimbulkan konflik kewenangan dengan instansi kelautan dan pengawasan laut di Indonesia. Kasus pemasangan pagar laut di pesisir Tangerang. Banten, menjadi contoh nyata dari permasalahan ini. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tersebut diduga berkaitan dengan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh BPN di area laut yang seharusnya tidak dapat dijadikan objek hak milik pribadi(Ombudsman KLIPING BERITA, 2. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengakui penerbitan 263 bidang HGB di area pagar laut Tangerang. Menteri ATR/BPN 3 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 menyatakan bahwa data peta tanah tersebut telah dimanipulasi dengan pemindahan peta dan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB), sehingga seolah-olah berada di daratan. Hal ini menimbulkan dugaan malpraktik dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penerbitan sertifikat. (Luthfi Sulistyo Tim Redaksi, 2. Di sisi lain. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa pemanfaatan ruang laut tanpa memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan pelanggaran. Pemasangan pagar laut tersebut mengindikasikan upaya untuk mendapatkan hak atas tanah di perairan laut secara tidak benar, yang dapat menutup akses publik, menyebabkan privatisasi ruang laut, dan merusak keanekaragaman hayati(Ombudsman KLIPING BERITA, 2. Ombudsman Republik Indonesia juga menyoroti potensi malpraktik dalam penerbitan SHM di area laut, yang seharusnya tidak bisa dijadikan objek hak milik pribadi. Kolaborasi lintas lembaga diperlukan untuk menangani permasalahan ini dan memastikan bahwa prosedur administratif dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kasus ini menunjukkan adanya tumpang tindih kewenangan antara BPN dan instansi kelautan dalam pengelolaan ruang laut. Kurangnya koordinasi dan pengawasan antar lembaga menyebabkan ketidakpastian hukum, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial di masyarakat pesisir. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi regulasi dan peningkatan kerjasama antara BPN. KKP, dan instansi terkait lainnya untuk memastikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan serta sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan latar belakang masalah ini maka rumusan masalah dirumuskan menjadi: Bagaimana keabsahan dasar hukum penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah perairan laut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? Apakah perusahaan sebagai badan hukum dapat secara sah memperoleh hak atas tanah di laut, dan bagaimana implikasi hukumnya terhadap kepentingan publik serta lingkungan pesisir dan laut? 4 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Bagaimana penyelesaian konflik sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut Indonesia, dan apa implikasinya bagi masyarakat pesisir berdasarkan kasus pemasangan pagar laut di Jakarta dan Tangerang? Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif untuk menganalisis konflik sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut Indonesia dan implikasinya bagi masyarakat pesisir. Metode ini bertujuan untuk mengkaji aspek hukum yang mengatur penerbitan sertifikat tanah di laut serta konflik kewenangan antar lembaga pemerintah yang berwenang. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yang berfokus pada kajian hukum yang berlaku terkait penerbitan SHAT di wilayah laut. Analisis dilakukan dengan menelaah norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang relevan. Pendekatan Penelitian Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approac. Menelaah peraturan hukum yang mengatur pengelolaan wilayah laut dan penerbitan hak atas tanah, seperti: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri terkait pengelolaan ruang laut dan pertanahan. Pendekatan Kasus (Case Approac. Menganalisis kasus pemasangan pagar laut di Jakarta dan Tangerang serta konflik penerbitan SHAT yang melibatkan BPN. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan pihak perusahaan. Mengkaji putusan pengadilan yang berkaitan dengan sengketa kepemilikan tanah di laut dan batas kewenangan antar lembaga negara. 5 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Sumber Data Penelitian ini menggunakan bahan hukum sebagai sumber data utama, yang terdiri Bahan Hukum Primer: Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan putusan pengadilan yang mengatur tentang pertanahan dan pengelolaan ruang laut. Bahan Hukum Sekunder: Buku, jurnal hukum, artikel ilmiah, dan hasil penelitian sebelumnya yang membahas konflik sertifikat tanah di laut dan kewenangan lembaga terkait. Berita dan laporan dari lembaga seperti Ombudsman RI. WALHI, serta media terpercaya seperti Tempo. Kompas, dan CNN Indonesia terkait kasus pemasangan pagar laut dan konflik penerbitan SHAT Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan preskriptif, yang bertujuan untuk tidak hanya mengidentifikasi dan menganalisis konflik hukum yang terjadi, tetapi juga memberikan solusi konkret yang dapat diterapkan dalam penyelesaian konflik sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut Indonesia. Analisis pertama dilakukan dengan mengidentifikasi norma hukum yang berlaku terkait penerbitan SHAT di laut. Kajian ini mencakup telaah terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanahan, tata ruang laut, serta kewenangan lembaga pemerintah dalam menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Dalam tahap ini, penelitian akan menelusuri dasar hukum yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menerbitkan sertifikat di laut, serta bagaimana regulasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait pemanfaatan ruang laut dapat berpotensi bertentangan atau tumpang tindih dengan kebijakan pertanahan. Selanjutnya, penelitian akan menganalisis konflik kewenangan yang terjadi antara BPN dan KKP, dengan fokus pada kasus pemasangan pagar laut di Jakarta dan Tangerang. Studi terhadap kasus ini akan menjadi contoh empiris untuk melihat bagaimana penerbitan sertifikat tanah di laut dapat berdampak pada masyarakat pesisir, baik dari segi akses terhadap ruang laut maupun dari aspek lingkungan. Selain itu, analisis akan mencakup kajian terhadap putusan pengadilan yang relevan untuk 6 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 memahami bagaimana konflik kepemilikan tanah di wilayah pesisir dan laut diselesaikan dalam praktik hukum. Setelah mengkaji konflik yang terjadi, penelitian akan mengevaluasi implikasi hukum dari permasalahan ini. Konflik penerbitan sertifikat di laut tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga berpotensi membatasi akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya laut serta menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir. Oleh karena itu, dalam tahap evaluasi ini, penelitian akan mengidentifikasi celah hukum yang memperburuk konflik dan mencari aspek-aspek yang perlu diperbaiki dalam regulasi yang ada. penelitian ini akan merumuskan solusi hukum yang bersifat preskriptif. Rekomendasi yang diberikan mencakup harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan antara BPN dan KKP, serta usulan mekanisme penyelesaian hukum yang dapat dilakukan baik melalui jalur administratif, litigasi, maupun mediasi antar-lembaga. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan saran kebijakan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan laut agar selaras dengan prinsip keadilan, keberlanjutan lingkungan, dan perlindungan hak masyarakat Dengan pendekatan ini, penelitian tidak hanya mengungkap persoalan hukum yang ada, tetapi juga menawarkan solusi yang dapat diterapkan dalam praktik hukum guna mencegah terulangnya konflik serupa di masa mendatang. Pembahasan Keabsahan Dasar Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) bagi Perusahaan Berbadan Hukum di Wilayah Perairan Laut Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) bagi perusahaan berbadan hukum di wilayah perairan laut merupakan isu yang kompleks dalam sistem hukum Indonesia. Kompleksitas ini muncul akibat adanya tumpang tindih kewenangan serta perbedaan norma hukum antara regulasi pertanahan dan pengelolaan ruang laut. Oleh karena itu, penting untuk menelaah keabsahan dasar hukum penerbitan SHAT bagi perusahaan berbadan hukum di wilayah laut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang 7 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia, kepemilikan tanah diatur oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam ketentuan UUPA, hak atas tanah mencakup Hak Milik (HM). Hak Guna Usaha (HGU). Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, yang hanya dapat diberikan pada tanah yang telah dikuasai negara atau yang telah memiliki hak kepemilikan tertentu(Indonesia, 1. Namun, wilayah laut tidak termasuk dalam kategori tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA, melainkan merupakan bagian dari sumber daya alam yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini berarti bahwa penerbitan sertifikat tanah di wilayah perairan laut harus merujuk pada ketentuan yang berlaku dalam regulasi kelautan dan lingkungan(Katiandagho, 2. Kewenangan dalam penerbitan SHAT berada di tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah(Nomor, 24 C. Meskipun demikian, penerbitan SHAT di wilayah laut tidak dapat dilakukan secara langsung tanpa mempertimbangkan regulasi kelautan yang mengatur penggunaan ruang laut. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa kewenangan pengelolaan wilayah laut hingga 12 mil dari garis pantai berada pada pemerintah provinsi, sementara pemerintah pusat memiliki kewenangan atas perairan di luar batas tersebut. Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ditegaskan bahwa hak atas tanah di wilayah laut hanya dapat diberikan setelah dilakukan reklamasi dan memperoleh izin pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)(Imawan, 2. Dengan demikian, keabsahan penerbitan SHAT bagi perusahaan berbadan hukum di wilayah laut hanya dapat terjadi apabila tanah tersebut terbentuk sebagai hasil dari proses reklamasi yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah. Setelah proses reklamasi dilakukan, tanah tersebut akan menjadi bagian dari aset negara yang kemudian dapat diberikan hak atas tanah kepada badan hukum atau individu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meskipun terdapat aturan yang membatasi pemberian hak atas tanah di wilayah perairan laut, dalam praktiknya sering terjadi konflik kewenangan antara BPN dan KKP, 8 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 serta pemerintah daerah. Salah satu contoh nyata dari permasalahan ini adalah kasus pemasangan pagar laut di pesisir Tangerang yang melibatkan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada area laut yang belum direklamasi secara sah. Kasus ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara regulasi pertanahan dan kelautan yang dapat menimbulkan berbagai implikasi hukum. Pertama, ketidakpastian hukum yang muncul akibat penerbitan sertifikat tanah di wilayah laut yang belum mengalami proses reklamasi berpotensi bertentangan dengan peraturan kelautan dan menciptakan keraguan bagi dunia usaha maupun masyarakat pesisir(Gunandi & Sulistiyantoro, 2. Kedua, penerbitan SHAT kepada perusahaan berbadan hukum di wilayah laut dapat membatasi akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya perairan yang selama ini menjadi mata pencaharian utama mereka. Ketiga, pemanfaatan wilayah laut untuk kepentingan komersial tanpa mempertimbangkan regulasi lingkungan dapat menyebabkan degradasi ekosistem pesisir yang berpotensi merugikan keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam. Untuk memastikan keabsahan dan kepastian hukum dalam penerbitan SHAT di wilayah perairan laut, diperlukan harmonisasi regulasi antara hukum pertanahan dan hukum kelautan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menyelaraskan regulasi antara BPN dan KKP agar terdapat kejelasan dalam proses pemberian hak atas tanah di wilayah reklamasi serta dalam pemanfaatan ruang laut oleh badan hukum. Selain itu, koordinasi antara lembaga pemerintah yang terkait perlu diperkuat guna menghindari tumpang tindih kewenangan dalam penerbitan SHAT. Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap proses penerbitan sertifikat tanah di wilayah laut, serta menindak tegas pelanggaran yang terjadi guna mencegah penyalahgunaan kebijakan pertanahan di kawasan pesisir. Di sisi lain, kebijakan pemberian hak atas tanah di wilayah laut juga harus mempertimbangkan hak masyarakat adat dan nelayan lokal agar tidak terjadi perampasan ruang hidup yang dapat mengancam kesejahteraan mereka. Dengan adanya pendekatan yang lebih komprehensif, penerbitan SHAT bagi perusahaan berbadan hukum di wilayah perairan laut dapat dilakukan secara sah dan transparan tanpa merugikan kepentingan publik maupun kelestarian lingkungan. Upaya penyelarasan regulasi serta peningkatan pengawasan terhadap pemberian hak atas 9 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 tanah di wilayah pesisir dan laut akan berperan penting dalam menciptakan sistem hukum yang lebih jelas dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 mengatur mengenai Hak Pengelolaan. Hak Atas Tanah. Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 65 ayat . disebutkan bahwa pemberian hak atas tanah yang berada di wilayah perairan harus dilakukan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah di wilayah perairan memiliki mekanisme khusus yang berbeda dengan tanah di daratan, mengingat karakteristik wilayah perairan yang memerlukan pengelolaan lebih Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 yang dikaitkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021 menegaskan bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) berfungsi sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang serta administrasi pertanahan. KKPR ini terbagi menjadi dua rezim, yaitu KKPR rezim darat yang mengatur pemanfaatan ruang di daratan, serta KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Lau. yang berlaku untuk pemanfaatan ruang di wilayah laut. Dengan adanya pengaturan ini, pemerintah menegaskan pentingnya perencanaan tata ruang yang terintegrasi antara wilayah daratan dan perairan untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatannya. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021. Pasal 1 angka 7 menjelaskan bahwa perizinan yang berkaitan dengan kegiatan yang memanfaatkan ruang laut merupakan bentuk legalitas yang diberikan kepada badan usaha maupun masyarakat agar dapat memulai dan menjalankan kegiatan usahanya di wilayah perairan pesisir dan Dengan demikian, regulasi ini memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan ruang laut untuk berbagai keperluan, termasuk perikanan, industri maritim, hingga pembangunan infrastruktur kelautan. Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 dalam Pasal 197 juga mengatur tentang pemberian hak pengelolaan dan hak atas tanah yang berada di wilayah Pengaturan ini menegaskan bahwa hak-hak tersebut tetap harus melalui 10 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan, serta memerlukan koordinasi dengan instansi terkait agar tidak bertentangan dengan kebijakan tata ruang maupun lingkungan. Mengenai Hak Guna Bangunan (HGB), regulasi yang ada menyebutkan bahwa hak ini dapat diberikan di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan, maupun tanah hak milik. Jika HGB diberikan di atas tanah negara, maka hal tersebut harus melalui keputusan pemberian hak oleh menteri yang berwenang. Sedangkan jika HGB diberikan di atas tanah hak milik, maka hal tersebut dilakukan melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan dibuatkan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ketentuan ini memastikan bahwa setiap pemberian HGB memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah ada sebelumnya. Konteks kekuatan hukum. Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) merupakan alat bukti kepemilikan yang kuat. Sertifikat ini berfungsi sebagai alat pembuktian yang sah mengenai data fisik dan yuridis yang tercantum di dalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan yang tercatat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sebagai sebuah akta otentik, sertifikat tanah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat secara hukum, sehingga dapat menjadi dasar dalam berbagai transaksi pertanahan maupun dalam penyelesaian sengketa. Seiring dengan perkembangan teknologi. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mulai menerapkan penerbitan sertifikat tanah dalam bentuk Sertifikat elektronik ini merupakan dokumen elektronik yang berfungsi sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah. Dalam penerapannya, sertifikat elektronik harus dilengkapi dengan tanda tangan elektronik serta verifikasi resmi dari Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan keabsahannya dan mencegah kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyalahgunaan. Penyelesaian konflik sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di wilayah laut Indonesia, khususnya terkait pemasangan pagar laut di Jakarta dan Tangerang, merupakan permasalahan kompleks yang melibatkan berbagai aspek hukum, kepentingan ekonomi, dan hak-hak masyarakat pesisir. Konflik ini muncul karena adanya benturan antara kebijakan pemerintah yang mengatur pemanfaatan ruang laut dengan kepentingan masyarakat yang telah lama bergantung pada sumber daya perairan untuk kehidupan 11 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Secara hukum, pengaturan kepemilikan dan pemanfaatan ruang laut di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, seperti Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan harus dilakukan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan. Di samping itu. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2021 beserta Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 13 Tahun 2021 menegaskan pentingnya Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sebagai dasar legalitas dalam pemanfaatan ruang laut. Regulasi ini menjadi acuan dalam penerbitan hak pengelolaan maupun izin pemanfaatan ruang laut oleh badan usaha atau individu, yang pada praktiknya sering kali bertentangan dengan hak masyarakat pesisir yang telah lama mengakses wilayah perairan tanpa kepastian hukum yang jelas. Konflik pemasangan pagar laut di Jakarta dan Tangerang mencerminkan permasalahan yang terjadi ketika izin pemanfaatan ruang laut diberikan kepada pihak tertentu, seperti pengembang atau perusahaan swasta, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap nelayan dan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut. Pemasangan pagar laut membatasi akses masyarakat terhadap perairan yang sebelumnya dapat digunakan secara bebas untuk mencari ikan dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya. Dalam banyak kasus, izin yang diberikan oleh pemerintah daerah atau kementerian terkait tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal, sehingga menimbulkan protes dan penolakan dari warga setempat. Dari segi hukum pertanahan, tidak ada pengaturan eksplisit dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) mengenai hak atas tanah di wilayah laut. Namun, prinsip bahwa tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam konteks ini, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pemanfaatan ruang laut tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi juga tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat pesisir yang telah lama menggunakannya. Selain itu. Undang-Undang No. Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui hak masyarakat adat dan nelayan tradisional atas akses terhadap sumber daya pesisir, yang dalam praktiknya sering kali diabaikan dalam proses pemberian izin kepada perusahaan atau investor besar. 12 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Penyelesaian konflik terkait sertifikat hak atas tanah di wilayah laut dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme. Secara administratif, masyarakat yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau kementerian terkait untuk meninjau ulang legalitas izin pemanfaatan ruang laut yang Jika terdapat indikasi maladministrasi atau ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku, izin tersebut dapat dibatalkan atau direvisi agar lebih berpihak pada masyarakat pesisir. Selain jalur administratif, mediasi dan negosiasi antara pemerintah, pemegang izin, dan masyarakat dapat menjadi solusi yang lebih cepat untuk mencari titik temu yang menguntungkan semua pihak. Dalam beberapa kasus, pemerintah dapat memberikan kompensasi atau menyediakan alternatif akses bagi nelayan agar mereka tetap bisa beraktivitas tanpa terhalang oleh pembatasan fisik seperti pagar laut. Jika penyelesaian administratif dan mediasi tidak membuahkan hasil, masyarakat dapat menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menggugat izin yang dianggap merugikan hak mereka. Konflik semacam ini memiliki dampak yang luas bagi masyarakat pesisir. Pembatasan akses terhadap wilayah laut secara langsung mengurangi hasil tangkapan nelayan, yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan mereka. Ketidakpastian hukum mengenai hak penggunaan ruang laut juga menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat pesisir mengenai masa depan mereka, terutama jika proyek reklamasi atau pengelolaan kawasan pesisir terus berkembang tanpa memperhitungkan kepentingan mereka(Rajagukguk et al. , 2. Selain itu, ketegangan sosial antara masyarakat dan pihak pemegang izin sering kali meningkat ketika solusi yang adil tidak segera ditemukan. Untuk mencegah konflik serupa di masa depan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih inklusif dengan melibatkan masyarakat pesisir dalam setiap tahap perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pemanfaatan ruang laut. Regulasi yang lebih tegas mengenai hak akses nelayan terhadap perairan yang telah mereka gunakan secara turun-temurun juga perlu diperkuat agar kepentingan mereka tidak mudah tergeser oleh kepentingan ekonomi yang lebih besar. Keberlanjutan ekosistem pesisir juga harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan pemanfaatan ruang laut, 13 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 agar keseimbangan antara pembangunan, lingkungan, dan hak-hak masyarakat tetap KESIMPULAN Keabsahan Dasar Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT) di Wilayah Laut Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penerbitan SHAT di wilayah laut masih menghadapi ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan oleh tumpang tindih regulasi antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan terkait kelautan seperti UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Secara hukum, wilayah laut bukanlah objek hak milik pribadi, sehingga penerbitan sertifikat tanah di laut berpotensi cacat hukum dan dapat dibatalkan melalui mekanisme peradilan. Implikasi Hukum bagi Perusahaan sebagai Pemegang Hak Atas Tanah di Laut Perusahaan sebagai badan hukum tidak dapat secara sah memperoleh hak atas tanah di wilayah laut tanpa izin dan dasar hukum yang jelas. Praktik penerbitan SHAT bagi perusahaan di laut dapat mengarah pada privatisasi ruang publik, yang bertentangan dengan prinsip aksesibilitas masyarakat pesisir. Selain itu, hal ini dapat memicu konflik sosial, membatasi akses nelayan, serta menimbulkan dampak ekologis yang merugikan keberlanjutan lingkungan pesisir. Penyelesaian Konflik Kewenangan dalam Penerbitan SHAT di Laut Penyelesaian konflik sertifikat tanah di laut memerlukan pendekatan hukum yang komprehensif, termasuk harmonisasi regulasi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Langkah konkret yang dapat dilakukan mencakup: Penegasan batas kewenangan antara lembaga pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Penguatan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terkait penerbitan sertifikat tanah di laut. 14 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pesisir agar memahami hak dan prosedur hukum yang berlaku dalam kepemilikan tanah di wilayah pesisir. Aguido Adri Kompas. January . Mengurai Konflik Pagar Laut Pemasangan Pagar Laut Siapa Dalang di Baliknya? Https://w. Kompas. Id/Artikel/Menanti-PengungkapanDalang-Pagar-Laut-Di-Tangerang?Utm_source=chatgpt. Com. Gunandi. , & Sulistiyantoro. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANGUNDANG (STUDI KASUS PT. VALDO SUMBER DAYA MANDIRI). Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 3. , 2799Ae2816. Imawan. Penerapan Perizinan Reklamasi Wilayah Pesisir Pantai Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 (Studi Kasus Di Desa Sejati. Kecamatan Camplong. Kabupaten Sampan. Dinamika, 27. , 150Ae167. Indonesia. Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (Vol. Ganung Lawu. Katiandagho. Aspek Hukum Pengelolaan Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Terluar Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Lex Et Societatis, 8. Luthfi Sulistyo Tim Redaksi. February . Tinjau Lokasi Terindikasi Manipulasi Data di Kawasan Pagar Laut Bekasi. Menteri Nusron Akan Tindak Tegas Pelaku. Https://w. Atrbpn. Go. Id/Berita/Tinjau-Lokasi-Terindikasi-Manipulasi-Data-DiKawasan-Pagar-Laut-Bekasi-Menteri-Nusron-Akan-Tindak-TegasPelaku?Utm_source=chatgpt. Com. Nomor. tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ombudsman KLIPING BERITA. January . Ombudsman RI Usut Penerbitan SHM di Kasus Pagar Laut Pesisir Tangerang. Https://Ombudsman. Go. Id/News/r/Ombudsman-RiUsut-Penerbitan-Shm-Di-Kasus-Pagar-Laut-Pesisir-Tangerang?Utm_source=chatgpt. Com. Rajagukguk. Marpaung. , & Ningrum. Implementasi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Blokir Dan Sita Pada Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung. PRANATA HUKUM, 14. , 192Ae207. 15 | JURNAL RESTORATIVE JURNAL RESTORATIVE ISSN: 3026-3883 Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. January . Usut Tuntas Pelanggaran Tata Ruang dan Mafia Tanah dari Penerbitan SHGB dan SHM di Laut Tangerang. Https://w. Walhi. Id/Usut-Tuntas-Pelanggaran-Tata-Ruang-Dan-Mafia-Tanah-DariPenerbitan-Shgb-Dan-Shm-Di-Laut-Tangerang?Utm_source=chatgpt. Com. Tempo. January . https://w. co/politik/pemprov-jakarta-dan-kkppastikan-panjang-pagar-laut-di-pulau-c-mencapai-500-mter1195177?utm_source=chatgpt. Tem 16 | JURNAL RESTORATIVE