JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION MEDIA SOSIAL SEBAGAI RUANG BARU KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE DI INDONESIA Brema Agianta. Yosephine. Marisa Claudy. Ariel Jonathan Program studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Kristen Indonesia. Jl. Mayor Jendral Sutoyo No. RT. 5/RW. Cawang. Kec. Kramat jati. Kota Jakarta Timur. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13630 2271650090@ms. ABSTRAK This article aims to elaborate on the phenomenon of Online Gender Based Violence (KBGO) during the Covid-19 (Covid-. The Covid-19 pandemic has led to a transformation of lifestyle from conventional to digital-based. In addition to the positive impact, digital transformation has created a negative impact, namely helping to strengthen the practice of online gender-based violence on social media. The lack of digital literacy and the opening of opportunities have influenced the spread of online gender-based violence practices on social media. This study uses an explanatory qualitative research method through in-depth interviews. This article states that anticipatory steps are needed as an effort to prevent this practice including. First, strengthening digital literacy, especially for the millennial generation. Second, build a networked digital community. Third, the involvement of men for early detection and prevention. Finally, the government's role is needed to create regulations that can eradicate the practice of online gender-based violence. Keywords: Social Media. Online Gender-Based Violence Abstract ABSTRACT Artikel ini bertujuan mengelaborasi fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada masa pandemi Covid-19 (Covid-. Dikarenakan pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya transformasi gaya hidup dari konvensional menjadi berbasis digital. Selain dampak positif, transformasi digital telah menciptakan dampak negatif yaitu ikut memperkuat terjadinya praktik Kekerasan Berbasis Gender Online di media sosial. Minimnya literasi digital ikut mempengaruhi terjadinya praktik Kekerasan Berbasis Gender Online di media sosial. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif eksplanatoris melalui wawancara mendalam . ndepth intervie. Artikel ini menyatakan minimnya literasi digital dan adanya peluang telah membuat media sosial sebagai ruang baru Kekerasan Berbasis Gender Online di masa pandemi Covid-19. Artikel ini juga menyatakan bahwa diperlukan pelibatan kaum laki-laki sebagai upaya deteksi dan pencegahan dini dari Kekerasan Gender Berbasis Online di media sosial. Kata Kunci: Media Sosial. Kekerasan Berbasis Gender Online JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION PENDAHULUAN Kasus KBGO yang pernah terjadi di media sosial adalah tersebarnya video pornografi GIsella Anastasia bersama dengan Michael Yukinobu. Kasus ini terjadi pada bulan November 2020. Gisella menyatakan bahwa kejadian tersebut berlangsung pada 2017, ia mengabadikan videonya melalui smartphone pribadinya dan hanya diberikan pada Michael. Akan tetapi, smartphone tersebut hilang dan kemudian ditemukan oleh oknum yang menyalahgunakannya secara tidak Peristiwa tersebut kemudian diselidiki oleh polisi dan pada Desember 2020, pelisi memutuskan bahwa Gisella dan Michael sebagai tersangka. Kedianya terjerat Pasal 4 Ayat 1 jo Pasal 29 atau Pasal 8 UU No. 44 terkait Pornografi dan terancam 6 bulan penjara atau maksimal 12 tahun penjara. Akhir dari kasus ini adalah akhirnya ditemukan dua terdakwa yang menyebarkan video pornografi Gisella dan Michael dan kedua terdakwa dijatuhi hukuman 9 bulan serta denda sebanyak 50 juta subsider 3 bulan penjara oleh hakim PN Jakarta Selatan pada 13 Juli 2021. (Effendi. Mussyafa, 2. Pada zaman yang semakin maju ini banyak yang telah berubah dan berkembang seperti gaya hidup. Gaya hidup seiring berjalannya kehidupan membuat terjadinya peningkatan penggunaan sarana digital melalui media sosial. Meski begitu perubahan gaya hidup digital ini tidak hanya menciptakan dampak positif semata, akan tetapi dampak negatif bagi publik terutama warganet. Salah satunya kemunculan berbagai praktik Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Praktik ini merupakan suatu tindakan yang membuat seseorang merasa tidak aman, karena menyerang gender dan seksualitas melalui saluran digital termasuk media sosial. Dengan kata lain, praktik Kekerasan Berbasis Gender Online seringkali disebabkan pelanggaran privasi atau melakukan tindakan yang tidak berdasarkan persetujuan . pada satu atau banyak individu sekaligus (Safenet. id, 2. Menurut Komnas Perempuan yang ditulis dalam artikel Kompas. com menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan sebanyak 83% dibadingkan 2020 lalu dengan angka kasus dari 940 menjadi 1. 721 (Kompas. com, 2. Menurut Southeast Asia Freedom of Expresion Network (SAFEne. mengklasifikasi kategori Kekerasan Berbasis Gender Online diantaranya. Pertama. Revenge Porn yaitu pelaku menyebarkan konten intim dengan menampilkan seluruh fisik korban. Konten tersebut dibagikan melalui berbagai platform digital. Biasanya tindakan ini dilakukan dengan motif balas dendam karena pelaku tidak terima dengan perlakuan korban. Dalam hal ini, pelaku membuat akun media sosial palsu dengan menampilkan identitas korban lalu berupaya merusak reputasinya. Banyak pelaku yang membuat akun-akun palsu yang meniru korban lalu merusak reputasi Caranya dengan berpura-pura membuat akun korban dan mengirimkan JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION konten intim korban ke temennya melalui akun palsu tersebut. Termasuk ada pula yang mengirimkan percakapan seksual, sehingga seolah-olah pemilik akun tersebut yang melakukan hal tersebut. Sehingga dalam jurnal ini akan dibahas tentang bagaimana penggunaan media sosial sebagai sarana kekerasan berbasis gender. Perlu diketahui bahwa fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir diseluruh dunia. Artinya, perilaku oversharing akan membuat seseorang lengah dalam mengunggah berbagai konten yang bersifat pribadi saat berada dirumah dengan menunjukkan lokasi rumah, bercengkerama dengan sahabat atau pacaran. Bahkan, banyak warganet yang mengunggah foto-foto pribadi yang tidak layak untuk tampil di media sosial. Artinya, minimnya pengetahuan akan penggunaan media sosial seringkali menjadi pemicu bagi pihak tertentu untuk memanfaatkan kesempatan melakukan berbagai bentuk kekerasan siber. Dengan kata lain, pertambahan Kekerasan Gender Berbasis Online yang terjadi sebagai akibat dari aksi penghakiman merupakan tindakan yang bisa merugikan bagi yang datanya tersebar, beserta sahabat dan keluarganya. Apalagi sindiran dan bullying di media sosial seringkali menggunakan foto pelaku yang membuat orang lain yang tidak berkaitan menjadi merasa tersinggung. Dengan demikian reproduksi dengan menyebarkan foto korban maupun pelaku sudah dapat dikatakan sebagai bagian dari kejahatan digital (Butler, 2007. Dodge, 2. Pada jurnal penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Effendi dan Mussyafa, 2. dengan judul AuKekerasan Berbasis Gender Online Dalam Interaksi Di Media SosialAy dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) semakin meningkat tiap tahunnya, berbanding lurus dengan peningkatan pengguna media online. Kasus KBGO di media sosial kini menjadi masalah yang semakin serius karena jumlahnya yang terus bertambah namun tidak dibarengi dengan aturan-aturan yang jelas dan mengikat. KBGO yang banyak terjadi di media sosial memiliki pola yang mirip yaitu pelaku melakukan pengancaman kepada korban akan menyebarkan video dan foto intim korban ke sosial media pada saat sang korab menolak ajakan pelaku untuk melakukan hubungan badan atau ketika korban memutuskan hubungan bersama pelaku. Kebanyakan pelaku KBGO dalam ranah personal adalah orang dekat korban seperti mantan pacar dan pacar. Sedangkan pelaku dalam ranah publik kebanyakan adalah teman sosial media dan orang tidak dikenal. Kasus-kasus KBGO yang terjadi di media sosial kurang bisa ditangani dengan baik oleh penegak hukum. Hal tersebut dikarenakan tidak ada regulasi mengikat dari pihak platform media sosial dan pemerintah sehingga proses penegakan memakan waktu lama atau tidak dihiraukan sama sekali. (Effendi. Mussyafa, 2. Penelitian terdahulu lain telah dilakukan oleh Nur Hayati dengan judul AuMedia Sosial Dan Kekerasan Berbasis Gender Onlineselama Pandemi Covid- JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION 19Au pada kesimpulannya disebutkan bahwa Kemajuan teknologi internet dan semakin maraknya penggunaan media sosial, muncullah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kekerasan jenis ini sama saja seperti kekerasan yang dilakukan secara langsung, bedanya kini kekerasan berbasis gender ini berpindah ke media sosial atau dunia maya. Apalagi selama pandemi ini, banyak bermunculan bentukbentuk kekerasan berbasis onlinedi media sosial. Bentuk KBGO yang ditemukan ini beragam, seperti pelecehan seksual onlinedengan kekerasan verbal, onlinegrooming, dan ancaman dengan menyebarkan foto atau video asusila. Keburukan dari media sosial salah satunyamenjadikan perilaku menyimpang atau pelaku KBGO. Media sosial yang seharusnya dapat dijadikan sebagi media membangun relasi dengan orang lain, malah menjadi tempat terjadinya KBGO. Oleh karenanya, media sosial dianggap tidak memiliki ruang aman bagi perempuan (Hayati, 2. Penulis menemukan penelitian terdahulu ketiga yang berjudul AuKekerasan Berbasis Gender Di Media SosialAu. Prameswari, dkk dalam pembahasannya menyebutkan bahwa Kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi ini hampir sama dengan kekerasan berbasis gender yang ada di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di ranah online. Saat ini kekerasan berbasis gender tidak hanya meranah pada dunia offline tetapi juga mulai merambat dan banyak dilakukan di media online sebagai salah satu dampak dari semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial. Terdapat faktor-faktor eksternal lain yang menjadi problematika dalam menanggulangi kekerasan berbasis gender di media sosial, seperti kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang apa dan bagaimana motif kekerasan berbasis gender, ketidaktahuan layanan akses dan kesulitan mengakses layanan pengaduan untuk melaporkan kasus (Prameswari, dkk, 2. LANDASAN TEORI Media Sosial Kehadiran media dengan banyaknya berbagai kelebihan sudah merupakan sebagian dari kehidupan manusia. Dengan berkembangnya era yang begitu pesat menimbulkan keberagaman media, diantaranya adalah sosial media. Sosial media ialah media yang yang mungkin mewakili penggunaannya dalam bersosialisasi kerjasama, saling memberi informasi dengan pengguna lainnya serta menciptakan hubungan atau komunitas secara online. Sosial media adalah media berbentuk digital tempatnya realitas sosial berlangsung dan setiap penggunanya saling berinteraksi. Nilai- nilai yang ada pada masyarakat atau suatu organisasi juga timbul dapat berupa wujud yang sama atau JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION tidak di dalam internet. Beberapa pakar yang mengkaji internet menemukan bahwa sosial media yang ada di internet merupakan visualisasi dari apa yang ada pada kenyataannya seperti penjiplakan (Nasrullah, 2016 dalam Effendi. Mussyafa, 2. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Merupakan suatu perilaku pelecehan seksual yang merugikan salah satu gender, terutama pada wanita melalui media internet. KBGO sendiri bukanlah kekerasan yang dilakukan secara fisik, melainkan tindakan secara verbal. Semenjak 2015 lalu. Komnas Perempuan sudah mencatat terkai tindak kekerasan yang dialami wanita ketika menggunakan media online, serta menekankan bahwa tindakan tersebut dan pelanggaran cyber mempunyai model perkara yang bertambah sulit. SAFEnet mengatakan ada delapan bentuk KBGO ini diantaranya melakukan tipu daya atau cyber grooming, pelecehan secara online atau cyber harassment, melanggar hak pribadi atau infringment og privacy, mengancam untuk menyebarkan foto atau video pribadi . alicious distributio. , mencemarkan nama baik atau online defamation, perekrutan secara online atau online recruitment. (Effendi. Mussyafa, 2. Cyber Crime Theory Cybercrime merupakan bentuk tindakan melanggar hukum yang dilaksanakan menggunakan teknologi komputer serta terjadi dalam ranah cyber. Brenda Nawawi . mengatakan bahwa cybercrime atau kejahatan cyber ialah sebuah peristiwa baru dalam dunia kejahatan sebagai efek buruk dari berkembangnya teknologi dan informasi. Girasa . , menjelaskan bahwa cybercrime merupakan aktivitas yang memanfaatkan teknologi komputer menjadi bagian terpenting. (Effendi. Mussyafa, 2. Sedangkan Tavani . mendefinisikan cybercrime sebagai tindak pidana yang mana tindakan tersebut hanya dapat terjadi melalui teknologi cyber dan berlangsung di dunia maya. Murti . menjelaskan cybercrime ialah sebuah sebutan yang dipakai secara general untuk mendefinisikan perilaku kejahatan melalui sarana komputer atau internet. Gregory . mengatakan cybercrime merupakan wujud tindakan melanggar hukum secara virtual yang menggunakan sarana komputer yang dihubungkan menggunakan internet serta bisa mengeksploitasi komputer lainnya yang bertautan melalui internet. (Effendi. Mussyafa, 2. kai untuk mengukut atau dipakai untuk menjelaskan dan mendalami sebuah fenomena. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksplanatoris dengan pendekatan studi kasus untuk menggali secara mendalam fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di media sosial selama masa pandemi Covid-19. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam . n-depth intervie. dengan beberapa informan yang memiliki pengalaman langsung maupun pemahaman terhadap isu KBGO, seperti korban, aktivis, serta praktisi digital. Teknik purposive sampling digunakan untuk memilih informan yang relevan dengan fokus penelitian. Analisis data dilakukan secara tematik untuk mengidentifikasi pola-pola penyebab, bentuk kekerasan, serta peran literasi digital dalam mendorong atau mencegah KBGO di ruang digital. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION PEMBAHASAN Fenomena Kekerasan Gender Berbasis OnlineMerebaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online di masa pandemi Covid-19 tentu tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi digital terutama media sosial. Apalagi setiap tahun terjadi peningkatan dalam penggunaan media sosial oleh generasi muda. Laporan Hotsuite dalam Digital Around The World 2020 menyatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia tahun 2020 mencapai 160 juta jiwa dengan penetrasi aktif sebesar 64 Platform media sosial yang paling banyak digunakan oleh warganet Indonesia pada tahun 2020 yaitu Youtube . Whatsapp . Facebook . Instagram . dan Twitter . Sementara usia pengguna media sosial paling banyak berasal dari usia 18-24 tahun dengan rincian 16,1 persen untuk jenis kelamin laki-laki dan 14,2 persen untuk perempuan. Sedangkan usia 25-34 tahun dengan rincian 20,6 persen untuk jenis kelamin laki-laki dan 14,8 persen untuk jenis kelamin perempuan (Wearesocial. com, 2. Dengan demikian, dapat dikonfirmasi bahwa mayoritas pengguna media sosial rata-rata masih berusia remaja dan sangat rentan terjadinya praktik Kekerasan Gender Berbasis Online. Faktor peluang atas pemanfaatan media sosial telah menjadi saluran bagi oknum tertentu untuk melakukan praktik Kekerasan Berbasis Gender Online. Akibatnya informan yang menjadi korban merasa tertekan untuk mengikuti perintah dari pelaku. Hal ini yang membuat informan merasa sedang dipermainkan oleh para laki-laki yang ingin melakukan perkenalan. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa kuasa budaya patriarki sangat dominan. Hal ini mengkonfirmasi studi Johan Galtung yang sepakat dengan pemikiran kaum feminis, bahwa patriarki sangat mempengaruhi terjadinya kekerasan langsung, struktural dan Bahkan patriarki telah membuat dikotomi antara peran publik dan privat, produktif dan reproduktif, yang membentuk relasi kuasa yang semakin timpang antara laki-laki dan perempuan. Langkah Penyelesaian Kekerasan Berbasis Gender Online Perlu diketahui bahwa kekerasan Berbasis Gender Online memiliki daya rusak yang sama dengan kekerasan konvensional. Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual, perilaku, sikap, kebijakan atau kondisi yang dapat melemahkan, mendominasi atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain (Galtung, 1. Johan Galtung juga menilai bahwa kekerasan langsung dapat bermacam-macam Meski kekerasan dalam bentuk klasik tetap melibatkan penggunaan kekuatan fisik, seperti pembunuhan atau penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual hingga pemukulan. Tetapi, kekerasan verbal seperti penghinaan secara luas juga bisa dikategorikan sebagai bagian dari bentuk kekerasan (Galtung, 1. Selain kekerasan langsung. Johan Galtung menekankan bentuk lain dari kekerasan, yaitu kekerasan struktural, yang tidak dilakukan oleh individu tetapi tersembunyi dalam struktur yang lebih kecil maupun lebih luas. Dalam konteks ini. JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION penetrasi, segmentasi, marginalisasi dan fragmentasi, merupakan bagian dari eksploitasi yang menjadi komponen penguat dalam struktur yang berfungsi menghalangi formasi dan mobilitas untuk berjuang melawan eksploitasi Dengan demikian, penguatan literasi digital adalah untuk memahami arti privasi dan penerapannya, persetujuan penggunaan data pribadi sebagai sumber informasi dalam ekosistem digital. Sehingga ketika membagikan citra diri di platform digital, tentu kita tetap harus memperhatikan level keamanan dan kenyamanan milik orang lain. Dengan edukasi ini akan mendorong warganet dengan bijak menjaga keamanan akun pribadi supaya tidak mudah untuk diretas atau disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebab ancaman dari Kekerasan Gender Berbasis Online bisa berasal dari orang terdekat. Bahkan, hasil riset Yayasan Plan International dengan tema Free to Be Online menyatakan bahwa mayoritas pelaku KBGO berasal dari orang terdekat, seperti teman dekat di media sosial, sekolah atau tempat kerja, ada pula pacar ataupun mantan pacar, sedangkan pelaku lainnya adalah akun- akun anonim dan orang asing (Magdalena. co, 2. Dengan kata lain, semua orang berpotensi menjadi pelaku maupun korban kekerasan siber. Dengan demikian, mencegah terjadinya praktik Kekerasan Berbasis Gender Online tentu sangat diperlukan peran aktif dari setiap simpul masyarakat dalam menggunakan media sosial sebagai saluran aspirasi kewargaan (Arianto, 2. Peran aktif ini bisa diartikan sebagai upaya membangun aktivisme digital. Meski begitu, tantangan terbesar dari aktivisme digital ini adalah mendorong mobilisasi dari gerakan dalam jaringan . menuju luar jaringan . agar lebih terlembaga (Ratnasari. Sumartias, & Romli, 2. Bila sudah terlembaga, tentu media sosial dapat digunakan untuk mendeteksi sejauh mana peluang yang ditawarkan oleh teknologi baru dalam menciptakan ruang baru untuk melawan kekerasan gender SIMPULAN Dengan demikian, mencegah terjadinya praktik Kekerasan Berbasis Gender Online tentu sangat diperlukan peran aktif dari setiap simpul masyarakat dalam menggunakan media sosial sebagai saluran aspirasi kewargaan (Arianto, 2. Peran aktif ini bisa diartikan sebagai upaya membangun aktivisme digital. Meski begitu, tantangan terbesar dari aktivisme digital ini adalah mendorong mobilisasi dari gerakan dalam jaringan . menuju luar jaringan . agar lebih terlembaga (Ratnasari. Sumartias, & Romli, 2. Bila sudah terlembaga, tentu media sosial dapat digunakan untuk mendeteksi sejauh mana peluang yang ditawarkan oleh teknologi baru dalam menciptakan ruang baru untuk melawan kekerasan gender. Mencegah Kekerasan Berbasis Gender Online membutuhkan keterlibatan aktif dari masyarakat, terutama dalam menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyuarakan pendapat dan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender. Media sosial memberi peluang bagi individu dan komunitas untuk berpartisipasi dalam aktivisme digital, di mana isu-isu dan ajakan perubahan bisa JURNAL KOMUNIKASI DIGITAL - DIGICATION dengan cepat tersebar dan menjangkau banyak orang. Namun, tantangan besar dari aktivisme digital adalah bagaimana membawa gerakan online ini menjadi tindakan nyata di dunia offline. Salah satu kesulitannya adalah memastikan bahwa semangat dan partisipasi yang muncul di dunia maya dapat diwujudkan dalam aksi konkret di dunia nyata. Mobilisasi ini penting agar gerakan melawan kekerasan berbasis gender dapat terstruktur dan berkelanjutan, sehingga tidak hanya berakhir sebagai kampanye viral, tetapi juga mendorong perubahan nyata melalui kebijakan atau aksi di DAFTAR PUSTAKA