Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 Analisis Pengaruh Suhu terhadap Viskositas dan Densitas pada Biodiesel Microemulsi Hasil Catalytic Cracking dari Minyak Kelapa Semuel Poumer Paepenan*1. Nurkholis Hamidi2. Purnami3 Teknik Mesin. Universitas Brawijaya. Malang. Indonesia E-mail: spaepenan@gmail. com1, hamidy@ub. id2, purnami. ftub@ub. Abstrak. Penelitian ini menganalisis pengaruh suhu terhadap viskositas dan densitas biodiesel mikroemulsi hasil catalytic cracking minyak kelapa menggunakan katalis zeolit. Biodiesel diproduksi dengan mencampur minyak kelapa, etanol, dan butanol sebagai surfaktan, kemudian dilakukan catalytic cracking pada suhu 50AC, 75AC, 95AC, 125AC, dan 150AC. Katalis zeolit diaktivasi dengan perendaman dalam HCl 32% dan dikalsinasi pada 500AC selama 3 jam. Hasil menunjukkan viskositas menurun signifikan dari 15,24 centistokes . menjadi 10,48 centistokes pada 150AC, menunjukkan suhu tinggi efektif memecah molekul hidrokarbon berat. Densitas mengalami fluktuasi kecil, dengan nilai tertinggi 0,879 gr/cmA . AC) dan terendah 0,876 gr/cmA . AC), mengindikasikan pembentukan senyawa lebih ringan tanpa perubahan densitas signifikan. Analisis FTIR mengungkap degradasi sebagian molekul ester pada 150AC, ditandai penurunan intensitas puncak serapan gugus karbonil (C=O) dan C-O, serta perubahan rantai hidrokarbon. Suhu 150AC terbukti optimal, menghasilkan biodiesel dengan viskositas lebih rendah dan struktur stabil. Penelitian ini menunjukkan catalytic cracking menggunakan zeolit sebagai solusi efektif dan ramah lingkungan untuk meningkatkan kualitas biodiesel mikroemulsi dari minyak kelapa. Kata kunci: Biodiesel microemulsi. catalytic cracking. Abstract. This study analyzed the effect of temperature on viscosity and density of microemulsion biodiesel from catalytic cracking of coconut oil using zeolite catalyst. Biodiesel was produced by mixing coconut oil, ethanol, and butanol as surfactants, then catalytic cracking at 50AC, 75AC, 95AC, 125AC, and 150AC. The zeolite catalyst was activated by immersion in 32% HCl and calcined at 500AC for 3 hours. The results showed that viscosity decreased significantly from 15. 24 centistokes . 48 centistokes at 150AC, indicating high temperatures are effective in breaking down heavy hydrocarbon molecules. Density experienced small fluctuations, with the highest value being 879 gr/cmA . AC) and the lowest being 0. 876 gr/cmA . AC), indicating the formation of lighter compounds without significant density changes. FTIR analysis revealed partial degradation of ester molecules at 150AC, characterized by a decrease in the intensity of the absorption peaks of carbonyl (C=O) and C-O groups, and changes in the hydrocarbon chain. The 150AC temperature proved to be optimal, producing biodiesel with lower viscosity and stable structure. This study demonstrates catalytic cracking using zeolites as an effective and environmentally friendly solution to improve the quality of microemulsified biodiesel from coconut oil. Keywords: Microemulsion of biodiesel. catalytic cracking. Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 Pendahuluan Konsumsi akan bahan bakar setiap hari semakin meningkat dan semakin berkurangnya bahan bakar fosil membuat para peneliti berusaha untuk mengembangkan bahan bakar alternatif yang dapat mengganti peran bahan bakar fosil . Biodiesel muncul sebagai bahan bakar alternative yang menjanjikan untuk menggantikan bahan bakar diesel . Keunggulan dari biodiesel sendiri dibandingkan dengan bahan bakar solar adalah biodiesel lebih ramah lingkungan dengan menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah, biodegradable dan memiliki sifat pelumasan yang baik sehingga dapat memperpanjang umur mesin dan angka setana yang tinggi. Minyak kelapa muncul sebagai salah satu minyak nabati yang dapat digunakan untu memproduksi Minyak kelapa kaya akan asam lemak jenuh, terutama asam laurat, yang merupakan komponen penting dalam pembuatan biodiesel . Asam lemak ini dapat diubah menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) biasanya menggunakan metode transesterfikiasi. Proses ini melibatkan reaksi minyak kelapa dengan alkohol . eperti metanol atau etano. dan katalis . iasanya NaOH atau KOH) untuk menghasilkan biodiesel dan gliserin sebagai produk samping . Namun memproduksi biodiesel menggunakan metode transesterifikasi memiliki beberapa kekurangan seperti proses yang lebih kompleks dan mahal, memiliki sisa limbah kimia seperti gliserin dan katalis serta Proses transesterifikasi memerlukan waktu reaksi yang relatif lama . iasanya 1-2 ja. dan tahap pemisahan gliserin serta pencucian biodiesel yang memakan waktu tambahan . Proses pembuatan biodiesel menggunakan metode microemulsi dapat menjawab kekurangan dari proses transesterifikasi. Pada proses microemulsi biodiesel diproduksi dengan mencampurkan minyak nabati, alcohol dan surfaktan tanpa melibatkan reaksi kimia yang rumit . Namun biodiesel yang dihasilkan menggunakan metode ini cenderung memiliki viskositas yang tinggi dan densitas yang kurang Salah satu penyebabnya juga diakibatkan dari rantai hidrokarbon yang panjang. Minyak kelapa memiliki Rantai hidrokarbon dari asam lemak yang relatif panjang, dengan jumlah atom karbon berkisar antara 12 hingga 18 yang dapat menyebabkan viskositas atau kekentalan dari biodiesel menjadi tinggi, serta densitas yang tinggi pula . Proses catalytic cracking muncul sebagai salah satu alternatif untuk memecah molekul hidrokarbon besar menjadi molekul yang lebih kecil dan lebih ringan dari biodiesel microemulsi . Peran katalis pada proses ini sangatlah penting, dimana katalis berfungsi untuk mempercepat laju reaksi kimia tanpa ikut terkonsumsi dalam reaksi tersebut, dalam catalytic cracking, katalis menyediakan jalur reaksi alternatif dengan energi aktivasi yang lebih rendah, sehingga reaksi pemecahan molekul besar seperti trigliserida dalam minyak nabati menjadi molekul yang lebih kecil seperti alkena, alkana, atau aromatik dapat terjadi lebih cepat . Salah satu katalis yang paling sering digunakan dalam proses catalytic cracking adalah zeolit. Zeolit, sebagai salah satu katalis yang menarik perhatian, menjadi fokus penelitian karena menunjukkan aktivitas asam yang tinggi dan sifat selektivitas yang menguntungkan . Untuk meningkatkan kinerja zeolit alami, dilakukan aktivasi fisika melalui pemanasan dan aktivasi kimia dengan menambahkan senyawa asam atau basa kuat . Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan absorbsi zeolit alami tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Metode 1 Produksi biodiesel microemulsi Pada penelitin ini biodiesel diproduksi menggunakan metode microemulsi dimana minyak kelapa dicampur dengan ethanol dan butanol sebagai surfkatannya. Dengan persentase perbandingannya, minyak kelapa 60%, ethanol 10% dan butanol 30%. Kemudian diaduk menggunakan hand mixer dengan kecepatan 8500 Setelah pengadukan, diamkan campuran selama beberapa waktu untuk memastikan stabilitas Microemulsi yang berhasil terbentuk akan terlihat transparan atau semi-transparan dan tidak menunjukkan pemisahan fase setelah didiamkan. Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 Gambar 1. Biodiesel Microemulsi 2 Pembuatan katalis zeolite Sebelum proses catalytic cracking dilakukan, terlebih dahulu persiapkan katalis zeolite untuk dapat digunakan nanti. Bongkahan besar dari zeolit terlebih dahulu dihancurkan dan dihaluskan menggunakan ayakan berukuran sekitar 60 mesh. Zeolit alam yang telah dihaluskan kemudian dicuci menggunakan aquades untuk membersihkan dan menghilangkan zat-zat pengotor yang mungkin menempel pada Setelah pencucian, zeolit dikeringkan dalam oven pada suhu 110AC hingga benar-benar Zeolit kering sebanyak 13 gram kemudian diaktivasi melalui proses perendaman dalam larutan asam klorida (HC. 32% selama 2 jam. Proses aktivasi ini bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan dan porositas zeolit, serta menghilangkan kotoran yang mungkin masih tersisa. Setelah direndam, zeolit dicuci kembali menggunakan aquades sebanyak tiga kali untuk memastikan kelebihan asam telah hilang. Zeolit kemudian disaring dan dikeringkan kembali pada suhu 110AC hingga mencapai kondisi kering sempurna. Tahap terakhir, zeolit yang telah dikeringkan dikalsinasi dalam furnace pada suhu 500AC selama 3 jam untuk meningkatkan stabilitas termal dan struktur kristalnya. Proses kalsinasi ini juga membantu menghilangkan senyawa organik atau air yang masih terikat pada struktur zeolit, sehingga zeolit siap digunakan sebagai katalis. Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 Gambar 2. Zeolit yang sudah diaktivasi 3 Proses catalytic cracking Dalam penelitian ini, sebanyak 300 gram biodiesel dimasukkan ke dalam tabung reaktor bersama dengan zeolit yang telah diaktivasi sebelumnya. Jumlah zeolit yang digunakan adalah sebesar 5% dari berat biodiesel, yaitu 15 gram, yang berfungsi sebagai katalis dalam proses catalytic cracking. Proses pemanasan dilakukan dengan mengatur variasi suhu, yaitu 50AC, 75AC, 95AC, 125AC, dan 150AC. Pada setiap suhu yang ditentukan, dilakukan holding time . aktu penahana. selama 60 menit untuk memastikan reaksi catalytic cracking berlangsung secara optimal. Setelah proses reaksi selesai, biodiesel mikroemulsi hasil catalytic cracking dianalisis untuk menentukan karakteristik fisiknya, meliputi viskositas dan densitas. Data yang diperoleh dari pengukuran tersebut digunakan untuk mengevaluasi pengaruh variasi suhu terhadap sifat-sifat fisik biodiesel Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan suhu optimal yang menghasilkan biodiesel dengan viskositas dan densitas terbaik, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang efisien dan ramah lingkungan. Skema penelitian ini dirancang secara sistematis, dimulai dari persiapan bahan baku, proses catalytic cracking dengan variasi suhu, hingga analisis hasil produk. Gambar 3 dalam penelitian ini menggambarkan alur kerja secara detail. Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 Gambar 3. Skema Penelitian Hasil dan Pembahasan 1 Pengujian Viskositas Penelitian ini berfokus pada peningkatan sifat fisik biodiesel meliputi viskositas dan densitas. Dengan memvariasikan temperature dari proses catalytic cracking sebesar 50AC, 75AC, 95AC, 125AC, dan 150AC. Hasil pengujian Viskositas dapat dilihat pada Gambar 4. Microcmulsi Cracking 50A Cracking 75A Cracking 95A Cracking 125A Cracking 150A Sampel Gambar 4. Grafik Pengujian Viskositas Hasil pengujian viskositas biodiesel mikroemulsi dengan variasi suhu catalytic cracking menunjukkan adanya tren penurunan viskositas seiring dengan kenaikan suhu proses cracking. Pada kondisi awal, yaitu sebelum dilakukan perlakuan catalytic cracking . , nilai viskositas biodiesel tercatat Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 sebesar 15,24 centistokes. Setelah dilakukan proses catalytic cracking pada suhu 50AC, viskositas mengalami sedikit peningkatan menjadi 15,30 centistokes. Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan struktur senyawa hidrokarbon yang belum signifikan pada suhu rendah, sehingga efek pemecahan molekul belum optimal. Namun, ketika suhu ditingkatkan menjadi 75AC, viskositas mulai menunjukkan penurunan menjadi 15,11 centistokes. Hal ini mengindikasikan bahwa pada suhu tersebut, proses pemecahan rantai hidrokarbon . mulai berlangsung lebih efektif, meskipun belum mencapai tingkat yang maksimal. Penurunan viskositas yang lebih signifikan terlihat pada suhu 95AC, di mana nilai viskositas turun drastis menjadi 11,11 centistokes. Penurunan ini menunjukkan bahwa pada suhu tersebut, proses cracking telah berhasil memecah molekul-molekul berat dalam mikroemulsi secara lebih intensif, menghasilkan fraksi yang lebih Tren penurunan viskositas terus berlanjut ketika suhu dinaikkan menjadi 125AC, dengan nilai viskositas mencapai 10,99 centistokes. Pada suhu ini, proses dekomposisi senyawa hidrokarbon berat semakin optimal, sehingga viskositas semakin mendekati nilai yang diharapkan. Akhirnya, pada suhu tertinggi yang diuji, yaitu 150AC, viskositas mencapai nilai terendah sebesar 10,48 centistokes. Penurunan ini mengkonfirmasi bahwa semakin tinggi suhu cracking, semakin efektif proses pemecahan molekulmolekul berat menjadi fraksi yang lebih ringan, sehingga viskositas biodiesel yang dihasilkan semakin 2 Pengujian Densitas Hasil pengujian densitas biodiesel mikroemulsi dengan variasi suhu catalytic cracking menunjukkan fluktuasi nilai yang relatif kecil seiring dengan peningkatan suhu perlakuan. Pada kondisi awal, yaitu sebelum dilakukan proses catalytic cracking . , nilai densitas biodiesel tercatat sebesar 0,874 gr/cmA. Setelah dilakukan proses catalytic cracking pada suhu 50AC, densitas mengalami sedikit peningkatan menjadi 0,876 gr/cmA. Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan komposisi fraksi hidrokarbon akibat pemecahan rantai molekul yang terjadi selama proses cracking, yang menghasilkan senyawa dengan massa jenis yang sedikit lebih tinggi. Ketika suhu ditingkatkan menjadi 75AC, densitas mengalami peningkatan lebih lanjut, mencapai nilai tertinggi sebesar 0,879 gr/cmA. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada suhu tersebut, proses cracking masih berada dalam tahap awal, di mana reaksi perengkahan menghasilkan fraksi hidrokarbon dengan massa jenis yang lebih tinggi. Namun, pada suhu 95AC, densitas mulai mengalami sedikit penurunan menjadi 0,878 gr/cmA. Penurunan ini menandakan bahwa pemecahan rantai hidrokarbon telah berlangsung lebih lanjut, menghasilkan senyawa yang lebih ringan dan lebih volatile. Pada suhu 125AC, densitas kembali turun menjadi 0,876 gr/cmA. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih tinggi, senyawa-senyawa berat dalam biodiesel mikroemulsi semakin terdegradasi menjadi komponen yang lebih ringan, sehingga densitas cenderung menurun. Namun, pada suhu tertinggi yang diuji, yaitu 150AC, densitas mengalami sedikit peningkatan kembali menjadi 0,878 gr/cmA. Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh stabilisasi komposisi fraksi hidrokarbon setelah tahap perengkahan lebih lanjut, di mana senyawa-senyawa yang terbentuk mencapai keseimbangan tertentu. Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 . r/cm A) Microcmulsi Cracking 50A Cracking 75A Cracking 95A Cracking 125A Cracking 150A Sampel Gambar 5. Grafik Pengujian Densitas 3 Pengujian FTIR Gambar 6. Grafik Pengujian FTIR Berdasarkan hasil analisis spektrum FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscop. , terlihat bahwa proses catalytic cracking pada suhu 150AC telah menyebabkan perubahan signifikan pada struktur kimia biodiesel mikroemulsi. Sebelum proses cracking, spektrum FTIR menunjukkan puncak serapan khas pada rentang 3000-2850 cmAA yang berasal dari gugus C-H . katan hidrokarbo. , puncak sekitar 1740 cmAA yang menunjukkan keberadaan gugus karbonil (C=O) dari ester, serta puncak pada 1150-1250 cmAA yang mengindikasikan gugus C-O dari ester. Setelah proses cracking, intensitas puncak serapan pada 1740 cmAA dan 1150-1250 cmAA mengalami penurunan, yang mengindikasikan terjadinya degradasi sebagian molekul Hal ini menunjukkan bahwa proses cracking telah berhasil memecah molekul ester menjadi senyawa Prosiding KONSTELASI Vol. 2 No. Juni 2025 yang lebih sederhana, seperti hidrokarbon rantai pendek atau senyawa aromatik. Meskipun puncak serapan pada rentang 3000-2850 cmAA masih terlihat, perubahan intensitasnya menunjukkan bahwa rantai hidrokarbon juga mengalami pemecahan sebagian. Perubahan ini sejalan dengan hasil pengujian viskositas yang menunjukkan penurunan signifikan setelah proses cracking, serta sedikit perubahan pada densitas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suhu 150AC merupakan kondisi yang efektif untuk proses catalytic cracking, di mana energi termal yang diberikan cukup untuk memecah ikatan-ikatan dalam molekul ester dan rantai hidrokarbon, menghasilkan biodiesel dengan karakteristik yang lebih ringan dan lebih stabil. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa proses catalytic cracking menggunakan katalis zeolit pada biodiesel mikroemulsi dari minyak kelapa memberikan pengaruh signifikan terhadap sifat fisik dan kimia biodiesel, terutama viskositas, densitas, dan struktur molekul. Hasil pengujian menunjukkan bahwa viskositas biodiesel mengalami penurunan seiring dengan peningkatan suhu catalytic cracking, dari 15,24 centistokes pada kondisi awal menjadi 10,48 centistokes pada suhu 150AC. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu yang lebih tinggi efektif dalam memecah molekul hidrokarbon berat menjadi fraksi yang lebih ringan. Sementara itu, densitas biodiesel menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil, dengan nilai tertinggi 0,879 gr/cmA pada suhu 75AC dan nilai terendah 0,876 gr/cmA pada suhu 125AC, yang mengindikasikan bahwa proses cracking menghasilkan senyawa yang lebih ringan tanpa perubahan densitas yang signifikan. Analisis FTIR mengungkapkan bahwa proses catalytic cracking pada suhu 150AC menyebabkan degradasi sebagian molekul ester, ditandai dengan penurunan intensitas puncak serapan pada gugus karbonil (C=O) dan gugus C-O, serta perubahan pada rantai hidrokarbon. Secara keseluruhan, suhu 150AC terbukti sebagai kondisi optimal untuk proses catalytic cracking, di mana energi termal yang diberikan cukup untuk memecah ikatan-ikatan dalam molekul ester dan rantai hidrokarbon, menghasilkan biodiesel dengan viskositas yang lebih rendah dan struktur yang lebih stabil. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Brawijaya atas dukungan sarana dan prasarana demi kelancaran penelitian ini. Penulis juga menyampaikan aprisiasi kepada Prof. Nurkholis Hamidi dan Pak Purnami selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan masukan berharga selama penelitian. Referensi