Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Criticism of Feminist Thought on the Rights and Obligations of Husband and Wife from the Perspective of Islamic Family Law Kritik Pemikiran Feminis terhadap Hak dan Kewajiban Suami Isteri Perspektif Hukum Keluarga Islam Agus Hermanto* Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia gusher.sulthani@radenintan.ac.id Habib Ismail Institut Agama Islam Ma'arif NU Metro Lampung, Indonesia habibismail65@gmail.com DOI: 10.24260/jil.v1i2.61 Received: May 4, 2020 * Corresponding Author Revised: June 30, 2020 Approved: July 1, 2020 Abstract: In the Islamic concept that the husband is the head of the household, and the wife is the housewife, but the development of the wife is looking for income in public spaces. What is interesting to study is, is it possible for the wife to become a partner in the household? With the aim, to get scientific insights about the rights and obligations of husband and wife that are relevant to the current context. This study is a library study that has qualitative research types. For criticizing the feminist concepts about the rights and obligations of husband and wife, I used Maslahah theory with philosophicalsociological approach. Feminists interpret the rights and obligations of husband and wife in the household, arguing that contextually the wives are no longer in charge of being housewives, but rather help to make a living in the public sphere, for the sake of justice, equality, democracy and doing good. Things this is not an absolute thing, but an offer and casuistic that should not be provoked because the concept of Islam has brought benefit if applied properly. Keywords: Criticism, Feminist Thought, Rights, Obligations. Abstrak: Dalam konsep Islam bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga, namun perkembangannya isteri yang mencari penghasilan diruang publik. Apa yang menarik untuk dikaji adalah kemungkinan isteri menjadi mitra dalam rumah tangga? Tujuannya adalah agar mendapatkan wawasan ilmiah tentang hak dan kewajiban suami isteri yang relevan dengan konteks saat ini. Kajian ini merupakan kajian library reseach dan jenis penelitiannya kualitatif. Untuk mengkritik konsep feminis tentang hak dan kewajiban suami isteri, penulis menggunakan teori Maslahah dengan pendekatan filosofis-sosiologi. Para feminis mereintepretasikan hak [ 182 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dengan alasan bahwa secara kontekstual para isteri tidak lagi banyak yang bertugas menjadi ibu rumah tangga, melainkan turut membantu mencari nafkah di wilayah publik, demi keadilan, persamaan, demokrasi dan berbuat kebaikan. Hal ini bukanlah hal yang mutlak, namun sebuah tawaran dan kasuistik yang tidak seharusnya diprovokasikan, karena konsep Islam sejatinya telah membawa maslahah jika diterapkan dengan benar. Keywords: Kritik, Pemikiran Feminis, Hak, Kewajiban. A. Pendahuluan Konsep Islam tentang perkawinan merupakan hal yang ideal ialah menghalalkan hubungan badan bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan hal ini merupakan nilai ibadah di sisi Allah SWT.1 Perkawinan merupakan wadah yang legal untuk dapat menghalalkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang terjalin dalam sebuah mītsāqān ghalīdzān (ikatan yang sangat kuat). Akibat dari perkawinan juga akan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri, karena dalam sebuah organisasi dalam konteks ini adalah rumah tangga, maka akan adanya pembagian tugas, yang dalam hal ini suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.2 Hal-hal yang menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga adalah bertanggung jawab terhadap nafkah isteri dan anak, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas isteri adalah bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga. Adapun tugas tersebut sejatinya adalah membantu tugas suami sebagai kepala rumah tangga. 3 Secara kontekstual, dalam kacamata sosial yang berkembang di masyarakat saat ini adalah banyaknya perempuan yang berusaha membantu suami dalam mencari nafkah di luar rumah, yang sejatinya dalam hal ini adalah tugas pokok suami yang bertanggung jawab untuk melindungi, mengayomi serta menjaga keluarga. Dari paradigma inilah, kemudian para feminis muslim mencoba 1 Habib Ismail dan Nur Alfi Khotamin, “Faktor dan Dampak Perkawinan dalam Masa Iddah (Studi Kasus di Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah),” Jurnal Mahkamah 2, no. 1 (3 Agustus 2017): 137, https://doi.org/10.25217/jm.v2i1.81. 2 Laurensius Mamahit, “Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia,” Jurnal Lex Privatum 1, no. 1 (2013). 3 Muhammad Fathinuddin, “Aplikasi Kewajiban Suami terhadap Istri di Kalangan Jama’ah Tabligh (Tinjauan atas Penerapan Hak dan Kewajiban Suami Istri),” 2014. [ 183 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. mereintepretasikan tentang hak dan kewajiban tersebut. Caranya ialah dengan membuka peluang bagi isteri untuk dapat bekerja di luar rumah. Dengan pergeseran peran tersebut itulah kemudian haruslah ada pula pergeseran tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Jika kita lihat dalam perspektif ulama’ klasik maupun paradigma feminis muslim, maka keduanya memiliki argumentasi yang sangat kuat untuk dapat dipertimbangkan, yang dalam hal ini adalah demi tercapainya kemaslahahan. Telah banyak penelitian tentang hak dan kewajiban suami isteri atau tentang isu-isu gender. Di antaranya ialah hasil penelitian L. Mamahit yang membahas tentang hak dan kewajiban suami isteri sebab perkawinan campuran menurut hukum Islam dan hukum positif.4 MSA Nasution membahas terkait perspektif hukum Islam dan filsafat tentang hak dan kewajiban suami isteri.5 Fathinuddin membahas terkait aplikasi hak dan kewajiban bagi jama’ah tabligh.6 Dari beberapa hasil penelitian ini, belum ada satupun yang mengkritik tentang konsep feminis. Penelitian ini fokus mengkritisi dan menawarkan pemahaman yang benar tentang hukum Islam. B. Konsep Maslahah Tujuan hukum Islam adalah tercapainya kemaslahahan di dunia dan akhirat. Maslahah secara etimologis berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata “al-maslahah” lawan kata dari “almafsadah” yang artinya kerusakan. 7 Maslahah atau sering disebut maslahah mursalah atau kerap juga disebut istislāh, yaitu sesuatu yang tidak terdapat dalilnya dalam nash secara tersurat, menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahahan. Maslahat disebut juga mashlahat yang mutlak, karena tidak ada dalil 4 Mamahid “Hak dan Kewajiban Suami Istri Akibat Perkawinan Campuran ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia.” Lex Privatum 1, no. 1 (2013). 5 Nasution, “Perspektif Hukum Islam atas hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kewarisan” Analisis Jurnal studi Keislaman 15, no. 1 (2015): 63-80 6 Muhammad Fathinuddin, “Aplikasi Kewajiban Suami terhadap Istri di Kalangan Jama’ah Tabligh (Tinjauan atas Penerapan Hak dan Kewajiban Suami Istri),” 2014. 7 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah,” Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol 12, no. 2 (Desember 2014): 314. Lihat juga: Muhammad Roy Purwanto, “Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najm ad-Dîn at-Tûfi,” Jurnal Madania vol 11, no. 1 (Juni 2015): 29. [ 184 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. yang mengakui keabsahan atau kebatalannya. Jadi, pembentuk hukum dengan cara mashlahat semata-mata untuk mewujudkan kemaslahahan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak ke-mudharat-an dan kerusakan bagi manusia.8 Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara maslahah dengan kemaslahahan. Kata “maslahah” menurut kamus tersebut diartikan sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faidah dan guna. Sedangkan kata “kemaslahahan” mempunyai makna kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia melihat bahwa kata “maslahah” dimasukkan sebagai kata dasar, sedangkan kata “kemaslahahan” dimasukkan sebagai kata benda jadian yang berasal dari maslahah yang mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an”.9 Kata “mashlahat” secara etimologi berasal dari kata “shaluha” yang berarti baik dan menjadi lawan kata dari buruk, sehingga secara etimologis, kata “maslahah” digunakan untuk menunjukkan jika sesuatu itu baik atau seseorang menjadi baik. 10 Namun secara terminologis dalam usul fikih, baik dan buruk dalam pengertian maslahah ini menjadi terbatasi. Amir Syarifuddin mendefinisikan maslahah ada tiga. Pertama, sandaran maslahah adalah petunjuk syarā’ bukan semata-mata berdasarkan akal manusia yang sangat terbatas, mudah terprovokasi oleh pengaruh lingkungan dan hawa nafsu. Kedua, baik dan buruk dalam kajian maslahah tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan duniawi, melainkan juga urusan ukhrawi. Ketiga, maslahah dalam kaca mata syara’, tidak hanya dinilai dari kesenangan fisik semata-mata, namun juga dari sisi kesenangan rûhaniyah.11 Sebagian besar dari ulama’ usul, telah menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil hukum Islam. Pertama, karena persoalan manusia kian berkembang, 8 Moh. Mukri, Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali (Yogyakarta: Nawesea Press, 2011), 181. 9 Imron Rosyadi, “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah Mursalah,” Jurnal Profetika Studi Islam vol 14, no. 1 (Juni 2013): 82. 10 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 187. 11 Amir Syarifuddin, Usul Fikih, 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 91. [ 185 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. sehingga harus disikapi secara pasti. Kedua, sesungguhnya pada generasi setelah wafatnya Rasulullah, konsep maslahah telah digunakan, seperti halnya Abu Bakar al-Siddiq telah mengumpulkan mushab Alquran.12 Obyek maslahah ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fikih, demikian pernyataan Imām al-Qarafi al-Thûfî dalam kitabnya, Masalihul Mursalah. Ia kemudian menerangkan bahwa masalihul mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'āmalah dan semacamnya. Sedang dalam soalsoal ibadah adalah Allah SWT untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah dari ibadah tersebut. Kaum muslimîn beribadah sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadith.13 Sejalan dengan batasan terhadap pengertian maslahah secara umum inilah, dalam teori hukum Islam atau yang disebut Islamic legal yurisprodence diperkenalkan tiga macam maslahah, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah.14 Maslahah mu’tabarah didefinisikan sebagai maslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam Alquran maupun hadis Nabi. Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam Alquran dan al-Hadits. Adapun maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ditetapkan dalam Alquran dan hadis maupun juga tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut. 15 Sedangkan istislāh, ada empat hal yang menjadi tujuan dan mendorong fuqahā dalam menggunakannya. Pertama, jalb al-mashālih (menarik maslahah), yaitu perkara-perkara yang didiperlukan masyarakat untuk membangun kehidupan manusia di atas pondasi yang kokoh. Kedua, dar’u al-mafāshid (menolak mafsadat), yaitu perkara-perkara yang memudharatkan manusia baik individu maupun kelompok, baik berupa materi maupun moral. Ketiga, syadz dzari’ah (menutup 12 Ibid., 181. 13 Ibid. 14 Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 68. Lihat juga: Hamzah K, “Revitalisasi Teori Maslahat Mulghâh Al-Tûhfî dan Relevansinya dalam Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia,” Jurnal AL-AHKAM vol 15, no. 4 (Januari 2015): 27. 15 Ibid., 68–69. [ 186 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. jalan), yaitu menutup jalan yang dapat membawa kepada mengabaikan perintah syari’ah dan memenipulasinya, atau dapat membawa kepada larangan syarā’ meskipun tanpa disengaja. Keempat, taghayyur al-azmān (perubahan zaman),16 yaitu kondisi manusia, akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang berbeda dari masa sebelumnya.17 Keempat prinsip tersebutlah yang menjadi urgen untuk digunakankan metode maslahah dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer, sehingga Islam menjadi rahmatan li al-‘ālamīn, mampu menyikapi situasi dan kondisi dalam keadalan arif bersifat dinamis dan berkeadilan. 18 Maslahah dapat dijadikan dalil hukum Islam apabila dua hal. Pertama, maslahah tersebut telah menjadi dzān yang kuat (setelah melakukan penelitianberdasarkan beberapa pertimbangan, mujtahid telah dapat mengambil kesimpulan bahwa masalah itu benar-benar maslahah yang sejalan dengan jenis tindakan syarā’. Kedua, maslahah itu masuk jenis maslahah yang ditinggalkan oleh syarā’.19 Dalam rumusan berbeda juga disebutkan, bahwa legalitas maslahah dalam kajian usul fikih harus didasarkan pada krieteria-kriteria. Pertama, maslahah itu harus bersifat pasti, bukan sekedar rekaan atau anggapan bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat, atau mencegah terjadinya kemudharatan. Kedua, maslahah itu bukan hanya kepentingan pribadi, atau sebagian kecil masyarakat, namun bersifat umum. Ketiga, hasil penalaran maslahah itu tidak berujung pada pengabaian suatu prinsip yang telah ditetapkan oleh nash syari’ah.20 Pandangan Najmuddin al-Tûfi tentang maslahah bertolak dari konsep maqāshid al-syarī’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyari’atkan untuk mewujudkan kemaslahahan kemanusiaan universal. Argumen al-Tûfi untuk mendukung tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan orang lain, didasarkan 16 Muhammad Lutfi Hakim, “Rekonstruksi Hak Ijbar Wali (Aplikasi Teori Perubahan Hukum dan Sosial Ibn al-Qayyim Al-Jawziyyah),” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 8, no. 1 (2014): 52, https://doi.org/10.24090/mnh.v8i1.401. 17 Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Hukum Islam dan Perubahan Sosial; Studi Komperatif Delapan Madzhab, diterjemahkan oleh Ade Dede Rahayu (Jakarta: Riora Cipta, 2000), 42. 18 Nu’man al-Jughaini, Turūq al-Kasyfī ‘an Maqāshid al-Syarī’ah (Yordania: Dār al-Nafa’is, 2000), 8. 19 Mukri, Paradigma Maslahat......, 95. 20 Anang Haris Imawan, “Refleksi Pemikiran Hukum Islam: Upaya-Upaya Menangkap Simbol Keagamaan,” dalam Anang Haris Himawan, Epistimologi Syara’ Mencari Format Baru Fikih Indonesia, Cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 84. [ 187 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. pada firman Allah, misalnya Tuhan menginginkan kemudahan untuk kamu, dan tidak menginginkan kesulitan untuk kamu. (QS al-Baqarah: 185). “Allah ingin meringankan beban kamu” (QS al-Nisā’: 28) “Dia (Allah) tidak menetapkan kesulitan kamu dalam agama.” (QS al-Māidah: 6). Menurut al-Tûfi, hadits la dzarāra wa la dzirāra di atas, memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya melakukan tindakan yang merugikan, yaitu tidak boleh melakukan atau menyebabkan kerugian atau kerusakan sosial, harus diberi prioritas pertimbangan di atas seluruh sumber hukum tradisional atau argumentargumen madzhab-madzhab hukum muslim; harus membatasi serta mengkhususkan validitas atau aplikasi sumber-sumber hukum tersebut dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan kejahatan sosial sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahahan sosial dalam praktek aktual. Sumber-sumber hukum tradisional yang paling kuat menurut al-Tûfi adalah consensus para ahli hukum (ijmā’) dan teks-teks keagamaan (Alquran dan Sunnah atau hadits-hadits Nabi). Jika dua sumber ini sejalan dengan perlindungan kemasalahatan manusia, maka semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan, maka perlidungan kemaslahahan menduduki prioritas di atas kedua sumber tersebut. Pemberian prioritas kepada perlindungan kemaslahahan, kata al-Tûfi tidak dimaksudkan untuk menghentikan atau menyangkal serta total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proporsional. C. Konsep Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perspektif Feminis Dalam realitas yang terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada perempuan yang bisa dibatasi ruang geraknya hanya di wilayah domistik. Secara tidak langsung mereka dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman dengan segala perubahan-perubahannya. Tafsir-tafsir klasik merupakan refleksi dari kondisi sosio-kultural yang mereka hadapi saat itu. Apalagi Islam dikatakan shālihun fi kulli zamān wa makān, maka pikiran-pikiran keagamaan secara klasik dalam [ 188 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. tafsir-tafsir tersebut perlu mendapatkan penyesuaian kembali dengan situasi sosiokultural saat ini secara nyata. 21 Alquran sesungguhnya telah menjelaskan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Adapun yang telah disyari’atkannya dalam dua hal. Pertama, dalam pengertian yang umum, terkait kedudukan laki-laki danm perempuan yang sama. Kedua, sesungguhnya laki-laki memiliki kewajiban terhadap sosial, ekonomi, maupun politik.22 Menurut Husein Muhammad, gender adalah behabioral difference antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang, perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial kultur.23 Secara umum, stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidak adilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah bersumber dari pandangan yang bias gender. Stereotip bias gender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan. Stereotipe laki-laki sebagai pencari nafkah juga berdampak pada menganalisasi perempuan. Akibatnya, stereotip ini menjadikan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan hanya dipandang sebagai sambilan atau tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun tidak jarang pendapatan perempuan atau isteri lebih tinggi dari laki-laki atau suaminya. Akibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya, maka beban pekerjaan perempuan menjadi lebih berat. Perempuan menerima pekerjaan menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, menyetrika dan mengasuh anak. Bagi keluarga menengah, maka beban ini akan dikerjakan oleh pembantu rumah tangga. Akan tetapi, pembantu rumah tangga ini pada umumnya adalah perempuan, yang sampai saat ini belum terlindungi secara 21 A. Qodri Azizy, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 1070-109. 22 Muhammad Syukri Albani Nasution, “Perspektif Filsafat Hukum Islam atas Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 15, no. 1 (2015): 63-80. 23 Muhammad, Fiqh Perempuan......, 7-8. [ 189 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. memadai oleh hukum negara. Sementara itu pada kalangan keluarga miskin, beban kerja perempuan menjadi berlipat ganda di samping harus membereskan urusan rumah tangga, mereka juga harus membantu bekerja di sektor publik untuk membantu mencari nafkah tambahan bagi keluarganya. Curahan waktu dan tenaga yang dihabiskan oleh perempuan lebih banyak dan berat daripada laki-laki. Perempuanlah yang paling belakang menuju ke pembaringan di malam hari dan paling cepat bangun di pagi hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa jam kerja isteri sejak dari sebelum suami bangun sampai mata suami terpejam. 24 Kekerasan yang mengenai adanya pandangan gender, perempuan pada umumnya disebabkan pandangan gender. Bentuk kekerasan fisik maupun non fisik, yang berlaku di tingkat rumah tangga, tingkat negara bahkan sampai pada tafsir agama.25 Salah satu bentuk kekerasan fisik adalah pemerkosaan dalam perkawinan, aneh kedengarannya dalam kehidupan suami isteri yang terikat perkawinan terjadi pemerkosaan. Alquran sangat bijaksana dengan menyebutkan bahwa hubungan suami isteri harus dibangun dengan cara mu’āsyarah bi al-ma’rûf. Suami yang baik adalah suami yang dapat menyenangkan, menjaga dan membantu isterinya seperti isterinya menyenangkannaya, menjaganya danmembantunya sertasuami harus sabar atas kekurangan isterinya. Menurut Mansour Fakih, suatu ketidakadilan harus mendapatkan tindak lanjut, menekankan pada sikap bagaimana menanamkan serta merubah gaya hidup masyarakat kita saat ini agar terbangun sebuah kultur baru yang bersifat bilateral, sehingga kebiasaan dan pemahaman serta sikap terhadap anak laki-laki sama dengan perempuan, agar dapat terwujud sebuah keadilan gender. Sedangkan perempuan yang menentang feminism.26 Terdapat beberapa faktor penting yang dapat menyebabkan kaum perempuan terkadang bias gender, sehingga menuntut untuk seimbang. Pertama, budaya patriarkhi yang telah melekat pada masyarakat. Kedua, faktor politik yang sering tidak berpihak pada perempuan. Ketiga, sistem kapitalisme yang sering 24 Alawy Rachman, Gelas Kaca dan Kayu Bakar, Pengalaman Perempuan dalam Pelaksanaan Hak-Hak Keluarga Berencana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 7. 25 Fakih, Analisis Gender......, 17. 26 Ibid., 157. [ 190 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. mendiskriminasikan faktor ekonomi dunia. Keempat, terkait penafsiran reintepretasi yang masih belum berpihak pada perempuan.27 Syafiq Hasyim28 berpendapat bahwa kesetaraan sebagai prinsip utama keadilan yaitu memandang setara seimbang kedudukan laki-laki dan perempuan, tidak berdasarkan pada perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati. Sebenarnya Syafiq lebih menekankan makna filosofis dari laki-laki dan perempuan itu seimbang di hadapan Allah kecuali dalam hal ketakwaan, namun dalam hak dan kewajiban dalam rumah tangga seimbang dan tidak harus dibeda-bedakan, kecuali dalam hal seks, yaitu perbedaan kelamin. Menurut Husain Muhammad, saling terkait dan saling memengaruhi, baik kepada laki-laki maupun perempuan, secara terstruktur, yang pada akhirnya antara lak-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan terpercaya bahwa peran gender itu seakan-akan kodrat Tuhan, yang dapat diterima dan dianggap sebagai suatu yang tidak harus dikoreksi.29 Menurut Nasarudin Umar, bahwa kepemimpinan dalam keluarga merupakan sesuatu yang given untuk suami. Alasan utama mengapa suami dengan sendirinya sebagai pemimpin keluarga adalah karena adanya fadl (kelebihan) yang dimilikinya atas wanita, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak. Di samping itu, infāq atau pemberian nafkah yang dibebankan kepada lelaki atas isteri dan anggota keluarga yang lain juga sebagai alasan mengapa mereka (suami) yang harus memegang kekuasaan dalam keluarga. 30 Nasaruddin menekankan pada faktor penafsiran bahwa perempuan dan lakilaki merupakan mitra yang saling berkesinambungan. Bahkan suami maupun isteri sama-sama memiliki hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga apabila isteri memiliki fadl yang berperan dalam urusan publik, namun siapaun yang menjadi kepala rumah tangga hendaknya mengedepankan prinsip sakinah, mawaddah wa rahmah untuk menjaga keberlangsungan rumah tangga. 27 Ibid. 28 Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikitkan tentang Isu-Isu Perempuan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001), 263. 29 Muhammad, Fiqh Perempuan......, 23-32. 30 Nasaruddin Umar, Bias Gender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 86. [ 191 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Menurut Nasharuddin31 terjadinya ketidakadilan disebabkanempat hal. Pertama, belum jelasnya antara seks dan gender dalam mendefinisikan peren lakilaki dan perempuan. Kedua, pengaruh kisah-kisah Isra’iliyyat yang berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Ketiga, metode penafsiran yang selama ini banyak mengacu pada pendekatan tekstual daripada kontekstual. Keempat, kemungkinan lainnya pembaca tidak netral menilai teks-teks ayat Alquran atau dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca ayat-ayat yang terkait dengan gender, sehingga seolah-olah dikesankan bahwa Alquran memihak kepada laki-laki dan mendukung sistem patriarkhi yang dinilai oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Bias gender bisa disebabkan oleh cara membaca ayat-ayat gender secara persial. Posisi perempuan yang disubordinat laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara popular dikenal dengan peradaban patriarkhi. Oleh karena itu, maka akan menjadi kesalahan besar apabila ingin memposisikan perempuan dalam setting budaya seperti itu ke dalam setting social dan budaya modern seperti sekarang ini. Kenyataan dewasa ini memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, meski tangan hegemonik laki-laki masih berusaha (melalui kesadaran atau tidak) untuk tetap mempertahankan superioritas dirinya. 32 Menurut Husein, secara sosiologis dan kultural, Islam memang hadir pertama kali pada masyarakat Arab yang sangat kental berbudaya patriarkhi. Mereka sangat mengagung-agungkan laki-laki dan kelelakian dan sebaliknya merendahkan potensi kaum perempuan. Budaya seperti itu ikut mempengaruhi dan membentuk kesadaran dan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif, sementara laki-laki ditakdirkan untuk terus aktif. Asumsi seperti itu, sangat mempengaruhi bentuk penghayatan keagamaan yang kita warisi sampai saat ini. 33 Menurut Husein, pada prinsipnya, keadilan dan kemaslahahan harus menjadi dasar dalam membuat hukum. Hukum bisa berubah apabila tidak ditemukan 31 Ibid.,, 21-22. 32 Mufidah, Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, (Malang: UIN-Maulana Malik Ibrohim, 2002), 22. 33 Ibid., 143. [ 192 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. kebaikan sosial. Produk fikih bercorak patriarkis mendominasi seluruh ruang domestik termasuk dalam pernikahan. Perempuan dimiliki suami, akibatnya isteri tak memiliki hak seksual atas suaminya dan juga kontrol atas dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya adalah milik suami. Dampaknya, perempuan sebagai isteri tertutup dan malu untuk mengungkapkan hasratnya terhadap suami. Hal lain bisa ditemukan dalam kepemimpinan dalam rumah tangga, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagai pemimpin. Dampaknya bagi perempuan adalah sulit mengambil keputusan dalam rumah tangga, bahkan atas dirinya. Isteri akhirnya sangat bergantung kepada suami. Hak asasi perempuan sebagai isteri menjadi ternafikan. Fikih bisa bersifat adil terhadap perempuan, yakni dengan mencari dan menyeleksi produk fikih yang relevan dengan perspektif keadilan. Fikih menjadi pandangan yang akan selalu melahirkan perbedaan pendapat. Karenanya, keputusan negara harus diambil. Keputusan negara mengikat dan menghapus kontroversi.34 Lebih lanjut, Husein Muhammad memberikan tanggapan bahwa jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisitradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum, pikiran dan keyakinan, maka kebudayaan yang tampak secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Orang menyebutnya dengan budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, disadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. Otonomi perempuan berkurang. Keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga ekploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun publik.35 Inilah fakta sosial dalam masyarakat, kesadaran laki-laki dan perempuan cukup lemah. Penilaian yang bias terhadap perempuan tersebut pada dasarnya juga berawal dari tiga buah asumsi dasar tentang keyakinan beragama. Pertama, asumsi dokmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap. 34 Ibid., 15. 35 Muhammad, Fiqh Perempuan......, 183. [ 193 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Kedua, dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah. Ketiga, pandangan materialistik, ideologi masyarakat Makkah pra-Islam yang memandang peren perempuan dalam proses produksi.36 Berbeda dengan konsep Masdar Farid Mas’udi memandang hak isteri untuk mendapatkan nafkah dan jaminan kesejahteraan dari suami, di samping karena secara normatif telah disebutkan dalam nas (Alquran dan hadist), juga karena isteri mempunyai peran dan tanggung jawab yang cukup besar dalam reproduksi dan pengelolaan rumah tangga. Sangat tidak adil jika perempuan atau isteri dibebani pula dengan masalah pembiayaan hidup (untuk keperluan makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, dan sebagainya), maka sudah selayaknya suami memikul tanggung jawab tersebut. Prinsip mendasar dalam menetapkan nafkah suami kepada isterinya adalah dalam rangka menjaga anggota keluarga terbebas dari keterlantaran. Sehingga dalam soal jumlah nafkah yang harus diberikan penulis cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu sangat tergantung kepada kebutuhan rumah tangga (isteri dan anak-anak) di satu pihak dan kemampuan suami di lain pihak. Akan tetapi, jika sampai keluarga terlantar karena suami tidak memperhatikan kewajiban nafkahnya, isteri dapat mengajukan gugatan cerai (jika keadaan benar-benar memaksanya). 37 Musdah Mulia lebih kepada pemahaman kontekstual, bahwa kenyataannya tidak semua laki-laki mampu berperan melebihi peran perempuan, maka dalam hal ini tidak dapat dipaksakan bahwa suami harus menjadi kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, bisa dimungkinkan ternyata isteri lebih mampu disektor publik, maka isteri akan dapat memegang peran pemimpin dalam rumah tangga. Musdah Mulia mengkaji surat al-Nisa ayat 32 dari segi bahasa, menurutnya kata rijāl dan al-nisā’ bukan satu-satunya istilah yang dipakai dalam Alquran untuk mengungkapkan makna laki-laki dan perempuan. Menurutnya, di dalam Alquran ditemukan dua kata untuk makna laki-laki yaitu rajul (bentuk singular) dan al-rijāl (plural) atau al-zakar (singular) dan al-zakar (plural). 36 Ibid., xiii. 37 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1991), 115. [ 194 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Menurut Ratna Bantara Munti, pada dasarnya konsep hubungan suami dan isteri yang ideal menurut Islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 187. Ideal moralnya adalah bahwa pada prinsipnya posisi laki-laki maupun perempuan adalah setara. Prinsip kesetaraan ini selaras dengan bunyi surat al-Nisā’ ayat 124. Begitu juga Ratna Bantara Munti memberikan komentar yang sama, pada prinsipnya lakilaki dan perempuan merupakan kemitraan, yang posis mereka adalah sama, hanya di bidang seks saja yang membedakannya bukan dalam wilayah gender. Semua keumuman maslahah merupakan kenyataan yang tidak diragukan adanya. Tak seorangpun menyangkal bahwa memelihara agama, jiwa, akal, nasab dan harta merupakan hal yang dituntut dalam akal sehat manusia. Menurut alSyātibī yang dimaksud dengan al-Maslahah38dalam pengertian syari’ mengambil manfaat dan menolak mafsadat yang tidak hanya berdasarkan kepadaakal sehat semata, tapi dalam rangka memelihara hak hamba. D. Konsep Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perspektif Maslahah Jika kita melihat dari sisi maslahah, itu dibarengi dengan sādd al-źarī’at, karena tujuan hukum tidak lain hanyalah untuk kemanusian, dan selama tidak melanggar ketentuan syarā. Terkait dengan tawaran konsep rekontruksi dalam bentuk reintepretasi tentang hak dan kewajiban suami isteri yang ditawarkan oleh para feminis muslim, tidaklah bertentangan dengan konsep maslahah yang ditawarkan oleh al-Syātibī. Menurut pendapat al-Syātibī, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pengggunaan metode maslahah. Pertama, maslahah itu harus sesuai dengan maksud-maksud syarā’, sehingga tidak akan terjadi pertentangan antara maslahah dengan dalil-dalil hukum. Dari konsep pertama ini, konsep hak dan kewajiban suami isteri yang digagas oleh para feminis muslim tidaklah bertentangan dengan hukum syarā dan ia bersifat umum, yaitu untuk kemaslahahan umum, karena penafsiran yang ditawarkan dalam surat al-Nisā ayat 34 adalah hasil 38 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi (Yogyakarta: UII Press, 2000), 50. [ 195 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. reitepretasi (bentuk penafsiran ulang), karena sejatinya menolak hasil penafsiran bukan berarti menolak ayat-ayat Tuhan. Hal ini juga seirama dengan konsep sādd źarī’at yang digagas al-Syātibī, bahwa sejatinya tujuan hukum adalah jalb al-mashālih wa dafu al-mafāsid (yaitu mengambil maslahah dan menolak kemudharatan). Agar tidak terbawa kearus liberal, radikal dan fundamental, maka dalam kajian ini dibutuhkannya teori sādd źarī’at, karena teori gender pada awalnya adalah teori Barat yang digagas untuk menuntut keadilan, kesamaan dan hak asasi manusia yang tidak terlepas dari munculnya banyak aliran. Tujuan hukum Islam tidak lain hanyalah untuk kemaslahahan, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga nasab dan menjaga harta. Kebutuhan manusia dalamkemaslahahan, yang dilakukannya adalah demi kemaslahahan, setidaknya kekuatan akal manusia untuk tercapainya kemaslahahan yang tidak keluar dari tujuan syara’. Kedua, maslahah itu memang masuk akal. Secara kontekstual-praktis, peran perempuan tidak lagi di bidang domistik, namun sebagian besar di bidang publik, maka sangat logis jika kemudian konsep nafkah yang ditawarkan oleh para feminis muslin tidak lagisecara mutlak menjadi beban suami, tetapi lebih kepada mitra untuk saling bekerja sama, saling melindungi dan saling menopang dalam urusan rumah tangga. Ketiga, hasil penerapan maslahah itu akan dapat menghilangkan kesempitan atau kepicikan yang memang tidak diinginkan oleh syarā’.39 Tentunya, trobosan-trobosan ini haruslah ditangguhkan untuk dapat menghadapi realita sehingga peran hukum yang harus progresif dan responsip terhadap situasi dan kondisi tertentu.40 Dengan kajian interdisipliner ini, setidaknya para feminis Muslim tidak terlalu ambisius dalam memploklamirkan dan menuntut secara fulgar terhadap hak-haknya secara setara. Karena justru dikhwatirkan akan terjerumus pada aliran feminis liberal, yang menuntut kesetaraan secara terang-terangan. Karena Islam tidak hanya berprinsip pada pemikiran, namun moral serta etika menjadi bagian yang harus diprioritaskan. 39 Yusdani, Peranan Kepentingan......, 136. 40 Durotun Nafisah, “Politisasi Relasi Suami-Istri: Telaah KHI Perspektif Gender,” Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak 3, No. 2 (2008): 195-208. [ 196 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Pendapat para feminis dalam menawarkan rekontruksi dalam bentuk reintrepretasi di atas kewajaran dan tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah, sebagaimana yang diungkapkan al-Syātibī. Namun demikian, hal ini tidak dapat digeneralkan, dan hanya bersifat kasuistik semata, sebagai serpon bahwa secara tersurat bahwa konsep perundang-undangan tentang hak dan kewajiban suami isteriyang terkesan kaku dan baku, namun ada kalanya di konteks tertentu bersifat lentur. Dalam konteks kajian ini, bentuk rekontruksi konsep hak dan kewajiban suami isteri dalam perundang-undangan Indonesia dan keadilan gender lebih maslahah, lebih adil dan lebih bermartabat, namun demikian, tentunya mengantisipasi hal sekecil apapun yang akan terjadi atau timbul di kemudian hari, sehingga tidak justru terjebak kepada hal-hal yang źarī’ah. Sejatinya pernikahan merupakan bentuk rekonstruksi dari ajaran-ajaran sebelumya yang dapat dikatakan sebagai sādd al-zari’ah, yaitu sebuah syari’at yang telah disyari’atkan kepada umat-umat sebelumya, ajaran Islam hanyalah menyelaraskan terhadap konsep yang tidak lagi mendatangkan kemaslahahan, misalnya saja tentang konsep hak dan kewajiban suami isteri, sebenarnya Islam telah memberikan konsep yang ideal bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan Isteri adalah ibu rumah tangga, hanya saja, konsep ini tidak lagi dijalankan secara baik oleh umat Islam secara kaffah, sehingga nilai-nilai kearifan dan keadilan selalu dianggap relatif. Adapaun pemikiran para feminis tentang konsep hak dan kewajiban yang telah mereintepretasikan ayat-ayat dan hadits-hadits serta pandangan para ulama terhadap konsep yang ada menurut penulis bukanlah konsep baru, melainkan telah ada pada paradigm umat sebelum datangnya Islam, kemudian Islam datang dengan membawa kemaslahahan dan kedamaian serta keadilan, adapun beberapa alasan yang menjadi illat secara kontekstual, seharusnya hanyalah berupa kasuistis dan tidak selayaknya diprovokasikan yang seakan-akan peran laki-laki dapat disamakan dengan perempuan, karena jika konsep itu kemudian menjadi sebuah hasil ijtihad yang diamalkan dan dijadikan acuan, maka akan menjadi sebuah kemudharatan yang akan datang. [ 197 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. E. Penutup Para feminis mereintepretasikan tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dengan alasan bahwa secara kontekstual para isteri tidak lagi banyak yang bertugas menjadi ibu rumah tangga, melainkan turut membantu mencari nafkah di wilayah publik, demi keadilan, persamaan, demokrasi dan berbuat kebaikan, hal ini bukanlah hal yang mutlak, namun sebuah tawaran dan kasuistik yang tidak seharusnya diprovokasikan, karena konsep Islam sejatinya telah membawa maslahah jika diterapkan dengan benar. DAFTAR PUSTAKA Amir Mu’allim, dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2001. Amir Syarifuddin. Usul Fikih. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Anang Haris Himawan. Epistimologi Syara’ Mencari Format Baru Fikih Indonesia, Cet I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Anang Haris Imawan. “Refleksi Pemikiran Hukum Islam: Upaya-Upaya Menangkap Simbol Keagamaan,” t.t. Asmawi. “Konseptualisasi Teori Maslahah.” Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol 12, no. 2 (Desember 2014): 314. Azizy, A. Qodri. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. F. Mas’udi, Masdar. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan. Bandung: Mizan, 1991. Fakih, Mansour. Analisis Gender, t.t. Hakim, Muhammad Lutfi. “Rekonstruksi Hak Ijbar Wali (Aplikasi Teori Perubahan Hukum dan Sosial Ibn al-Qayyim Al-Jawziyyah).” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 8, no. 1 (2014): 45–56. https://doi.org/10.24090/mnh.v8i1.401. Hamzah K. “Revitalisasi Teori Maslahat Mulghâh Al-Tûhfî Dan Relevansinya dalam Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia.” Jurnal AL-AHKAM vol 15, no. 4 (Januari 2015): 27. Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terpikitkan tentang Isu-Isu Perempuan dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001. [ 198 ] Journal of Islamic Law (JIL), Vol. 1, No. 2, 2020. Imron Rosyadi. “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah Mursalah.” Jurnal Profetika Studi Islam vol 14, no. 1 (Juni 2013): 82. Ismail, Habib, dan Nur Alfi Khotamin. “Faktor dan Dampak Perkawinan Dalam Masa Iddah (Studi Kasus di Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah).” JURNAL MAHKAMAH 2, no. 1 (3 Agustus 2017): 135. https://doi.org/10.25217/jm.v2i1.81. Kutbuddin Aibak. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Mamahit, Laurensius. “Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Lex Privatum Vol. 1, no. 1 (2013). Moh. Mukri. Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali. Yogyakarta: Nawesea Press, 2011. Mufidah. Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga. Malang: UIN- Maulana Malik Ibrahim, 2002. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan, t.t. Muhammad Roy Purwanto. “Kritik Terhadap Konsep Mashlahah Najm ad-Dîn atTûfi.” Jurnal Madania vol 11, no. 1 (Juni 2015): 29. Mustafa Ahmad al-Zarqa’. Hukum Islam dan Perubahan Sosial; Setudi Komperatif Delapan Madzhab. Diterjemahkan oleh Ade Dede Rahayu. Jakarta: Riora Cipta, 2000. Nafisah, Durotun. “Politisasi relasi suami-istri: Telaah KHI perspektif gender.” Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak Vol. 3, no. 2 (2008). Nasaruddin Umar, dkk. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002. Nasution, Muhammad Syukri Albani. “Perspektif filsafat hukum islam atas hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman Vol. 15, no. 1 (2015). Rachman, Alawy. Gelas Kaca Dan Kayu Bakar, Pengalaman Perempuan Dalam Pelaksanaan Hak-Hak Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Yusdani. Peranan Kepentingan Umum DalamReakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi. Yogyakarta: UII Press, 2000. [ 199 ]