PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 MITOS PACUL SURU DAN RIGEN DARI PERSPEKTIF ANTROPOLOGI SASTRA (STUDI ETNOGRAFI DI WILAYAH GUNUNG SUMBING) Molas Warsi Nugraheni a,*. Buntara Adi Purwanto b. Universitas Tidar molaspbsi@untidar. Universitas Sains Al-QurAoan Wonosobo adibuntara@gmail. *Surel / Corresponding Email: molaspbsi@untidar. Abstrak: Mitos merupakan bagian dari sastra lisan yang erat kaitannya dengan budaya. Tanda dalam mitos penting untuk diungkapkan agar masyarakat mengetahui makna dibalik tanda atau simbol tersebut. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan simbol dalam mitos peralatan hidup dan teknologi masyarakat di kaki Gunung Sumbing. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan teknik etnografi. Data berupa mitos peralatan pertanian yaitu pacul suru dan rigen . empat menjemur tembaka. Sumber data adalah masyarakat di wilayah Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung. Data diperoleh dengan wawancata, dokumentasi, dan observasi. Validitas menggunakan teknik triangulasi data. Penelitian ini menghasilkan data berupa alat pertanian di wilayah Gunung Sumbing yaitu cangkul suru dan rigen merupakan hasil cipta dan inovasi Ki Ageng Makukuhan selama berdakwah di wilayah Dulangmas. Pacul memiliki simbol kekuatan gan kegigihan masyarakat di wilayah Gunung Sumbing. Adapun rigen merupakan alat menjemur tembakau yang dipercaya sebagai kendaraan Ki Ageng Makukuhan. Simbol dalam alat pertanian ini bermakna kesederhanaan serta kebersamaan Kata Kunci: mitos, pacul dan suru, antropologi sastra, sastra lisan Abstract: Myths are part of oral literature that is closely related to culture. Signs in myths are important to reveal so that people know the meaning behind the signs or symbols. This research aims to reveal the symbols in the myth of living equipment and technology of the people at the foot of Mount Sumbing. This research is a qualitative type with ethnographic Data in the form of myths of agricultural equipment, namely pacul suru and rigen . obacco drying plac. The data source is the community in the Sumbing Mountain area in Temanggung Regency. Data were obtained by interview, documentation, and observation. Validity using data triangulation techniques. This research produces data in the form of agricultural tools in the Sumbing Mountain region, namely the suru hoe and rigen, which are the result of Ki Ageng Makukuhan's creation and innovation during his preaching in the Dulangmas area. The hoe symbolizes the strength and persistence of the people in the Sumbing Mountain region. The rigen is a tobacco drying tool that is believed to be Ki Ageng Makukuhan's vehicle. The symbol in this agricultural tool means simplicity and community Keywords: mitos, pacul dan suru, antropologi sastra, sastra lisan PENDAHULUAN Sastra Lisan merupakan karya sastra yang disampaikan melalui tuturan dan ditularkan turun-temurun. Sastra lisan digambarkan sebagai cerminan dari budaya pada suatu tempat. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Oleh sebab itu sastra lisan di setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Sastra merupakan bagian dari budaya yang memiliki keindahan. Sastra adalah sepotong kehidupan, cerminan dari kehidupan manusia. Sastra diyakini sebagai alat ukur . masyarakat yang digambarkannya (Patil, 2. Sementara itu, lisan dalam hal ini adalah spesifik mengenai tuturan, bukan literasi tulis. Sastra lisan cenderung alamiah dan natural, berbasis pada alam, bahkan sebelum penutur mengerti tulisan. Sastra lisan didominasi oleh sebuah tradisi (Finnegan 1974, p. Sementara itu. Hutomo . 1, p. , mengartikan karya sastra lisan sebagai kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarluaskan dan diturunkan secara turun temurun dari mulut ke mulut. Salah satu bentuk sastra lisan adalah mitos. Mitos/mite ( myt. merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Sementara mitos bukan semata-mata merupakan cerita pelipur lara, tetapi merupakan cerita yang mengandung sejumlah pesan. Pesan itu tidak hanya terdapat dalam sebuah mitos tetapi tersimpan dalam keseluruhan mitos. Logika mitos dihubungkan dengan struktur bahasa yang mempunyai hubungan sintagmatis dan paradigmatis (Resi, 2010, p. (Iswidayati, 2. mengungkapkan bahwa masyarakat memahami mitos sebagai bagian dari budaya. Mereka selalu berusaha memahami diri dan kedudukannya dalam alam semesta, sebelum mereka menentukan sikap dan tindakan untuk mengembangkan kehidupannya dalam suatu masyarakat. Permasalahan dalam penelian ini adalah mitos sebagai bagian dari budaya telah banyak dilupakan oleh masyarakat. Interpretasi terhadap mitos telah terbiaskan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, masyarakat memaknai mitos sebatas tahayul atau cerita fiktif yang tidak nyata. Padahal, mitos memiliki pesan, pesan tersebut diperoleh dari simbol-simbol yang dimunculkan (Huppatz, 2011. Barthes 1. Cangkul merupakan alat pertanian yang lazim digunakan di wilayah agraris. Bentuk cangkul bahkan memiliki kesamaan di seluruh dunia. Namun cangkul yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Dulangmas (Kedu. Magelang, dan Banyuma. memiliki perbedaan yaitu gagang cangkul memiliki kemiringan lebih tajam. Cangkul tersebut disebut cangkul / pacul suru. Suru adalah sendok darurat dari daun pisang yang digunakan untuk makan. Istilah suru digunakan karena memiliki bentuk yang hampir sama. Cangkul ini dipercaya merupakan buah karya Ki Ageng makukuhan selama berdakwah di wilayah Eks Karisidenan Kedu. KI Ageng makukuhan menggunakan pendekatan pertanian dan pengobatan dalam menyebarkan agama islam. Adapun rigen merupakan alat bantu pertanian yang berfungsi untuk menjemur tembakau. Rigen juga memiliki kisah yang sama dengan pacul suru, yaitu buah karya Ki Ageng Makukuhan dalam bidang sistem peralatan hidup dan teknologi. Sejauh ini, masyarakat di wilayah Kedu tidak banyak yang mengetahui sejarah maupun makna di balik alat-alat pertanian tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu. kurangnya pemahaman masyarakat dalam memaknai mitos di daerahnya, . kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah dan budaya di daerahnya, serta . kurangnya motivasi masyarakat untuk melestarikan budaya lisan berupa mitos di wilayah Gunung Sumbing. Oleh sebab itu rumuskan sebagai berikut. mitos pacul suru dan rigen dalam kajian antropologi sastra? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan kepada pembaca secara umum tentang mitos pacul suru dan rigen dan mengungkapkan makna mitos terebut menggunakan teori Roland Barthes A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 LANDASAN TEORI Mitos Mitos menurut Barthes . Nurhadi 2006, p. adalah pengkodean makna dan nilainilai sosial . ang sebenarnya arbiter atau konotati. sebagai sesuatu yang dianggap Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Artinya, mitos tidak hanya berisi cerita fiksi yang ditularkan dari mulut ke mulut, akan tetapi memiliki makna yang dapat dikaji secara semiotik. Hal inilah yang menarik peneliti untuk mengkaji makna dibalik mitos menggunakan analisis Roland Barthes. Antropologi Sastra Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang bersifat sebagai Kluckhohn, dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture . , menganalisis dan menyimpulkan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals (Koentjaraningrat, 1990: 203-. Bahasa, . Sistem pengetahuan, . Organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan, . Sistem peralatan hidup dan teknologi, . Sistem mata pencaharian hidup, . Sistem religi, . Kesenian. Dari 7 unsur budaya yang ada, pada penelitian ini unsur budaya yang dianalisis adalah sistem peralatan hidup. Sistem Peralatan Hidup Sistem peralatan hidup merupakan bagian dari 7 unsur budaya universal yang cetuskan oleh Kluckhohn. (Sumarto, 2019. Koentjaraningrat, 2. menjelaskan bahwa manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda. Perhatian awal para antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik. Dalam penelitian ini, sistem peralatan hidup yang dikaji yaitu cangkul suru dan rigen, sebagai wujud budaya fisik masyarakat di lereng Gunung Sumbing. METHOD Metode penelitian ini adalah kualitatif etnografis. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang melibatkan lebih banyak penafsiran dari peneliti (Corbin & Strauss, 2. Etnografis disebut etnometodologi yang fokus pada identifikasi, dengan mengacu pada dimensi organisasi sosial (Freiberg et al. , 2. Peneliti menyajikan data secara deskriptif mengenai mitos sistem peralatan hidup dalam budaya Jawa. Data penelitian diperoleh dari sumber data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara, dan data sekunder diperoleh dari referensi lain berupa dokumentasi daerah maupun literasi pendukung lain seperti artikel dan tautan dalam internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi lima tahap yaitu akses ke organisasi, observasi, wawancara, mengumpulkan dokumen dan audovisual, serta menjalankan etika (Creswel 2009, p. Peneliti menggunakan pendekatan langsung dalam wawancara (Marshall & Rossman, n. Latar penelitian yaitu Kabupaten Temanggung. Kabupaten Temanggung dipilih sebagai sampel penelitian karena memiliki kebudayaan yang masih kental. Pengambilan data memerlukan waktu 3 bulan, dimulai dengan mengamati data secara seksama, pengkodean A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 dilakukan untuk mendai data yang dibutuhkan, tahap terakhir adalah menganalisis data (Corbin & Strauss, 2. Objek penelitian adalah masyarakat pengguna mitos yang meliputi sesepuh, tokoh masyarakat, dukun bayi, dan ibu rumah tangga. Validasi berupa credibility, transferability, dependability dan confirmability digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran (Creswell & Clark, 2. Setelah itu triangulasi data berupa triangulasi sumber, metode, dan HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain kualitatif, data diperoleh dengan wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini diuraiakan sebagai berikut. Cangkul Suru Mitos sebagaimana diuraikan oleh Barthes, merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh suatu tokoh tersebut, sebagai sesuatu yang harus dituruti, bukan sesuatu yang harus dibuktikan (Barthes, 1972. Pada wujud budaya sistem peralatan hidup, ditemukan dua data bentuk fisik dari peninggalan Mbah Ageng yaitu alat pertanian cangkul dan rigen. Berikut visualisasi dari cangkul bentuk suru dan perbandingannya dengan cangkul secara umum . Gambar 1. Cangkul Jawa secara umum . entuk cega. Gambar 2. Cangkul di Wilayah Gunung Sumbing . entuk sur. Pada gambar. 1 dan 2 tersebut terdapat perbedaan antara cangkul yang digunakan sebagai alat pertanian di wilayah Jawa secra umum dan cangkul di Gunung Sumbing yang diyakini sebagai warisan budaya Ki Ageng Makukuhan. Cangkul di wilayah Jawa memiliki gagang lurus dan panjang, sementara cangkul di wilayah gunung Sumbing memiliki gagang pendek dan lebih miring. Sebagai bagian dari mitos, cangkul mengandung makna denotative dan konotatif. Makna denotatif yang ditemukan adalah bentuk cangkul menyesuaikan kontur lahan pertanian. Cangkul panjang dan lurus digunakan oleh masyarakat daerah pesisir atau A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 daerah dengan kontur tanah datar atau rata. Sementara gagang pendek dan miring merupakan cangkul yang telah disesuaikan dengan kontur daerah perbukitan, tanah curam, dan tanah bertingkat seperti di pegunungan. Adapun makna konotatifnya yaitu cangkul berbentuk suru merupakan gambaran kerja keras dan kegigihan masyarakat Dulangmas dalam pertanian. Bentuk gagang yang lebih pendek dan lebih miring menggambarkan sosok petani di wilayah Gunung Sumbing yang selalu rendah hati namun pandai dalam mengelola lahan pertanian. Pemilihan kata suru oleh Mbah Ageng yang menggambarkan masyarakat Gunung Sumbing sebagai sosok yang menerima apa adanya. Suru merupakan sendok dari daun pisang. Berikut bagan analisis mitos berdasarkan teori Roland Barthes. Bagan 1 Analisis Mitos Cangkul bentuk Suru Penanda Petanda Bahasa/denotasi Asal usul cangkul Kisah Ageng Makukuhan pertanian di Gunung Sumbing dengan alat Cangkul suru/miring Kisah dakwah agama Islam melalui pendekatan pertanian di gunung Sumbing. Alat yang digunakan berbentuk suru atau memiliki gagang lebih miring dan pendek untuk memaksimalkan tenaga yang dihasilkan. Mitos/konotasi Cangkul dengan Bentuk gagang yang lebih pendek dan lebih miring menggambarkan sosok petani di wilayah Gunung Sumbing yang selalu rendah hati namun pandai dalam mengelola lahan pertanian, bersyukur, serta lapang dada Alat pertanian cangkul dan rigen ini memiliki cerita yang ditularkan turun temurun oleh leluhur dusun Makukuhan. Berikut cerita lisan yang diperoleh dari wawancara dan telah dirangkum dan ditraskip ke dalam bahasa Indonesia. [Data . Kisah Cangkul dan Rigen Cangkul berbentuk suru merupakan cangkul yang dikenalkan Mbah Ageng Makukuhan sebagai alat bantu pertanian di wilayah Dulangmas (Kedu. Magelang, dan Banyuma. Pada awal kedatangan Mbah Ageng di tanah Kedu, masyarakat belum optimal memanfaatkan lahan sehingga hasil pertanian sedikit, tanaman tidak bervariasi, serta tingkat ekonomi rendah. Mbah Ageng merupakan santri yang diutus oleh gurunya yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus untuk berdakwah di wilayah Kedu, serta telah dibekali dengan berbagai macam ilmu. Oleh karena Mbah Ageng melihat adanya potensi pertanian yang bagus, maka beliau menggunakan pendekatan pertanian ini sebagai metode dakwah dan syiar agama Islam. Setelah mengamati lahan pertanian di wilayah Kedu. Mbah Ageng merakit cangkul dengan bentuk yang berbeda. Yaitu memiliki sudut kemiringan lebih tajam yang A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 mengoptimalkan tenaga dipangkal cangkul, sehingga tenaga yang ringan tetap bisa menggali di lahan dataran tinggi. Awalnya usaha pertanian mbah Ageng diremehkan warga karena menurut mereka tidak berhasil. Namun atas izin Allah, hasil pertanian lebih banyak, tanaman lebih subur, dan ekonomi meningkat. Adapun rigen merupakan buah karya Mbah Ageng dibidang pertanian atas arahan dari Sunan Kalijaga. Rigen diciptakan sebagai tempat untuk menjemur tembakau dan biji-bijan hasil pertanian. Selain itu, rigen diyakini sebagai kendaraan Mbah Ageng untuk bertemu dengan gurunya di Demak dan Kudus. Adapun, rigen yang dilempar dan jatuh di desa Legok, diyakini sebagai cikal bakal perkebunan tembakau dan tembakau Srintil. Berdasarkan data tersebut, ditemukan dua bentuk fisik dari peralatan pertanian yaitu pacul dan rigen. Kedua properti tersebut memiliki mitos yang berkembang di wilayah gunung Sumbing. Rigen dan cangkul suru ini selanjutnya memiliki leksia, yaitu sebuah penanda dalam teks yang memiliki makna atau berdampak dibandingkat dengan teks lain di Leksia berupa benda budaya dan kisah mengenai rigen dan cangkul suru ini selanjutnya dianalisis menggunakan lima kode semiotik Roland Barthes. Kode tersebut yai tu kode Hermeneutik (HER). Kode Semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proaretik (PRO), dan kode gnomik atau kultural (KUL). Berdasarkan jenis data yang ditemukan yaitu data lisan dengan mengacu pada benda berbentuk cangkul dan rigen, maka data kode semiotik terkuat adalah kode kultural (KUL). Berikut analisis kode semiotic dari leksia mitos cangkul suru. Kode Hermeneutik Kode hermneutik adalah kode yang menimbulkan penasaran, kode teka-teki atau kode yang menimbulkan enigma dalam suatu penceritaan. Kode yang dimaksud dalam mitos cangkul dan rigen ditemukan pada data berikut. [Data . Syiar agamanya melalui sarana pertanian dan pengobatan. Kenapa pertanian? Karena memang terbukti pola tanam di wilayah DULANGMAS (Kedu. Magelang. Banyuma. pola tanamnya hampir sama, basah-basah kering. Bentuk fisik yang masih tertinggal, bentuk cangkul, ada suru, cegah, adanya hanya ada di Dulangmas . Itu membuktikan, pembuatnya hanya 1. Kalau keluar daerah pasti bentuk cangkulnya beda-beda. Itu memang membuktikan Mbah Ageng mempunyai pengaruh di pertanian di Kedu ini. Leksia pada transkip tersebut berupa kalimat yang bercetak miring yaitu Kenapa pertanian? Karena memang terbukti pola tanam di wilayah DULANGMAS (Kedu. Magelang. Banyuma. pola tanamnya hampir sama, basah-basah kering. Bentuk fisik yang masih tertinggal, bentuk cangkul, ada suru, cegah, adanya hanya ada di Dulangmas. Kode hermeneutic tampak pada kalimat tanya dan jawaban yang disertakan oleh narasumber. Pernyataan tersebut merujuk pada mitos cangkul suru dan pola pertanian pada wilayah dulangmas yang diawali dengan sebuah pertanyaan. Teka-teki berupa pertanyaan tersebut membawa pikiran pendengar atau pembaca pada cerita tentang pacul suru A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Kode Semik (SEM) Kode semik atau kode konotatif ( Conotative Cod. adalah kode konotasi yang memberikan isyarat, menunjuk kilasan makna atau kemungkinan makna yang ditawarkan oleh penanda. Pada mitos pacul suru ditemukan kode semik dari leksia berikut. [Data . Seperti tentang bentuk cangkul tadi, itu terbukti kalau dicari dimana-mana pasti beda-beda bentuknya . Yang bentuknya kaya gitu tadi ya Cuma di sekitaran DULANGMAS ini , terus kenapa ada kepercayaan Mbah Ageng dimakamkan di puncak gunung Sumbing itu karena memang sing bisa ngasih tak deleh ning ndhuwur itu kan yang kena sawabe sak Dulangmas kabeh Kode semik yang ditemukan terdapat dalam data yang berbunyi Seperti tentang bentuk cangkul tadi, itu terbukti kalau dicari dimana-mana pasti beda-beda bentuknya . Yang bentuknya kaya gitu tadi ya cuma di sekitaran DULANGMAS ini. Kutipan tersebut memiliki konotasi yang memberikan isyarat, menunjuk kilasan makna atau kemungkinan makna yang ditawarkan oleh penanda. Kata tadi pada leksia Seperti tentang bentuk cangkul tadi, menunjuk kilasan makna bentuk cangkul suru yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Kode Simbolik (SYM) Kode simbolik merupakan aspek pendekatan fiksi yang paling khas bersifat struktural. Kode simbolik dari asal usul pacul tidak ditemukan dalam leksia berupa kalimat atau pernyataan yang mengandung makna. Namun makna simbolik dari pacul suru diperoleh dari bentuk dan analisis mitos tahap pertama. Simbol pacul bergagang miring dan pendek ini menggambarkan sosok petani di wilayah Gunung Sumbing yang selalu rendah hati namun pandai dalam mengelola lahan pertanian, bersyukur, serta lapang dada. Hal tersebut membuktikan bahwa pacul merupakan simbol dari budaya di wilayah Dulang Mas, serta memiliki makna yang dalam bagi masyarakat di wilayah Gunung Sumbing. Kode Proaretik (PRO) Kode proaretik merupakan kode yang mengharuskan tokoh melakukan tindakantindakan, baik tindakan langsung maupun tindakan lisan. Data kode proaretik ditemukan dalam leksia berikut. [Data . Pada awal kedatangan Mbah Ageng di tanah Kedu , masyarakat belum optimal memanfaatkan lahan sehingga hasil pertanian sedikit, tanaman tidak bervariasi, serta tingkat ekonomi rendah. Mbah Ageng merupakan santri yang diutus oleh gurunya yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus untuk berdakwah di wilayah Kedu, serta telah dibekali dengan berbagai macam ilmu. Oleh karena Mbah Ageng melihat adanya potensi pertanian yang bagus, maka beliau menggunakan pendekatan pertanian ini sebagai metode dakwah dan syiar agama Islam. Setelah mengamati lahan pertanian di wilayah Kedu. Mbah Ageng merakit cangkul dengan bentuk yang berbeda . Yaitu memiliki sudut kemiringan lebih tajam yang mengoptimalkan tenaga dipangkal cangkul, sehingga tenaga yang ringan tetap bisa A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 menggali di lahan dataran tinggi. Awalnya usaha pertanian mbah Ageng diremehkan warga karena menurut mereka tidak berhasil. Namun atas izin Allah, hasil pertanian lebih banyak, tanaman lebih subur, dan ekonomi meningkat. Pada leksia tersebut ditemukan data kode proaretik atau kode tindakan dari asal usul cangkul suru atau pacul suru. Tindakan pertama adalah kedatangan Ki Ageng Makukuhan di tanah Kedu, berdakwah dengan pendekatan pertanian, mendesain cangkul, dan berhasil menerapkan metode pertaniannya. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian cerita berupa tindakan-tindakan yang terangkai menjadi satu cerita. Kode Gnomik atau Kultural (KUL) Kode Gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasikan oleh budaya. Cangkul Suru sebagai mitos juga telah diidentiikasi sebagai benda bernilai budaya. Lebih jelas, kode berupa budaya ditemukan dalam leksia berikut. [Data . Syiar agamanya melalui sarana pertanian dan pengobatan. Kenapa pertanian? Karena memang terbukti pola tanam di wilayah DULANGMAS (Kedu. Magelang. Banyuma. pola tanamnya hampir sama, basah-basah kering. Bentuk fisik yang masih tertinggal, bentuk cangkul, ada suru, cegah, adanya hanya ada di Dulangmas. Itu membuktikan, pembuatnya hanya 1. Kalau keluar daerah pasti bentuk cangkulnya beda-beda. Itu memang membuktikan Mbah Ageng mempunyai pengaruh di pertanian di Kedu ini. Kode gnomic atau kultural yang diperoleh yaitu dari kata cangkul atau pacul Suru. Cangkul ini mengindikasikan budaya pertanian. Adapun kata suru menegaskan adanya pembeda budaya dengan jenis cangkul yang lainnya. Karena cangkul suru hanya ditemukan di daerah Dulangmas. Demikian data lima kode semitik dari mitos cangkul yang diperoleh dari data wawancara di Gunung Sumbing. Mitos rigen dan analisis lima kode semiotic dijelaskan pada sub bab berikut. Mitos Rigen Rigen merupakan salah satu alat bantu pertanian yang berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk menjemur tembakau. Asal-usul Rigen ini merupakan bagian dari legenda Ki Ageng Makukuhan, bahkan Rigen menjadi properti penting dari Legenda Ki Ageng Makukuhan. Berikut kisah atau asal usul Rigen yang diperoleh dari wawancara dengan pengelola Desa Wisata makukuhan Pak Sigit Winarno. [Data . Rigen merupakan buah karya Mbah Ageng dibidang pertanian atas arahan dari Sunan Kalijaga. Rigen diciptakan sebagai tempat untuk menjemur tembakau dan biji-bijan hasil pertanian. Selain itu, rigen diyakini sebagai kendaraan Mbah Ageng untuk bertemu dengan gurunya di Demak dan Kudus. Adapun, rigen yang dilempar dan jatuh di desa Legok, diyakini sebagai cikal bakal perkebunan tembakau dan tembakau Srintil. (Sigi. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Kenapa sudah melampaui tidak sowan. Ki Ageng Makukuhan berkata tidak sowan karena disibukan dengan sebiji butir yang dikasih. Berkat Tuhan biji itu menjadi pohon kesembuhan yang didaerah sana saya berinama pohon tambaku. Ilmu keislaman jangan sampe dilupakan, pola budidaya padi dan tembakau Islamisasi juga berjalan. Kamu saya beri idig. Idig ini saya lempar lokasi jatuhya idig . nyaman bambu perseg. ini akan tumbuh tembakau yang luar biasa. Malam hari terbang ada sinarnya para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi. Sebelum ada tembakau rigen itu sudah ditemukan untuk menjemur hasil pertanain. Jatuhnya idig di Lamuk Legok, konon bukit ini dan Lamuk gunung 1 bukit kejatuhan idig jadi Legok. (Sutop. Rigen diyakini didesain oleh Mbah Ageng sebagai alas jemur tembakau agar tembakau cepat kering dan memiliki kualitas baik. Rigen terbuat dari serat bambu yang dianyam renggang dan dibingkai dengan kulit bambu. Anyaman renggang ini didesain agar sirkulasi udara maupun panas dapat berpindah dengan lancar sehingga tembakau tidak lembab. Berikut visuasalisasi dari rigen. Gambar 3. Rigen Sebagai benda yang dikultuskan, rigen teridentifikasi sebagai mitos yang memiliki pesan atau amanat dibalik bentuk fisiknya. Makna denotasi dari rigen adalah alas atau media menjemur tembakau dan biji-bijian hasil panen yang terbuat dari serat bambu dan dianyam Adapun makna konotasi yang terdata adalah rigen merupakan kendaraan yang digunakan oleh Ki Ageng Makukuhan untuk bertemu dengan gurunya di Demak dan Kudus. Mitos yang ditemukan yaitu rigen memiliki kekuatan magis karena dapat terbang serta jatuh membentuk lubang yang saat ini menjadi desa Legoksari di lereng Gunung Sumbing. Analisis mitos dengan teori Roland Barthes dapat dicermati pada tabel berikut. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Bagan 2. Analisis Mitos Rigen Bahasa/Denotasi Penanda Petanda Asal usul Serat dibingkai dengan persegi panjang Kisah Ki Ageng Makukuhan yang menaiki rigen sebagai kendaraan untuk bertemu Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Kudus Mitos/Konotasi Rigen yang dianyam Kedu. Kegigihan, dan kerja sama Rigen memiliki kekuatan magis yaitu dapat terbang dan memiliki kekuatan super yang dibuktikan dengan berlubangnya tanah di Lereng Gunung Sumbing saat rigen tersebut jatuh. Pada tabel tersebut diuraikan makna denotasi dari rigen . yaitu alas untuk menjemur tembakau berbentuk pesegi panjang, terbuat dari anyaman bambu, dan dibingkai kulit bambu tebal dengan tujuan anyaman yang telah terjalin tidak terurai. Adapun makna denotasi pertama . yaitu kisah asal mula Rigen. Makna konotasi tingkat pertama yaitu Kisah Ki Ageng Makukuhan yang menaiki rigen sebagai kendaraan untuk bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Kudus, tataran konotasi kedua diperoleh data bahwa Rigen yang dianyam menggunakan serat kayu bambu menggambarkan kerekatan silaturami masyarakat Kedu, kekuatan. Kegigihan, dan kerja sama. Dari konotasi tersebut lahirlah konotasi tataran kedua yang disebut mitos yaitu Rigen memiliki kekuatan magis yaitu dapat terbang dan memiliki kekuatan super yang dibuktika n dengan berlubangnya tanah di Lereng Gunung Sumbing saat rigen tersebut jatuh. Berdasarkan kisah Legenda Ki Ageng Makukuhan, data mitos lebih mengarah pada kekuatan yang dimiliki Ki Ageng Makukuhan dalam mengendarai rigen. Bahkan rigen yang membentuk lubang . setelah dilempar, lebih mengarah pada akurasi daya lempar Ki Ageng Makukuhan. Namun ditinjau dari segi budaya dan tradisi, masyarakat meyakini bahwa rigen memiliki nilai magis yang dapat mempengaruhi usaha seseorang dalam pertanian. Contohnya adalah tradisi ruwat rigen di gunung Sumbing dan Sindoro yang meyakini terjadinya malapetaka bila rigen tidak diruwat sebelum digunakan. Mitos mengenai rigen ini masih diyakini oleh mayoritas masyarakat di Gunung Sumbing. Lebih detail, mitos rigen di wilayah Gunung Sumbing ini memiliki leksia yang dianalis dengan lima kode semiotika Roland Barthes yaitu kode Hermeneutik (HER). Kode Semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proaretik (PRO), dan kode gnomik atau kultural (KUL). Berikut analisis kode semiotik dari leksia mitos rigen. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Kode Hermeneutik (HER) Kode hermeneutik atau kode teka-teki terdata dalam leksia berikut. [Data . Kenapa sudah melampaui tidak sowan. Ki Ageng Makukuhan berkata tidak sowan karena disibukan dengan sebiji butir yang dikasih. Berkat Tuhan biji itu menjadi pohon kesembuhan yang di daerah sana saya beri nama Aopohon tambakuAo. Berdasarkan data tersebut diperoleh kode hermeneutik berupa teka-teki yang pada akhirnya terjawab oleh narasumber. Kode tersebut ditandai dengan adanya kata tanya Pertanyaan tersebut dijawab oleh narasumber sebagai informasi yang lebih dalam terkait kisah asal-usul Rigen. Kode Semik (SEM) Kode semik atau Kode Konotatif ( Conotative code ) adalah kode konotasi yang memberikan isyarat, menunjuk kilasan makna atau kemungkinan makna yang ditawarkan oleh penanda. Kode semik mitos rigen diperoleh dari leksia berikut. [Data . Idig ini saya lempar, dan lokasi jatuhya idig . nyaman bambu perseg. ini akan tumbuh tembakau yang luar biasa. Malam hari terbang ada sinarnya. Para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi. Sebelum ada tembakau rigen itu sudah ditemukan untuk menjemur hasil pertanain. Jatuhnya idig di Lamuk Legok, konon bukit ini dan Lamuk gunung 1 bukit kejatuhan idig jadi legok. Kalimat bercetak tebal terdata sebagai leksia untuk kode semik atau kode konotasi. Pada leksia Malam hari terbang ada sinarnya para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi . Merujuk pada mitos rigen atau idig yang dapat terbang serta bercahaya seperti sinar lampu pada malam hari. Dalam makna sebenarnya, tidak ditemukan rigen yang dapat terbang seperti gambaran cerita Ki Ageng Makukuhan. Kode Simbolik (SYM) Kode simbolik merupakan kode yang memiliki makna dibalik sebuah kata atau simbol bahasa Pada mitos rigen kode ini diperoleh dari leksia berikut. [Data . Ki Ageng Makukuhan berkata tidak sowan karena disibukan dengan sebiji butir yang Berkat Tuhan biji itu menjadi pohon kesembuhan yang didaerah sana saya berinama pohon tambaku. Kamu saya beri idig. Idig ini saya lempar lokasi jatuhya idig . nyaman bambu perseg. ini akan tumbuh tembakau yang l uar biasa. Malam hari terbang ada sinarnya para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi. Pada leksia yang bercetak miring tersebut terdapat frasa pohon kesembuhan. Frasa tersebut merupakan simbol untuk tanaman bernama tembakau. Adapun hubungan antara A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 pohon kesembuhan dan rigen adalah keterkaitan makna karena rigen merupakan alat atau media untuk menjemur tembakau. Apabila mendengar kata rigen, secara otomatis masyarakat menghubungkan dengan tanaman tembakau. Selain frasa pohon kesembuhan, simbol lain muncul pada kata idig. Idig atau widig merupakan bahasa lain dari Rigen. Pada beberapa daerah di lereng Sumbing, rigen disebut dengan widig atau idig sehingga dari leksia tersebut terdata masuk dalam kode simbolik. Widig dalam leksia tersebut bermakna rigen atau tempat untuk menjemur tembakau yang sakral karena menjadi kendaraan Ki Ageng Makukuhan. Kode Proaretik (PRO) Kode proaretik atau kode tindakan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya semua teks bersifat naratif. Kode proaretik dalam mitos rigen ditemukan pada leksia berikut. [Data . Bagaimanapun jenengan harus menghadap Sunan Kudus. Karena kesaktian Ki Ageng Makukuhan . ari suku tar-ta. konon Ki Ageng Makukuhan dari Kedu ke Kudus terbang berputar karena mencari tidak ketemu, ternyata dibawah ada Sunan Kudus melihat ada manusia terbang dan bergaya akhirnya dilempari batu krikil dan ternyata adalah muridnya. Kenapa sudah melampaui tidak sowan. Ki Ageng Makukuhan berkata tidak sowan karena disibukan dengan sebiji butir yang dikasih. Berkat Tuhan biji itu menjadi pohon kesembuhan yang didaerah sana saya berinama pohon tambaku. Ilmu keislaman jangan sampe dilupakan, pola budidaya padi dan tembakau Islamisasi juga berjalan. Kamu saya beri idig . Idig ini saya lempar lokasi jatuhya idig . nyaman bamboo perseg. ini akan tumbuh tembakau yang luar biasa. Malam hari terbang ada sinarnya para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi. Sebelum ada tembakau rigen itu sudah ditemukan untuk menjemur hasil pertanain. Jatuhnya idig di Lamuk Legok, konon bukit ini dan Lamuk gunung 1 bukit kejatuhan idig jadi legok. Pada leksia tersebut, kata yang bercetak miring menunjukkan adanya kode yang merujuk pada tindakan-tindakan seseorang secara rasional. Meskipun data tersebut tidak terlalu runtut, namun secara singkat diperoleh informasi bahwa Ki Ageng Makukuhan diperintahkan untuk menghadap Sunan Kudus. Dengan kesaktiannya Ki Ageng Makukuhan terbang berputar karena tersesat. Namun kejadian itu dinilai sebagai ketamakan Ki Ageng Makukuhan dengan ilmunya. Oleh karena itu Sunan Kudus melempar batu ke arahnya hingga Selanjutnya diceritakan bahwa Sunan Kudus memberi idig berisi biji tembakau dan melemparkannya hingga jatuh membetuk lubang besar. Dari leksia tersebut diperoleh adanya rasionalisasi runtutan cerita hingga ditemukannya rigen. Kode Gnomik atau Kultural (KUL) Kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasikan oleh budaya. Pada mitos rigen, kode kultural diperolah dari leksia berikut. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 [Data . Kamu saya beri idig. Idig ini saya lempar lokasi jatuhya idig . nyaman bambu perseg. ini akan tumbuh tembakau yang luar biasa. Malam hari terbang ada sinarnya para warga desa bingung ada obor tapi putih dan berbentuk persegi. Sebelum ada tembakau rigen itu sudah ditemukan untuk menjemur hasil pertanain. Jatuhnya idig di Lamuk Legok, konon bukit ini dan Lamuk gunung 1 bukit kejatuhan idig jadi legok . Kode kultural tampak jelas dari penamaan benda bernama idig atau rigen. Idig atau rigen ini hanya terdapat di wilayah Jawa Tengah. Selain kata idig dan rigen, juga terdapat kata obor dan legok yang mengindikasikan penutur dan petanda merupakan bagian dari budaya jawa Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat lima kode semiotik Roland Barthes dalam mitos rigen. Rigen terdata merupakan simbol yang memiliki pesan. Dalam analisis mitos diperoleh data bahwa rigen tidak hanya sebagai alat jemur tembakau namun memiliki pesan kearifan lokal yang relevan dengan sosial, yaitu silaturahmi yang erat, kegigihan dala m bekerja, serta pemanfaatan alam yang bijak dalam kehidupan sehari-hari. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis hasil data penelitian, diperoleh kesimpulan mengenai mitos pacul/cangkul suru dan rigen. Pacul merupakan alat pertanian yang berfungsi membantu menggemburkan tanah. Bentuk cangkul sebara umum sama yaitu memiliki gagang dari kayu dengan panjang kurang ebih 70cm, dan ujung logam pipih yang dikaitkan dengan gagang Cangkul digunakan dengan mengayunkan gagang dari atas bagian tanah yang akan Cangkul tangan di wilayah Asia memiliki bentuk yang hampir sama. Meski teknologi pertanian kian canggih, namun di negara agraris atau negara berkembang, cangkul tangan ini masih digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian pertanian di India (Suneetha. et al. , 2. yang membandingkan penggunaan cangkul tradisional dengan cangkul modern yang berteknologi bahan bakar. Dalam penelitian ini cangkul tradisional digunakan sebagai alat pembanding dalam mengukur keefektifan pengolahan lahan, dengan kata lain, cangkul tradisional masih digunakan meski hasil uji keefektifan dalam pengoolahan tanah relatif Cangkul dalam penelitian ini disebut dengan cangkul suru. Cangkul suru merupakan cangkul dengan gagang pendek dengan kemiringan lebih dari 50o. Cangkul ini diyakini sebagai hasil inovasi Ki Ageng Makukuhan selama berdakwah menyebarkan agama islam di wilayah Kedu. Magelang, dan Banyumas. Cangkul ini memaksimalkan tenaga agar efektif dalam menggemburkan tanah, khususnya di daerah perbukitan dan pegunungan. Namun faktanya, cangkul dengan gagang pendek juga tersebar di wilayah Afrika. Hal ini didukung dengan penelitian (Vanderwal et al. , 2. yang mengungkapkan bahwa cangkul pendek terbukti lebih efektif dan efisien dalam membentuk tanah gembur. Dari perbandingan pilihan antara cangkul panjang dan pendek, para petani di Afrika tersebut memilih cangkul bergagang pendek. A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 Selain cangkul, dalam penelitian ini ditemukan data mitos mengenai rigen atau tempat menjemur tembakau rajangan. Rigen terbuat dari bambu yang dianyam renggang. Panjang rigen sekitar 150 cm dan lebar 80cm. Rigen atau idig ini banyak ditemukan di wilayah pegunungan khususnya gunung Sumbing sebagai daerah dengan kualitas tembakau terbaik (Infitah et al. , 2. Rigen memiliki keterkaitan cerita dengan legenda Ki Ageng Makukuhan, di mana rigen merupakan kendaraan yang digunakan Ki Ageng Makukuhan menuju padepokan Sunan Kudus. Untuk mengenang jasa Ki Ageng Makukuhan dalam memajukan masyarakat di Temanggung dan sekitarnya, maka setiap tahun dilaksanakan Tradisi Nyadran gerebeg Makukuhan (Chabibah, 2. Adapun cerita Ki Ageng Makukuhan memiliki berbagai versi (Luwiyanto, 2. Mitos sebagai bagian dari sastra lisan menyumbang perkembangan bahasa daerah yang cukup signifikan. Mitos saat ini tidak hanya mengungkapkan cerita dewa-dewi, terbentuknya siklus kehidupan, dan cerita yang tidak memiliki kebenaran, namun mitos saat ini dapat dimaknai sebagai media pembawa pesan (Moglen et al. , 2. Dalam tatanan semiologi, mitos memiliki simbol bahasa, dan meta bahasa (Barthes, 1. Bahasa terdiri atas tingkatan makna tanda dan penanda. Tatanan tersebut dinamai makna denotasi. Tatanan di bawahnya yang disebut metabahasa terdiri atas makna konotatif dari tanda yang tersemat. Semakin banyak muncul makna konotasi dari sebuat petanda, maka hal tersebut disebut mitos. Dengan kata lain, mitos merupakan tingkatan akhir dari metabahasa (Barthes, 1972. Sebagai bagian dari folklore. Legenda Ki Ageng Makukuhan dapat dianalisis dari tataran mitos lama dan mitos baru. Adapun pacul suru dan rigen yang berkaitan dengan cerita tersebut diungkapkan dengan kajian mitos saat ini. Berdasarkan hasil penelitian, pacul Suru merupakan simbol yang digunakan masyarakat di wilayah Gunung Sumbing dalam menunjukkan kegigihan, semangat, dan keikhlasan. Sedangkan rigen merupakan simbol gotong royong, kebersamaan, dan kekompakan yang menghasilkan kesejahteraan. Kedua benda tersebut merupakan bentuk dari unsur budaya jawa berupa sistem peralatan hidup dan teknologi. KESIMPULAN Kebudayaan merupakan hasil karya, ide, dan inovasi suatu kelompok masyarakat. Secara umum, kebudayaan memiliki 7 unsur yaitu sistem bahasa, religi, mata pencaharian, peralatan hidup dan teknologi, kesenian, sistem sosial dan kemasyarakatan, dan sistem pengetahuan. Penelitian ini fokus mengkaji sistem peralatan hidup dan teknologi dati kebudayaan di wilayah Kedu. Hasil kebudayaan yang dianalaisis adalah pacul atau cangkul berbentuk suru dan rigen. Kedua benda budaya tersebut memiliki latar belakang cerita yaitu legenda KiAgeng Makukuhan. Dari tradisi lisan tersebut diperoleh mitos mengenai pacul suru dan rigen. Analisis mitos dahulu yauti pacul suru dan rigen merupakan hasil inovasi Ki Ageng Makukuhan yang menyebarkan agama islam dengan pendekatan pertanian dan Cangkul dan rigen ini merupakan alat yang digunakan Mbah Ageng untuk mengenalkan tanaman tembakau. Adapun dengan analisis mitos masa kini, tanda tyang muncul dari bentuk pacul suru dan rigen dianalisis dengan teori mitologi Roland Barthes. Hasilnya, pacul dan Rigen merupakan simbol dari gotong royong, kebersamaan, dan kekompakan yang menghasilkan kesejahteraan. Penelitian ini A UPA BAHASA UNIVERSITAS TIDAR PROSIDING SEMINAR NASIONAL KABASTRA IX 2024 merupakan bagian dari penelitian utama Mitos Tiga Gunung di Jawa Tengah. Penelitian ini masih membutuhkan kajian yang komprehensif terkait bidang sastra maupun linguistik. DAFTAR PUSTAKA