Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 “Sebagus Itu Sampe Mo Nangis”: Pengalaman Estetik Kant dalam Komentar Warganet di Media Sosial X C V Padmasari1 1 Program Studi Desain Produk, Institut Informatika Indonesia E-mail: clara@ikado.ac.id1 Abstrak. Frase “sebagus itu” dan ekspresi “mo nangis” sering muncul di sosial media memberikan komentar mengenai film, musik, pakaian atau produk kecantikan yang sedang tren. Frase ini merupakan bentuk ekspresi umum bagi waganet hingga menyebabkan perdebatan mengenai apa yang dimaksud sebagai “sebagus itu” sehingga “mo nangis”. Pada artikel ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika Kantian untuk menjawab pertanyaan tersebut. Post yang digunakan untuk menganalisis ekspresi tersebut menggunakan tiga cuitan dari media sosial X dari warganet umum yang memiliki pengikut di bawah dua ribu. Hasil analisis teks ini menunjukkan bahwa frase “sebagus itu” ingin menunjukkan pengalaman pribadi dari masing-masing akun tanpa berusaha mengajak warganet lain untuk melakukan ekspresi yang sama. Hal ini senada dengan teori Kant. purposiveness without purpose’, yang berarti bahwa ekspresi “sebagus itu” dilakukan tanpa tujuan spesifik dan spontan. Frase “sebagus itu” juga mengindikasikan adanya validitas universal dari sebuah penilaian estetika yang relevan dengan estetika pada umumnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ‘common sense’ dalam penilaian estetik pada masyarakat. Kata kunci: Pengalaman estetik; media sosial; estetika; Immanuel Kant. Abstract. The terms "sebagus itu" and "mo nangis" are frequently used on social media to express emotions on movies, music, fashion, and beauty products. These expressions are commonly used by netizens and have sparked debate about their true meaning. In this article, the author employs a qualitative method using a Kantian aesthetic approach to address this question. The author analyzes three tweets from X, a social media platform, written by general users with under 2000 followers. The findings reveal that the phrase "sebagus itu" is intended to convey a personal experience without soliciting others to express the similar aesthetic judgement. This is in line with Kant's theory of purposiveness without purpose, suggesting that "sebagus itu" is a spontaneous expression without a specific motive. Additionally, the phrase "sebagus" implies the universal validity of an aesthetic judgement that is applicable to the broader aesthetic realm. This indicates that society has a shared understanding of aesthetic standards. Keywords: Aesthetic experience; social media; aesthetic; Immanuel Kant. 24 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 1. Pendahuluan “gila mau nangis gue sebagus itu coba” – @Iovedangels, Jun 12, 2020, 2:47 PM “speechless. sebagus dan sesedih itu ceritanya,keren banget gue nangis berapa kali… thank u for this amazing show ! https://pbs.twimg.com/media/EaJwBeYUEAIrhUi?format=jpg&name=small” – @pcyoshgf, Jun 10, 2020, 7:56 PM “KERACUNAN TIKTOK MONSTAR SEBAGUS ITU NANGIS SETIAP EP NYA ” – mauwindijuli, Jun 8, 2020, 9:50 PM Beberapa kalimat di atas merupakan cuitan warganet di sebuah media sosial X. Cuitan-cuitan tersebut merupakan komentar atau reaksi dari para warganet yang menikmati sebuah acara web series dan video TikTok. Perhatikan kata kunci yang muncul: “nangis” dan “bagus”. Bahkan frase: “sebagus itu”. Frase “sebagus itu” dan “nangis” kerap menjadi ‘template’ para content creator di media sosial untuk memberikan komentar mengenai film, musik, pakaian atau produk kecantikan yang sedang tren. Frase “sebagus itu” dapat diganti dengan “seenak itu” ketika membahas makanan. Frase-frase tersebut digunakan oleh para selebriti media sosial untuk mempromosikan barang hasil endorsement atau warganet untuk menggambarkan suasana hatinya. Frase “sebagus itu” menjadi bahan perbincangan warganet di media sosial X pada tahun 2020. Menurut warganet, frase “sebagus itu” terhadap suatu produk pakaian, kecantikan atau “seenak itu” untuk produk makanan, merupakan komentar yang dangkal [1] [2]. Obrolan mengenai frase “sebagus itu” membingungkan warganet yang mempertanyakan patokan dari sebuah ‘itu’. Apakah ‘itu’ yang dimaksud oleh influencer? Oleh karena itu, pertanyaannya adalah sebagai berikut: Bagaimana menentukan sesuatu yang bagus sehingga muncul frase “sebagus itu”? Seperti apa patokannya? Mengapa sesuatu yang bagus dapat membuat seseorang bereaksi menangis? Apakah menangis menjadi tanda sebuah kebagusan karya? Komentar warganet seperti ini menarik karena tidak ada yang bisa menebak kriteria apa yang menjadi bagus bagi seseorang. Warganet hanya bisa menerka-nerka selera influencer atau content creator berdasarkan produk yang biasa dipakai oleh mereka. Tentu dalam hal ini, selebriti media sosial yang mendapat sponsor atau mengomentari sebuah produk belum tentu dapat dipertanggungjawabkan karena adanya kepentingan untuk mempromosikan produk dan harapannya dapat bekerja sama yang baik di masa mendatang. Namun bagi warganet biasa yang tidak punya banyak pengikut, komentar-komentar ini menjadi perkiraan apa yang bagus sekali, biasa saja maupun yang tidak. Bahkan, apakah sesuatu layak dikonsumsi maupun tidak. Warganet seperti yang dikutip di atas bukanlah selebriti dan menentukan indahnya sebuah karya hanya sebatas “sebagus itu” dan “nangis”. Oleh karena itu, melihat fenomena seperti ini, penulis teringat lagi dengan estetika Kantian. Estetika Kantian dipilih untuk menjawab bagaimana fenomena komentar warganet seperti itu bisa bermunculan. Pada esai ini, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan dengan metode penelitian kualitatif dan pendekatan literatur estetika Kantian. 2. Metode 2.1 Estetika Kantian Pada tahun 1790, Immanuel Kant menerbitkan karya yang berjudul Kritik der Urteilskraft atau yang dikenal sebagai Critique of the Power of Judgement (dalam bahasa Indonesia: Kritik atas Kuasa Penilaian). Karya ini menjadi bagian terakhir dari karya “Kritik” setelah Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason, dalam bahasa Indonesia: Kritik atas Akal Budi) dan Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason) atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kritik atas Penilaian. Pada Critique of the Power of Judgement, Kant menjelaskan pendapatnya mengenai estetika dan teleologi. Buku ini juga menjadi sintesis dari dua karya sebelumnya yang saling bertentangan. Sebelum membicarakan mengenai estetika Kantian, ada baiknya untuk membicarakan mengenai filsafat Kantian. Kant menyebut filsafatnya sebagai kritisisme, yaitu sebuah paham yang menggabungkan 25 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 rasionalisme dan empirisisme [3] [4] [5] Sebelum ia menganut kritisisme, filsafatnya terlebih dahulu beraliran rasionalisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan sendiri didapatkan dengan adanya teori atau ide (a priori). Salah satu yang mempengaruhi pemikiran ini adalah Descartes, yang juga mempengaruhi pemikiran Kant. Merasa tidak puas dengan aliran realisme, ia mempelajari David Hume yang menganut paham empirisme. Aliran empirisme, berkebalikan dari rasionalisme, berpendapat bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan melakukan observasi atau pengalaman inderawi (a posteriori). Dialektika antara empirisme dan rasionalisme disintesiskan oleh Kant menjadi aliran kritisisme yang berpengaruh juga pada cabang filsafat lainnya: estetika. Estetika Kant berdasarkan adanya penilaian reflektif. Artinya, ada proses mental dalam pikiran manusia ketika melihat sebuah objek keindahan. Proses mental dalam membuat penilaian estetik tidak hanya bersifat objektif dan rasional, melainkan subjektif. [4] [5] Ketika objek keindahan dihadapkan ke seseorang, ia akan menangkap keindahan tersebut dengan indra penglihatnya dan melakukan penilaian estetik. Setelah melakukan penilaian estetik, objek keindahan itu dinilai berdasarkan sensasi yang ditimbulkan: menimbulkan kesenangan atau ketidaksenangan [4]. Oleh karena itu, objek keindahan tidak hanya dapat dinilai secara rasional saja, namun juga mampu menggugah perasaan seseorang. [4] Maka, estetika Kant terletak pada adanya gabungan imajinasi dan pengetahuan. Bagi Kant, imajinasi dan pengetahuan ini merupakan free play dalam penilaian estetik [5]. Tidak ada yang berat sebelah dalam penilaian estetik. Pertama, penilaian estetik bukanlah sebuah keputusan logis. Penilaian estetik tidak berdasarkan konsep-konsep atau adanya ide yang menjadi patokan dalam menentukan keindahan. Maka, dalam estetika Kantian, tidak ada faktor atau indikator untuk membuat penilaian estetik. Kedua, keputusan ini tidak hanya berdasarkan sensasi inderawi. Sensasi inderawi dalam penilaian estetik hanya dapat dirasakan oleh masing-masing individu, dan tentu akan berbeda sensasi yang dirasakan oleh setiap individu. Maka, penilaian estetik merupakan gabungan dari keputusan objektif dan juga keputusan subjektif. Bagi Kant, keindahan dipengaruhi besar adanya pengalaman yang menyenangkan (pleasure) [4] [5]. Untuk menganalisis penilaian estetik Kantian dibagikan dalam empat momen. Pada momen pertama, Kant menyebutnya sebagai disinterestedness [5] [6]. Pada momen pertama, penilaian estetik diputuskan berdasarkan perasaan, yakni perasaan senang. Kesenangan ini tidak memiliki tujuan tertentu. Suatu keindahan berdasarkan adanya tujuan tertentu tidak disebut sebagai keindahan. Keindahan sendiri harus benar-benar terbebas dari adanya kepentingan. Bagi Kant, penilaian estetik merupakan refleksi atas keindahan itu sendiri. Kesenangan estetik juga bukan hanya sekadar kesenangan secara inderawi. Kant sendiri menyatakan bahwa ada tiga jenis keindahan, yakni keindahan agreeable, beauty dan good [5] Keindahan yang agreeable menurut Kant merupakan keindahan yang digambarkan dengan mengatakan sesuatu hal yang disukai atau menyenangkan seperti makanan atau minuman. Keindahan agreeable inilah yang merupakan keindahan berdasarkan pengalaman inderawi. Keindahan good adalah keindahan mengenai moral yang baik atau melakukan suatu hal yang bermoral baik tanpa kepentingan tertentu. Bagi Kant, keindahan tanpa kepentingan merupakan keindahan yang beauty, yakni keindahan berdasarkan perasaan senang itu sendiri. Keindahan beauty ini merupakan keindahan yang subjektif namun dapat diklaim sebagai keindahan yang universal. Momen kedua merupakan validitas universal. Validitas universal sendiri merupakan keindahan yang dapat digambarkan sebagai bentuk kesenangan universal. Penilaian keindahan dalam validitas universal berarti keindahan oleh suatu objek dapat dirasakan sebagai sesuatu yang indah. Penilaian keindahan yang valid secara universal juga berhubungan dengan seseorang yang membagikan perasaan senangnya kepada orang lain. Jadi, seseorang melihat sesuatu objek sebagai sebuah keindahan dan orang lain pun dapat menyetujui objek tesebut sebagai hal yang indah. Hal inilah yang dimaksud dengan subjective universality. Momen ketiga adalah purposiveness without purpose. Pada momen ini, penilaian estetis merupakan suatu hal yang indah namun tidak memiliki akhir tujuan tertentu. Hal inilah yang membedakan penilaian keindahan atau beauty berbeda dengan penilaian good. Keindahan yang good memiliki tujuan moral atau melakukan sebuah kebaikan. Penilaian estetis hanya bertujuan apa adanya, hanya berhenti pada penilaian estetik oleh subjek. 26 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 Momen keempat dan yang terakhir adalah necessity. Necessity dalam estetika Kant merupakan sebuah keniscayaan individu dalam penilaian estetik. Meskipun penilaian estetik seseorang tidaklah selalu sama, yakni bagus atau jelek, namun penilaian estetik merupakan hal yang harus dilakukan. Penilaian estetik inilah yang menjadi contoh untuk penilaian estetik selanjutnya untuk menentukan bagaimana seseorang melakukan pertimbangan. Juga, penilaian ini berdasarkan adanya common sense yakni kondisi mental di mana setiap orang dapat melakukan keputusan estetik yang sama. Common sense memungkinkan manusia mendapatkan pengalaman yang sama dalam melakukan keputusan estetik. [5] [6] [7] 2.2 Yang ‘Sebagus Itu’ Cuitan-cuitan pada bagian pendahuluan merupakan ekspresi spontan dari pemilik media sosial X yang dikutip pada tahun 2020. Tiga cuitan tersebut dipilih terutama karena ketiganya merupakan warganet dengan followers di bawah dua ribu saat tahun cuitan terbit. Tiga cuitan tersebut hampir tidak memiliki engagement (like, retweet, reply) oleh user lainnya. Hanya cuitan akun @pcyoshgf yang di-like oleh 1 pengguna X. Akun @pcyoshgf saat ini masih aktif hingga tulisan ini dibuat (19 April 2024). Namun kedua akun lainnya, @Iovedangels dan @mauwindijuli sudah tidak aktif pada tahun ini. Gambar 1. Profil akun X @Iovedangels (sumber: x.com/Iovedangels) Untuk memahami konteks yang dibahas oleh masing-masing akun, perlu untuk menggali lebih dalam informasi mengenai akun yang dikutip dengan melihat profil dan post yang dicuitkan. Akun pertama adalah @Iovedangels. Pada cuitan di atas, tidak ada objek spesifik yang dinilai sebagai “sebagus itu”. Ketika membuka profilnya, @Iovedangels memberi keterangan bahwa ia tidak lagi aktif di akun tersebut. Nama yang ia cantumkan di profil adalah : ) . Ia mengidentifikasi gendernya dengan mencantumkan she/her dan lahir di tahun 1996. Tidak banyak yang dapat diketahui lagi mengenai @Iovedangels selain cuitannya. Cuitan yang ia sematkan merupakan ucapan selamat ulang tahun dan hadiah mini digital book kepada Changbin, seorang idola K-Pop dalam boy group bernama Stray Kidz. Asumsinya, ia merupakan penggemar grup K-Pop tersebut. 27 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 Gambar 2. Pinned tweet @Iovedangels (sumber: x.com/Iovedangels) Gambar 3. Tangkapan layar cuitan @Iovedangels yang dikutip beserta cuitan lainnya untuk konteks (sumber: x.com/Iovedangels) Setelah mengulik beragam post yang muncul saat cuitan di atas terbit, @Iovedangels ternyata membahas mengenai lagu dari boy group bernama Treasure. Dari urutan cuitan yang ia buat, dapat disimpulkan bahwa ia sedang menggagumi lagu dan suara yang dibawakan oleh salah satu anggota boy group tersebut bernama Junkyu. Di cuitan sebelumnya, ia menulis “junkyu's voice is sooooooo calming and soothing and just perfect” dan “in ikon i have donghyuk with his soft and very soothing voice, in treasure i have junkyu with his unique vocals but still very calming and soothing too. its official, both of them are my sunshine line now (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧”. Maka, bagi @Iovedangels, hal yang ia komentari “sebagus itu” merupakan penilaian untuk suara Junkyu. Gambar 4. Profil akun X @pcyoshgf (sumber: x.com/pcyoshgf) 28 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 Akun kedua adalah @pcyoshgf. Ia dikenal dengan nama andeen ✴︎ melalui profile X-nya. andeen menyatakan dirinya sebagai penggemar salah satu boy group K-Pop bernama EXO. Pernyataan ini juga didukung oleh banner profil dan pinned tweet yang dipasang merupakan poster promosi comeback terbaru dari EXO. Ia pun mantap hanya mendukung EXO dengan menulis “only 엑소❤ (huruf Romawi: EXO)”. Gambar 5. Pinned tweet @pcyoshgf (sumber: x.com/pcyoshgf) Gambar 6. Tangkapan layar cuitan @pcyoshgf yang dikutip beserta cuitan lainnya untuk konteks (sumber: x.com/pcyoshgf) Cuitan andeen di bagian pendahuluan sebenarnya ia sematkan foto dari curtain call pertunjukan teater. Dalam istilah teater, curtain call merupakan acara penutup dari pertunjukan teater yang seluruh pemainnya akan berbaris di depan untuk menyapa penonton. Di cuitan ini, tidak terdapat satu pun pertanda siapakah pemain-pemain dalam pertunjukan tersebut. Setelah ditelusuri dari cuitan sebelumnya, ternyata ia sedang menonton pertunjukan salah satu anggota EXO bernama D.O.. Selain sebagai penyanyi di boy group EXO, D.O. juga merupakan seorang aktor yang aktif baik di teater maupun K-Drama. andeen membuat cuitan-cuitan tersebut sebagai bentuk dukungannya terhadap D.O.. Ia juga turut menonton sambil live tweet reaksinya terhadap pertunjukan tersebut. Setelah pertunjukan tersebut berakhir, ia menilainya “sebagus itu” bahkan sampai “nangis”. Akun terakhir adalah @mauwindijuli. Terakhir cuitan dari akun ini dibuat pada tahun 2022. Pada profilnya, ia menamai dirinya sebagai star. Pada profilnya, ia hanya berharap mendapatkan big win sebelum berkuliah. Ketika menggulir profilnya, star membagikan ulang cuitan giveaway dari akun-akun yang mempromosikan uang crypto. star juga menyematkan cuitan mengenai dirinya yang menang giveaway. Dari kesimpulan sementara, star bisa dikatakan sebagai akun yang rajin ikut giveaway crypto. Cuitan star sebenarnya sudah cukup menjelaskan sesuatu yang ia nilai ‘sebagus itu’. Monstar merupakan drama Korea yang ditayangkan pada tahun 2013. Ia menonton drama Korea tersebut karena dipengaruhi oleh media sosial TikTok. Menurut star, drama Monstar ‘sebagus itu’ hingga membuat ia menangis setiap episodenya. 29 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 Gambar 7. Profil akun X @mauwindijuli (sumber: x.com/@mauwindijuli) Gambar 8. Tangkapan layar cuitan @mauwindijuli (sumber: x.com/@mauwindijuli) 3. Hasil dan Pembahasan Pembicaraan mengenai komentar warganet, terutama selebriti internet dalam mempenilaian estetika sedang ramai. Selain membicarakan banyaknya template mengenai kata-kata yang digunakan oleh selebriti internet untuk mendeskripsikan sebuah objek, warganet juga mengkritik selebriti internet yang dianggap terlalu dangkal untuk mengutarakan penilaian estetikanya. Tentu kita harus kritis dalam melihat penilaian estetika oleh selebriti internet yang salah satunya bertujuan untuk mempromosikan produk seseorang. Selebriti internet tentu dibayar oleh suatu brand untuk mempromosikan produk-produknya di sosial media. Model iklan seperti ini sangat lazim dan marak di sosial media. Namun, beberapa selebriti internet tidak mencantumkan bahwa komentar terhadap produk tersebut merupakan hasil dari kerja sama dengan brand produk tersebut. Berbeda dengan warganet yang tidak memiliki pengikut dengan jumlah yang banyak, komentar mereka dalam penilaian estetik biasanya tidak mempunyai tujuan khusus. Komentar warganet, yang umumnya menggunakan akun pribadi atau juga akun fans grup K-Pop, bisa dikatakan merupakan ekspresi spontan. Bahkan dari beberapa cuitan yang saya kutip, penilaian estetik mereka tidak secara jelas mencantumkan objek apa yang dianggap “sebagus itu”. Mereka sedang tidak mengajak warganet lainnya untuk turut merasakan kesenangan (pleasure) atau ikut membuat penilaian estetik terhadap hal yang ia lihat. Di media sosial, terutama di X, melakukan ekspresi spontan melalui cuitan bukan suatu hal yang aneh. Komentar-komentar mereka mungkin terdengar membingungkan. Komentar “sebagus itu” dan “mo nangis” terdengar cukup dangkal dan tidak menjelaskan bagaimana dan seberapa bagusnya objek tersebut itu bagus, bahkan objeknya tidak jelas. Objek apa yang bagus? Mengapa bisa bagus? Apakah patokan dari itu dalam sebagus itu? Frase “sebagus itu” dan kata “nangis” yang digunakan oleh warganet di sosial media 30 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 kadang tidak hanya untuk melukiskan sesuatu hal yang sedih. Bisa saja merupakan perasaan takjub. Apakah mereka betul-betul menangis? Kita tidak betul-betul tahu. Namun, ekspresi ini valid dan tidak mengurangi pengalaman dan penilaian estetik mereka sendiri. Lalu, mengapa bisa bagus? Memang mereka tidak mencantumkan alasan-alasan mengapa sesuatu itu bagus secara jelas. Bisa saja karena suara yang bagus dari seorang penyanyi K-Pop, akting yang memukau dari salah satu aktor favoritnya atau karena jalan cerita yang menarik. Warganet yang berkomentar mungkin tidak memedulikan, misalnya dalam menonton drama Korea, bagaimana hal-hal teknis seperti pengambilan gambar, ekspresi aktor, setting cerita, maupun kesalahan-kesalahan dalam plot cerita dalam produk tersebut. Mereka bisa saja berlarut dalam emosi atau juga berlarut dalam bagaimana cerita itu diceritakan dan menggugah hati mereka sehingga melakukan penilaian estetik. Hal ini juga menunjukkan adanya disinterestedness. Warganet biasa yang berkomentar tidak menunjukkan keinginan apa pun terhadap objek atau menyenangkan secara inderawi. Dengan menyatakan drama Korea tertentu bagus bahkan dengan objek yang tidak dijelaskan secara jelas, hal ini menunjukkan ekspresi senang tanpa adanya kepentingan untuk promosi. Hal ini justru membedakan mereka dari selebriti internet yang tidak bisa dikatakan sebagai disinterestedness karena adanya tujuan untuk promosi. Dengan mengatakan sesuatu itu bagus di sosial media, warganet telah memasuki momen kedua, yakni validitas universal. Dari uraian teori di atas, kita telah mengetahui bahwa validitas universal berarti bahwa apa yang dikatakan bagus oleh kita sendiri juga dapat dikatakan bagus oleh orang lain. Validitas universal sendiri tidak lepas dari adanya perasaan senang dari diri sendiri. Namun, anggapan suatu hal sebagai estetik, seperti yang diuraikan di atas, bukanlah adanya bentuk-bentuk yang membuat sesuatu itu bagus, melainkan dari adanya imajinasi dan pengetahuan dalam menentukan sesuatu itu bagus. Ketiga, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, warganet yang berkomentar murni karena adanya spontan. Hal ini menunjukkan momen purposiveness without purpose. Komentar warganet biasa hanya berakhir pada komentar spontan. “Sebagus itu” dan “mo nangis” tidak hanya berhenti sebagai ucapan spontan, namun juga merupakan penilaian akhir dari sebuah karya. Purposiveness without purpose menegaskan bahwa karya ini tidak mempunyai kepentingan yakni memiliki tujuan untuk memenuhi sesuatu. Terakhir, necessity dalam beberapa komentar warganet cukup sulit karena belum tentu ada yang menyetujui pernyataan kita melalui komentar atau like. Dari tiga cuitan yang di atas, hanya satu cuitan saja yang hanya mendapatkan like. Memang tidak semua orang menyetujui keputusan estetik yang dilakukan individu, namun putusan selera yang dilakukan dengan kata “mau nangis” dan “sebagus itu” akhirnya menjadi acuan untuk putusan selera lainnya. Lalu, apa ‘itu’ dalam sebagus itu? Kita tidak akan pernah benar-benar mengetahui apa yang disebut sebagai ‘itu’ dalam ‘sebagus itu’. Namun, kita bisa mengatakan bahwa ‘itu’ merupakan gabungan antara imajinasi dan pengetahuan dari subjek. Tidak ada yang benar-benar tahu patokan tersebut, juga penilaian estetik lagi-lagi bukanlah dari sebuah konsep dan juga bukan hanya sekadar pengalaman. ‘Itu’ tentu menunjukkan adanya common sense dari manusia yang memiliki kemampuan mental yang sama untuk menentukan penilaian estetik sebuah karya. ‘Sebagus itu’ menunjukkan adanya kemampuan manusia dalam membuat klaim universal atas suatu karya. Drama Korea tidak bisa menjadi sesuatu yang ‘sebagus itu’ bila hanya bertujuan untuk ‘cuci mata’, karena ‘cuci mata’ sendiri bukan kepuasan yang universal dan hanya berlaku untuk seseorang saja. Sebaliknya, melihat drama Korea dari adanya konsep seperti jalan cerita, penokohan, maupun setting cerita hanya membuat keindahan menjadi suatu yang umum dan berdasarkan fakta. Hal inilah yang menjadikan putusan estetik menjadi acuan, exemplary untuk membicarakan karya. ‘Itu’ dari ‘sebagus itu’ adalah acuan untuk membicarakan keputusan estetik. 4. Kesimpulan “Sebagus itu sampe mo nangis” merupakan keputusan estetik yang dikatakan oleh warganet dalam melihat sebuah objek, bisa saja berupa karya lagu, video atau drama K-Pop. Komentar seperti ini valid, alasannya hal ini merupakan keputusan estetik seorang dari adanya pengalaman dan ide-ide yang didapatkan oleh orang tersebut. Bagi Kant, keputusan estetik seperti ini tidak mesti adanya konsep-konsep yang menjadi 31 Prosiding KONSTELASI Vol. 1 No.1, Juni 2024 acuan dalam keputusan estetik, namun perasaan senang. Dalam hal ini, frase “mo nangis” bisa menjadi sebuah pernyataan untuk ekspresi kesenangan dalam melihat sebuah karya. Namun perlu diingat, kita hanya bisa melihat bahwa sebuah komentar adalah penilaian estetik atau bukan adalah tujuan dan akhir dari penilaian estetik. Penilaian oleh selebriti internet terhadap suatu objek tidak sepenuhnya bisa dianggap keputusan estetik karena memiliki tujuan promosi. Hal ini tidak bisa sepenuhnya menjadi acuan untuk keputusan estetik karena untuk memenuhi kebutuhan tertentu misalnya feed (isi konten) atau like dan komentar warganet lainnya. Keputusan estetik seharusnya bebas dari tujuan tertentu. Juga, kalimat “sebagus itu sampe mo nangis” merupakan hasil akhir dari keputusan estetik. Bila ditambah dengan kalimat “kalian harus coba” atau pun mengomentari plot cerita dan penokohan, maka penilaian tersebut bukan lagi estetik. Mempertanyakan ‘itu’ dari ‘sebagus itu’ sendiri akhirnya mempertanyakan ulang common sense terhadap penilaian sebuah karya. Common sense ini tentu adanya imajinasi dan pengetahuan yang membentuk mental seseorang dalam menentukan karya. Mempertanyakan ini bisa saja karena adanya perbedaan imajinasi atau pengetahuan dalam seseorang, bahkan proses mental seseorang dalam mengalami sebuah karya. Tentu tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perbedaan dalam mengambil penilaian estetik. Bisa saja apa yang dikatakan oleh warganet bagus, bagi orang lain jelek. Namun, lagi-lagi hal ini tidak berarti bahwa penilaian estetik yang dilakukan oleh warganet tidak valid. Ia menjadi contoh untuk melakukan keputusan estetik berikutnya. 5. Referensi [1] bbynaz [@anasthasiadsr] “Gedeg bgt dah kalo orang yg mengaku diriny INFLUENCER. Tapi kalo lagi jelasin produk atau makanan itu make kata SEBAGUS ITU SEENAK ITU(?) iya tau liat gambar nya juga keliatannya enak tapi gabisa paham gue enaknya kek gimana wkwkwkw” X, Jun 1, 2020. https://twitter.com/anasthasiadsr/status/1267151764479807488 (diakses pada 19 April 2024) [2] ₊˚⊹♡ [@nondce] “anjir iya kesel bgt "sebagus itu" "seenak itu" gajelas ajg GAUSAH JD INFLUENCER KL GATAU CARA MENJELASKAN DENGAN BAIK LAH KESEL AK MAAP BGT NI” X, May 31, 2020. https://twitter.com/nondce/status/1267096895467520001 (diakses pada 19 April 2024) [3] S. Dinata, “Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant”, Kanz Philosophia, no. 2, pp. 217-236, 2021 [4] I. Kant, “Critique of the Power of Judgement”, Cambridge University Press, 2000 [5] H. Ginsborg, “Kant’s Aesthetics and Teleology”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2019 Edition), Edward N. Zalta (ed.), 2019 (diakses pada 20 April 2024) [6] E. Schellekens, “Immanuel Kant” dalam “A. Giovannelli, Aesthetics: The Key Thinkers (pp. 61-74)”, Continuum Books, 2012 [7] H. N. Lee, “Kant's Theory of Aesthetics”, Philosophical Review, 1931 32